7. Tekad yang kuat

2527 Words
Elisa masuk kedalam kelasnya dengan wajah masam dan aura yang muram membuat semua orang di kelas heran tapi tak ada yang berani untuk bertanya langsung padanya. Shami memasuki kelas dengan sedikit berlari karena Elisa melangkah begitu cepat membuatnya sulit menyamai langkah cewek itu. “Lis, pipi lo lebam. Mau ke UKS?” tawar Shami pelan bahkan yang mendengar pun hanya mereka berempat.  Elisa melirik sekilas lalu menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan yang berada di atas meja. “Gak usah.” tolaknya pelan. Kayla dan Lily menatap Shami bertanya. “Kenapa?” tanya Lily menunjuk Elisa dengan dagunya.  Shami menghela napas, sedikit khawatir. bagaimanapun Elisa perempuan. Tidak seharusnya Daniel memukulnya seperti itu apalagi sampai meninggalkan lebam, pasti sakit.  “Shamira!” sentak Kayla dengan suara cukup keras. Shami yang tadinya termenung terperanjat sadar, dia menatap kedua orang di hadapannya yang nampak penasaran. “Tadi pas di toilet, tiba-tiba aja Morgan sama teman-temannya dateng terus labrak Lisa.” Jelasnya. Cewek itu menjeda, Dia melirik sekitar memastikan tidak ada yang mendengar. “Labrak? Emang Elisa, ngapain?” tanya Lily dengan raut bingung, sedangkan Kayla dia diam menyimak.  “Elisa di tuduh bayar siswi cewek buat bully si Cellin.” “Serius? Elisa bayar orang buat bully si Cellin?” Shami langsung menggeleng kuat. “Nggak. Elisa nggak salah, dia difitnah sama cewek-cewek itu. Lagian, kemaren kan dia sakit. Ya kali Elisa nemuin cewek-cewek itu pas keadaan dia aja nggak baik.” Lily dan Kayla kompak mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terus tadi kata lo, pipi Elisa lebam. Gara-gara apa? Di tampar?”  Shami melihat Elisa yang masih menenggelamkan wajahnya, Tidak bergerak atau mengeluarkan suara sedikit pun hanya deru nafas teratur yang terdengar. “Bukan di tampar, tapi di tonjok.” Kayla terkejut sama halnya dengan Lily dia bahkan membuka mulutnya tak percaya. Siapa yang menonjok Elisa? Lagian ya, sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya Elisa, dia seharusnya tidak di tonjok juga. Lebih baik di tampar, itu cukup untuk cewek dan lebih ringan dari pada di tonjok.  “Siapa yang nonjok?” tanya keduanya kompak. “Daniel.”  “WHAAAAT?” Keduanya berteriak spontan. Shami langsung menggeplak keduanya. “Jangan teriak b**o!” garang cewek itu. “Hehe, sorry, kelepasan.” keduanya menyengir tak bersalah dan Shami masa bodo. “Berisik. Gue mau tidur.” Suara Elisa terdengar serak dan bernada rendah membuat mereka meneguk sulit salivanya sendiri. “I-iyah,” Ketiganya segera mengunci mulut rapat-rapat. Tau, emosi seseorang Elisa pasti sedang tidak stabil. Dari pada memancing singa lebih baik mereka duduk dan diam saja. Tau kan garangnya singa seperti apa? Nah, Elisa itu ibaratnya singa yang sedang badmood. Berbahaya jika di ganggu. *** Helaan napas panjang dari bibir mungil itu kembali keluar. Sudah berkali-kali gadis itu menghela napas, matanya berkeliaran menatap orang-orang yang berlalu lalang di taman. Cukup sepi suasana taman, mungkin karena sudah lewat pukul 16.00 sore jadi banyak orang yang sudah pulang ke rumahnya. Tangannya terangkat menyugar rambutnya ke belakang. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran bangku besi panjang itu. Secara perlahan matanya tertutup menikmati angin sore yang menerpa wajahnya. Sudah 2 jam lebih dia duduk terdiam sendiri di bangku itu, namun tak ada niat untuk beranjak dari tempatnya. Ternyata hidup menjadi seorang antagonis tidak semudah yang ia bayangkan, dia harus bisa membiasakan diri dengan pribadi yang jauh darinya. Kepalanya pening, terasa ingin pecah memikirkan banyak hal. Mulai dari kepindahannya yang mendadak, rencana-rencana, plot-plot yang melenceng, alur novel yang berubah, terakhir dia harus bisa siap sedia ketika ada adegan novel yang bermunculan tiba-tiba dan menjadi bumerang baginya. Seperti tadi. Huuh. Sangat menyebalkan! DUNG .. DUNG .. DUNG Matanya spontan terbuka saat telinganya menangkap suara yang sering ia dengar dulu. Wajahnya yang masam menjadi penuh binar ketika matanya menangkap suatu objek. Ia bangun dari kursi, langkahnya menjadi riang seperti bocah dan berlari-lari kecil. “BAPAK ES KRIM, TUNGGU DOONG!!” teriaknya keras, tak mempedulikan orang-orang yang menatapnya aneh. Dia berlari menghampiri bapak-bapak dengan gerobak berukuran sedang yang sedang menunggunya.  “Beli es krim nya dong, Pak!” ujarnya dengan semangat.  Bapak ice cream itu membuka tutup gerobaknya. “Mau beli rasa apa?” Elisa berbinar menatap aneka macam rasa ice cream di hadapannya.  “Coklat sama vanilla nya, satu.” Bapak ice cream itu segera mengambilkan pesanannya. “Ini, Dek.” Elisa menerima satu ice cream cone rasa coklat itu dengan senang hati.  “Semuanya berapa, Pak?” “Dua puluh ribu aja.” Kata Bapak itu dengan senyum tipis. Elisa memberikan selembar uang kertas berwarna biru pada bapak itu lalu mengambil ice cream vanilla nya. “Kembalinya, buat Bapak.” ujarnya dengan senyum manis.  Bapak itu menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih banyak, Dek.” “Sama-sama.” Balas Elisa. Ia melangkahkan kakinya menuju bangku besi panjang yang tak jauh darinya. Dia duduk dengan tenang, lidahnya terjulur menjilati ice cream di tangannya. “Hmm.. hm...” Senandungnya ria. Dia m******t ice cream beda rasa itu secara bergantian. Pikirannya mulai rileks bahkan mood nya pun sudah kembali membaik. Ice cream adalah mood booster ku! Lidahnya masih setia menjilati dua ice cream yang hampir habis itu, otak kecilnya kembali berpikir. Bedanya kali ini dia berpikir dengan tenang tidak seperti tadi. “Adegan novel bakal tetep ada walaupun, gue gak buat kerusuhan” “Hn. Kayaknya untuk menghilangkan gue enggak bakal bisa," Otaknya langsung bekerja. Matanya menatap pemandangan di sekitarnya. Krauk .. Kedua cone ice cream itu sudah habis ia lahap. Dia mengeluarkan sapu tangan dongker dari sakunya, tangannya dengan terampil mengelap bibirnya yang belepotan begitupun dengan tangannya yang kotor.  “Gue emang nggak bisa hilangin adegan yang sepertinya permanen di novel. Tapi, nggak ada salahnya kan untuk coba gue ubah?” Seringai licik jelas terpatri indah di wajah manis itu. Matanya tajam itu memancarkan cahaya penuh tekad dan keyakinan. “Gue akan ubah alurnya dan buat plot cerita ini semakin melenceng. Dan hingga pada akhirnya, akhir hidup seorang Elisa Galleria Harrison yang sudah di buat penulis berubah menjadi apa yang gue inginkan.” “HAHAHA!” “Gue emang pinter.” Ia tersenyum lebar. Bangkit dari duduknya, melangkah menjauh menuju tempat mobilnya terparkir. Kini ia tau, merenung di saat sedang mumet bukanlah hal buruk. Karena dengan merenung juga, kita bisa memikirkan hal apa yang akan kita lakukan nanti, ke depannya agar lebih baik dan tentunya bisa mencapai sesuatu yang kita tuju. Luar biasa. *** “Cellin!”  Seruan itu membuat langkah cepat cewek dengan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya itu berhenti dan berbalik melihat siapa yang memanggil nya. “Kerin, kok belum pulang?” tanya Cellin mengedipkan matanya bingung. Aneh sekali, kenapa teman sekelasnya itu belum pulang? Setaunya Kerin tak ada kegiatan ekskul hari ini. Kerin menghampiri Cellin dan segera memeluk lengan cewek itu akrab. “Aku nungguin kamu tau. Kenapa lama banget? Biasanya jam tiga udah bubar, eh ini kenapa malah sampai jam empat?” tanya Kerin sedikit cemberut kesal. Cellin tersenyum tipis meskipun masih belum tau apa alasan Kerin menunggunya. “Tadi kami ada rapat dulu. Mau ada calon anggota yang baru, jadi kami diskusi buat kapan, dimana, dan bagaimana pelantikannya.” Cellin itu salah satu bagian dari anggota PMR. Tidak terlalu aktif juga tapi ia cukup penting di PMR. “Bukannya kalo pelantikan kayak gitu buat anak kelas sepuluh yang baru masuk aja?” tanya Kerin. Cellin mengangguk kecil. “Iya, emang gitu biasanya.. cuman, kal ini beda. Soalnya walaupun calon anggotanya ini udah kelas sebelas kayak kita, mereka maksa dan pengen adain pelantikan. Lagian, pelantikan PMR juga peresmian calon anggota menjadi anggota. Agak kurang sip kalo nggak ada pelantikan.” Ujar Cellin menjelaskan dengan suara lembutnya. “Ouh, gitu.” Kerin mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Cellin langsung bertanya. “Kamu kenapa nungguin aku?” “Kamu lupa ya?” Cellin mengerutkan kening. “Lupa, apa?” “Ish, tuh kan kamu lupa.” Kerin cemberut. Menghentak kaki di lantai. “Kita kan udah janji hari ini mau nonton di bioskop abis pulang sekolah. Kok Cellin malah lupa sih? Ih!” Kesal Kerin melengos pergi meninggalkan Cellin. Cellin segera menyusul. “Rin, tunggu.” Cegatnya. Senyum lembut terukir kala melihat Kerin yang terus melihat arah samping, merajuk padanya. “Maaf, aku kelupaan. Maaf juga karena udah buat kamu nunggu lama banget. I’m so sorry,” Suara lembut dan permintaan maaf Cellin membuat Kerin berhenti merajuk. “Oke, aku bakal maafin tapi, kita harus nonton. Sekarang. Kamu nggak boleh nolak, oke?” Cellin pura-pura berpikir, hal itu membuat Kerin cemberut. Cewek itu segera tertawa dengan suara lembutnya. “Oke,” ujarnya yang langsung membuat Kerin terpekik. “Yey! Akhirnya kita bisa nonton berdua.” Kemudian Kerin memeluk lengan Cellin kembali. “Cuss kita berangkat. Aku nggak mau ya kita batal nonton gara-gara Morgan yang tiba-tiba dateng, kayak waktu itu. Nyebelin banget.” Gerutunya dibalas kekehan kecil Cellin. “Nggak bakal, Morgan udah pulang duluan kok.” Kerin mengangguk puas. Itu artinya Morgan tidak akan mengganggu dirinya dan Cellin. Mengingat sesuatu, Kerin menatap Cellin setelah menghentikan langkahnya. “Yang pas mau istirahat itu, Elisa ngaku nggak?” “Ngaku apa?” “Yang pas dilabrak kamu sama temen-temennya Morgan.” Cellin terdiam. “Elisa nggak salah.” Ujarnya kemudian. Kerin menyipitkan mata. “Dia yang ngomong?” tanyanya menyelidik. “Iya.” “Dan kamu percaya?” Kerin tak tau harus mengatakan apa ketika Cellin dengan tegasnya mengangguk. Kenapa sahabatnya itu begitu mudah percaya? “Elisa nggak salah, dia di fitnah. Lagian, yang bully aku pas waktu itu juga bukan Elisa. Kamu tau, ketiga cewek itu yang bully aku. Kecil kemungkinan Elisa yang nyuruh. Tapi Morgan nggak percaya dan malah paksa aku buat ikut labrak Elisa.” Jelas Cellin dengan keyakinan penuh hatinya. “Kamu kok gitu sih Cel, bisa aja kan dia ngelak te—”  “Udahlah Rin, aku nggak mau bahas itu.” sela Cellin menepuk pelan tangan Kerin yang berada di lengannya. Kerin membasahi bibir bawahnya. “Tapi Cel, kamu ngerasa enggak, kalo Elisa itu ‘aneh’ ?” “Aneh?” “Iya. Gini ya, dari semenjak kamu di tabrak Elisa di kantin, dan sampai saat ini, aku perhatiin Elisa berubah. Dia juga nggak gampang marah kayak biasanya dan jadi ‘sedikit’ ramah sama murid-murid di sini. Biasanya kan dia angkuh banget, tapi eh dia selalu ngumbar senyum buat nyapa. Aneh kan?” “Itu tandanya Elisa mengintrospeksi diri dia dan berusaha menjadi lebih baik. Bagian anehnya yang mana?” Cellin balik bertanya setelah mengatakan apa yang di pikirannya. “Ya aneh aja, masa gara-gara dia nggak berangkat sekolah sehari dia jadi berubah gitu. Satu hari merubah seseorang, itu kayak sesuatu yang nggak mungkin.” Bagi Kerin yang sering mengamati Elisa, tentu saja perubahan satu hari itu tak dapat di percaya. Sedangkan, Cellin berpikir positif. “Mungkin, udah terjadi sesuatu yang buat Elisa berubah. Atau nggak, ada hal yang udah buat Elisa sadar kalo apa yang dia lakukan selama ini nggak bener, jadi Elisa bertekad buat berubah. Bisa jadi kan?” Kerin membantah. “Nggak, kalo menurut aku itu bisa aja trik licik Elisa buat dapetin perhatian Morgan. Cel, kamu harus hati-hati, jauhin Elisa dari Morgan atau Elisa akan menang dan rebut Morgan dari kamu.” “Elisa nggak akan rebut Morgan dari aku karena dari awal aku yang udah rebut Morgan dari dia.” Cewek itu menundukkan kepalanya. Terdengar sesal di nada suaranya. Kerin segera merangkul Cellin. “Kamu nggak rebut Morgan. Kalian saling jatuh cinta, itu wajar kalo kalian berhubungan. Sedangkan, Elisa itu cinta sepihak. Dan dia maksa buat hubungan.” “Kamu bukan perebut.” Tatapan mata Kerin menegaskan membuat Cellin tertegun. “Tapi dari awal yang udah ada hubungan sama Morgan itu Elisa. Tapi aku malah masuk ke lingkar hubungan mereka dan menjadi perusak.” “Kalo kamu dari awal udah berpikir begitu, terus kenapa kamu malah pacaran sama Morgan dan jadi perusak hubungan mereka?” DEG  Cellin terdiam. Ia menatap telapak tangannya sendiri. Hal itu terjadi cukup lama sampai ketika Kerin menggenggam tangannya barulah dia tersadar. “Kamu cinta kan sama Morgan?” Kerin tau walaupun Cellin tidak menjawab pasti jawabannya adalah ‘ya’. Maka, dirinya membuat Cellin menatap lurus padanya. “Kalo Morgan sama Elisa, dia nggak akan bahagia. Morgan pasti bakal terluka. “Aku nggak mau Morgan terluka.” Lirih Cellin kecil tapi karena jarak yang dekat Kerin mendengarnya. Cewek itu mempersempit jarak dengan Cellin. Ia berbisik. “Kalo kamu nggak mau Morgan terluka, kamu nggak boleh biarin Elisa berhasil sama rencananya.” “Buat Morgan selalu bersama kamu karena itu yang bisa bikin Morgan bahagia, bukan terluka seperti saat Morgan bersama Elisa.” Entah pendengaran Cellin yang kurang baik atau karena kepekaan terhadap maksud dari kata-kata seseorang, Cellin merasa apa yang Kerin katakan itu seakan menyuruh Cellin untuk bertekad kuat. Tetap bertahan bersama Morgan dan menyingkirkan Elisa. Cel, itu Cuma perasaan kamu. Kerin nggak mungkin berniat .. menghasut kamu untuk melakukan kesalahan lebih jauh.  “Ih, kok kita malah ngobrol di sini sih? Udahlah, mending sekarang kita berangkat. Aku uda nggak sabar pengen nonton bareng lagi sama kamu.” Keduanya melanjutkan langkah. Kerin dengan perasaan gembira dan Cellin yang memikirkan banyak hal tentang cewek yang berstatus sahabatnya. *** Ketika kakinya menginjak di lantai ruang tamu, terdengar jelas suara tawa dari ruang santai. Mungkin Garvin dan teman-temannya sedang ada di rumah, Elisa bergedik bahu dan melangkah acuh menuju tangga yang sayangnya harus melewati ruang santai. “Lo gak usah buka aib!” Mendengar itu cowok yang sedang bergibah semakin gencar untuk membongkar aib sahabatnya. “Kalian tau, abis denger suara itu tiba-tiba aja dia pipis di celana. Mana itu di liat sama cewek yang di selametinnya lagi, beuh malunya it—“ Mendengar ucapan cowok itu terhenti, Elisa sedikit menoleh ke belakang. Dan benar saja, kumpulan cowok ganteng itu sedang memperhatikannya yang baru saja menginjak anak tangga. “Hai Lisa,” Cowok berambut hitam dengan gaya di belah dua di tengah jidatnya itu menyapa Elisa dengan senyum manis. Menatap Ke arah cowok itu, tatapan mereka beradu. Senyum di wajah tampan itu belum luntur, Elisa sedikit mengerutkan kening dan tidak lama dia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis. “Eh buset, gue disenyumin Elisa dong!” Cowok itu terpekik melompat ke arah temannya dan memeluk lengan temannya erat dengan senyum malu-malu. Cowok yang di peluk tidak terima, dia menyentak tangan cowok itu yang memeluk lengannya dengan gaya penuh jijik. “Malu-maluin aja lo Sha!” Dengusnya mendapat senyuman lebar dari cowok yang di panggil ‘Sha’ tadi. Elisa sedikit menahan senyumnya, dia melirik ke arah lain ketika merasa tatapan tajam seperti ingin membakar punggungnya. Tepat ketika dia menoleh, netra gelapnya bertubrukan dengan netra gelap milik Garvin. Cowok itu menatapnya datar, tapi dari tatapan matanya jelas sekali bahwa cowok itu menyuruhnya agar cepat pergi. Mendengus kesal, Elisa mengentakkan kaki di tangga.  Awas aja lo, nanti gue buat luluh baru tau! Sembari terus menggerutu di batin, Elisa memasuki kamarnya dan sedikit membanting pintu itu. Tanpa berniat mengganti pakaian lebih dulu, dia merebahkan tubuhnya di kasur. “Hari yang cukup melelahkan. Gimana sama hari besok ya? Apalagi gue harus cepat memulai misi.” Mengacak pelan rambutnya, Elisa memejamkan mata. “Target pertama adalah Lily, jangan sampai gagal di misi pertama ini dan membuat target terlepas.” Gumamnya sebelum benar-benar pergi ke alam mimpi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD