BAB 2

2406 Words
Langit senja mulai beranjak gelap ketika mobil Sekar meluncur mulus keluar dari tol. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menuntun perjalanan mereka menuju rumah sederhana di Bogor. Di dalam mobil, suasana begitu hangat. Tawa dan canda dari ketiga adiknya masih terdengar riuh, membuat kelelahan Sekar seakan sirna perlahan. Namun kali ini, ada sesuatu yang ingin Sekar sampaikan. Ia menoleh sebentar pada Ayu yang duduk di kursi depan, lalu kembali fokus ke jalan. “Eh, ngomong-ngomong, malam ini kita nggak sendirian lho.” “Lho, maksud Mbak apa?” tanya Kirana dari kursi tengah sambil memeluk botol minumannya. Sekar menarik napas singkat, lalu menjawab, “Sahabatku dari SD, Aria, mau nginap di rumah kita. Karena dia bingung mau kemana dulu malam ini, jadi ikut pulang bareng kita. Nanti kita ketemu di sana.” “Aria?” Nayla langsung mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berbinar. “Itu Mbak Aria yang sering cerita sama Mama? Yang dulu suka main ke rumah waktu kecil?” “Iya, itu dia.” Sekar tersenyum tipis, matanya tetap menatap jalan. “Namanya memang kayak laki-laki, tapi dia perempuan. Kalian juga kan udah sering dengar Mama nyebut-nyebut Aria.” Kirana langsung berseru heboh, “Ya ampun, akhirnya bisa ketemu juga sama Mbak Aria! Aku sering denger cerita Mbak soal dia. Katanya orangnya rame, ya?” Sekar mengangguk. “Iya, dia memang rame dan agak unik. Tapi dia juga perhatian sama keluarga. Makanya, kalau dia datang, aku mau kalian anggap kayak keluarga sendiri.” Ketiga adiknya sontak semakin bersemangat. Nayla bahkan bertepuk tangan kecil. “Untung stok samyang di kamar aku masih banyak. Besok aku ajak Mbak Aria mukbang! Aku pengen lihat dia kuat nggak makan pedes.” Ayu yang biasanya lebih kalem ikut tersenyum. “Kalau aku sih penasaran sama ceritanya Mbak Aria tentang kakak. Soalnya selama ini cuma dengar versi Mbak Sekar. Aku pengen tahu, siapa yang suka jahil waktu kecil, siapa yang sering nangis.” Ucapan itu membuat Sekar melirik sekilas dengan tatapan tajam bercampur geli. “Jangan coba-coba gali cerita masa kecilku, Yu. Aria itu mulutnya kayak keran bocor.” Mereka pun tertawa bersamaan, membuat suasana mobil semakin cair. Kirana, yang memang selalu antusias dengan dunia kecantikan, sudah merancang rencana sendiri. “Mbak, nanti malem kita skincare-an bareng aja yuk. Aku, Mbak, sama Mbak Aria. Jadi kayak girls night gitu. Seru banget kan?” Nayla tak mau kalah. “Ya tapi sebelum skincare, mukbang dulu dong. Aku nggak bisa fokus maskeran kalau perut kosong.” Ayu hanya menggeleng sambil tertawa kecil melihat ulah kedua adiknya. “Dasar kalian. Aku sih ikut aja, yang penting nggak berisik pas aku udah tidur.” “Ya ampun, Ayu. Baru umur dua puluh dua udah kayak emak-emak aja, gampang ngantuk,” ledek Kirana, disambut tawa Nayla. Sekar mendengar semua itu dengan hati yang hangat. Di balik kesibukan pekerjaan yang kerap menyita waktunya, momen bersama adik-adiknya selalu terasa istimewa. Malam ini pun tampak akan lebih spesial, dengan kehadiran Aria yang sudah lama tidak menginap bersama mereka. Mobil terus melaju melewati jalanan Jakarta yang ramai. Lampu toko dan kendaraan menciptakan riak cahaya di kaca depan. Sekar sempat teringat kembali masa kecilnya bersama Aria, sahabat yang selalu ada di setiap fase hidupnya. Dari SD, SMP, hingga SMA, mereka hampir tak terpisahkan. Aria tahu banyak tentang dirinya, bahkan sisi-sisi yang tidak semua orang bisa pahami. Kini, setelah bertahun-tahun, rasanya menyenangkan sekali membawa Aria kembali ke rumah keluarga. “Mbakyu,” suara Nayla memecah lamunannya. “Nanti kalau Mbak Aria beneran nginep, aku tidur di kamar kamu aja, boleh nggak? Biar Mbak Aria bisa di kamar aku. Kasur aku kan empuk.” Sekar tersenyum samar. “Nggak usah repot, Nay. Kita atur nanti aja kalau udah sampai rumah. Lagian, Aria itu orangnya gampang tidur, nggak bakal rewel.” Kirana menimpali cepat, “Pokoknya aku tetep vote skincare bareng. Mbak nggak boleh nolak!” “Dan aku vote mukbang!” sahut Nayla keras, membuat mereka kembali ribut kecil. Sekar menggeleng dengan sabar. “Dasar adik-adikku ini. Yang ada kalian nanti malah berisik sampai Mama keluar kamar.” Obrolan itu terus bergulir sepanjang perjalanan, diwarnai tawa dan canda yang tak putus. Hingga akhirnya, mobil berbelok ke jalan kecil yang menuju rumah orangtua mereka. Rumah modern dengan pagar besi hitam itu sudah tampak dari kejauhan, lampu-lampu teras menyala hangat menyambut kepulangan mereka. Sekar memperlambat laju mobil, lalu memarkirnya di garasi samping. “Kita sampai,” katanya sambil mematikan mesin. Kirana dan Nayla hampir bersamaan bersorak kecil, sementara Ayu menghela napas lega. Mereka semua tak sabar untuk masuk dan melihat Aria. Sekar menatap rumah keluarganya. Rumah yang hanya memiliki satu lantai tapi begitu luas. Bahkan ada lima kamar didalamnya. Di balik pintu rumah yang cukup mewah itu, malam yang hangat telah menanti. Bukan hanya karena kembalinya empat bersaudara ini, tetapi juga karena kehadiran seseorang dari masa lalu, seorang sahabat lama yang akan membuat cerita malam itu semakin berwarna. Begitu mobil Sekar berhenti di halaman rumah, suara riang dari ketiga adiknya langsung terdengar memenuhi udara. Mereka begitu bersemangat, bukan hanya karena akhirnya tiba di rumah setelah perjalanan panjang, tetapi juga karena tahu sahabat lama Sekar, Aria, akan menginap malam itu. Pintu rumah terbuka lebar, aroma masakan khas Mama tercium lembut, bercampur dengan kehangatan suasana rumah yang selalu menenangkan. Di ruang tamu, Mama duduk anggun mengenakan kebaya sederhana berwarna krem, rambutnya disanggul rapi. Di sampingnya, Papa yang mengenakan kaos batik duduk santai sambil tersenyum hangat. Namun, perhatian Sekar langsung tertuju pada sosok perempuan seusianya yang duduk bersama mereka. Rambut hitam lurus, kemeja putih dipadu blazer abu-abu, dan celana kain rapi membuatnya tampak seperti seorang akuntan profesional. “Aria!” seru Sekar dengan nada penuh kejutan dan kebahagiaan. Gadis itu segera berdiri, wajahnya cerah seolah semua lelah pekerjaan hilang begitu saja. Sekar langsung memeluknya erat, pelukan yang menyimpan cerita panjang persahabatan sejak mereka SD. “Akhirnya kita ketemu lagi,” bisik Sekar, matanya sedikit berkaca-kaca. Aria tertawa kecil, menepuk punggung Sekar. “Iya, Kar. Aku juga kangen banget sama kamu. Sibuk banget sih sampai susah banget ketemu.” Ketiga adik Sekar yang dari tadi berdiri di belakang langsung maju dengan wajah sumringah. Ayu, Kirana, dan Nayla berebut menyapa. “Mbak Aria!” seru Nayla paling keras sambil melambaikan tangan. Aria menoleh, matanya berbinar saat melihat ketiga adik sahabatnya yang kini sudah tumbuh besar. “Ya ampun, kalian udah gede semua sekarang. Aku kangen banget sama kalian.” Kirana langsung menggamit lengan Aria. “Mbak, nanti malam kita skincare bareng, ya? Aku udah siapin sheet mask.” Nayla tak mau kalah. “Mbak Aria juga harus ikut mukbang samyang sama aku. Aku masih punya stok banyak di kamar.” Ayu hanya tersenyum tipis, tapi jelas terlihat matanya juga penuh kebahagiaan. “Senang bisa ketemu lagi, Mbak.” Aria tertawa geli, hatinya hangat melihat sambutan heboh itu. “Wah, seru banget nih kalau kalian masih sama kayak dulu, penuh energi.” Di sisi lain, Papa berdiri dan langsung meraih Sekar ke dalam pelukannya. “Sekar, kamu sehat kan? Gimana kerjaan di kantor? Kamu masih betah?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Sekar mengangguk, tersenyum menenangkan. “Alhamdulillah sehat, Pa. Kerjaan juga baik-baik aja. Capek sih, tapi ya dinikmati aja.” Mama tersenyum sambil berdiri, kemudian mendekati mereka. “Sudah-sudah, nanti ngobrolnya bisa sambil makan. Ayo kalian semua cuci tangan dulu, Mama sudah siapin makan malam.” Nayla spontan bersorak, “Yeay, makan malam Mama! Pasti enak!” Kirana menambahkan dengan semangat, “Mbak Aria juga pasti kangen masakan Mama kan?” Aria mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kangen banget. Masakan Tante itu nggak pernah ada tandingannya.” Dengan riuh rendah tawa dan obrolan yang tak ada habisnya, mereka pun menuju meja makan. Kehangatan keluarga kembali terasa lengkap malam itu, dengan kehadiran sahabat lama yang kembali menyatu dalam lingkaran kebersamaan mereka. Meja makan malam tampak penuh dengan aneka lauk pauk yang menggugah selera. Ada ayam goreng kremes yang masih hangat, sayur asem dengan aroma segar, sambal terasi yang pedasnya menusuk hidung, tahu-tempe goreng, serta ikan bakar dengan sambal kecap yang membuat siapa pun ingin segera menyantapnya. Nasi putih mengepul di dalam kukusan, menambah suasana makan semakin mengundang. Sekar, Aria, ketiga adiknya, serta kedua orangtua mereka duduk mengelilingi meja. Obrolan hangat pun mulai mengalir, diselingi suara sendok dan garpu beradu. Nayla, seperti biasa, jadi pusat perhatian dengan celotehnya. “Tadi di sanggar ada temen Nayla yang jago banget main gamelan, Ma, Pa. Tangannya kayak nggak pernah salah pukul, bener-bener pas banget sama irama. Kalau Mbak Sekar denger, mungkin Mbak bisa sekalian nembang, kan suara Mbak indah banget.” Sekar terkekeh sambil menoleh ke Nayla. “Kamu ini ada-ada aja, Nay. Memangnya kamu udah yakin temenmu segitu hebatnya?” Nayla mengangguk mantap. “Iya dong, Mbak! Serius. Nanti kalau ada acara di sanggar, Nayla ajak Mbak Sekar buat datang, biar Mbak bisa sekalian nunjukkin suara merdu Mbak ke mereka.” Mama tersenyum sambil menyendokkan sayur asem ke mangkuk Nayla. “Nayla ini memang suka sekali pamerin kakaknya,” katanya lembut. Tak lama kemudian, giliran Kirana yang ikut menyampaikan kabar. “Pa, Ma, Senin depan aku harus ke kantor jurnalis buat belajar beberapa hal terkait mata kuliah. Jadi nanti mungkin aku pulang agak sore.” Sekar langsung menoleh dengan cepat. “Kalau gitu biar aku aja yang anter, Ran. Biar lebih aman.” Kirana menggeleng pelan, tersenyum penuh keyakinan. “Nggak usah, Mbak. Aku bisa sendiri kok. Lagipula, aku juga harus belajar mandiri.” Papa hanya mengangguk, tampak bangga pada putri ketiganya. “Bagus kalau kamu sudah berani begitu. Tapi tetap hati-hati, jangan sampai lengah.” Lalu Papa menoleh ke arah Ayu, putri keduanya. “Kalau Ayu gimana kuliahnya?” Ayu meletakkan sendoknya sebentar sebelum menjawab. “Tadi siang kami kedatangan seorang dokter muda dari RS Cipto Mangunkusumo, Pa. Beliau ngisi materi lab. Cara beliau menjelaskan itu asik banget, jadi kami gampang paham. Rasanya jadi tambah semangat kuliah.” Mama tersenyum bangga, sementara Sekar memandang Ayu dengan tatapan kagum. “Wah, keren banget, Yu. Semoga nanti kamu bisa kayak beliau, ya.” Suasana makan makin hangat hingga Papa kini menoleh ke Sekar. “Kalau kamu, Kar? Bagaimana kerjaanmu?” Sekar meletakkan sendoknya sejenak, menarik napas sebelum menjawab. “Baru aja aku dapat proyek baru, Pa. Namanya proyek Taman Sari. Lumayan besar dan menantang. Banyak yang harus diurus, tapi aku seneng bisa dipercaya.” Papa mengangguk pelan, matanya tampak penuh perhatian. “Taman Sari, ya? Kalau nggak salah, klienmu itu Wiryajaya, kan?” Sekar menatap papanya dengan sedikit terkejut. “Iya, Pa. Kok Papa tahu?” Papa tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada lebih serius. “Wiryajaya itu bukan orang sembarangan, Kar. Dia sudah mendapat gelar dari keraton, Raden Adipati. Itu artinya dia dipercaya untuk mengurus suatu wilayah. Jadi, hati-hati dalam bekerja sama dengan dia. Bukan cuma soal bisnis, tapi juga soal kehormatan dan tata krama.” Sekar mengangguk, menyimpan baik-baik nasihat itu. “Baik, Pa. Aku akan ingat.” Aria yang duduk di samping Sekar hanya tersenyum sambil memperhatikan interaksi keluarga itu. Baginya, berada di tengah-tengah kehangatan rumah sahabatnya membuat rasa lelahnya sedikit mereda. Sementara itu, ketiga adik Sekar saling bertukar pandang, merasa kagum mendengar cerita tentang klien kakaknya yang ternyata punya hubungan langsung dengan sejarah keraton. Makan malam pun kembali dilanjutkan, kali ini dengan rasa penasaran dan semangat yang semakin mengisi hati mereka masing-masing. Setelah makan malam selesai, Sekar duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba layar ponsel itu menyala, menampilkan nama Pak Wiryajaya. Sekar sempat mengerutkan dahi, lalu dengan santai mengangkat panggilan itu. “Selamat malam, Mbak Sekar,” suara Wiryajaya terdengar tenang, tapi ada nuansa hangat yang membuat Sekar sejenak berhenti memikirkan hal lain. “Malam juga, Pak Wiryajaya,” jawab Sekar datar, menjaga formalitas. “Ada yang ingin saya bahas terkait proyek Taman Sari. Apa Mbak Sekar berkenan jika kita bertemu untuk makan siang bersama?” tanyanya dengan nada sopan. Sekar menimbang sebentar, lalu menjawab, “Boleh. Tapi kapan, Pak?” “Sabtu ini, kalau Mbak tidak keberatan.” Sekar tersenyum kecil, meski ia tahu Wiryajaya tak bisa melihat. “Sabtu itu hari libur, Pak. Jadi jangan terlalu formal, ya. Kita ngobrol santai saja.” Wiryajaya terdiam sejenak, lalu terdengar suara tertawanya. “Baiklah, saya setuju. Kalau begitu, saya tunggu di sebuah kafe di area Bogor. Nanti saya kirimkan alamatnya via pesan.” “Siap, Pak,” jawab Sekar singkat. Setelah ucapan salam penutup, telepon pun terputus. Dari arah ruang makan, Papa yang baru selesai merapikan gelas bersama Mama menyahut, “Kalau begitu, malam ini kalian jangan serius-serius amat. Sana, habiskan waktu di dekat kolam renang. Mama sudah siapkan tempat buat kalian bersantai.” Benar saja, di dekat kolam renang kecil yang ada di halaman belakang rumah, sudah tersedia tikar, beberapa bantal besar, dan lampu taman yang temaram menciptakan suasana hangat. Kirana langsung berseru ceria, “Kalau gitu kita ganti baju dulu, yuk! Pake kemben kain aja biar santai.” Nayla menyusul dengan ide yang tak kalah heboh. “Mbak, Mbok bisa bikinin samyang sepuluh porsi nggak, sekalian minuman segar buat kita berlima? Seru banget kalau makan bareng di pinggir kolam.” Sekar menepuk jidat, menghela napas panjang. “Astaga, Nay. Itu artinya aku harus diet lagi kalau nggak mau tambah chubby.” Ketiga adiknya malah tertawa terbahak-bahak, tidak peduli wajah Sekar yang setengah pasrah. Papa tersenyum sambil menggandeng Mama. “Kalau begitu, Papa sama Mama masuk kamar aja, biar kalian bisa bersenang-senang.” Sekar pun mengajak Aria ke kamarnya untuk mencari kain batik. Begitu masuk, aroma melati yang lembut langsung menyapa. Aria menghirup dalam-dalam. “Seperti biasa, kamar kamu selalu harum, Kar. Aku iri deh.” Sekar hanya tersenyum sambil membuka lemari, mengeluarkan dua kain batik halus. “Nih, pilih mana yang kamu suka.” Aria mengambil salah satunya sambil duduk di tepi ranjang. “Makasih. Kadang aku iri sama kamu juga, Kar. Kamu punya pekerjaan yang jelas-jelas kelihatan hasilnya. Gedung, bangunan bersejarah, semua bisa orang lihat. Kalau aku? Cuma angka-angka di laporan keuangan. Bikin pusing kepala.” Sekar tertawa kecil sambil mengikat rambutnya. “Tapi justru angka itu yang bikin perusahaan berdiri tegak. Kalau nggak ada akuntan publik kayak kamu, bisa berantakan semua.” Sambil mengganti baju, Sekar sempat mengambil beberapa lembar kertas sketsa dari mejanya dan menunjukkan pada Aria. “Ini gambaran awal proyek Taman Sari. Masih kasar, tapi nanti akan aku presentasikan.” Aria menatapnya dengan kagum. “Kamu memang selalu serius kalau soal pekerjaan, Kar. Aku bangga sama kamu.” Sekar hanya tersenyum, lalu bersama-sama mereka keluar kamar, siap bergabung dengan ketiga adik yang sudah menunggu di pinggir kolam dengan wajah penuh semangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD