File 8 : Gudang Rahasia dan Berkas Misterius

1158 Words
Tumpukan berkas masih menunggu jemari kurusnya mulai bekerja. Meski sadar kertas-kertas itu tak akan pernah terisi sebelum tangannya bergerak, tetap saja kuku jempol pendek itu terlalu menarik baginya. Bunyi kuku jari yang terkikis kuatnya gigi-giginya, mendekut. Suaranya yang khas selalu membuatnya ketagihan untuk menggigitnya lagi, dan lagi. Seperti biasa, bentuk ujung kukunya menjadi tak karuan. Meski demikian, lututnya yang lancip masih saja tak berhenti bergerak. Ia mulai berpikir tentang semua yang terjadi tempo hari. Hanya kebetulan, hanya kebetulan! sugesti itu terus ia dengungkan dalam kepala rumitnya.  Kenyataan terulangnya kembali hal itu terus ia sangkal. Meskipun hati kecilnya tetap tak mampu menemukan alasan logis dibalik semuanya, tapi pemikiran klenik yang bermunculan tak mau ia benarkan, barang secuil pun. Pada akhirnya, waktu berlalu tanpa adanya solusi masuk akal yang memuaskan ladang rambutnya. Berkas kasus yang harusnya ia kerjakan pun, akhirnya terbengkalai. Waktu semakin sore. Seperti biasa, tinggal tersisa beberapa orang. Kalau sudah begitu, barulah pemuda itu mulai merasa khawatir. Niatan untuk bekerja baru saja muncul saat akhirnya ia terdesak, tapi telepon tua itu berdering begitu nyaring; meronta-ronta dari penyangga, seakan minta segera diperhatikan.  Sejak berada di Distrik 17, semua orang seperti tak membiarkannya bekerja dengan tenang. Semakin kesal, Rain akhirnya mengangkat gagang telepon tua itu penuh geram. "Apa!!!" bentaknya, mengangkat telepon. Biasanya, atasannya akan mulai menyuruh-nyuruh, tapi kali ini telepon hanya berdengung. Ia menarik telepon, menatap lubang suara yang masih senyap. Orang gila, pikirnya, mendapati sambungan tanpa suara itu. Lalu tba-tiba, “se-per-ti ka-ta-ku, kan?!"  "Astaga!!!"  Rain tersentak, menjauhkan gagang telepon. Suara bernada lemah itu tiba-tiba keluar, ketika pikirannya bercampur aduk. Tanpa sengaja, kabel telepon tertarik, sampai telepon tua itu hampir saja terjatuh dari meja kerjanya.  "Siapa kau sebenarnya?!" tanya Rain, mengabaikan orang-orang yang menatapnya. "Ka-lau ka-u i-ngin ta-hu., per-gilah ke... gu-dang!" "Berhenti bicara seperti itu!" "Di... bela-kang, ru-ang inte-rogasi! Temu-kan... file... 73! Rak... ke-ti-ga...” Tut! Tut! Tut! ... Panggilan berakhir. Rain mengernyitkan dahi. Peluh sedikit menetes dari keningnya yang terpelintir. Keringat dingin bercucuran, padahal penelepon itu mungkin hanyalah gadis tempo hari.  Matahari sudah hampir tenggelam, sementara pekerjaannya masih jauh dari kata beres. Tumpukan berkas akan semakin menggunung jika ia terus memelihara rasa malas, akan tetapi rasa penasaran itu terasa lebih menyiksa dibanding beban pekerjaan. Pada akhirnya, dahaga penasaran memenangkan perang batin dalam diri Sang Letnan. Bahkan, tumpukan tugas yang bukan main banyaknya, tak menghalanginya keluar dari meja kerja.  Ia mulai menapaki lorong remang berlantai plester yang mengarah ke sebuah ruangan gelap. Rasa-rasanya, tempat itu memiliki tebal dinding yang berbeda dengan lainnya. Jendela besar satu arah menyambutnya, memperlihatkan sebuah ruangan gelap yang terisi dua buah kursi, serta sebuah meja kayu. Tidak salah lagi, itulah ruang interogasi. Rain berjalan melewatinya. Di sudut kiri belakang, ia menemukan pintu kayu yang terlihat sudah reyot. Beberapa bagian telah lapuk termakan usia, gagang pintunya pun, terlihat memprihatinkan. Tak berlebihan jika pemuda itu kemudian beranggapan; gagang berkarat itu mungkin akan segera jatuh begitu ia memegangnya.  “s**l!” umpatnya, mendapati pintu itu masih terkunci. Itu artinya, dia terpaksa harus kembali ke ruang utama.  Ia bergegas kembali; mengambil kunci ruangan yang tergantung di salah satu paku tembok. Seperti biasa benda bergemirincing itu akan selalu berada di sana, selagi masih ada yang berada di ruang kerja.  Setelah penjaga markas kembali ke rumah dinas, peraturan menyebutkan; orang terakhir yang masih tinggal adalah Si Penanggung Jawab. Dan orang yang mendapat mandat atas kunci-kunci itu, justru menyalahgunakan tanggung jawabnya. Gagal, gagal, dan kembali gagal. Belasan kunci-kunci itu memang memiliki kemungkinan gagal lebih besar. Ia terus mencoba menemukan kunci yang tepat, sampai akhirnya kunci yang pas menancap dengan mudah. Ia mendorong pintu, menoleh ke dalam ruangan dengan perasaan was-was. Engsel berkarat yang bergeser menimbulkan bunyi menderit yang cukup lantang, dan itu cukup mengganggu.  Saklar di pojok ruangan buru-buru ia tekan, hingga lampu kekuningan tua menyala remang. Ruangan masih kelihatan cukup gelap, tapi ia memutuskan memeriksa lebih jauh. Hanya ada tumpukan kertas sepanjang mata memandang. Bau kertas lama itu rasanya sungguh mengganggu. Ketika memasuki ruangan penuh debu tadi, ia bahkan sampai menggunkan lengannya untuk menutupi hidung. Utung saja, ia membawa serta senter kecil, sehingga tak terlalu kesulitan memasuki ruangan berpenerangan redup itu. "Rak ketiga! Rak ketiga!" gumamnya mengusir sepi.  Suara langkahnya tetap kedengaran menggema, meskipun ia mencoba melangkah sepelan mungkin. Lampu redup itu pun, terkadang mati sendiri; menambah kesan mengerikan di dalam sana.  Anehnya, tangannya seakan dipandu mengunjungi sebuah rak kayu. Tempat dipenuhi penuh butiran coklat kecil. Selalu terdapatnya lubang-lubang kecil di setiap kemunculan benda itu, membuatnya segera sadar. "Mereka harusnya sering beres-beres!" keluhnya. Sembari menatap kotoran-kotoran rayap itu, ia melangkah. “Astaga!" teriaknya, mendapati seekor tikus seukuran kepalan tangan berlari kencang, seraya menggendong anakan bayinya yang masih merah. “Dasar tikus gila!” umpatnya.  Sejenak ia berhenti, menarik napas panjang. Ia merasa perlu menenangkan diri. Lengannya mulai memanjat, menunjuk-nunjuk beberapa berkas terdekat. Sambil menyeka keringat di keningnya, ia mulai membca satu demi satu berkas yang ada.  Isinya kebanyakan hanya berkas lama, dan ruangan pengap itu membuat tubuhnya makin berkeringat. Ingin rasanya segera keluar, tapi tubuhnya seolah terpandu, menuju berkas tua yang letaknya berada di rak paling atas. Sampul berkas itu sejatinya berwarna putih. Namun, telah menjadi kecoklatan karena termakan usia. Bau apek berkas itu sebenarnya membuat semangatnya turun. Akan tetapi, alfabet I" dan E" yang agak kabur itu menarik matanya. "Ini dia!" serunya, menarik berkas tua itu.  Beberapa bagian telah sobek, dan tulisannya sedikit kabur. Sekilas, kelihatan sukar dibaca memang, tapi tulisan itu jelas-jelas berbunyi, "File 73."  Melihat itu, Rain semakin sumringah. Buru-buru ia pisahkan dokumen yang menumpuk debu itu, dan bergegas membawanya keluar. Tak lupa mematikan saklar, ia pun, mengunci lagi pintu menyedihkan itu.  Matanya terus memandang berkas tebal itu. Sambil berjalan, ia tak berhenti menepuk-nepuk sampul berkas itu, sampai debu-debu yang menumpuk beterbangan. Bahkan, ia sendiri sempat bersin beberapa kali, tak tahan dengan banyaknya partikel yang berterbangan.  Rain berjalan begitu pelan. Ia begitu penasaran dengan berkas itu, sampai tak menyadari bila ruang kerja sudah kosong melompong. Bak seorang balita yang baru saja menemukan mainan baru, hanya perduli dengan berkas itu. Dengan penuh semanga, ia tarik kursi kayu sederhana yang selalu ia duduki jika tengah bekerja.  Ia letakkan berkas itu ke atas meja. Taplak putih kombinasi hitam, bermotif bunga mawar menutupi benda yang makin indah dengan sentuhan pelitur sederhana itu. Terkesan klasik, tetapi tetap tampak elegen. Sayangnya, ia tak punya keterampilan merapikan ruangan. Tempat itu sungguh berantakan, dan suara saat ia menjatuhkannya sungguh kencang. Padahal, tingginya menjatuhkan berkas tak ada setengah meter. Segelas kopi mungkin bagus, pikirnya.  Tak segera menyelidiki, Rain terlebih dahulu menuju dapur, meracik minuman favoritnya, kopi.  “Mari kita mulai,” gumamnya, mendramatisir. Sebuah foto kakek bule, terpampang di halaman pertama yang baunya paling menyengat. Tertulis dalam huruf aneh yang mulai pudar di sana-sini. Bukan alfabet apalagi hijaiyah. Setengah kesal, ia kemudian membanting berkas itu. "s**l! Bahasa Rusia!" keluhnya, hingga berkas itu berpindah halaman dengan sendirinya. Anehnya, halaman berikutnya itu dipenuhi bermacam-macam coretan tangan. Catatan itu ditulis menggunakan bolpin hitam yang warnanya sudah berubah menjadi kecoklatan, tapi untungnya masih bisa dibaca.  Setelah ia teliti sebentar, ternyata itu merupakan terjemahan dalam bahasa, yang kemungkinan dibuat oleh petugas lain. Tulisan yang terlihat kurang rapi dan terkesan terburu-buru, itu membuat ia kembali tersenyum. Aku jadi agak kasihan, pada petugas yang lembur membuat ini, pikirnya. Sang Letnan kritis bersifat skeptis itu pun, mulai asyik membolak-balik halaman demi halaman. Menemukan catatan misterius itu baginya lebih menyenangkan, ketimbang memerima uang gaji bulanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD