3. Pertemuan dengan para protagonis

2867 Words
Elisa memasuki kelas. Ia menyapa dengan ekstra semangat pagi. “Selamat pagi!” Giginya yang rapi terlihat, bibirnya terbuka karena senyum nya yang lebar. Fokus semua penghuni kelas langsung tertuju padanya. Namun, keadaan berubah dalam sekejap. Hening. Mereka semua diam, memperhatikan Elisa dari atas hingga bawah lalu kembali lagi ke atas menatap Elisa yang sedang tersenyum manis. Kompak mereka saling tatap. Dia kenapa? Berusaha acuh dan kembali pada aktivitas masing-masing, mereka memilih mengabaikan keanehan Elisa sepenuhnya. Sedangkan Elisa, terbengong di tempatnya. Ia bingung, sangat bingung. Kenapa tidak ada yang membalas sapaannya? Padahal ia sudah tersenyum. Apa senyumnya kurang lebar ya? Baiklah, jika begitu nanti akan ia lebar kan lagi senyum nya ketika menyapa. Apalagi dengan status nya sebagai pembully dan murid terpintar di kelas XI IPA 2 ini. Ia harus berkelakuan sedikit baik kan? Setidaknya, mereka adalah teman sekelasnya. Ia akan memerlukan bantuan mereka nanti karena.... Merubah hidup seorang antagonis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melangkah menuju kursinya yang berada di pojok bagian kiri, di sana sudah ada tiga cewek yang duduk di bangku masing-masing, salah satunya di samping tempat duduk Elisa. Mereka adalah, Trio sengklek yang alias kacungnya si Antagonis. “Selamat pagi!” Sapa Elisa. “Pagi.” Sahut mereka cuek. Lalu kompak berdiri menatap Elisa dengan mata melotot. “Lis,” Menurut ciri-ciri, itu Shami. “Ya?” Elisa balas menatap Shami bertanya. Shami menatap kedua cewek lainnya lalu dengan kompak mereka menilai penampilan Elisa dari atas hingga bawah. Berbeda dan jelas berubah! “Gak berangkat sehari lo mendadak aneh.” Nada ketusnya terdengar seperti ciri-ciri, Kayla. “Lo, nggak pake makeup?” Cewek agak lebih kalem, jelas pasti Lily. Shami malah heboh. “ Oh Gosh! Kemana rambut lurus yang selalu lo catok itu? Kenapa malah berubah jadi keriting kayak gini?” Cewek itu menjerit, semakin heboh melihat baju yang Elisa kenakan. “Kenapa baju lo amburadul? Kemana baju berfashion yang biasa lo pakek? Kemana hah?” Lily ikutan heboh setelah meneliti penampilan Elisa dengan jeli. “Itu Rok lo, kenapa jadi kayak sarung gitu? Mana rok yang udah gue modif? Kenapa lo nggak pakek, Hah? Kenapa lo berpenampilan jelek gini Elisa? Kenapa?” tanyanya menuntut jawaban. Sebelum Kayla ikutan ngomong, Elisa menyela. “Emang nya, kenapa?” Ia balik bertanya. “Lo tanya kenapa?” Shami memegang kedua pundak Elisa. Seperti syok. Elisa menatapnya santai. Membuat Kayla angkat bicara. “Style lo aneh. Nggak biasa.” “Kalo gitu, mulai sekarang kalian harus terbiasa. Karena kedepannya, ini adalah style gue.” “Lo kok mendadak berubah gini sih? Lo kenapa? Ada apa? Ada masalah apa? Atau, ada yang ngancem lo supaya lo berubah ya? Iya? Jawab Lis. Jawab!” Shami mengguncang kedua pundak Elisa kuat. Elisa segera menepis tangan Shami. “Gue nggak pa-pa. Cuma pengen ganti style aja." Mendengar itu, ketiganya hanya saling menatap. Beberapa detik setelahnya kembali duduk di kursi masing-masing. “Aneh sih, tapi, ya udahlah.” Kata ketiganya sembari menatap Elisa agak acuh. “Ya udah.” Balas Elisa tak kalah acuh. Ia duduk di kursinya dengan tenang. Di sampingnya ada Lily, sedangkan di bangku depannya ada Kayla di bagian kanan dan Shami di bagian kiri. “Eh Lis, lo bawa parfum yang gue pengen nggak?” Lily bertanya setelah lama diam. Elisa mengedipkan mata. Nampak bingung mendengar itu. Jelas, ia baru menjadi Elisa pagi tadi sekali, lalu di beri pertanyaan seperti itu jelas tidak tahu lah. Tapi, karena sekelebat ingatan melintas di kepalanya ia menjadi tahu dan juga ingat. Tidak ada pertemanan tulus di antara mereka. Hanya berteman jika bermanfaat dan hanya berteman jika bisa di manfaatkan. Di sisinya, Lily, namanya lengkapnya Emelly Scarlett. Dia cenderung pendiam dan tertutup. Tapi sangat baik dalam mengompori orang. Sedangkan di sisi kirinya, ada Shamira Laurent atau kerap di sapa Shami. Gadis heboh yang menyandang gelar sebagai Kaisar Maha tau SMA Garuda. Dia informan terakurat yang Elisa miliki. Lain itu, sosok di hadapannya yang paling acuh. Dia Kayla Caroline, memiliki wajah sangar dan sikap nya yang ketus membuatnya di kenal sebagai gadis galak bermulut pedas. Sosok Kayla adalah pendukung penting dalam pembullyan yang sering Elisa lakukan. Tidak ada pertemanan real atau benar-benar murni dan tulus dari hati. Ketiganya memiliki maksud masing-masing dekat dengan Elisa. Lily, dia mendekati Elisa karena cewek antagonis itu berasal dari keluarga kaya raya dan terpandang. Shami, dia hanya ingin mendapatkan akses bebas dengan nama Elisa yang mensponsorinya dalam hal apapun. Apalagi backingan nya adalah Harrison, keluarga kaya raya, terpandang dan terkenal di seluruh penjuru. Kayla sendiri, memanfaatkan cewek antagonis itu sebagai alat pengisi nilainya saat ujian karena Elisa sendiri adalah murid yang pintar. Benar-benar pemanfaatan yang baik! Elisa yang asli mengetahuinya. Namun membiarkan. Baginya, yang terpenting dirinya mendapatkan rekan saat membully dan pendamping di sisinya, itu sudah cukup. Toh, dirinya juga tidak akan jatuh miskin karena diporoti. Namun, itu semua lain lagi urusannya dengan sekarang. Kenapa? Tentu saja karena Elvira yang menjadi Elisa tentunya tidak akan membiarkan. Liat aja, ke depannya pandangan kalian akan berubah. Pertemanan fake ini, akan menjadi tulus. Karena apa? Jelas, karena gue akan merubahnya. Batinnya menyeringai. “Woi!” Lily melambaikan tangan di depan wajah Elisa. “Gimana, lo bawa nggak Lis?” Ia tidak tau. Tapi insting nya menyuruh untuk membuka tas. Dan bagai keajaiban, sudah ada kotak parfum di sana. “Ini kan?” Lily menatap dengan binar. Merampas dari Elisa ia berkata dengan girang. “Makasih Lisaa, Lo emang sahabat terbaik gue.” Ujar Lily lalu kembali menatap parfum yang di berikan Lisa. Elisa mengangguk saja. Batinnya berdecak dengan pertemanan toxic ini. Sampai tiba-tiba, dia hampir terjungkal karena mejanya di gebrak. “OH MY GOD! OH MY GOD! GUE BARU INGET!” Shami berseru setelah menggebrak meja. Nampak lebih heboh dari pada tadi dengan ponsel di tangannya. Cewek itu menghadap Elisa sepenuhnya. “Lis, Lis, Lis, Lissss! Tau nggak?” Jelas, Elisa menggeleng. Tidak tau lah dia, kan Shami belum ngomong. “Tau apa?” itu responnya atas pertanyaan tidak berbobot Shami. Shami menjelaskan dengan heboh. “Kemarin, gue kan jalan-jalan di mall. Dan lo tau? Gue nggak sengaja liat Cellin. Si pepacor itu lagi jalan bareng Morgan. Mereka kencan Lis, KENCAAAAN!” Kalau Elisa, sudah jelas bakal koar-koar karena emosi. Tapi ini kan Elvira, yaudah kalem aja. “Lo mau gimana? Mau kita labrak sekarang? Atau ntar istirahat? Tenang aja Lis kita bakal bantuin lo kok.” Kayla ikut nimbrung. Mengatakan nya dengan menggebu-gebu membuat Elisa menatap nya sedikit lama. Punya dendam kesumat apa ni bocah, sama si Cellin? “Jadi Lis, lo mau gimana?” Lily yang tadinya sibuk dengan parfum baru itu juga ikut nimbrung. Semangat jika berhubungan dengan hal-hal membully Cellin. Mereka kan, pembenci cewek menye. Haters garis keras. Tapi... Dirinya kan bukan Elisa. Jadi tidak ada salahnya kan jika... “Biarin.” ... Mengabaikannya. “Lha, kok gitu sih Lis?” Shami terlihat tak terima, dia menatap Elisa protes setelah pulih dari syok nya. “Ya terus, gue harus gimana?” Elisa bertanya dengan nada tak peduli membuat ketiga orang itu mengernyit bingung. “Seharusnya, lo labrak kek, atau bully si Cellin. Inget Lis, Morgan itu punya lo, cowok lo, calon tunangan lo, masa lo biarin si Cellin deket sama Morgan gitu aja sih?” Lily memprovokasi tapi sayangnya Elisa tak peduli. Morgan punya gue? Punya dirinya sendiri kali. Elisa menatap mereka sekilas lalu kembali pada ponselnya “Udah lah, biarin aja.” “Lo, kok kayak beda sih ‘Lis?” Kayla menyipitkan matanya, dia menyelidik. “Atau jangan-jangan, ge-gara kecelakaan itu otak lo jadi geser?” Spontan Elisa menoyor kepala Kayla “Enak aja. Gue ‘baik kok, otak gue juga baik-baik aja.” Cuma, jiwanya aja sekarang beda. Gue Elvira bukan Elisa. Batinnya melanjutkan. “Tapi lo beda Lis!” Shami tetap kekeh. Menatap Elisa dengan sorot mata yang serius, tegas dengan argumen nya. “Lo aneh.” Lanjutnya saling menatap lama dengan Elisa. Elisa mengedikkan bahu. Seakan tak peduli dengan ketiga cewek yang menatapnya bertanya-tanya itu, padahal batinnya sedikit cemas karena dengan mudahnya teman-teman kacung Antagonis itu merasa curiga. Bagaimana dengan tokoh yang lain? Bisa-bisa, kalau tidak hati-hati kebongkar duluan rahasianya yang bukan jiwa asli Elisa. *** Tatapan sinis, iri, dan benci mengelilinginya. Elvira yang sekarang menjadi Elisa sedikit asing dengan tatapan seperti itu. Tempat yang dia dan ketiga teman antagonis itu berada di sisi kantin dekat jendela, lokasi yang sedikit tidak mencolok. Tetapi kenapa mereka malah terus melirik ke arahnya? Helaan napas lolos dari mulutnya. Mengingat siapa dirinya sekarang, seharusnya ia tak heran. Sebab, menjadi sosok Antagonis memang seperti ini. Apalagi Antagonis yang suka membuat sensasi seperti Elisa. Saat ini posisinya duduk melingkar dengan di sisi kanannya di tempati oleh Lily, di sisi kirinya ada Shami, sedangkan Kayla duduk berhadapan dengan dirinya. Belum ada apa-apa di atas meja bundar itu karena mereka selama beberapa menit lalu hanya duduk-duduk dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Guys!” Shami tiba-tiba berseru, heboh. “Liat, ini adegan tadi pagi yang langsung Boom di sekolah kita. Si Cel—maksudnya si Pepacor itu berulah. Dia berangkat bareng Morgan sambil peluk-peluk manja Morgan. Nih!” Dia menunjuk layar ponsel nya. Lily yang tadinya fokus mengutek Kukunya kini beralih menatap layar ponsel Shami dengan antusias. “Wah parah! Pepacor jaman sekarang berani-berani ya.” Katanya sedikit melirik Elisa. “Ini nggak bisa di biarin Lis, lo aja nggak pernah di bonceng Morgan ke sekolah, tapi dia yang cuman selingkuhan bisa di bonceng Morgan. Mana pake modus peluk lagi. Wah, wah, harus di hajar! Ini Pepacor udah kelewatan Lis!” Lanjut Lily memanas-manasi Elisa. Kayla ikut memanasi. “Jangan diem aja Lis, udah cukup belas kasih yang lo kasih ke si Cellin. Kemarin Pepacor itu jalan sama tunangan lo, dan tadi pagi berangkat bareng. Dia berani banget Lis, nantangin elo itu.” Kayla menarik bahu Elisa agar cewek itu menatap lurus padanya. “Sekarang, lo harus tunjukin dia mana posisi si pepacor itu yang seharusnya. Kalau nggak, harga diri lo bakal jatoh. Status lo yang sebagai orang berkuasa di sini bakal hancur. Kenapa? Jelas, karena pepacor itu udah ngibarin bendera perang terang-terangan.” Kayla menyeringai setelah memberikan kata-kata penuh provokasi nya. “Lo harus kasih pelajaran Lis! Minimal, bully dia kek.” sahut Lily ikut memprovokasi. “Nah, bener tuh!” Shami ikut mengacungkan jempolnya ke atas. Menyeru serius seakan apa yang Kayla dan Lily katakan itu memang sangat benar dan harus di lakukan. Berdenyut, kepala Elisa terasa berdenyut. Telinganya panas mendengar ocehan ketiga manusia yang menyuruhnya untuk membalas Cellin, selingkuhan Morgan sekaligus tokoh utama female. “Berisik.” Sentak nya yang sudah tak tahan. Langsung saja membuat ketiga cewek itu kicep. Elisa mengacak rambutnya sebentar sebelum beranjak dari kursi. “Lo mau kemana? Bully Cellin ya?” Lily bertanya antusias ketika Elisa memutar tubuhnya hendak pergi. Elisa mendengus. “Beli minum, entah kenapa kalian yang dari tadi ngoceh tapi gue yang haus.” Ketus nya menyindir lalu meninggalkan ketiga temannya yang tersenyum agak nyinyir. Elisa terus berjalan, memandang lurus ke depan dengan langkahnya yang semakin di percepat. Dia sedikit menunduk ketika merasa saku bajunya bergetar karena ponselnya nya tapi kakinya masih terus melangkah hingga kejadian tak terduga tak terhindarkan. Tepat setelah bunyi dari mangkuk yang jatuh, ia dan orang yang di tabraknya menjadi sorotan. Yang ditabraknya seorang siswi perempuan, nampak jelas telapak tangannya tergores karena pecahan mangkuk yang mengenainya. Terlebih lagi dengan kuah bakso yang mengguyur lengan dan betis nya juga, membuat Elisa iba. Dengan itu, ia mengulurkan tangannya hendak membantu tapi langsung mendapatkan tepisan. Bukan dari cewek itu tapi dari cowok lain yang tiba-tiba datang. “Lo nggak pa-pa?” Cowok yang menepis tangan Elisa berjongkok di depan cewek yang di tabrak Elisa. Cowok itu bertanya lembut dengan suaranya yang khawatir. Elisa mengedipkan matanya berkali-kali melihat itu. Wajah tampan dengan pahatan mendekati sempurna dan terlihat tak manusiawi itu membuat nya terkagum, apa lagi dengan suara lembut dan penuh perhatian bertanya membuat Elisa jadi iri. Namun, lamunan Elisa buyar karena celetukan dari salah satu cowok yang ikut datang. “Nggak bisa ya, sehari aja lo nggak buat ulah?” Cowok dengan anting di telinga kanannya itu menatap Elisa sinis. Elisa membalas tak kalah sinis. “Dih, sape Lo? Suka-suka gua lah mau buat ulah apa kagak. Lagian, ini tadi tuh gua nggak sengaja ya t***l, bukan sengaja.” Ia melirik cewek yang di tabrakannya. “Btw, lo nggak pa-pa kan?” tanyanya tapi di kacangin karena cewek yang ia ajak bicara sedang fokus pada cowok ganteng itu. “Aku nggak pa-pa. Kamu jangan berlebihan deh.” Cewek itu agak risih. Tapi cowok tampan itu malah semakin memperhatikan nya dengan lembut. “Ngga pa-pa apanya? Itu lo berdarah. Kaki lo juga tadi kena kuah kan? Cel, kita ke UKS ya?” Ajak Cowok ganteng itu yang lagi-lagi di tolak. Cel? Elisa sedikit mengerutkan kening. Agak familier dengan nama itu tapi ia berusaha berpikir positif dan tetap tenang. “Nggak usah, aku nggak pa-pa. Jangan berlebihan deh, Morgan.” Morgan? Mendengar nama yang cewek itu sebut hilang semua pemikiran positif Elisa. Ia melirik cowok ganteng yang kekeh itu, lalu mengalihkan pandangannya ke cowok-cowok yang datang bareng cowok ganteng itu. Oh s**t. Filing buruknya, sebentar lagi, ia yakin pasti akan ada drama. Terlebih lagi, ia kini berhadapan dengan mereka ... Para tokoh penting di novel. “Eh Mak lampir, Cellin luka gara-gara lo. Minta maaf!” Dari nada bicaranya yang jelas nggak bersahabat banget, ia tebak itu Daniel. Apalagi cowok itu tadi baru datang langsung nyinyir, jelas udah bener pasti Daniel. Karena tidak mau mencari masalah, oke ia turuti. “Sorry, gue nggak sengaja.” Anehnya, itu malah membuat mereka menatap dirinya penuh rasa curiga. Apalagi dengan ketiga kacung nya yang menatapnya, aneh, atau.. entahlah sangat sulit di jelaskan. “Lo pasti lagi ngerencanain sesuatu kan?” Menurut tuduhannya, ia tau siapa tukang tuduh tapi teliti itu. Pasti dia Theo, tukang tuduh tapi nggak asal tuduh. Berhati-hati. Elisa meliriknya, agak sinis karena Elisa di novel suka seperti itu kalau sama Theo. “Heh tukang tuduh, jangan asal lo. Gue nggak rencanain apa-apa ya. Lagian, kalau pun gue rencanain sesuatu, itu bukan urusan lo.” Balasnya songong. Daniel, cowok itu menatap Elisa geram. “Songong banget sih lo, dasar Mak lampir!” Elisa membulatkan mulutnya. Nggak terima dia. “Eh apa lo? Berani banget ngatain gue. Dasar kudanil. Kudanil betina! Betina lo, betina. Kudanil Betina!” Bom. Seperti ada ledakan. Wajah Daniel memerah padam, Kesal, sangat kesal karena Elisa mengatainya. Elisa melihat itu malah tertawa ngakak, bahkan tatapan Shami yang memperingatkan pun di abaikan. “Cih, mukanya kudanil merah guys! Kayak nya mau meledak deh. Ciee, kudanil betina marah niee? Marah ni—AAAAAARKH!” Elisa menjerit kala ketika meledek Daniel. Harusnya ia tau, Daniel itu mudah marah. Sekarang, kena kan. Jambakan cowok itu, nggak main-main sakitnya. Bisa rontok rambut dia. “Apa? Hah, tadi lo ngomong apa?” Giliran Daniel yang mengejek. Elisa yang kini kesal. “Ih, paan sih lo. Baperan banget sih jadi Banci—AAAAA! WOY LEPASIN!!” Geram karena cowok itu tak kunjung melepaskan jambakkannya, Emosi karena perutnya yang lapar. Akhirnya Elisa pun ikut menjambak rambut cowok itu sama kencangnya. “AKKHHH!! SAKIT! LEPASIN RAMBUT GUE CEWEK s****n!!” Daniel membentak sembari meringis. “LO YANG HARUS LEPASIN RAMBUT GUE!! LO PIKIR INI GAK SAKIT?” Keduanya jadi tontonan menarik. Saling menarik rambut satu sama lain dan berteriak keras seperti kesetanan, benar-benar menghibur. Teman-teman Elisa tidak diam. Lily berusaha mengelus pundak Elisa walau hampir terdorong. “Lis, udah Lis, udah.” Kayla mencoba memisahkan ke tengah-tengah. “Udah Elisa, lo jadi tontonan gratis mereka tau? Malu Lis, malu.” Shami juga ikut andil. Mengipasi Elisa dengan kipas portabel yang di pinjam dari salah satu siswi. “Wus, marah nya terbang, wus! Elisa nggak marah, wus! Elisa tenang, wus! Tenang, tenang, wus! ” katanya sembari terus mengipasi Elisa. Tetap saja, tidak ada hasil. Elisa malah semakin berang dan mendorong ketiganya sampai terdorong ke belakang. “Jangan ganggu.” Peringat cewek itu garang. Ia menatap berang Daniel. “Cowok banci kayak dia, harus gue kasih paham!” Daniel tak terima. “Apa Lo bilang? Cowok banci? Dasar Mak Lampir! Cewek s****n!” balas Daniel lalu aksi jambak-jambakan itu semakin parah dan semakin panas hingga semakin seru mendapatkan sorakan semangat dari penonton. “Udah-udah, kalian tuh apa-apaan sih!” Cowok yang berdiri di samping Daniel menarik Daniel mundur membuat jambakan Elisa terlepas begitupun dengan tangan Daniel yang masih nyantol di rambut Elisa menjauh. Napas keduanya tak beraturan. Dari tatapan matanya, jelas mengandung kobaran api yang membara. Ketika melihat keadaan nya yang .. Berantakan dan sangat acak-acakan. Elisa kembali menatap berang Daniel yang telah menjambaknya tadi dengan aura permusuhan yang kental. “LO—“ Daniel menaikan satu alisnya menantang . Tangan Elisa terangkat mengayun keras mendekati pipi cowok itu hingga menimbulkan bunyi nyaring. “—COWOK b*****t!!” Lalu, setelah itu Elisa pergi bersama ketiga temannya meninggalkan kantin yang penghuninya tercengang dengan perbuatannya tadi. Apalagi Daniel, cowok itu memegangi pipinya yang di tampar. Ia meringis, sakit di pipi dan rasa tak terima nya membuat ia dendam pada Elisa. “AWAS LO MAK LAMPIR! TUNGGU PEMBALASAN DARI GUE!” Teriak Daniel mengamuk tak terima. Cowok itu menendang meja melampiaskan kesalnya. “Dasar cewek sialan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD