Re-Tired (Part 4)

2664 Words
Ku usap air mata yang terus menerus berjatuhan ini. "Ante Abil" panggil Hellina. Aku menatap gadis kecil itu yang mungkin sedari tadi melihatku menangis. "Ante Abil napa angis? (Tante Nabila kenapa nangis?)" tanyanya. "Tante gak apa-apa sayang, ayo kita pulang" ucapku berdiri dan menyeka lagi air mataku. "Mba, aku pulang dulu, cepat sembuh Mbak" ucapku. Sebelum aku egois, dan mereka takkan mungkin ku lepaskan lagi. ~ 2 Bulan sudah aku berada daam rumah ini, tidak ada kejadian-kejadian sedih lagi yang ku alami, Mas Andrew lebih sering tersenyum, dan dia memegang ucapannya, ia berdamai denganku. Meski begitu, bayang-bayang untuk pergi selalu menghantui pikiranku. Tv yang menyala selama setengah jam lebih ini tak juga membuat pikiranku jernih, menopang dagu, aku menatap tv, tapi pikiranku tidak disini. Sibuk memikirkan kemana tujuanku setelah semuanya benar-benar berakhir. Aku tidak ingin tinggal disini, berkumpul dengan orang-orang yang bahagia, sementara aku terluka sendirian. Tidak, tidak aku tidak ingin hatiku terus-terusan merasakan sakit. Pergi jauh bukan pilihan yang buruk untukku. Korea? Jepang? Italia? 3 Negara itu yang masih ku timbang-timbang untuk aku tinggal. Berada di Indonesia sama saja menambah lukaku semakin tebal dan takkan pernah sembuh. Dengan alasan studi lanjutan, aku bisa menutupi lukaku dihadapan Mbak Lisa nanti. Bekerja disana terasa lebih mudah dijalani nantinya, menyibukkan diri terus menerus akan membuatku cepat lupa akan luka. Ya, aku akan pergi kesana setelah semuanya berakhir. Benar-benar selesai. Lamunanku buyar ketika pintu utama terbuka. Mas Andrew datang dengan senyum mengembang, sungguh aku ingin duniaku terhenti disini, melihat senyumnya, lagi dan lagi aku jatuh cinta lebih dalam dengan sosoknya. "Hellina sudah tidur?" tanyanya meletakkan tas kantornya diatas meja. "Iya Mas, baru saja, kenyang habis makan juga mungkin" ucapku dengan senyum kecil. "Oke, kalau gitu aku mandi dulu, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu" ucapnya. Aku mengangguk, dia mengacak rambutku sebentar lalu berlalu ke kamarnya. Ku sentuh dadaku sebentar, detak ini, detak cepat dari jantungku, aku berdebar dengan sikapnya sekarang. Tuhan, hentikan momen ini sebentar saja, aku ingin bahagia sebentar, bersamanya. Setengah jam menunggunya selesai mandi, aku duduk diruang makan, karena jam makan sudah lewat 5 menit yang lalu, tapi ia belum juga keluar. Makanan yang ku letakkan sudah mulai dingin. Akhirnya, ia keluar dengan celana pendek serta kaus tipisnya. Berjalan lalu duduk dihadapanku. Entah kenapa, hari ini ia lebih banyak tersenyum, sebenarnya ada apa?. "Maaf, lama ya?" tanyanya padaku. Aku menggeleng, "Lebih baik makan dulu Mas, keburu dingin". Ia mengangguk, akupun mulai mengisi piringnya dengan nasi dan lauk-pauknya. Kami makan dalam diam, tidak ingin merusak momen berdua ini. ~ Kini, aku dan Mas Andrew berdiri di balkon belakang rumah, sibuk memandangi langit yang menampakkan banyak bintang bersinar indah malam ini. "Bagaimana perasaan kamu setelah kita berdamai?" tanyanya membuka suara setelah beberapa menit berdiri dalam keheningan dan kecanggungan. Aku menatapnya dengan tatapan bertanya. "Gimana rasanya setelah kita berdamai? Kemarin kamu bilang kamu sakit sekali ketika aku tatap dengan kebencian?". "Mmm.. Lebih baik dari sebelumnya" ucapku kembali menatap taburan bintang-bintang. Ternyata berdamai dengan kamu, dan menutup rapat-rapat perasaan cintaku lebih baik Mas. Aku lebih suka kamu yang hangat seperti ini. Aku tidak ingin egois, biarkan berhenti di momen ini pun aku bahagia. "Aku juga, aku rasa tidak seharusnya aku membencimu" ucapnya buka suara. Ku tatap wajahnya yang sedang sibuk mengamati langit dengan senyuman khasnya. "Kemarin aku pikir, kalau kamulah sumber penyebab kita dinikahkan secara paksa, ternyata aku salah besar, padahal kamu juga tidak menginginkan pernikahan ini, tapi melihat kamu berkorban, untuk keluarga ini.. Aku merasa kamu orang yang pantas diberikan predikat orang paling baik" ucapnya tersenyum menatap kearahku. Wajah teduh ini, aku ingin mengusapnya pelan. "Maaf untuk semua kesalahan ku yang pernah ku lakukan untuk menyakitimu. Tidak seharusnya aku melakukan itu" ucapnya, "Harus ku akui, kamu memang Ibu dari Hellina, meski bukan Ibu kandungnya, tapi kamu mau merawatnya selama dua bulan ini, terimakasih.. Terimakasih banyak". "Aku juga berterimakasih, aku belajar banyak arti dalam kehidupan, lewat musibah dikeluarga kita" ucapku. Tiba-tiba tanganku diraih oleh Mas Andrew, meski sedikit terkejut, ia meletakkan sesuatu diatas telapak tanganku. 2 Tiket pergi ke Belanda. Apa maksudnya semua ini?. "Ini, a, a, apa?" tanyaku. "Kita pergi kesana hanya berdua, hitung-hitung sebagai kencan damai" ucapnya tersenyum. Aku teharu, Tuhan, terimakasih untuk kebahagiaan hari ini, tidak ada salahnya aku lelah, tapi ada bahagia yang terselip, meski kebahagiaan ini sederhana, tapi aku benar-benar bahagia. Setidaknya kebahagiaan sebelum perpisahan menjemput. "Tenang, tidak akan terjadi apa-apa disana, Hellina bisa dititipkan sama Papa dan Mama, kita tidur di kamar yang berbeda, pergi keluar untuk berburu makanan atau berfoto, tidak lebih" ucapnya tersenyum mengacak rambutku. Aku tersenyum lagi dan lagi. Tidak bisa aku membalas semua kebaikannya kali ini. Aku berjanji disana aku akan mengatakan tentang perasaanku yang sebenarnya kepadanya, tidak bermaksud lebih, aku hanya ingin jujur, supaya tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Karena aku berjanji, setelah aku berkata jujur, aku mulai menjauhinya. Sebelum kelelahan datang kembali ke dalam hidupku, menyisakan luka terus menerus yang takkan mungkin sembuh dan terobati dalam beberapa hari saja. "Terimakasih" ucapku. Ia mengangguk, "Seminggu, kita habiskan kencan sebagai sepasang Kakak dan Adik ipar yang akrab". "Oke". ~ ~ Andrew POV Tersenyum untuknya beberapa kali dalam sehari di dua bulan pernikahan sementara ini membuat hatiku menghangat. Benar kata pepatah 'Cinta tak harus memiliki' sama seperti yang ku rasakan saat ini. Biarkanlah cerita tentang aku yang mencintainya selesai sampai disini, melepaskannya adalah jalan terbaik. Kebahagiaanku sekarang terletak pada Lisa dan Hellina, seiring waktu, mungkin aku bisa melupakannya. Setelah mendengar pemberitahuan dari dokter jam 5 sore tadi mengenai mulai membaiknya kondisi Lisa, aku girang bukan main, Tuhan mendengar do'a yang ku panjatkan. Dedikasi Nabila memang dianggap kecil bagi orang yang memandang sebelah mata, tapi bagiku, mengorbankan sebagian waktunya merawat Hellina serta aku, itu sebuah dedikasi yang patut diapresiasi. Mungkin berkeliling tempat di luar Indonesia akan menyenangkan, hitung-hitung berkencan seperti sepasang kekasih untuk yang terakhir kali. Itu tidak buruk bukan?. Seminggu, hanya satu minggu sebelum semuanya benar-benar selesai. ~ "Sudah siap?" tanyaku pada Nabila yang sibuk dalam kamarnya, memasukkan baju ke dalam koper miliknya. Ia menoleh, menatapku yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum "Sudah". "Oke, sekarang kamu istirahat, besok kita berangkat jam 9 pagi" ucapku. "Tapi aku belum siapin baju kamu Mas, yang selesai baru baju.." ucapannya segera ku sela. "Aku sudah siapin, gak usah khawatir" ucapku. Ia mengangguk kemudian berdiri. "Aku sudah telpon Ibu sama Mama, mereka bilang bersedia jaga Hellina seminggu ini gantian, gak usah khawatir soal Hellina" ucapku. "Syukurlah, kalau gak ada Mama aku gak bisa pergi, lebih baik dibatalkan saja. Jalan-jalan ke taman kota juga gak apa-apa" ucapnya. Aku menggeleng, "No, ini keinginan aku, jadi gak bisa batal. Sudah, sana kamu istirahat". "Aku gak bisa istirahat kalau kamu disini" ucapnya menunduk. "Hahaaa" aku tertawa, baru kali ini aku bisa tertawa lepas selama setahun belakangan, itu pun karena tingkah lucu Nabila. Melihatnya seperti ini aku semakin takut melepasnya. Tapi keputusanku sudah bulat, mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus berakhir, cepat atau lambat. "Yaudah, tidur tidur aja, aku gak ganggu kok" ucapku tersenyum jahil. "Tapi aku malah gak bisa tidur jadinya" ucapnya menatapku sedikit kesal. Ku acak rambutnya yang lembut ini, mungkin mengacak rambutnya adalah kebiasaanku selama 2 bulan ini, aku pasti akan merindukan momen-momen ini nanti. Karena sebentar lagi aku akan kembali berkumpul lengkap dengan kedua malaikatku, sebentar lagi, menunggu waktu itu akan tiba, tidak lama lagi. Mulai hari ini, semuanya akan selesai, dalam seminggu ini, mari ukir kenangan indah dalam pernikahan dua bulan ini. Nabila selamat, kamu bebas setelah ini, aku yang akan pastikan itu. Kebahagiaanmu akan datang menjemputmu. ~ "Hati-hati, sampai disana langsung kabarin kita" pesan Ibuku memegang pundakku. "Iya Bu, Andrew bakal kabarin" ucapku. "Sudah siap semuanya kan? Gak ada yang ketinggalan?" tanya Mama mertuaku. "Gak Ma, Nabila sudah cek 2 kali" ucap Nabila. "Kami masuk dulu Bu, Ma" ucapku menyalimi kedua tangan Ibu dan mertuaku. Nabila mengikuti setelah aku selesai mencium kedua tangan mereka. Setelah mendengar pemberitahuan dari pihak bandara bahwa pesawat tujuan Belanda akan berangkat, aku dan Nabila bergegas menggeret koper kami masing-masing. Setelah 12 jam perjalanan dari Bandara Halim Perdana Kusuma menuju Bandara Schiphol, kami pun tiba dan mendarat dengan selamat hingga keluar dari bandara. Melelahkan, tapi ku lihat Nabila menikmati perjalanan. Ia sibuk dengan jendela pesawat yang ada disampingnya, sesekali ia tersenyum. Beberapa jam ia juga tertidur dan bersandar dibahuku, ku usap puncak kepalanya, sebentar lagi, aku janji kamu akan terbebas Nabila. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. "Kita istirahat dulu ya" ucapku. Nabila mengangguk sekali. Sejujurnya, aku sudah membooking 2 kamar untuk kami berdua, jadi ketika sampai dihotel tersebut kami sudah disambut oleh orang kepercayaanku dan dua pegawai hotel. "Kamar anda sudah siap Sir" ucap Tommy, orang kepercayaanku di Belanda ini. "Ok, thanks" ucapku tersenyum. "Tolong bawakan kopernya" ucap Tommy menggunakan Bahasa Inggris. "Oke, Sir" ucap dua pegawai hotel segera mengambil alih koperku dan koper Nabila. "Ayo" ucapku menggenggam tangan Nabila. Sedikit tersentak, Nabila akhirnya menuruti langkahku mengikuti langkah dua pegawai hotel ini. ~ Nabila POV Untuk tiba ke Belanda memerlukan waktu 12 jam, dan diwaktu itu aku menikmati kedekatanku dengan Mas Andrew, aku tahu dia sesekali melirik ke arahku, dan tersenyum. Sungguh, menginjakan kaki ke Negeri Belanda belum pernah ada dalam catatanku. Tapi hari ini, aku tiba di Belanda. Sungguh, luar biasa pemandangan yang ada dihadapanku sekarang. Demi apapun akan aku habiskan waktu seminggu disini dengan sebaik-baiknya. Ditambah dengan berfoto sepuasnya akan lebih baik, untuk mengabadikan momen ini. Okura Amsterdam Hotel. Aku dan Mas Andrew sudah tiba di Hotel mewah yang akan kami tinggali selama satu minggu ke depan, ada 2 orang pegawai hotel, dan satu orang yang tidak ku kenal, tapi dikenali oleh Mas Andrew, aku tidak yakin dia keluarga dari Mas Andrew, karena setahuku, keluarganya semua berada di Indonesia, tidak ada yang di luar Negeri. Sibuk melamun, tanganku tiba-tiba digenggam oleh Mas Andrew, aku kaget bukan main. Tapi tangannya yang hangat ini, mampu membuat pipiku bersemu merah, sikapnya yang lembut seperti ini yang membuatku takut untuk berpisah darinya. Kami naik lift menuju lantai 23 melewati lorong ke kanan yang lantainya berbahan karpet super lembut bewarna merah maroon. Langkah kami berhenti didepan kamar nomer 23-0917A dan 23-0917B yang berhadapan. "Kamar anda nomer 23-0917A Nyonya Nabila" ucap lelaki yang tadi terlihat akrab dengan Mas Andrew. Aku mengangguk paham. "Dan anda nomer 23-0917B Sir Andrew" ucapnya lagi. Mas Andrew mengangguk lalu ia merogoh sakunya dan memberikan tip pada dua pegawai hotel tadi. Setelah mereka mengucap terimakasih, mereka berlalu sambil berpamitan sopan pada kami. "Kamu masuk duluan Nab" ucap Mas Andrew memberikanku kunci kamar. "Iya Mas" ucapku lalu menerima kunci tersebut. Ketika aku membuka kunci dan hendak menutup pintu kamar, aku mendengar suara Mas Andrew pelan. "Sudah siap kan list perjalan kemana saja?" tanya Mas Andrew. "Sudah Sir, ada 3 tempat yang akan anda dan Nyonya Nabila datangi, di hari terakhir saya akan tentukan lagi tempat yang lebih berkesan sebelum kepulangan anda dan Nyonya Nabila, agar bisa dikenang sekembalinya dari Belanda" ucap lelaki itu. "3 tempat apa saja itu?" tanya Mas Andrew. "Ada Desa Kinderdijk, Kanal Amsterdam, dan Peace Palace" ucap lelaki itu. "Oke, kalau begitu, saya akan hubungi anda lagi, saya ingin beristirahat dulu" ucap Mas Andrew. "Oke silahkan Sir, selamat beristirahat, saya kembali ke bawah dulu" ucapnya berpamitan. Akupun segera menutup pintu kamarku. ~ Pagi-pagi buta pintu kamarku sudah diketuk, segera aku beringsut menuju pintu dan membukanya, ku lihat seorang pegawai hotel wanita datang dan tersenyum ramah. "Permisi Nyonya, saya ditugaskan untuk membersihkan kamar dan mengantar sarapan pagi" ucapnya. "Oh, ya.." ucapku tersenyum speechless dengan fasilitas dan pelayanan yang diberikan oleh hotel ini. Aku yakin perlu biaya puluhan juta lebih untuk menyewa hotel ini. "Silahkan masuk" ucapku membuka pintu lebih lebar. Pegawai itu segera masuk dengan nampan berisi 2 potong sandwich dan s**u dalam gelas. Aku mengikuti langkahnya, ia dengan telaten mengganti seprai tadi malam dengan yang baru, aku berdecak kagum lebih dari sekali, dan itu semua karena hotel ini. "Sudah selesai Nyonya, kalau begitu saya permisi, jika ada yang diperlukan, anda bisa klik tombol call yang ada disamping pintu depan" ucapnya. "Oke, terimakasih banyak" ucapku. Ia membungkuk hormat. "Ah iya Nyonya, anda sudah ditunggu Sir Andrew di lobby hotel" ucapnya. Aku segera membulatkan mataku. Apa-apaan ini? Dia sudah bangun? Apa dia tidak lelah tidur hanya sebentar saja?. Aku segera meraih baju handuk ku, dan mulai membersihkan tubuhku. Setelah merapikan pakaian dan rambutku. Ku rias wajahku dengan sedikit polesan make up. Setelah dirasa siap, aku segera turun ke lantai bawah, ku lihat Mas Andrew sibuk dengan handphonenya. "Mas" sapaku. Mas Andrew segera menoleh, tersenyum lebar, ia berdiri. "Kenapa?" tanyaku mengernyit melihat ia yang mengacak rambutku. "Je bent vandaag mooi" ucapnya lalu berlalu menuju keluar hotel. "Barusan dia ngomong bahasa Belanda apa artinya?" ucapku berbicara sendiri. Segera aku berlari mengikuti langkah Mas Andrew. "Mas, itu tadi artinya apa?" tanyaku mengguncang-guncang lengan kirinya. Langkahku dan Mas Andrew terhenti karena didepan kami sudah ada mobil Mercedes Benz S Class Limousin aku tercengang, kemudian seorang lelaki yang kemarin berbicara dengan Mas Andrew keluar dari kursi kemudi dan menghampiri kami berdua. "Sir, dan Nyonya, silahkan masuk. Hari ini kita akan menuju desa Kinderdijk" ucap lelaki itu membukakan pintu untuk aku dan Mas Andrew. Mas Andrew mempersilahkan aku masuk duluan kedalam mobil, setelah aku masuk barulah dia masuk dan menutup pintu. Lelaki itu kembali masuk ke kursi kemudi, dan menstarter mobilnya. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, kamipun tiba di Desa kinderdijk yang disebut oleh lelaki itu, ada ratusan kincir angin, dan pemandangan yang luar biasa dihadapanku, kami dipersilahkan untuk turun dari mobil. Memandang keindahan dihadapanku ini memang sungguh luar biasa, aku begitu sibuk menghayati semua yang ada disini, bunga, rumput-rumput hijau, tanpa sadar aku menepi ke dekat sungai yang jaraknya hanya 15 meteran dari kincir. Segera aku mengambil handphoneku dan menangkap sebuah foto kincir didepanku. ~ Andrew POV "Mas" sapa seseorang yang ku yakin Nabila. Aku yang sibuk mentranslate Bahasa Indonesia ke Belanda segera menoleh. Sejujurnya, aku bisa sedikit-sedikit berbicara dalam Bahasa Belanda, ancang-ancang jika nanti aku akan menambah perusahaan di Negara ini, tidak mungkin kan jika aku hanya handal dalam berbahasa Inggris?. Tersenyum, akupun berdiri, mengacak rambutnya lembut. "Kenapa?" tanyanya mengernyit. "Je bent vandaag mooi" ucapku berlalu menuju keluar hotel. Kamu cantik hari ini. Entah, kata-kata yang keluar di translate tadi segera ku ucapkan. Aku iseng mencari bahasa Belanda 'cantik' dan yang keluar dan melekat diingatanku adalah kalimat itu. Memang benar, ia cantik dan selamanya akan begitu. "Mas, itu tadi artinya apa?" tanyanya mengguncang-guncang lengan kiriku. Langkahku dan Nabila terhenti karena didepan kami sudah ada mobil Mercedes Benz S Class Limousin aku sengaja memesan mobil ini untuk perjalanan kami selama seminggu disini, ditemani Tommy, orang kepercayaanku. Tommy keluar dari mobil dan segera menghampiri kami. "Sir, dan Nyonya, silahkan masuk. Hari ini kita akan menuju desa Kinderdijk" ucap Tommy ia membukakan pintu untuk aku dan Nabila. Ku persilahkan Nabila masuk duluan kedalam mobil, setelah itu barulah aku masuk barulah masuk dan menutup pintu. Tommy kembali masuk ke kursi kemudi, dan menstarter mobilnya. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, kamipun tiba di Desa kinderdijk kami dipersilahkan untuk turun dari mobil. Jujur, ini juga baru pertama kalinya aku menginjakkan kakiku ke Belanda, dan Negara ini benar-benar indah. Ku lihat Nabila segera mendekat ke sungai, memandang kincir besar dihadapannya yang berjarak hanya 15 meteran. Ku lihat ia mengambil handphone dalam tasnya dan menangkap sebuah foto kincir tersebut. Tersenyum, ku keluarkan kamera dslr yang ku bawa dalam tasku dan mempotret adegan dihadapanku. Hij, degene die ik van hou Dia, orang yang aku cintai ~ Kami mulai berjalan ke barat, didepan kami kincir ini sedikit besar dari kincir yang sebelumnya, kami berdiri di atas jembatan. "Nabila" panggilku. Ia berbalik. Menatapku sambil tersenyum, matanya menyipit karena cahaya matahari yang mulai naik. "Smile" ucapku tersenyum mengarahkan kamera untuk mengambil gambarnya lagi. Iya mengangguk lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke pipi. Cekrik! "Aku boleh lihat?" tanyanya mendekat ke arahku. "Boleh" ucapku menyodorkan kamera itu kehadapannya.  "Wah.. Keren banget Mas, kamu jago ambil angle" ucapnya. "Gak juga, itu modelnya aja yang jadi nilai plus" ucapku terkekeh pelan. Ku lihat wajahnya tersipu. "Mau makan ice cream?" tawarku padanya. Ia mengangguk. "Ayo" ucapku mengulurkan tangan. Ia mengerutkan kening, tersenyum, ia menyambut uluran tanganku. Berjalan beriringan dengannya membuat hatiku menghangat. Bagaimana bisa aku membuatnya terluka? Aku hanya membohongi diriku sendiri jika ketika aku melukainya, aku tidak terluka, perasaanku juga. Sakit, melihat orang yang aku cintai terluka karena ulahku sendiri. Tidak, aku tidak akan lagi melukainya, seminggu ini, aku akan mengukir kenangan manis bersamanya. Lalu melepaskannya dengan lapang d**a. Merelakannya bahagia bersama orang lain akan lebih baik. Sebentar lagi Nabila, hanya sebentar lagi, setelahnya kamu akan bebas. Aku dan Nabila menghampiri Tommy yang sibuk dengan ponselnya, bersandar di mobil. "Sudah selesai Sir?" tanyanya. "Sudah, tolong antarkan kami ke kedai es krim yang enak di daerah sini" ucapku. "Baiklah Sir, mari masuk" ucap Tommy segera membuka pintu belakang kemudi. Aku dan Nabila segera masuk dan duduk berdampingan, dengan tangan yang masih tertaut. Sesampai ditempat tujuan, aku dan Nabila segera turun dan masuk ke kedai es krim tersebut. Masuk ke dalamnya kami disuguhi pemandangan yang menyejukkan, bangunannya terlihat sederhana dengan perabotan kayu dan semuanya terlihat rapi dan bersih. Ku pegang lengan Nabila, dan membawanya duduk disudut ruangan. Ku panggil pelayan untuk menghampiri kami. "Selamat siang Tuan dan Nyonya, selamat datang, mau pesan apa?" tanya pelayan lelaki ramah menyodorkan menu ice cream ke hadapan kami. "Kamu apa?" tanyaku pada Nabila. Ia terlihat sibuk membaca menu. "Saya pesan Es Cream Vanilla saja" ucapku, "Nabila, kamu pesan rasa apa?". Nabila masih sibuk menatap menunya. "Nabila, Nab" panggilku sedikit menyentuh tangannya. Ia sedikit terkejut lalu menarik tangannya dariku. Aku merasa tidak enak sekarang, aku kelewatan, ya aku seenaknya menyentuh tubuhnya hari ini. "Maaf" ucapku. Ia mengangguk, tersenyum kaku, "Saya pesan rasa Strawberry, chocolate, dan alpukat, es krim 3 rasa saja" ucapnya. Pelayan itu mengangguk, lalu pamit menuju pantry. Ku lihat Nabila sedikit gelisah, entah apa yang sedang di pikirkannya. "Nabila" panggilku. Ia menatapku sendu, mata itu terlihat terluka. "Maaf jika tadi aku membuat kamu gak nyaman" ucapku. "Gak apa-apa Mas" ucapnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya. "Nabila, apa aku menyakitimu lagi?" tanyaku. Nabila mengernyit, menggeleng. "Kamu gak nyakitin aku Mas, tiba-tiba perut aku sakit" ucapnya. Matanya berbicara, ia berbohong. "Apa.. Kita pulang saja?" tanyaku. Ia menggeleng kemudian tersenyum, "Kita sudah pesan es krim, kenapa harus pulang?". "Aku, aku merasa tidak nyaman" ucapku. Obrolan kamipun terhenti, karena pelayan tadi sudah datang dengan nampan berisi pesanan kami, setelah meletakkan makanan, ia pamit undur diri dari hadapan kami. "Nabila, kita punya 3 tempat tujuan" ucapku. Ia mengangguk. "Tempat pertama Desa Kinderdijk, kedua Kanal Amsterdam, dan ketiga Peace Palace, sisa 4 harinya, kamu bebas pergi kemanapun, aku aka". ~ Nabila POV Entah, sudah beberapa kali ia menyentuhku, aku merasa.. Tidak nyaman. Bukan, bukan karena aku menolaknya, aku suka ia memperlakukanku dengan baik, memprioritaskan aku, seperti wanitanya. Tapi, bukankah dia bilang tidak akan terjadi apa-apa di sini? Memang aku istrinya, ia berhak atas seluruh diriku, tapi jika ia melakukan yang tidak-tidak sementara dia akan meninggalkan aku setelahnya. Bagaimana bisa? Hatiku sakit jika aku diperlakukan seperti itu. "Bagaimana jika ditempat terakhir kita saling melepaskan semua unek-unek kita selama ini, apapun itu, tentang kisah kita selama beberapa bulan ini, semacam pengakuan. Kamu.." ucap Mas Andrew terhenti, membuyarkan lamunanku. "Kamu setuju kan?" Sangat setuju, karena nanti aku ingin mengatakan : "Aku mencintaimu, sangat. Bisakah kamu biarkan aku disisimu?". "Ya, aku setuju..". ~BERSAMBUNG~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD