Bab 19. Bisakah Mengulang?

1061 Words
Happy reading.. Typo koreksi… ---- “Mbak Bi.” Tubuh Bianca Almora tersentak kaget mendengar panggilan seseorang kepadanya, kepala wanita itu mendongak dan mengerjap saat Putri rupanya baru saja memanggilnya dan kini gadis itu tengah menatapnya dengan sorot mata bingung bersama dengan Doni duduk di sebelah gadis itu. Astaga. Gumamnya meringis malu. Bianca menggaruk pipinya kikuk, rupanya mereka bertiga sedang makan siang bersama di taman belakang toko ini. “Wah … Mbak Bi ngelamunin apa. Hehehe pasti mikirin mas dokter ya Mbak. Ya ampun so sweet banget. Mbak Bi beneran nggak ada niat pacaran sama mas dokter?” Kepo Putri heboh. Blush. Kedua pipinya bersemu, antara malu dan juga syok mendengar ucapan Putri kepadanya. Wanita berparas cantik itu berdehem pelan menetralkan wajahnya yang terasa sangat memanas setiap ada yang membahas Darren kepadanya. “Ekhm, Putri, Mbak sama mas Darren, hubungan kami hanya sebatas dekat saja tidak ada hubungan yang menjerumus kesana.” Jelasnya yang justru terdengar ragu. “Mbak Bi beneran sedikitpun nggak ada perasaan sama mas dokter. Soalnya kalau Putri lihat mas dokter kayanya suka sama Mbak Bi?” Deg. Dada Bianca berdesir hangat. Benarkah. Wanita beranak satu itu terdiam sejenak di tempatnya terududuk, pikiran dan hatinya berperang mendengar pertanyaan Putri yang menurutnya  “Ssstt, Put kamu apa-apaan sih,” tegur Doni berbisik menyenggol lengan dibalas raut meringis partner kerjanya tersebut. “Maaf Mbak Bi, maaf kalau Putri salah bicara,” sesalnya merunduk bersalah tidak enak. Bianca menoleh cepat, melihat perubahan raut wajah Putri pegawainya kearahnya membuat wanita itu endesah dalam hati. “Tidak apa-apa Putri. Kenapa kamu minta maaf sama Mbak.” Putri masih merunduk dalam tidak berani menatap atasan tempat dirinya bekerja tersebut, Bianca mengulas senyum tipis menggenggam tangan Putri dengan raut tenang seperti biasa. “Jangan minta maaf Putri, sudah, Mbak beneran tidak merasa tersinggung,” ujarnya. Bianca tidak marah, ia hanya merasa bingung dengan hatinya. Apa perasaannya yang sekarang untuk Darren tidak akan membuat hubungan baik mereka menjadi berantakan di tambah Darren sendiri yang memintanya tidak menghiraukan ucapan Andini ibu lelaki itu. “Sudah sekarang kita makan dulu ya, kalian pasti sudah lapar.” Seru Bianca memutuskan pembahasan tentang hal ini lagi. Ketiganya pun akhirnya kembali melanjutkan makan mereka yang tertunda. Bianca mencoba tidak memikirkan ucapan Putri tentang Darren yang menyukainya. Dalam hati Bianca dengan buru-buru menepis perasaan melambung tingginya tentang hal tersebut. Please, Bi jangan berpikir yang tidak-tidak. Batinnya. ___ Berbanding terbalik dengan kondisi Bianca, Zaviar akhirnya pulang ke apartementnya dengan raut lesu melempar jas yang sejak tadi di pegangnya kelantai asal setengah membanting, tak lupa sebuket bunga baby breath pun ikut terkena imbasnya, Zavi melemparnya asal di atas meja sebelum akhirnya ia mendaratkan bokongnya ke sofa. Lelaki itu meraup wajahnya kasar dan bergumam dengan amarah yang tertahan sejak tadi. “Sial,” umpatnya. Flashback on. Tring. Lonceng pintu menyambutnya saat itu, langkah kakinya seketika berhenti tepat ketika dirinya baru saja memasuki toko bunga Shining Star tersebut. Tangannya tanpa sadar mengepal saat melihat pemandangan yang membuatnya marah dan cemburu di dalam hatinya berkobar. Di depannya di jarak yang kurang dari satu meter, di sana ia melihat lagi Bianca sedang bersama laki-laki yang sudah dua kali di lihatnya tersebut, bahkan saat ini diantara mereka ada anak kecil perempuan yang masih Zavi ingin cari tahu siapa anak itu sebenarnya. Menahan diri untuk tidak mengumpat, karena ketiganya terlihat sangat akrab, seperti keluarga bahagia saja. Sial, apa dia suami kamu Bi. Geramnya dalam hati dengan rasa cemburu yang besar. Bahkan entah mengapa, hati Zavi kesal melihat raut berbinar senang sosok anak kecil itu kepada pria yang belum Zavi ketehui namanya tersebut. Raut Zavi berubah datar kala tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan kekasih hatinya itu sekilas. Buru-buru Zavi mengalihkan pandangannya ketika seorang pegawai toko ini menyapanya. Semangat Zavi langsung lenyap, bahkan perasaan rindu Zaviar mendadak sirna berganti dengan rasa cemburu yang membara membakar hatinya. Lelaki itu tidak menoleh ataupun mendatangi Bianca sampai buket pesanannya selesai di rangkai oleh pegawai tadi. Meski tidak memungkiri, Zavi pun merasa penasaran dengan apa yang tengah di bicarakan Bianca kepada lelaki berperawakan tinggi itu di tempat keduanya berdiri. Memilih diam Zavi hanya berdiri di posisinya saja dengan kedua tangan berada di dalam saku celananya. “Ini bunganya Mas,” seru pegawai perempuan tadi menyerahkan buket bunga baby breath kepadanya, Zavi menerimanya. Mau tidak mau kaki Zavi melangkah mendekat kearah dimana Bianca berada bersama anak kecil dan pria itu, memandang Bianca dengan raut yang sulit di jelaskan Zavi pun hanya ingin cepat-cepat keluar dari dalam sana.  “Berapa?” entah mengapa Zavi justru bertanya dengan nada yang sangat datar dan dingin kepada Bianca, lelaki itu bisa melihat dengan jelas raut bingung Bianca beberapa detik saja sebelum wanita itu menjawab pertayaannya dengan sangat pelan terkesan kaku. “250.000 Mas,” jawab Bianca kala itu. Zavi segera mengeluarkan selembaran uangnya dari dalam dompet untuk membayar buket bunga yang di belinya, usai menerima kembaliannya lelaki itu bergegas keluar tanpa banyak kata-kata lagi dari toko dengan perasaan campur aduk, Zavi memilih menghindar daripada dirinya lepas kontrol menghajar pria yang berdiri diantara mereka tadi. Sial. Umpatnya setelah menjauh. Flashback off. Huh. Zavi menghembuskan napasnya kasar, wajahnya masih merah terlihat jelas jika lelaki itu berusaha menahan emosinya. Tangan kanan Zavi merogoh saku celananya mengambil ponsel miliknya lalu membuka aplikasi kontak dan menscroll nama-nama di sana mencari seseorang. Setelah dapat Zavi pun segera mendial layar 'call', nada sambung terhubung sampai di hitungan sepuluh detik teleponnya di angkat dari seberang sana. "Hallo, bisa kita bertemu besok. Iya ... saya butuh bantuan anda secepatnya ... baik ... oke, oke ... saya akan kesana besok, terima kasih." Tut. Percakapan singkat Zavi dan orang itupun terputus. Zavi menyandarkan kepalanya kesandaran sofa, melihat langit-langit ruangan apartementnya dengan tatapan kosong. Bi, aku merindukanmu. Aku ingin memelukmu. Lirihnya miris. Sedih, sakit, marah, Zavi tidak ingin merasakan perasaan itu lagi, jika ia tidak bisa mengontrol diri Zavi yakin dirinya akan kembali terpuruk seperti 10 tahun lalu, Zavi tidak ingin nyaris berakhir di rumah sakit jiwa seperti dulu. Zavi melihat layar ponselnya, lock screen yang menampilkan photo dirinya dan Bianca ketika 10 tahun lalu terpampang, photo dimana dirinya dan Bianca merayakan satu tahun hari jadian mereka di taman rekreasi Dufan. Photo kebahagian yang tidak pernah Zavi lupakan, sampai saat ini. Photo dimana rasa cinta mereka masih menggebu, berbagai angan, harapan dan cita-cita mereka buat di tahun itu. Bi bisakah kita mengulang semua lagi. Batinnya sendu. _____ Bersambung....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD