6. Akibat plot yang melenceng

1883 Words
Selepas kejadian memalukan pagi tadi dan pengusiran ‘sangat’ baik Elisa pada sang calon tunangan, kini cewek itu sedang termenung memikirkan rencananya. Matanya menatap papan tulis yang sudah diisi begitu banyak tulisan tapi telinganya tak fokus mendengar suara guru yang sibuk menerangkan. “Lis, anter gue ke toilet yuk?” Shami menoleh ke belakang setelah Bu guru berhenti menjelaskan. Ia sedikit berbisik ketika mengajak. Elisa berpikir sebentar tapi dengan tidak sabaran nya Shami menarik tangannya, sontak saja ia ikut berdiri. “Kelamaan lo. Bu, saya sama Elisa ijin ke toilet, ya?” teriak Shami. Bu guru yang sedang menulis pun menoleh. Sedikit membenarkan kacamata nya. “Yaudah sana, tapi jangan lama.” “Makasih Bu.” Setelah mengatakan itu Shami menyeret Elisa dengan cepat ke arah toilet. “Lis, lo tunggu disini ya, jangan kabur, oke?” peringat Shami. Mengangguk malas itu yang di lakukan Elisa karena dari tadi di jalan Shami terus mengatakan hal itu berulang-ulang. “Tungguin gue. Inget!” Shami dengan kebeletnya berlari masuk ke toilet bahkan pitu yang ia tutup pun Elisa bisa mendengarnya karena sangat keras. “Dasar Shami,” gumamnya terkekeh kecil. Lalu kemudian, menunduk dengan tatapan yang tiba-tiba kosong. Melamun. Elisa melamun. Mengingat-ingat kembali bagaimana dia bisa ada disini dan ekspresi kaget nya saat tau bahwa dia masuk kedalam tubuh seorang antagonis dalam novel yang pernah ia baca. “Gue nggak nyangka, bisa ada di sini. Tubuh gue di sana gimana ya? Atau jangan-jangan gue udah di kubur, terus setelah itu ada berita kek gini,” “Seorang gadis bernama lengkap Elvira Meldivan putri dari salah satu pembisnis ternama di temukan tak berdaya di ranjangnya dan setelah di periksa, gadis itu terbukti sudah tak bernyawa.” Dia tertawa kecil membayangkan berita itu tapi tak dapat di pungkiri tatapan matanya sesaat menjadi kosong. Saat sedang asyik-asyiknya melamun, suara menggema di sepanjang koridor sepi mengganggu begitu saja. “ELISA!” Morgan. Dia yang berteriak seperti orang kesetanan dengan wajah yang memerah padam. Kenapa dia? Padahal tadi pagi baik-baik aja. Elisa keheranan. Apalagi di belakang cowok itu ada para cecunguknya. Siapa lagi kalo bukan Ares, Daniel, Theo, dan dari visual Elisa tau kalau dua lainnya adalah Nicho dan Bara . Oh jangan lupa si protagonis wanita yang dulu pernah Elisa tabrak di kantin kini di kawal mereka. Elisa memutar bola matanya, dia terlalu malas dalam situasi saat ini. Apalagi baru semalam dia merencanakan untuk kelangsungan hidupnya di dunia novel terkutuk ini, berdoa saja agar dia tidak terpancing emosi. Tapi tunggu... ada yang aneh. Kenapa ada tiga cewek yang mengikuti mereka dan sangat asing di mata Elisa? Wajah mereka tertunduk seperti ketakutan dan .. “Lo tuh kenapa sih?” tanya Morgan bernada frustasi. “Kenapa apanya?” Tanya Elisa balik. Dia sebisa mungkin agar tidak terbawa emosi karena tiba-tiba di labrak. Mana di depan toilet lagi, nggak elite banget. Morgan menjawab tidak kalem. “Lo yang kenapa?” Elisa mengerutkan keningnya. Firasatnya mulai buruk sekarang. “Kenapa cari masalah terus? Nggak bisa kah lo hidup tenang-tenang aja. Nggak usah cari masalah!” Tuhkan, firasat nya tidak pernah salah. Belum juga mencerna situasi, dia sudah mendapatkan semburan kemarahan saja. Tapi it’s oke, kita pura-pura tidak tau saja dulu. “Emangnya apa yang udah gue lakuin? Gue diem-diem aja ya.” Sahut Elisa membalas kalem. “Lo masih tanya kenapa?” melihat raut wajah santai bercampur bingung dari Elisa membuat kemarahan Morgan melonjak. “NGGAK USAH PURA-PURA LO! GUE UDAH PERINGATI YA JANGAN PERNAH GANGGU CELLIN! KENAPA LO BEBAL SIH?” bentak Morgan tepat di depan wajah Elisa. Anjir jigong Lo. Ringis Elisa mengusap wajahnya yang sedikit basah terkena cipratan air dari cowok pemarah di depannya. “Ganggu? Gue? Ganggu dia?” Dia menunjuk dirinya sendiri seperti orang d***u, jarinya beralih dia menunjuk Cellin yang berada di dekat Theo. “IYA. LO!” Ketus Theo. Elisa membulatkan mulutnya tak terima. “Nggak ya! Gue nggak lakuin apa-apa. Gue juga nggak ganggu dia. Enak banget kalian main nud—” BUUGGGHH Tubuhnya terhuyung ke belakang. Belum sempat ia klarifikasi, pipi kirinya sudah dicium terdahulu oleh tangannya si Daniel menyisakan lebam kebiruan di sana. Yey, akhirnya gue bisa mukul si Mak Lampir juga! Yepiii!! Batin Daniel girang karena berhasil memukul Elisa. Sedangkan Elisa, wajahnya sudah memerah padam. “b*****t LO!” umpat cewek itu teruntuk Daniel. “GUE GAK NGELAKUIN APA-APA SAMA DIA. KENAPA KALIAN NUDUH GUE GITU AJA? KALIAN PIKIR YANG NGGAK SUKA SAMA DIA GUE AJA SAMPAI DENGAN GAMPANGNYA KALIAN NUDUH GUE?” “s****n! KALIAN ITU s****n TAU NGGAK!” Maki Elisa murka. Dadanya naik turun dengan napas memburu menandakan dia memang sangatlah marah. Daniel tak terpengaruh dengan perubahan ekspresi cewek itu walaupun tadi ia sudah memukulnya. Dirinya menyahut malas. “Udah deh Elisa, mending lo jujur aja supaya masalah ini cepet kelar. Nggak usah ngelak-ngelak dan bermain playing victim di sini. Nggak bakal ada yang iba, dan nggak bakal ada yang percaya.” Elisa terkekeh, ujung matanya mendelik mencemooh. “s****n! Ini gue udah jujur. Gue emang nggak lakuin apa-apa bangke!” Shami yang baru keluar dari toilet dan sadar dari keterkejutan segera angkat bicara. “Kalian nuduh Elisa kayak gini, ada bukti? Saksi? Kalau nggak ada, parah sih. Pencemaran nama baik, tuduhan palsu, dan jelas itu tindakan yang tidak patut dicontoh. Kami bisa tuntut kalian, terlebih lagi dengan aksi k*******n tadi.” Ares tertawa mendengar itu, seperti guyonan hal itu mengocok perutnya untuk tertawa. Ia bergerak, mendorong salah satu cewek asing itu untuk berdiri di depan Elisa dan Shami. “Ngomong!” titahnya dengan dingin. Cewek itu segera berbicara. “Kemarin Elisa datengin kami, dia nyuruh kami bully Cellin. Tepatnya di gudang dari abis istirahat sampai pulang sekolah.” Penjelasan dari cewek itu membuat Shami langsung menyerobot. “Heh!” Tunjuk Shami. “Gak usah fitnah lo! Elisa gak ada ya nyuruh kalian buat bully si Cupu, enak aja kalian maen bawa-bawa nama dia. Nih gue saksinya. Nggak percaya? Mau gue pukul lo?” kata cewek itu seraya menunjukkan kepalan tangannya. Elisa menahan Shami dan menghela napasnya, dia tau ini terjadi karena plot cerita yang tidak berubah meskipun dia belum berulah, kecuali untuk menjalani peran antagonis. Ares malah berdecih, “Cih. Lo itu Cuma Babu, ngga usah berlagak sok belain majikan lo yang jelas-jelas udah salah. Biarin dia ngaku saat ini juga, supaya masalah ini cepet selesai.” Katanya membuat Shami hampir saja menerjang cowok itu jika tidak Elisa tahan. “Gak peduli kalian percaya atau nggak, gue emang gak ada sangkut pautnya sama masalah ini. Lagian, bisa aja kan mereka fitnah gue karena gak mau di salahin. Siapa yang tau, kan?” Elisa menyeringai lepas mengatakan itu. Dirinya menatap ketiga cewek di depannya dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Ketiga cewek itu dilanda cemas melihat Morgan dan teman-temannya terdiam karena perkataan Elisa. Salah satu dari mereka segera menyahut dengan nada cemas. “Kenapa lo ngelak Lis? Perjanjiannya kan kalo kami ketahuan lo juga bakal ikut ngaku, kenapa sekarang kayak gini?” Protesnya. “Lo juga harus ngaku, lo juga harus jujur sesuai perjanjian kemarin bukan malah limpahin masalah ini ke kami aja. Kami ngga terima!” Protes cewek yang lainnya. Nicho yang berdiri di sebelah Bara menimpali, “Jujur dan selesai.” Katanya. Bara di sebelah cowok itu hanya diam menatap malas tanpa minat. Theo menimpali memojokkan, “Udahlah Elisa, gak usah ngelak lagi. Bener kata Nicho, lo jujur dan masalah selesai. Udah, jujur aja deh.” Kekehnya. Shami melihat Elisa di pojokkan tidak terima, Elisa juga tidak terima. “Gue harus jujur apa lagi? Gue emang gak nyuruh mereka—“ Belum sempat menyelesaikan, Morgan langsung menyela. “Cukup Elisa, ini peringatan terakhir. Jangan berulah ke Cellin kalo lo, nggak mau terima buruknya.” Dingin, tegas, dan penuh ancaman Morgan mengatakannya tidak main-main. Elisa bungkam, Morgan membawa Cellin pergi dalam rangkulannya. Namun, belum sempat menjauh pertanyaan yang di lontarkan Elisa menghentikan langkahnya. “KENAPA LO SELALU BELAIN DIA? KENAPA HA?” “PACAR LO ITU SEBENARNYA ELISA ATAU CELLIN SIH?” Langkah Morgan terhenti. Tanpa menoleh, cowok itu menyeletuk dengan santai. “Nggak perlu gue jawab. Lo udah tau jawabannya.” Sialan.. Jiwa Elvira benar-benar merasa di permainkan. Tak terima sebagai seorang perempuan yang baik dia mendapatkan perlakuan seperti ini. Kini ia tau, rasanya menjadi seorang Elisa yang kelam. Merubah ekspresi wajah nya menjadi sendu dengan semelas mungkin. “Kalo gitu...” ia menjeda dengan menghela napas. Seakan sangat berat dengan kata yang akan keluar selanjutnya. “Ayok putus!” DEG Hening dalam waktu cukup lama. Elisa dan Morgan saling menatap satu sama lain yang entah apa arti dari tatapan yang menusuk itu. “Gak.” A-apa? Nggak? Netra gelap Elisa berkilat, dia menatap benci cowok yang hanya beberapa langkah di hadapannya. Napasnya memburu tak beraturan, dia memejamkan matanya sebentar lalu berteriak keras. “s****n! DASAR SERAKAH! PUTUS SAMA GUE NGGAK MAU SAMA CELLIN PUN LO EMBAT! LO ANGGAP GUE INI APA HAH?” “DASAR MARUK! b*****t! BRSENGSEK LO!” “DASAR COWOK k*****t!!” Jari tengah cewek itu terangkat, memberikan salam penuh kebencian dari Elisa. Lalu, dia melenggang pergi dengan langkah kesal diikuti Shami di belakangnya yang berjalan seperti orang linglung. Morgan speechless, dia menatap punggung ringkih Elisa yang semakin menjauh dengan kerutan di dahinya. Dia kenapa? Biasanya gak pernah kayak gitu. “Wow, gue baru tau Mak Lampir bisa ngumpatin cowok tercintanya seperfec tadi.” Daniel yang pertama bicara, cowok itu tertawa kecil dengan mata yang masih tertuju pada arah Elisa pergi. “Gila sih, gue nggak pernah nyangka ini bakal terjadi. Elisa beda, berubah banget njir!” Ares ikut menyahut. Cowok itu agak sulit berkata-kata dengan apa yang terjadi tadi. Theo malah tertawa keras. “Apa gue bilang? Elisa aneh, dia berubah. Nggak percaya sih!” Bara dan Nicho masih belum merespon apa-apa. Sedangkan Morgan sudah mendengus sebagai respon. Walaupun begitu, cowok itu sedang berperang dengan pikirannya. Nggak mungkin seseorang berubah dalam sehari. Pasti, ini Cuma trik Elisa aja. Ya, ini Cuma trik dia buat narik perhatian gue lagi. “Ekhm,” Bara berdehem membuat dirinya langsung di tatap oleh teman-temannya. Sedangkan dirinya masih saling menatap dengan Nicho yang entah apa artinya, baru setelah beberapa detik cowok yang biasanya cuek itu memusatkan perhatiannya pada Morgan sepenuhnya. “Udah kayak gini. Mau gimana?” Morgan mengerutkan keningnya. “Gimana apanya?” Bara sedikit menarik sudut bibir. “Elisa or Cellin?” cowok itu pergi setelah memberi pertanyaan pada Morgan yang terdiam begitupun dengan yang lainnya. Puk “Gue tau lo juga ngerasa beda.” Bisik Nicho lalu ikut pergi bersama Bara. “Maksudnya?” Morgan melirih. Masih kurang paham dengan maksud kedua sahabatnya itu. Maka, ketika tangan yang di genggaman nya menggenggam kuat ia tersentak. Cellin menatap dirinya dengan senyum tipis manis yang seperti biasanya cewek itu berikan. “Jangan terlalu dipikirin. Lagian, aku nggak pa-pa kok.” Cowok itu menghela napas. Memejamkan matanya sejenak, ia menggenggam tangan Cellin lebih erat dari sebelumnya. “Sorry, gara-gara gue lo jadi ke bawa-bawa.” Lain kali, ini nggak akan terjadi. Elisa bakal kena akibatnya kalo berani ngelakuin hal kayak gini lagi. Mau teman-temannya berpikir Elisa sudah berubah, bagi Morgan Elisa masih tetap sama. Cewek gila yang terobsesi dengan dirinya sampai menghalalkan segala cara. Salah satunya, menyakiti orang lain. Cih, dasar Medusa. Ia pergi dengan merangkul Cellin. Di belakang nya ada teman-temannya yang setia mengekor. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD