Elisa membawa buku dan pensil yang sedari tadi ia pegang. Bangkit dan berjalan menuju balkon kamarnya. Melihat lantai balkonnya, ia bingung sendiri.
“Enaknya ngapain ya? Duduk, selonjoran, jongkok, atau rebahan?”
“Oke tengkurep!” Finalnya. Tak perlu berlama, ia tengkurap di lantai balkonnya yang luas tanpa adanya alas. Nggak pa-pa, bersih ini kok.
“Mari kita pikirkan lalu tulis apa aja peraturan gue selama di dunia novel ini.” Elisa membuka bagian tengah-tengah buku, ia berpikir sembari bersiap menorehkan tinta pada kertas putih itu.
“Pertama. Jauhi para protagonis.” Dia mulai menulis pada buku catatan khusus miliknya. Sembari itu, ia bergumam.
“Tapi itu kayaknya agak sulit sih dan kemungkinan besarnya gue bakal gagal. Apalagi gue satu sekolah sama mereka. Hm, oke, next!” lanjutnya mengabaikan peraturan nomor 01.
“Kedua. Gue nggak boleh berurusan apapun dengan si Cellin, apalagi ngebully dia. Huuh, jangan sampe. Bisa-bisa, gue di mutilasi langsung sama bekicot-bekicot itu.” Ia juga menulis itu di bukunya.
“Ketiga. Dilarang keras membully.”
“Keempat, Merubah image buruk menjadi baik dan menjadi lebih ramah pada lingkungan sekitar. Artinya, gue harus lebih respect sama figuran ya. Bagus, bagus.” Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum puas.
“Next!”
“Kelima. Cari pelindung untuk berjaga-jaga.” Elisa membalikkan badannya menatap langit bertabur bintang-bintang.
“Minta perlindungan sama siapa? Garvin? Ngayal aja terus sampe gue ngejorog di jurang.”
Dia menggigiti kuku jari telunjuknya sendiri dengan mata yang terus bergulir kesana-kemari. “Ke-tiga cewek itu juga nggak mungkin, mereka kan cuman anggep Elisa bagai kantong ajaib Doraemon aja selalu bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Miris banget kan hidup nya?”
Ia mengacak rambutnya frustasi.
“Jadi gue harus cari perlindungan sama siapa? Ah, udahlah skip aja dulu.” Ia malah berpikir keras, jadi sekarang ia melanjutkan menulis peraturan dan misi dulu baru memikirkan kandidat.
“Tadi sampe berapa?” ia mengetuk dagunya. “Oh tadi baru sampe lima, berarti sekarang tinggal enam.”
“Keenam, meluluhkan hati beku Garvin dan memperbaiki hubungan persaudaraan agar menjadi lebih baik. Nah, bener banget.” Ia berpikir, mungkin di misi ini Elisa asli juga mengingatkan nya. Tapi ... Entahlah, ia tak tau.
“Ketujuh, mempersatukan keluarga. Itu wajib dan harus, di naskah aslinya kan Elisa juga pengen banget punya keluarga harmonis yang hangat. Nggak ada salahnya kalo gue jadiin ini misi juga.” Untuk bagian itu, Elisa sedikit menebalkan tulisannya menandakan itu misi penting.
“Kedelapan, ini yang terakhir.” Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum menulis kembali dengan penuh tekad.
“Memutuskan hubungan dengan tokoh utama pria dan mencari pengganti lalu membuat ending yang bahagia. Hahaha, itu wajib banget. Karena kalo nggak, gue bisa sad ending.” Membayangkan akhir hidup Elisa yang sudah di tuliskan, ia bergidik ngeri. Tak sanggup jika berada di posisi Elisa. Ngeri sekali, sampai mati di benci yang ada otw neraka jalur VIP itumah.
“Oke. Sekarang gue harus mencari kandidat yang cocok untuk misi ke lima. Plot cerita di percepat, itu yang bikin gue takut.” Gumam Elisa.
“Berdamai dengan tokoh utama adalah hal yang gak mungkin, minta bantuan Garvin juga gak mungkin, sedangkan orang tua Elisa juga gak ada harapan. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.” Elisa mencoret asal, dia menggigit tutup pulpen yang di pegangnya.
“Gak ada pilihan lain. Gue harus buat tiga cewek itu ada di pihak gue, “ Elisa kembali menulis. “Merubah pandangan mereka terhadap Elisa dan menjadikan mereka sebagai seorang sahabat yang tulus.”
“Untuk itu, langkah pertamanya gue harus menyelesaikan permasalahan mereka. Menjadi sosok h****n dan teacher yang memberikan arti persahabatan yang sesungguhnya.” Seringainya semakin lebar. Ia terkekeh sembari terus mengingat isi novel yang dulu pernah di bacanya.
Kini, ia mempunyai misi untuk ketiga cewek itu. Target pertamanya adalah...
“Emelly Scarlett. Gadis yatim dan baik hati namun berubah kala Ibunya menikah lagi setelah satu tahun meninggal ayahnya. Gadis yatim malang ini, di jebak dan di paksa bekerja di salah satu club malam untuk melunasi hutang Ibu dan ayah tirinya.”
Elisa berdecak mengingat itu. Kok ada ya Ibu yang tega biarin anaknya kerja begituan? Kasihan banget nasib Lily. Udah jadi figuran Antagonis, hidupnya sengsara lagi.
“Untuk Lily, gue hanya perlu lunasin hutang-hutang orang tuanya dan bebasin dia dari pekerjaan hina itu.”
Menyentuh hidung nya, ia bergumam. “Haah, untung Elisa orang kaya.” Menggeleng pelan, ia melanjutkan.
“Next. Ada Shamira Laurent. Si Kaisar gosip dan periang. Mengidap depresi karena korban broken home. Hidupnya selalu beriringan dengan obat penenang, juga...” Bangkit dari tengkurap, dia duduk di kursi balkon menaruh buku catatan di meja tepat di hadapannya.
“Cuci darah 1 bulan sekali karena penyakit ginjal yang di deritanya. Sedangkan orang tuanya, tidak ada yang tau.” Memberi jeda pada kata-katanya, dia tersenyum pedih.
“Shami itu sebenarnya sosok yang rapuh. Tak jarang dia melakukan percobaan bunuh diri karena masalah orang tuanya dan penyakit yang dia punya. Kasian, udah broken home, penyakitan, kurang kasih sayang pula. Hidupnya benar-benar menyedihkan.”
Elisa menghela napas berat.
Mengingat masalah Shami dia jadi ingin memutilasi si author. Tapi apalah daya sekarang dia sedang terjebak di dunia ini jadi yang harus ia lakukan adalah membantu mereka mengubah jalan takdir yang telah di tuliskan si penulis.
“Gue harus cari pendonor ginjal buat dia. Gue juga harus bisa jadi tempat di mana dia bisa menceritakan keluh kesahnya dengan leluasa. Gue harus bantu dia bangkit dan sembuh dari penyakit itu, kalo bisa keluarga nya juga harus gue buat bersatu.”
Selesai dengan kata-katanya, ia bertepuk tangan heboh. Bangga dengan pemikirannya yang cemerlang, apalagi ini tentang niat baik lagi. Semoga saja, jalannya di permudah.
“Terakhir, Cewek paling ketus, paling judes, paling sangar di antara kacung Elisa yang lain, Kayla Caroline.”
Cukup lama dia termenung dengan otak kecil yang berada di kepalanya ia paksa kerja rodi. Novel tidak menjelaskan detail tentang masalah Kayla.
“Garis besarnya, Kayla bermasalah di akademik. Di anak tirikan orang tuanya, dan nanti dia akan menjadi calon Ma De Su. Masa Depan Suram.”
“Misi untuk Kayla, gue harus buat dia pinter di akademik dan membuat bungkam keluarga nya dengan nilai yang Kayla kasih lewat kerja kerasnya sendiri. Oh jangan lupa, bantu Kayla gagal dari calon Ma De Su. Dia harus punya masa depan indah lah ya.”
“UWAAAAAH! AKHIRNYA SELESAI JUGAAAA. HUAAA GUE SENENG BANGET! OMEGAT-OMEGAT HAAAAAAH!!”
Dia berjingkrak-jingkrak sambil berteriak di tengah malam tanpa ada rasa takut atau apapun jika seseorang melihat dan menganggapnya gila karena depresi.
Elisa mengepalkan sebelah tangannya. Lalu mengangkat tinggi-tinggi. “GUE ELVIRA MELDIVAN YANG TELAH MENJADI ELISA GALLERIA HARRISON BERJANJI, AKAN MERUBAH HIDUP KALIAN WAHAI PARA SAHABAT DAJKAL!”
“GUE JUGA AKAN MEMBUAT KELUARGA INI MENJADI KELUARGA YANG BAHAGIA!” Menurunkan kepalan tangannya, Dia merentangkan kedua tangannya dengan perasaan sedikit lega.
“Oke, Elisa, misi kita akan segera dimulai. Nggak ada kata gagal, yang artinya harus, wajib, dan sangat wajib berhasil.” Gumamnya. Mengepalkan kedua tangannya lalu mengangkat tinggi-tinggi, ia memejamkan mata erat seraya berteriak.
“SEMONGKO ELISAAAA!”
***
Matahari sudah memunculkan sinarnya. Melalui kaca jendela yang sudah tidak tertutup gorden, cahayanya masuk menerobos kedalam kamar.
Namun, mengapa Nona-nya belum bangun dan malah nampak nyenyak dengan sinar matahari yang menyoroti nya?
Aih, Non Lisa ini. Bi Yuni menggelengkan kepalanya. Ia perlahan mendekat ke tepi ranjang. Tangannya terulur dan langsung mengguncang pelan tubuh gadis yang pulas itu. “Non, bangun.”
Elisa masih pulas, dirinya menarik selimut hingga kepala sembari melenguh tidak jelas.
Bi Yuni jadi mengguncang lebih kuat tubuhnya. “Nona, Nona, ayok bangun.”
“Nona, Nona Lisaaaa, ayok bangun. Bangun!” Bi Yuni makin brutal mengguncang tubuh Elisa. Sehingga gadis muda itu terusik.
“Aaaaaaah... apa sih Ma? El masih ngantuuuk!”
Bi Yuni mengerutkan kening. “Ma? El? Nona mengigau, ini Bi Yuni Nona, bukan Nyonya.”
Tubuh Elisa seperti tersentak. Tiba-tiba, gadis muda itu sudah duduk di atas kasurnya.
Ia mengusap mata sembari menatap Bi Yuni, “Maaf Bi, Lisa ngantuk banget tadi makanya nggak sadar kalau itu Bibi.” Alibinya. Dalam hati berdoa semoga Bi Yuni tidak curiga.
Harapannya terkabul. Bi Yuni terlihat mengangguk, percaya. “Ya sudah, sekarang Nona cepat bangun. Nona harus bergegas.” Lalu wanita paruh baya itu menyibak selimut yang membungkus tubuh Elisa.
Elisa cemberut. “Ish, Bibiiii, ini masih pagi. Ngapain harus cepet-cepet sih? Ah, Lisa mau rebahan lagi.” Ketika hendak merebahkan tubuhnya, Ia langsung di tarik oleh BI Yuni hingga terduduk seperti semula.
“Tidak bisa Nona,”
“Kenapa nggak bisa? Ini masih pagi Bi, lagian sekolah hari ini masuknya jam delapan kok.” rengeknya dengan mata setengah tertutup.
“Bukan begitu, masalahnya Nona sudah ada yang menunggu.” Bi Yuni bersusah payah menahan tubuh Elisa yang akan jatuh lagi ke kasur.
“Siapa?”
Bi Yuni sedikit tersenyum. “Calon tunangan Nona, Tuan Muda Morgan, dia sudah menunggu Nona di bawah.”
DEG
A-apa?
“MORGAN?”
Elisa melompat dari kasur. Matanya yang tadinya terbuka setengah kini melotot lebar. Bahkan tubuhnya yang lemas mendadak menjadi bertenaga. Secepat kilat dia berlari keluar kamar membuat Bi Yuni spontan berteriak.
“NONA JANGAN MENEMUI TUAN MUDA MORGAN SEKARANG!” sayangnya, pekikkan panik Bi Yuni tidak terdengar oleh Elisa karena gadis itu sudah berlari jauh menuju ruang utama.
Menemui calon tunangannya.
Bi Yuni menepuk jidatnya. Saking rindunya Nona-nya itu pada calon tunangan nya jadi terburu-buru seperti itu kah? Sungguh, kisah cinta anak muda jaman sekarang berbeda dengan jamannya.
Sedangkan, Elisa kini sudah berada di lantai utama. Matanya menatap lurus pada sesosok cowok muda yang tampan sedang duduk sembari menikmati teh nya.
Napas Elisa memburu, ketika cowok itu menoleh ke arahnya secara otomatis keduanya berkontak mata.
“Ouw, kayaknya lo rindu banget sama gue sampai nggak perhatiin penampilan lo. Aneh sih, padahal kemaren kita baru ketemu, tapi ya lo emang beneran tergila-gila sama gue keknya.”
Elisa mengerutkan keningnya. Menahan decihan atas sikap percaya diri cowok di depannya, jadilah ia membalas agak songong. “Heh, lo jangan ge-er deh. Lagian, penampilan biasa gue kan emang gini, selalu cantik di mana pun dan kapan pun. Heh!” ia mengibaskan rambutnya seraya memasang wajah paling angkuh.
Percaya diri Sekali.
Morgan m******t bibirnya, ekspresi nya seperti menahan tawa. “Yakin?”
“Iyalah.” Sahut Elisa tambah percaya diri.
“Masa sih? Padahal di pipi lo itu masih ada sarang laba-laba sisa-sisa pulau kapuk lo itu keknya.”
DAMM!!
APAKAH ITU BENAR?
Elisa cepat-cepat meraba area pipi dan dekat sudut bibirnya. Seketika matanya membulat dengan rona merah menjalar di pipinya. Suara gelak tawa semakin membuat dirinya malu.
Percaya diri yang tadinya tinggi kini anjlok.
ANJIR MALU BANGEEET!!
“s****n! Nggak usah ketawa lo k*****t!” sentak Elisa memasang wajah segarang mungkin pada Morgan. Tetapi cowok itu malah ikut menirukan nya dengan tawa keras mengejek.
“HAHAHA!”
Sungguh mendengar suara tawa Morgan membuat Elisa ingin mengubur dirinya sendiri di balik selimut, di kegelapan malam, dan di ruangan yang tidak bisa di tembus orang lain. Sungguh, dia sangat malu!
Di sudut lain, ada cowok tampan yang sejak tadi memperhatikan. Sebabnya karena terganggu dengan obrolan keras yang membuat acara sarapannya menjadi tidak khidmat.
Maka dari itu, ia mengecek dan langsung disuguhkan pemandangan yang memuakkan.
Keharmonisan antara adik dan rivalnya.
Cih. Garvin melengos lalu pergi dengan aura tak bersahabat yang kental.
***