2. Salah Pegang

1626 Words
Dua orang yang kini berada di dalam toilet sedang dilanda kekhawatiran, suara degupan jantung terdengar samar. Mereka berhasil sembunyi tepat waktu ketika pengawas masuk ke ruangan hendak memergoki mereka. Sekarang pengawas itu sedang mengecek sekeliling ruangan, memastikan tentang suara yang dia dengar sebelum ini. Berbeda dengan Reyna yang khawatir jika keberadaan mereka akan ketahuan, Fan justru khawatir jika dia kehilangan kesempatan untuk menyentuh tangan mulus gadis di depannya. "Aakh!" Reyna berhasil memelintir tangan Fan sebelum pria itu sempat meraih tangannya. "Kau ingin berbuat asusila padaku!" seru Reyna dengan bisikan. Jangan sampai suara mereka terdengar lagi oleh pengawas di depan sana. "Tidak, akh! Aku hanya … " "Hanya apa?" "Aku hanya ingin menyuruhmu bergeser sedikit," ucap Fan berdusta. Reyna menatap pria itu tajam dan penuh selidik, dia melihat Fan yang meneguk ludah ketakutan. Dia pun melepaskan tangan Fan, tetapi sebelum itu dia sempat mengancam akan menggigit jika pria itu berani berbuat macam-macam. Reyna kembali mengintip dari celah pintu untuk memastikan keadaan di luar. "Aku tidak tau kalau sedang berhadapan dengan gadis bergigi tajam," bisik Fan bermonolog sambil mengurut tangannya yang baru saja terkena serangan Reyna. Di dalam toilet yang tak seberapa luas itu, Fan menyapu pandangan ke sekeliling, dia sedang mencoba untuk mencari jalan keluar. Sebuah jendela yang tak seberapa besar, namun cukup untuk mengeluarkan mereka dari dalam toilet itu menarik perhatian Fan. "Hei." "Hah!" Fan tidak sengaja menepuk b****g* Reyna sebab mulanya dia menghadap ke arah jendela dan memunggungi gadis itu. Kini dapat terlihat bagaimana merahnya wajah Reyna, dia sudah siap untuk marah dan berteriak. "Beraninya kau menepuk bokongku!" "Shuut!" Fan membekap mulut Reyna sebelum suara gedoran pintu terdengar. "Hei! Siapa di dalam sana!" seru seseorang di luar toilet. "Buka pintunya sekarang!" "Kenapa kau berteriak!" protes Fan meski berbisik, tangannya itu masih membekap mulut Reyna, sedangkan tangan yang satu lagi menahan kepala gadis itu, membuat Reyna benar-benar menggigitnya. "Aakh!" Fan melepaskan bekapan tangannya. Reyna mendorong Fan menjauh darinya. Dia bisa merasakan sinyal bahaya jika terus-menerus berada bersama pria itu di dalam sini, membuat Reyna hendak membuka kunci pintu toilet. Namun dicegah oleh Fan. "Hei, apa yang kau lakukan?" "Lepaskan aku." "Kau ingin ditangkap security kampus?" Reyna menarik tangannya dari genggaman Fan. Dia menatap raut pria itu lekat-lekat, menerawang apakah ada niat jahat yang ingin dilakukan pria itu, atau dia benar-benar ingin membantu? "Kita akan keluar lewat jendela dan lari dari sini," ucap Fan menjelaskan maksud dan tujuan awalnya. Dia naik ke atas kloset dan berjinjit untuk meraih jendela, membukanya lebar-lebar, lalu menongolkan kepala, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa di koridor itu tidak ada siapa-siapa. Suara gedoran pintu kembali terdengar, kali ini dengan seruan yang semakin mengganas. "Siapa di dalam! Buka pintunya sekarang atau saya dobrak!" Jantung Reyna berdegup semakin kencang, dia merasa telah terjebak di antara jurang dan jeruji besi. Di sisi lain, Reyna tidak tahu apakah Fan orang baik atau jahat. Di samping itu juga, keberadaan mereka sudah diketahui oleh pengawas dan sekarang mereka terjebak di toilet. Fan turun dari kloset dan menyuruh Reyna untuk keluar lebih dulu. "Kau keluar lebih dulu." Reyna masih diam dan berpikir. Namun, suara dobrakan pintu yang mulai terdengar membuat gadis itu segera bergerak. Dia naik ke atas kloset dan meraih jendela. Sebab jendela yang terlalu tinggi, kaki Reyna tak mampu untuk mencapai jendelanya. Sementara itu di depan, sang pengawas memanggil security untuk membantunya mendobrak atau mencongkel kunci pintu toilet. Security itu pun langsung mencoba untuk mencongkel kuncian pintu. "Apa kau tidak bisa cepat?" ucap Fan yang tengah berusaha mempertahankan kuncian pintu. "Aku tidak sampai." Fan menghela napas gusar. Segera dia mengambil langkah. Pria itu mengangkat tubuh Reyna dan membantunya mencapai jendela. "Hei, apa yang kau lakukan!" seru Reyna terkejut. Bagaimana tidak, Fan mengangkat perutnya dari belakang. "Aku hanya ingin membantumu. Cepat lah," jawab Fan. Reyna tidak punya pilihan lain. Mungkin memang ini satu-satunya cara agar mereka bisa melarikan diri dari toilet ini. "Angkat kakimu," titah Fan. "Jangan mendorong bokongku!" seru Reyna. "Hanya ini yang bisa aku lakukan, sedikit lagi sampai." "Akh!" Reyna merintih sebab kepalanya terbentur jendela. "Sakit lah," protesnya, semua itu karena Fan mendorongnya terlalu kuat. "Apa aku mendorongnya terlalu kuat?" "Tentu saja." "Baiklah aku tidak akan kuat-kuat." "Ugh, aah, sedikit lagi." Suara deru napas lelah terdengar. Anehnya, suara congkelan pintu pun ikut berhenti. Pengawas dan security di depan sana sedang menajamkan pendengaran. Sejak beberapa detik yang lalu kening mereka berkerut akibat suara dua orang di dalam toilet yang semakin mengarah pada kegiatan 'bercocok tanam'. Mereka saling pandang sebelum akhirnya kembali mendobrak dan mencongkel pintu itu. "Hei, apa yang kalian lakukan di dalam sana!" seru sang pengawas. Pikirannya sudah ke mana-mana, dia tahu jika dua orang itu adalah penyusup, lalu apa yang mereka lakukan di sini? b******a? Kenapa tidak langsung pesan hotel saja, malah mencari yang gratisan, di toilet ruang pengawas pula, pikirnya. Reyna sudah berhasil mendarat di koridor dengan mulus. Gadis itu memeriksa ke sekeliling, dia beruntung sebab kawasan itu masih sepi. Tak lama kemudian, Fan muncul dari jendela, dan saat itu security di sana sudah berhasil membuka pintu toilet. Mereka ketahuan, segera mereka bergegas untuk melarikan diri. "Lari!" "Hei, jangan lari!" titah security itu. "Pak, mereka kabur." "Kejar mereka, jangan sampai lolos." "Baik, Pak." Fan dan Reyna lari menyusuri koridor. Kini mereka sudah tiba di sebuah koridor yang lumayan ramai oleh mahasiswa dan mahasiswi. Fan menarik tangan Reyna untuk melintasi gedung kuliah umum sebab dia memarkirkan mobilnya di sana. "Berhenti! Hei kalian!" Beberapa security tampak sedang berlari-lari di koridor untuk mengejar Fan dan Reyna, membuat para penghuni kampus memusatkan perhatian pada mereka, bingung. "Hah!" Reyna mendadak berhenti sebab melihat kakaknya, Azzima, sedang berdiri di tengah-tengah koridor dan dikerumuni oleh para mahasiswi yang sedang mencari perhatian. "Kak Zima," ucap gadis itu, membuat Fan mengerti jika Reyna takut kakaknya itu melihat mereka. Fan melepaskan resleting jaketnya, lalu melebarkan sisi kanan jaket. Dia menawarkan Reyna untuk bersembunyi di sana. Reyna meneguk air mulutnya, di belakang mereka security tidak berhenti mengejar. Tak punya pilihan lain, Reyna pun bersembunyi di jaket Fan dan berlari mengikuti langkah pria itu, sedangkan kepalanya tertutup jaket. Fan pun memakai topi jaketnya agar Azzima tak seberapa mengenalinya. Dia tidak lupa jika pernah bertemu dengan Azzima sebelum ini, dan Azzima pun sudah mengenal Fan dengan baik. Jangan sampai kesan baik itu hilang sebab Azzima melihat mereka dalam kejadian ini. "Jangan lari! Hei kenapa kalian tidak menangkap mereka?" ucap salah satu security, membuat subjek yang ditanya bingung. "Mana saya tau kalau Bapak lagi kejar mereka." Azzima sempat mengambil perhatian atas keributan itu. Dia menoleh ke belakang, memperhatikan dua orang aneh yang barusan melewati mereka dan kini sedang berlari seperti orang yang habis mencuri. "Berhenti! Kalian akan mendapat sanksi pidana!" Fan dan Reyna sudah tiba di mobil. Tanpa berlama-lama lagi Fan langsung menginjak pedal gasnya, meninggalkan halaman kampus sebelum pintu gerbang utama ditutup sebab terindikasi penyusup. Salah satu security menggunakan alat komunikasi jarak jauh miliknya. "Awasi setiap mobil yang keluar, dan hentikan mobil dengan nomor plat KT 22 F." Sementara itu di dalam mobil. "Bagaimana dengan rekaman CCTV di ruangan tadi?" tanya Reyna yang masih belum bisa tenang. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan menyuruh Mahesa untuk masuk ke ruang server dan menghapus rekamannya," kata Fan. "Bagaimana jika mereka sudah melihat rekaman itu?" "Tidak, percaya lah padaku." "Aku masih belum bisa tenang." Fan yang sedang fokus menyupir harus menghembuskan napas panjang sebab kekhawatiran gadis di sebelahnya. "Bisa kau bantu aku ambilkan ponsel dan menelpon Mahesa sekarang." "Memangnya Mahesa siapa?" "Kau ingin tau tentang Mahesa atau ingin rekaman CCTV-nya ter--." "Terhapus. Di mana ponselmu?" Reyna segera menegakkan tubuh untuk mencari ponsel Fan. "Di saku celana ku." Sejenak Reyna bergeming, lalu tatapannya turun ke bawah. Sudah berapa kali dia terjebak hari ini, semuanya karena dia keras kepala. Reyna mengalihkan tatapan ke depan, sedangkan tangannya menyusup ke saku celana yang dikenakan Fan. Mereka sudah hampir tiba di pintu gerbang utama, dan terlihat para security yang sedang berjaga di sana. Sepertinya mereka sudah siap untuk menangkap dua penjahat nakal ini. Kedua mata Fan membulat. Bukan, bukan sebab security itu memberhentikan mereka, melainkan sebab tangan Reyna yang membuatnya geli. "Apa yang kau lakukan." "Kau menyuruhku mencari ponsel." "Kenapa kau tidak mencarinya dengan benar." "Kau pikir aku tidak bisa mencari dengan benar. Aku tidak melihat dan hanya mengandalkan ta--" Suara keduanya hening seketika sebab ujung jari tangan Reyna menusuk-nusuk bagian samping pusaka milik Fan dari balik kain saku. Reyna melakukan hal itu sebab tidak juga mendapat benda pipih yang dia cari. Saku celana yang dikenakan Fan memang cukup dalam, sedangkan Reyna hanya mencarinya di bagian atas dan malah mendorong-dorong tangannya secara horizontal ke arah harta benda milik Fan. "Aaa!" Fan hampir kehilangan kontrol kemudinya, dan parahnya lagi kecepatan mobil yang dia kendarai semakin kencang. Namun hal itu ada untungnya, Fan jadi bisa melewati para security dengan mudah sebab mereka mengira mobil yang dikendarai Fan kehilangan kendali, padahal tidak. Reyna segera menarik tangannya keluar dari saku celana Fan setelah mendapatkan benda pipih yang dia inginkan. Setelah tadi dia sempat khawatir jika mobil yang dikendarai Fan benar-benar hilang kendali. Namun akhirnya kini mereka bisa melaju dengan tenang di jalanan. "Siapa yang harus aku hubungi." "Kemarikan ponselku." Reyna memberikan ponsel itu pada Fan. Entah mengapa tiba-tiba saja suasana kaku menyelimuti mereka. Fan menekan tombol di ponselnya, lalu berdeham. Mahesa tidak mungkin menjawab teleponnya lebih dari 10 detik, begitulah caranya berbalas budi. Fan telah membantu bocah SMA itu mengerti tentang pemrograman dan kini dia sudah berada di tahap mahir. "Mahesa, kau harus bisa masuk ke server data CCTV Universitas Burnei dan menghapus rekaman yang terjadi di ruang pengawas seleksi hari ini pukul 11 siang." "Universitas Burnei? Apa yang kau lakukan di kampus? Memeras uang mahasiswa?" Terdengar suara Mahesa terkekeh. "Tutup mulutmu, jangan berbicara seperti itu sekarang." Tut. Mahesa yang sedang menonton TV sambil memakan bola-bola coklat pun mengerutkan kening heran, tak biasanya Fan sensitif terhadap kalimat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD