bc

ARUNIKA

book_age16+
3
FOLLOW
1K
READ
family
fated
friends to lovers
princess
heir/heiress
blue collar
drama
sweet
bxg
serious
kicking
rebirth/reborn
ancient
like
intro-logo
Blurb

Sekar Ayu Pramesti, seorang arsitek muda yang jatuh cinta pada jejak sejarah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah ketika ia menjejakkan kaki di Taman Sari Yogyakarta. Sebuah lorong rahasia yang tersembunyi di balik dinding tua menyeretnya ke masa lalu, ke era kolonial Belanda, ke dalam tubuh seorang putri yang namanya begitu mirip dengannya, Putri Dyah Sekarjati.

Sebagai putri sulung Raja Mataram, Dyah Sekarjati dikenal angkuh, keras kepala, dan tak pernah mau kalah. Namun di balik tabiatnya, ia memiliki kecerdasan langka dalam memahami tata ruang dan keindahan istana. Kehidupannya yang serba megah berubah ketika ia dipertemukan dengan seorang kesatria gagah, Raden Adipati Wiranegara. Sosok yang kelak menyingkap makna sejati cinta dan pengorbanan.

Terdorong oleh dua dunia yang saling bertaut, Sekar harus menghadapi pertanyaan terbesar dalam hidupnya, yakni:

"Apakah ia hanya pengunjung sesaat di masa lalu, ataukah takdir memang membawanya kembali untuk menebus sesuatu yang pernah terjadi berabad-abad lalu?"

Ketika masa kini dan masa lalu berpadu, cinta bukan lagi sekadar perasaan—melainkan jembatan yang melampaui ruang dan waktu.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Pagi di Jakarta selalu memiliki wajah yang berbeda bagi setiap orang. Bagi sebagian, ia hanyalah deretan lampu merah, klakson, dan asap kendaraan yang tak ada habisnya. Namun bagi Sekar Ayu Pramesti, pagi adalah panggung di mana sejarah dan masa kini saling bertabrakan. Di tengah keramaian kota, sebuah bangunan tua bergaya art deco berdiri, nyaris terlupakan oleh waktu. Catnya telah pudar, dindingnya dipenuhi retakan, dan atapnya bocor di sana-sini. Namun bagi Sekar, bangunan ini adalah naskah tua yang menunggu untuk dibaca kembali, sebuah buku sejarah yang halaman-halamannya harus dijaga agar tidak dibakar oleh keserakahan modernitas. Sekar Ayu Pramesti, arsitek konservasi yang namanya sudah sering menghiasi jurnal arsitektur dan forum internasional. Fisiknya mencuri perhatian: mata indah yang bening dan penuh cahaya, seperti dua cermin yang mampu memantulkan keteguhan hati sekaligus kerentanan jiwa. Alisnya tebal dan rapi, melengkung seperti bulan sabit yang kokoh, memberi sorot ekspresi yang selalu tegas. Hidungnya mancung, memberi kesan aristokrat Jawa yang kuat. Bibir atasnya tebal, bibir bawahnya agak tipis hingga kontras yang membuat setiap senyumnya terlihat lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Pipi chubby-nya, meski sering ia anggap sebagai kelemahan, justru memberi wajahnya kehangatan yang membuat orang lain tak bisa membencinya terlalu lama meski ia sedang marah. Leher jenjang menopang posturnya yang membentuk inverted triangle berupa ahu lebar, pinggang ramping, tubuh yang memancarkan keyakinan diri seorang perempuan yang tahu persis apa yang ia perjuangkan. Namun fisik hanyalah pintu masuk. Sifat Sekar jauh lebih memikat. Ia tegas, terutama dalam urusan pekerjaan. Ia cerdas, dengan wawasan yang melampaui sekadar hitungan struktur bangunan, ia memahami makna sejarah yang terkandung di dalamnya. Tetapi di balik ketegasannya, ada sisi sensitif yang sering muncul dalam urusan hati. Ia bisa menegur dengan suara lantang ketika pekerja lalai, namun bisa menangis diam-diam di kamar saat teringat ayahnya yang dulu sering mengajaknya berjalan di antara bangunan tua dan menceritakan kisah-kisah masa lampau. Pagi itu, Sekar berdiri di tengah debu proyek. Helm kuning terpasang rapi di kepalanya, tablet di tangan menampilkan denah digital dengan catatan merah di berbagai sudut. “Pak Andri!” suaranya meninggi, menusuk riuh suara palu dan gergaji. “Saya sudah bilang, bagian itu jangan disentuh dulu! Itu bukan tembok biasa, itu bagian asli dari 1930. Kalau dihancurkan, strukturnya nggak bisa kita pulihkan lagi!” Beberapa pekerja yang sedang mengangkat material berhenti, saling pandang dengan wajah tegang. Seorang mandor berusaha menjelaskan, namun suaranya kalah oleh nada tegas Sekar. “Kalau kalian terus sembarangan, kita bukan lagi restorasi, tapi perusakan. Paham nggak? Ini bukan proyek apartemen, ini bangunan bersejarah! Kalau bagian itu runtuh, kalian tahu berapa banyak nilai sejarah yang hilang? Itu warisan!” Nada suaranya keras, membuat suasana menegang. Sekar melangkah cepat, boots hitamnya menghentak lantai berdebu. Ia menunjuk dinding yang hampir roboh karena salah pengerjaan. Tubuhnya tegap, tatapannya menusuk. Pekerja yang berada di dekatnya menunduk, beberapa bahkan pura-pura sibuk. Sekar menahan napas, kepalanya pening. Ia merasa seperti berteriak ke dinding kosong. “Ya Allah... kenapa susah sekali ngajarin mereka untuk hati-hati?” gumamnya lirih. Di belakangnya, langkah pelan seorang perempuan terdengar. Ratna, asisten pribadinya, muncul dengan wajah teduh. Rambutnya diikat sederhana, kemeja putih dan celana hitam memberi kesan rapi. Ratna sudah terbiasa menghadapi badai amarah sang atasan, dan ia tahu saat ini Sekar butuh jangkar agar tidak tenggelam dalam emosinya sendiri. “Mbak Sekar,” panggil Ratna lembut. “Apa lagi, Na? Aku benar-benar pusing. Mereka nggak ngerti-ngerti! Salah sedikit saja, seluruh struktur bisa bergeser. Itu bahaya, bukan cuma buat bangunan ini, tapi buat mereka juga!” Sekar melontarkan kata-katanya cepat, seperti peluru. Ratna tidak langsung menjawab. Ia tahu, menunggu adalah kunci. Setelah Sekar sedikit berhenti, barulah ia berkata, “Mbak, duduk dulu sebentar. Saya bawain air minum.” Sekar menghela napas kasar, melepas helmnya, dan duduk di kursi lipat. Ratna menyerahkan botol air mineral. Sekar meneguknya habis-habisan. “Kamu tahu nggak, Na? Rasanya kayak semua orang lebih peduli sama uang daripada sejarah. Padahal tanpa sejarah, kita ini apa?” suaranya melembut, matanya menatap kosong ke arah dinding tua yang penuh luka. Ratna tersenyum tipis. “Saya tahu, Mbak. Tapi mereka pekerja. Mereka butuh waktu untuk paham. Tugas Mbak ya ngajarin mereka, sabar, dan jangan lupa jaga diri sendiri.” Sekar menutup mata, merasakan denyut di pelipisnya. Ia tahu Ratna benar. Tapi beban ini terlalu berat. “Kadang aku iri sama kamu, Na. Bisa tenang terus. Kalau aku? Sedikit salah saja, langsung kepikiran, langsung meledak,” gumamnya. Ratna tertawa kecil. “Kalau Mbak nggak keras kepala, bangunan ini udah jadi apartemen sejak lama. Justru karena Mbak begini, warisan ini bisa bertahan.” Sekar membuka mata, menatap langit biru yang terselip di antara scaffolding besi. Ada lega, tapi juga lelah. “Na, janji ya. Kalau suatu hari aku mulai lupa kenapa aku ada di sini, kamu ingetin aku lagi.” Ratna mengangguk. “Saya janji, Mbak.” Sekar berdiri lagi, mencoba mengendalikan suasana. Ia mendekati pekerja, suaranya kali ini lebih terukur. “Bapak-bapak, saya tahu ini nggak mudah. Tapi saya minta tolong, ikuti arahan. Kalau salah, kita bisa kehilangan semua. Jangan sampai anak cucu kita cuma bisa lihat foto hitam putih, padahal bangunannya masih ada.” Kata-katanya membuat beberapa pekerja terdiam. Mereka mulai mengangguk, memahami setidaknya sebagian dari apa yang diperjuangkan perempuan itu. Namun di balik ketegasan itu, ada gelombang lain dalam hati Sekar. Ia teringat pada masa kecilnya, ketika ayahnya menggandeng tangannya menyusuri jalanan kota tua. Sang ayah bercerita tentang gedung-gedung yang pernah menjadi markas perjuangan, tentang jendela-jendela yang dulu mengintip pasukan penjajah, tentang pintu kayu yang menjadi saksi bisu perjanjian rahasia. Sejak saat itu, Sekar berjanji akan menjaga apa yang orang lain anggap remeh. Kini, janji itu terasa berat. Sekar tahu ia tidak bisa sendirian. Namun, ia lebih percaya pada dinding bata yang retak daripada pada manusia yang sering ingkar. Hari itu berlalu dengan riuh yang sama. Pekerja memperbaiki kesalahan, mandor berulang kali meminta arahan, dan Sekar terus mondar-mandir dengan tablet di tangan. Setiap detail ia periksa, setiap retakan ia amati. Ratna selalu berada di dekatnya, menyiapkan dokumen, memastikan jadwal rapat, hingga sekadar mengingatkan Sekar untuk makan siang. Namun Sekar sering mengabaikan tubuhnya. Baginya, pekerjaan adalah prioritas. Ia lebih rela pusing daripada melihat sepotong sejarah hilang karena kelalaian. Matahari mulai condong ke barat. Suara azan asar terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan debu proyek. Sekar berdiri di tengah halaman, tangannya terlipat di d**a. Ia memandang bangunan tua itu dengan sorot mata campuran: cinta, lelah, dan tekad. “Na,” katanya pelan. “Kalau orang-orang tanya kenapa aku ngotot banget, jawabanmu apa?” Ratna menoleh, berpikir sejenak. “Karena Mbak percaya, sejarah bukan cuma cerita, tapi bagian dari kita. Kalau kita hilangkan, kita juga hilang sebagian dari diri sendiri.” Sekar tersenyum tipis. “Jawabanmu selalu lebih sederhana dari pikiranku, tapi selalu benar.” Langit sore mulai berubah warna. Burung-burung kembali ke sarang, sementara lampu-lampu kota bersiap menyala. Namun bagi Sekar Ayu Pramesti, hari belum berakhir. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Di balik ketegasan, kecerdasan, dan emosinya yang meledak-ledak, ada hati yang sensitif, mudah luka namun juga mudah tersentuh. Dan di sanalah paradoks itu hidup, membuat dirinya tak hanya menjadi arsitek, tetapi juga penjaga waktu. Bangunan tua itu hanyalah satu dari sekian banyak yang harus ia selamatkan. Namun di setiap proyek, ada cerita baru, ada pertarungan baru, ada bagian dari dirinya yang ikut diuji. Dan kisah Sekar baru saja dibuka. Kisah seorang perempuan yang memilih untuk berdiri di antara puing-puing masa lalu dan gempuran masa kini. Seorang perempuan yang berani memikul beban sejarah, meski itu berarti harus sering marah, sering lelah, dan sering merasa sendiri. Namun di balik itu semua, Sekar tetaplah Sekar dengan mata indah, alis bulan sabit, senyum yang kadang tersembunyi di balik amarah, hati yang sensitif, dan jiwa yang tak pernah berhenti melawan lupa. *** Jam dinding di dashboard mobil menunjukkan pukul 19.00 tepat ketika Sekar memasuki halaman rumah sederhananya di kawasan Jakarta Utara. Mobil hitam yang setiap hari menemaninya melintasi panas dan debu kota perlahan masuk ke garasi sempit yang sudah ia kenal luar dalam. Rumah itu tidak besar, bahkan bisa dibilang sederhana dibandingkan profesinya yang gemilang. Namun bagi Sekar, rumah itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa meletakkan semua topeng ketegasan yang ia kenakan sepanjang hari. Mesin mobil dimatikan, suara bising kota teredam, meninggalkan keheningan yang justru menenangkan. Sekar menyandarkan kepala sebentar di kursi pengemudi, menarik napas panjang, sebelum akhirnya turun dan menutup pintu mobil dengan pelan. Ia berjalan melewati teras kecil, membuka pintu rumah, dan disambut aroma khas kayu tua bercampur wangi melati dari vas kecil di meja ruang tamu. Tanpa banyak basa-basi, Sekar langsung menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya yang seharian berdebu. Rasa lelah seakan larut bersama aliran air, meski kepalanya masih dipenuhi dengan hitungan denah, kekhawatiran struktur, dan suara pekerja yang terus terngiang. Setelah bersih, ia mengganti pakaiannya dengan baju tidur sederhana berwarna biru pucat. Rambutnya yang masih sedikit basah ia ikat seadanya. Sekar menatap cermin sebentar, wajahnya tampak lebih lembut tanpa helm proyek, tanpa kacamata kerja, tanpa raut serius. Ada sisi manusiawi yang hanya bisa ia temui di rumah seperti pipi chubby yang merah karena mandi air hangat, mata yang agak sayu tapi tetap memancarkan semangat. Ia melangkah ke ruang makan kecil yang menyatu dengan dapur. Meja makan sederhana dengan taplak bermotif kotak biru-putih sudah menunggu. Di atasnya, ada sepiring nasi hangat, sayur bening, dan ikan goreng yang sempat ia beli di warung langganan sebelum pulang. Sekar duduk, menyalakan lampu meja, lalu membuka map besar berisi dokumen proyek restorasi. Tangannya mengambil sendok, sementara matanya sudah terpaku pada halaman-halaman laporan. Suara gesekan kertas bercampur dengan denting sendok mengenai piring. Sesekali ia menghela napas panjang, dahi berkerut, lalu menandai bagian tertentu dengan stabilo kuning. “Hmm... bagian fondasi sisi barat ini harus dicek ulang. Kalau beban distribusi nggak seimbang, bisa bahaya...” gumamnya, setengah untuk dirinya sendiri. Makan malam berjalan lambat, lebih banyak diselingi dengan tatapan serius ke arah dokumen. Sesekali ia berhenti, meneguk segelas air putih, lalu kembali menekuni catatan. Di luar, suara azan isya mulai berkumandang, namun Sekar masih larut dalam dunianya sendiri. Malam semakin pekat, tapi ia merasa belum pantas merebahkan tubuhnya. Ada rasa bersalah jika ia tidur terlalu cepat, seakan waktu yang ia miliki untuk melindungi bangunan-bangunan tua itu akan habis begitu saja. Akhirnya, di antara kesunyian rumah sederhana itu, Sekar duduk sendirian: seorang perempuan yang tegas di luar, tapi lembut di dalam; seorang arsitek yang mengorbankan kenyamanan pribadinya demi menjaga ingatan kolektif bangsa. Dan meski hari begitu panjang, semangat di matanya masih belum padam. *** Ruang makan kecil itu masih dipenuhi kertas-kertas proyek ketika telepon rumah berdering. Suaranya khas, bunyi *triiing... triiing...* yang sudah jarang terdengar di era ponsel pintar. Sekar mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen, sedikit terkejut karena jarang sekali ada yang menghubungi lewat saluran telepon rumah. Ia bangkit, berjalan menuju meja kecil di ruang tamu tempat telepon kabel berwarna putih gading diletakkan. Dengan gerakan refleks, ia mengangkat gagangnya. “Halo, Sekar di sini,” ucapnya sambil mengusap sisa lelah di wajah. “Sekar, ini Mama,” suara lembut penuh kehangatan terdengar dari ujung sana. “Mama...” Sekar langsung tersenyum kecil, meski tak terlihat oleh lawan bicaranya. “Apa kabar? Tadi siang aku nggak sempat angkat telepon, lagi di proyek.” “Kabarnya baik, Nak. Kamu sendiri gimana? Suaramu kok agak capek. Jangan terlalu dipaksa kerja terus,” suara itu mengalun, memberi rasa damai yang hanya bisa hadir dari seorang ibu. Sekar tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Aku baik, Ma. Cuma tadi di lapangan agak ribet. Tapi udah aman sekarang. Mama kenapa? Ada perlu apa telepon malam-malam?” Mama di ujung sana terdengar tertawa kecil. “Mama cuma mau tanya, hari Jumat nanti kamu bisa pulang ke Bogor nggak? Papa kamu udah beberapa kali bilang kangen. Katanya, rumah ini sepi tanpa kamu.” Sekar terdiam sebentar. Ia menoleh ke meja makan, melihat dokumen proyek yang masih menumpuk. Ada bagian yang harus selesai segera, laporan yang harus ia kirim ke klien sebelum tenggat. Namun, kata-kata ibunya membuat hatinya bergetar. Rumah Bogor selalu menjadi tempat yang dirindukan, tapi pekerjaan seolah tak pernah memberi celah. “Hmm... Jumat ya, Ma?” Sekar menimbang-nimbang. “Aku coba atur jadwal. Kalau bisa, aku pulang. Kalau nggak, mungkin Sabtu pagi.” “Jangan lupa, Nak. Kamu ini kerja keras banget, sampai kadang Mama khawatir. Rumah orangtua itu bukan cuma tempat singgah, tapi juga tempat kamu istirahat,” suara Mama terdengar pelan, tapi sarat makna. Sekar menutup mata, meresapi kalimat itu. “Iya, Ma. Aku usahakan.” Percakapan itu berlanjut dengan hal-hal sederhana seperti kabar tetangga, tanaman di halaman rumah, bahkan kucing yang akhir-akhir ini sering tidur di teras. Sekar merasa sedikit hangat, seakan beban seharian tadi mereda hanya dengan mendengar suara ibunya. Namun, saat ia sedang berbicara, ponselnya yang tergeletak di meja makan bergetar pelan. Layar menyala, memperlihatkan notifikasi email masuk. Sekar melirik sekilas, dan alisnya terangkat. Nama pengirim: r.adp.wirajaya@gmail.com Subjek: Proposal Awal Proyek Konservasi Taman Sari Yogyakarta. Ia sempat melupakan kalimat terakhir ibunya karena rasa penasarannya. Nama itu tidak asing, tapi juga tidak dekat. Ia jarang berurusan dengan Wirajaya, seorang konsultan yang pernah sekali bertemu dengannya di seminar nasional. Email dengan subjek formal, dikirim malam-malam, terasa seperti undangan pada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pekerjaan. “Sekar, kamu dengerin Mama nggak?” suara ibunya menyadarkannya. Sekar buru-buru tersenyum dan kembali fokus. “Iya, Ma. Maaf, tadi ada email masuk. Tapi aku denger kok. Mama jangan khawatir. Jumat nanti aku coba pulang.” “Baiklah. Mama tunggu, ya. Jangan lupa jaga kesehatan. Mama sayang kamu.” Sekar merasakan sesuatu menghangat di dadanya. “Aku juga sayang Mama.” Telepon ditutup, meninggalkan keheningan. Sekar berdiri beberapa saat, lalu berjalan kembali ke meja makan. Ia mengambil ponselnya, membuka layar, dan menatap email itu dengan saksama. Yth. Ibu Sekar Ayu Pramesti, Dengan hormat, saya, Wirajaya, bermaksud mengajukan pembahasan awal terkait proyek konservasi kompleks Taman Sari di Yogyakarta. Mengingat reputasi dan pengalaman Ibu dalam bidang ini, kami sangat berharap Ibu berkenan menjadi bagian dari tim utama. Detail lampiran tertera pada file berikut. Sekar membaca perlahan, lalu meletakkan ponselnya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Proyek Taman Sari bukan proyek biasa, ia adalah warisan besar yang tak hanya menyimpan sejarah, tapi juga simbol budaya. Sekar menarik kursinya, duduk kembali, dan menatap dokumen di depannya. Ia tahu malam ini ia tidak akan bisa tidur cepat. Ada sesuatu yang menanti, sesuatu yang mungkin akan mengubah arah langkahnya. Di luar, kota Jakarta terus berdengung. Namun di dalam rumah sederhana itu, Sekar baru saja menerima dua panggilan berbeda. Satu dari ibunya yang mengingatkan arti pulang, dan satu dari seorang laki-laki bernama Wirajaya, yang mengundangnya pada babak baru perjuangan di dunia konservasi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
312.2K
bc

Too Late for Regret

read
297.5K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.7K
bc

The Lost Pack

read
415.9K
bc

Revenge, served in a black dress

read
149.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook