Bab 18. Mengapa Hatiku Sedih?

1036 Words
Happy reading.. Typo koreksi. _____ Tiga hari berlalu, Zavi dan Deka baru saja pulang dari Bandung usai bertemu klien membahas pembangunan hotel baru mereka. Kini keduanya sedang berjalan beriringan menuju ruangan kantor mereka yang berada di lantai empat. Deka terlihat sibuk membuka layar ponsel lelaki itu, sesekali menyapa beberapa karyawan perempuan dan laki-laki yang menyapanya. "Berarti kita cuma perlu ngurus bagian pembelian tanah itu aja kan, soalnya yang gue dengar pemilik tanah sedikit mempermasalahkan niat kita." Deka berujar ketika mereka sudah sampai di lift berdua. Zavi mengangguk, membalas. "Kita bisa gunain penawaran yang jauh lebih baik dari para agen lainnya ke orang itu. Lagipula gue yakin mereka mau menjual tanahnya kalau menurut mereka penawaran kita jauh lebih  menguntungkan. Lakuin cara seperti biasa saja, kalau mereka masih nggak mau menjual kita bisa pakai syarat bagi hasil 20% ke mereka pasti mengerti kalau syarat jual-beli yang kita ajuin nggak akan merugikan mereka sama sekali." "Oke. Lusa gue datang kesana lagi sama pak Indra." "Hmm, minta pak Indra jangan terlalu memaksa mereka, kalau mereka tetap nggak mau menjual kita bisa tawarin syarat jual lainnya. Gue mau kita bisa dapat tanah itu." "Oke." Deka membalas mengerti. "Zav habis ini elo kemana? Nggak pulang ke apartement dulu. Gue rasa elo perlu istirahat dulu Zav." Deka masih mengikuti langkah panjang Zavi dan kini mereka sudah berada di dalam ruangan CEO milik Zaviar Alstair. "Gue mau ke toko Bianca dulu." "Ah, iya gue lupa." Gumam Deka saat hampir saja melupakan wanita yang amat berarti bagi Zavi sahabatnya. "Padahal kita bisa beli oleh-oleh kalau aja Bianca ingat sama elo ya Zav." Hening. Suasana ruangan kantor itu mendadak berubah suram, Deka menabok bibirnya. Sial gue salah ngomong lagi. Umpatnya. "Sorry, Bro gue nggak bermaksud--" "It's oke, Ka. Gue keluar dulu, titip kantor bentar. Kalau dokumen yang di kirim pak Yudha sudah selesai elo periksa letak aja di atas meja gue." "Ah, oke," sahut Deka kikuk. Lelaki berkacamata itu menatap punggung lebar Zavi yang mulai menjauh keluar ruangan dan menghilang di balik pintu. Helaan napas keluar dari mulut Deka sebelum ikut keluar dan berjalan kearah ruangan sebelahnya. Di tempat lain, waktu yang sama. Bianca terlihat sedang bersama Bulan putrinya. Anak perempuan itu duduk di kursi kasir sedangkan Bianca berdiri di sebelahnya sedang memilah bunga yang sedikit layu. "Bunda," panggil Bulan kepada ibunya. Bianca menoleh dan merunduk, melihat putrinya sedang menggambar di buku gambar ukuran A4. "Iya, Nak," balasnya. "Bun, ini bagusnya warna apa?" Tunjuk anak itu kepada salah satu gambar bunga yang di lukisnya. "Hmmm, Ulan sendiri memangnya mau pakai warna apa?" "Biru muda, Bunda." "Gimana kalau warna merah maroon ini saja." Bulan terlihat menatap warna yang di pegang ibunya dan gambar di kertas di hadapannya bergantian. Sebelum akhirnya mengangguk semangat. "Oke Bunda." Bianca tersenyum lebar tangannya yang terbalut sarung tangan terulur menepuk pucuk kepalanya putrinya. "Bunda, om bilang, pekan depan katanya mau ajak Ulan sama Bunda jalan-jalan, oh iya pula sama kak Bagas juga." Bulan kembali bercerita mengenai rencana Darren yang ingin mengajak keduanya jalan-jalan. "Bunda ikut juga?" "Tentu saja, Bi." Seru suara lain. Mata Bianca melotot lebar, entah sejak kapan Darren tiba-tiba sudah ada di depan matanya. Lelaki itu terlihat memakai pakaian yang kemarin di lihatnya. "Mas Darren." "Om!" Bulan memekik, berdiri dari kursinya berlari menuju Darren dan memeluk lelaki tampan itu. Darren terkekeh senang, balas memeluk Bulan erat. "Om, sama kak Bagas kesininya." "Tidak Sayang. Kak Bagas ada di rumah." Bibir Bulan menekuk kebawah. Bianca menggeleng melihat tingkah putrinya, lalu tatapannya beralih kearah Darren yang tampak berusaha menghibur putri semata wayangnya tersebut. "Ulan mau ke rumah Om, nanti kita kesana bareng ya," ucap lelaki tampan itu di balas anggukan kepala semangat oleh Bulan. "Mas kesini ada apa?" "Oh iya aku lupa, ini ada titipan dari mama." Bianca melihat kearah paper bag yang ternyata sejak tadi di pegang oleh Darren. Tangannya terulur menerima paper bag tersebut, mengintip isinya lalu tersenyum haru. "Sampaikan rasa terima kasih aku ke mama ya Mas." Darren mengangguk, mengalihkan tatapannya kearah Bulan yang sudah kembali ke kursinya. Memegang pinggiran meja dengan kedua tangannya untuk melihat dengan jelas apa yang sedang di kerjakan oleh anak manis tersebut. "Wah, Ulan pintar ya. Boleh gambarnya buat Om." Celetuk Darren yang takjub dengan gambar anak berusia 9 tahunan itu. "Tapi ini gambarnya buat Bunda, Om." Sahut bocah itu polos. Bianca terkekeh, sedangkan Darren tergelak lalu tertawa kecil mengacak pucuk kepala Bulan gemas. Tring. Lonceng toko berbunyi, Bianca menoleh sedikit terkejut melihat kedatangan pelanggan tokonya yang beberapa hari lalu nyaris membuat Bianca salah paham karena bunga baby breath yang di belinya. "Selamat datang!" Putri salah satu pegawainya menyambut kedatangan lelaki memakai kemeja maroon yang di lengannya di gulung hingga siku tersebut ramah. Bianca masih menatap lurus kearah sosok Zaviar Alstair yang baru memasuki tokonya. Wajah lelaki itu terlihat seperti kurang tidur, matanya sedikit sayu namun yang membuat Bianca tertegun binar tatapan Zavi terlihat tidak suka kearah Darren yang sedang mengobrol dengan putrinya. "Apa bunga baby breath masih ada?" Ah, apa lelaki itu sangat menyukai bunga tersebut. Mengapa ia selalu membeli itu. Pikir Bianca di tempatnya. Darren yang tersadar kalau Bianca sedang terdiam saja dan seperti tengah memperhatikan sesuatu, duda beranak satu itu pun akhirnya mengikuti arah pandangan Bianca. Matanya memicing saat melihat sosok Zavi. "Kamu kenal dia Bi?" Tersentak, Bianca mengerjap dan menoleh. "Ah! Maaf Mas, Mas tadi tanya apa?" "Apa lelaki itu pelanggan baru di sini?" "Oh, mas Zaviar maksud Mas Darren," ujar Bianca menyebutkan nama Zavi kepada lelaki di depannya. Alis Darren terangkat sebelah, lalu mengangguk mengerti. "Kamu kenal dia berarti," gumamnya masih bisa di dengar oleh Bianca. Gelagapan, Bianca pun buru-buru menjelaskan. "Kami nggak ada hubungan apa-apa Mas. Lagi ... lagi pula dia datang kesini karena mau membeli bunga bukan yang lain." Benarkah. Dalam hati Darren sedikit meragukan ketika memperhatikan sosok Zaviar Alstair tersebut. Darren dan Bianca pun memutus obrolan mereka saat Zavi sudah melangkah menuju kearah keduanya. "Berapa?" Tanya Zavi bernada datar dan dingin, Bianca terlihat terkesiap bingung dan sedih secara bersamaan saat mendengar nada bicara Zavi kepadanya. Bahkan binar Zavi terasa asing bagi Bianca, padahal hubungan mereka pun hanya sebatas penjual dan pembeli saja namun hati Bianca entah mengapa tidak menginginkan tatapan Zaviar yang seperti itu. Ada apa denganku, kenapa aku jadi sedih begini. Batin Bianca kebingungan. _____ Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD