BAB 1

2290 Words
Suara alarm dari jam weker tua di meja kecil sebelah ranjang membuat Sekar terbangun. Jam menunjukkan pukul enam pagi. Dengan malas ia meraih jam itu, mematikan bunyinya, lalu bangkit sambil meregangkan tubuh. Udara pagi yang masuk lewat jendela terasa segar, membuat rasa kantuk perlahan hilang. Hari ini ia ingin tampil sederhana namun tetap rapi. Sekar membuka lemari pakaian, mengambil tanktop putih yang nyaman dipadukan dengan celana jeans biru muda. Untuk luaran, ia memilih cardigan warna navy yang sudah jadi andalannya. Setelah memastikan pilihannya, ia menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya segar kembali. Seusai mandi, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk lalu hair dryer kecil yang sudah ia siapkan. Sekar menatap pantulan dirinya di cermin. “Oke, siap untuk hari ini,” gumamnya pelan. Dengan tanktop dan celana jeans yang sudah terpakai, ia berjalan ke dapur. Di dapur, Sekar menyiapkan sarapan sederhana. Sepotong roti panggang, telur mata sapi, dan beberapa potong buah segar. Ia juga tak lupa membuat minuman protein yang sudah jadi rutinitas hariannya. Bagi Sekar, menjaga stamina adalah bagian penting agar bisa terus fokus bekerja. Saat sedang mengaduk minuman protein dalam shaker, ponselnya berdering. Layar menunjukkan nama Ratna. Sekar segera mengangkatnya. “Pagi, Mbak,” suara Ratna terdengar di ujung telepon. “Pagi juga, Ratna. Ada apa pagi-pagi gini?” tanya Sekar sambil tersenyum tipis. “Ada kabar penting, Mbak. Siang ini jadwalnya ada pertemuan dengan Tuan Wirajaya, terkait proyek Taman Sari. Beliau sudah konfirmasi hadir.” Sekar berhenti sejenak, mengingat nama yang semalam muncul di email. “Baik, terima kasih Ratna sudah mengingatkan. Tolong siapkan semua dokumen yang berkaitan ya.” “Siap, Mbak. Nanti saya kirimkan berkas ringkasannya ke email Mbak juga.” “Baik. Kita ketemu di kantor, Ratna.” Telepon berakhir, Sekar menaruh ponselnya di meja dapur. Matanya sempat melirik ke arah pintu kaca yang terbuka, cahaya matahari pagi masuk perlahan. Ada rasa aneh yang menyeruak di dadanya. Nama Wirajaya bukanlah sekadar nama asing; ada sesuatu yang terasa misterius di baliknya. Tapi Sekar tahu satu hal, ia harus tetap tenang, bersiap menghadapi pertemuan siang nanti. Ia mengambil sarapannya, duduk di kursi tinggi dapur, sambil memikirkan langkah apa saja yang harus ia lakukan sebelum siang tiba. Hari baru dimulai, dan Sekar siap menghadapinya. *** Mobil Sekar berhenti tepat di depan gedung kantornya. Ia mematikan mesin, merapikan cardigan navy yang membalut tubuhnya, lalu turun dengan langkah mantap. Pagi itu suasana kantor cukup ramai; beberapa karyawan baru saja tiba, sementara sebagian lain sudah sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Sekar berjalan melewati lobi dengan wajah datar. Pandangan orang-orang mengikuti setiap langkahnya. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sekadar menatap kagum. Sekar sama sekali tidak menghiraukan. Baginya, semua tatapan itu hanyalah suara latar yang tak perlu diperhatikan. Fokusnya hanya satu: sampai di ruangannya dan memulai pekerjaan. Tepat saat ia hendak membuka pintu ruangannya, ponselnya berbunyi. Ternyata panggilan video dari tiga adiknya sekaligus. Senyum tipis muncul di wajah Sekar, lalu ia mengangkat panggilan itu. “Mbakyuuuuu!” suara Nayla yang ceria langsung terdengar, disusul wajah Ayu dan Kirana di layar. “Ada apa kalian bertiga pagi-pagi sudah heboh?” tanya Sekar sambil tertawa kecil. Ayu, yang sedang mengenakan jas lab praktikum, membuka pembicaraan. “Mbak, hari ini kita ada jadwal pulang bareng. Bisa jemput aku di Binawan dulu nggak? Soalnya agak repot kalau aku sendiri.” Kirana segera menimpali, “Iya, Mbak. Kebetulan aku sama Nayla satu kampus, jadi gampang kalau sekalian dijemput. Sekalian quality time, dong.” Nayla mengangguk dengan wajah penuh harap. “Mbak, please. Udah lama kita nggak pulang rame-rame. Aku janji traktir es krim kalau Mbak mau!” Sekar tak bisa menahan tawa. Ketiga adiknya itu memang selalu berhasil membuat suasana jadi ringan. “Iya deh, aku jemput kalian semua. Tapi jangan telat ya, aku nggak mau buang waktu muter-muter.” “Siap, Komandan!” jawab mereka bertiga hampir bersamaan. Setelah panggilan berakhir, Sekar menaruh ponselnya di meja kerjanya. Senyumnya masih tersisa. Di balik kesibukannya mengurus pekerjaan besar, memiliki tiga adik yang penuh semangat selalu menjadi alasan bagi Sekar untuk pulang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka dokumen yang sudah disiapkan Ratna. Siang ini akan jadi panjang, dan malamnya ia sudah punya janji untuk menjemput ketiga gadis kecilnya yang kini tumbuh jadi mahasiswi penuh mimpi. Ruang rapat di lantai tujuh sudah disiapkan dengan rapi. Di atas meja kayu panjang berwarna mahoni, map-map proyek dan cetakan gambar Taman Sari tersusun berdampingan dengan gelas-gelas kaca berisi air mineral. Sekar memasuki ruangan dengan langkah mantap, membawa map pribadinya. Ratna ikut mendampingi, memastikan semua detail administrasi tidak terlewat. Seorang pria paruh baya dengan kemeja putih rapi sudah duduk di ujung meja. Rambutnya hitam pekat meski mulai terselip helai uban, dan wajahnya memancarkan wibawa seorang pebisnis. Dialah Wiryajaya. Begitu pintu terbuka dan Sekar masuk, pria itu mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Sekar—lama, terlalu lama. Seolah waktu terhenti. Matanya menatap tanpa kedip, hingga Sekar sempat merasa kikuk. Ada keterkejutan jelas yang tercermin, bahkan tangannya yang tadinya menggenggam pulpen tampak melemah dan jatuh di atas meja. Sekar berhenti sejenak, lalu mencoba memecah kebekuan. “Selamat siang, Tuan Wiryajaya.” Ia mengulurkan tangan dengan profesional. Butuh beberapa detik sebelum pria itu tersadar. Ia berdiri, menyambut uluran tangan Sekar. “Siang… Nona Sekar,” jawabnya pelan, seakan lidahnya kaku. Sekar sempat mengernyitkan alis. Ada yang aneh dari respon itu. Namun ia memilih menepis pikiran, lalu duduk di kursinya. “Baiklah, mari kita mulai. Saya sudah mempelajari konsep dasar yang Bapak kirimkan terkait proyek revitalisasi Taman Sari. Ada beberapa poin yang menurut saya harus diperbaiki.” Ia membuka map, mengeluarkan sketsa awal, dan mulai menjelaskan. “Bagian gerbang utama tidak bisa hanya diperkuat dengan beton biasa. Kita harus mempertimbangkan bahan tradisional yang sesuai, lalu dilapisi dengan teknik konservasi modern. Kalau tidak, nilai historisnya hilang.” Ratna mencatat dengan cepat, sementara Wiryajaya masih menatap Sekar. Tatapannya tidak hanya penuh perhatian, melainkan seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Ada kehangatan, ada kerinduan. Seolah ia sedang melihat seseorang yang sangat berarti baginya—bukan sekadar arsitek yang bekerja dengannya. Sekar berusaha tetap fokus, meski hatinya mulai resah. Ia merasakan sorotan itu menusuk, membuatnya tidak nyaman. “Apakah ada yang salah dengan penjelasan saya, Tuan?” tanyanya akhirnya, suaranya tegas. Wiryajaya tersentak, lalu tersenyum samar. “Tidak… tidak ada yang salah. Penjelasan Anda sangat detail. Hanya saja…” Ia terdiam lagi, seolah menimbang kata-kata. “Anda benar-benar mirip dengan seseorang yang saya kenal dulu.” Sekar menghela napas pelan, menegakkan tubuhnya. Ia tidak ingin percakapan keluar dari jalur profesional. “Saya mengerti. Tapi mungkin sebaiknya kita fokus dulu pada proyek, Tuan. Masih banyak aspek teknis yang harus dibicarakan.” “Baiklah,” Wiryajaya mengangguk, namun tatapan matanya tak juga berubah. Masih sama yang penuh rasa, penuh tanda tanya. Sekar berpura-pura tidak peduli. Ia kembali menunjuk sketsa di atas meja, menjelaskan tentang rencana konservasi dinding kolam dan pola tata air. Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya. Siapa sebenarnya wanita yang dimaksud Wiryajaya? Dan mengapa tatapannya membuat d**a Sekar sesak, seperti sedang menyimpan rahasia yang tidak ia pahami? Sekar menekankan jarinya pada salah satu sketsa dinding kolam. “Ini area paling rentan. Retakan kecil sudah mulai tampak, dan kalau tidak segera ditangani, bisa merembet ke struktur bawah tanah. Saya sarankan menggunakan teknik injeksi grouting tradisional yang dikombinasikan dengan material ramah lingkungan. Tujuannya menjaga kekuatan tanpa merusak keaslian.” Ratna mengangguk sambil mengetik cepat di laptop. Suasana rapat mulai hidup, tetapi Sekar bisa merasakan tatapan Wiryajaya yang tak kunjung lepas dari dirinya. Sekali pun pria itu berusaha tampak fokus, ada momen-momen di mana pandangannya jatuh terlalu lama, seakan menembus lapisan profesionalitas yang Sekar bangun. “Kalau soal anggaran, bagaimana menurut Anda, Nona Sekar?” tanya Wiryajaya, suaranya tenang namun matanya masih sama—penuh kerinduan yang tak dipahami. Sekar menegakkan punggung. “Anggaran memang besar, tapi ini proyek konservasi. Bukan soal murah atau mahal, melainkan nilai sejarah yang harus dipertahankan. Jika Bapak hanya berpikir tentang angka, proyek ini tidak akan berjalan dengan benar.” Nada suaranya tegas, bahkan sedikit keras. Ratna sempat melirik sekilas, khawatir suasana menjadi panas. Namun Wiryajaya justru tersenyum tipis, seperti semakin terkesan dengan ketegasan Sekar. “Anda mengingatkan saya pada seseorang,” gumamnya, kali ini lebih pelan, hampir tak terdengar. Sekar menoleh tajam. “Tuan Wiryajaya, saya rasa kita sudah cukup membahas teknis utama. Sisanya bisa saya susun dalam laporan detail dan saya kirimkan lewat email.” Pria itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Saya akan menunggu laporan itu.” Rapat pun perlahan ditutup. Ratna membereskan dokumen, sementara Sekar berdiri, merapikan cardigan navy-nya. Sebelum melangkah keluar, ia kembali menangkap tatapan itu. Tatapan yang membuatnya merinding—bukan karena takut, melainkan karena ada sesuatu yang terasa… terlalu dekat, terlalu pribadi. Di lorong, Ratna berjalan di sampingnya. “Mbak, tadi Tuan Wiryajaya kayak… aneh, ya?” tanyanya hati-hati. Sekar hanya menarik napas panjang. “Entahlah, Ratna. Tatapannya bikin risih. Seolah dia tahu sesuatu tentang aku… sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak tahu.” Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Namun dalam hatinya, benih rasa penasaran mulai tumbuh. Siapa sebenarnya Wiryajaya? Dan mengapa tatapannya seolah membawa pesan dari masa lalu yang tak pernah ia kenal? Sore itu, cahaya matahari yang masuk lewat kaca besar ruang kerja Sekar mulai meredup. Meja kerjanya dipenuhi sketsa, laporan, dan catatan teknis proyek Taman Sari. Ratna duduk di seberang, masih sibuk merapikan dokumen. “Mbak,” suara Ratna pelan, “boleh aku pulang agak cepat nggak hari ini?” Sekar mengangkat kepala dari layar laptop. “Cepat? Memangnya ada urusan apa?” Ratna tersenyum canggung. “Aku ada janji… kencan sama dia.” Sekar terdiam sejenak. Alisnya sedikit mengernyit. “Kencan lagi? Ratna, aku bukannya mau ikut campur, tapi kamu yakin sama dia? Sifatnya kan… kamu tahu sendiri. Temperamental. Aku nggak mau kamu disakiti.” Ratna buru-buru menggeleng, matanya berusaha meyakinkan. “Mbak, tenang aja. Dia memang keras kalau ngomong, tapi sebenarnya baik. Aku bisa ngadepin kok.” Sekar bersandar di kursinya, menghela napas panjang. Ada nada keberatan di suaranya. “Aku tetap nggak suka cara dia memperlakukanmu. Kamu berhak dapat yang lebih baik, Ratna.” Ratna menatapnya sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Aku tahu Mbak khawatir. Tapi percayalah, aku bisa jaga diri. Lagipula, kalau aku kenapa-kenapa, Mbak pasti orang pertama yang aku hubungi.” Sekar terdiam, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi janji, jangan biarkan dia bikin kamu sakit hati lagi.” “Janji,” jawab Ratna mantap. Mereka pun kembali bekerja, meski Sekar masih menyimpan sedikit kegelisahan. Ia menyibukkan diri dengan laporan untuk Wiryajaya, sementara Ratna mengetik beberapa catatan terakhir. Setelah jam kerja dianggap cukup, Ratna berkemas dan pamit lebih dulu. Sekar menutup laptopnya, merapikan map, lalu berdiri. Ia mengambil ponsel dari meja dan mengirim pesan singkat ke grup keluarga: “Ayu, Kirana, Nayla.. bersiap ya. Kakak sebentar lagi jemput kalian.” Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Pesan balasan dari ketiga adiknya masuk hampir bersamaan: penuh emotikon hati, tanda seru, dan semangat. Sekar tersenyum kecil, kelelahan seolah sedikit mereda. Ia lalu mengambil kunci mobil dan berjalan keluar kantor. Hari yang panjang masih berlanjut, tapi kali ini ia akan menghabiskannya bersama adik-adiknya yang selalu jadi sumber kekuatan. Ada alasan mengapa jarak usia antara Sekar dan adik-adiknya begitu rapat, seakan disusun dengan hitungan. Sekar, yang kini berusia 25 tahun, adalah sulung. Tiga tahun di bawahnya lahir Ayu, lalu selisih dua tahun lahirlah Kirana, dan dua tahun berikutnya Nayla menjadi bungsu. Bukan tanpa sebab. Orangtua mereka dahulu begitu menginginkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Setelah Sekar lahir, harapan itu semakin besar. Namun setelah empat kali mencoba, semua anak yang lahir adalah perempuan. Pada akhirnya, orangtua Sekar menyerah pada keinginan itu dan justru memusatkan kasih sayang pada keempat putri mereka. Sekar tumbuh dengan beban sebagai kakak sulung yang harus menjadi penopang, sementara adik-adiknya hidup dengan semangat kebersamaan yang membuat keluarga itu kuat. Sore itu, setelah meninggalkan kantor, Sekar melajukan mobilnya menuju Universitas Negeri Jakarta. Jalanan padat, tapi ia tetap fokus. Dua puluh menit kemudian, mobilnya sudah berhenti di depan gerbang kampus. Tak lama, Kirana dan Nayla muncul dari kerumunan mahasiswa yang pulang. Mereka berjalan beriringan, tertawa kecil sambil melambai ke arah mobil Sekar. Begitu masuk, keduanya langsung mencium tangan kakaknya. “Assalamu’alaikum, Mbak,” ucap Kirana sambil tersenyum cerah. “Wa’alaikumsalam,” jawab Sekar, balas tersenyum. Nayla sudah lebih dulu merebahkan tubuh di jok belakang. “Mbak, aku capek banget, kelas tari hari ini latihan full!” katanya sambil memijat betisnya. Sekar terkekeh kecil lalu mengeluarkan tiga botol minuman dingin yang sempat ia beli di perjalanan. “Nih, aku bawain buat kalian.” “Ya ampun, Mbak baik banget!” seru Kirana sambil segera membuka botol dan meneguk isinya. Nayla tak kalah heboh, langsung meminum dengan wajah puas. Perjalanan berlanjut ke Universitas Binawan. Di sana, Ayu sudah menunggu di dekat sebuah warung kecil. Begitu melihat mobil Sekar, ia tersenyum lega dan segera masuk, duduk di kursi depan. “Assalamu’alaikum, Mbak,” ucapnya, mencium tangan Sekar. “Wa’alaikumsalam. Capek, Yu?” tanya Sekar. “Lumayan. Tadi habis praktik di lab,” jawab Ayu sambil tersenyum. Sekar kembali menyalakan mesin, mobil melaju memasuki jalan tol. Sore berganti senja, dan di dalam mobil suasana menjadi hangat. Ketiganya saling bertukar cerita: Kirana dengan kisah kelas komunikasinya yang penuh drama, Nayla dengan kelucuan di kelas tari, dan Ayu dengan praktik kebidanan yang kadang membuatnya panik. Sekar mendengarkan sambil sesekali menyelipkan komentar, membuat tawa mereka pecah berulang kali. Saat obrolan mulai mereda, Sekar melirik ketiga adiknya. “Kalau kalian terlalu capek untuk pulang ke Bogor malam ini, tidur aja di rumah Mbak. Nggak usah maksain balik.” Ketiga adiknya langsung bersorak kecil. “Setuju! Mbak kan rumahnya lebih deket, kita bisa istirahat dulu,” jawab Kirana semangat. Sekar hanya tersenyum sambil fokus ke jalan. Dalam hatinya, ia merasa lega. Meski hidup penuh tekanan kerja, saat bersama adik-adiknya, beban itu sedikit terasa ringan. Mereka adalah alasan ia terus kuat berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD