BAB 4

2087 Words
Pagi itu matahari Jakarta menembus perlahan lewat jendela kamar Sekar, menyapu lembut wajahnya yang baru saja terbangun. Ia mengerjap pelan, lalu menoleh ke samping. Aria, sahabat perempuannya yang seumuran dengannya, masih terlelap dengan posisi miring, rambutnya sedikit berantakan di atas bantal. Ada ketenangan tersendiri melihat Aria begitu nyenyak, seolah beban kerja yang semalam ia ceritakan benar-benar lenyap saat tertidur di rumah sahabat lamanya. Sekar tersenyum tipis, lalu duduk di tepi ranjang untuk merapikan rambutnya dengan jari. Setelah itu ia meraih ponselnya di meja kecil. Layarnya sudah dipenuhi notifikasi, tetapi satu pesan langsung menarik perhatiannya. Pesan dari Wiryajaya. “Selamat pagi, Mbak Sekar. Siang ini kita bisa bertemu untuk membicarakan proyek Taman Sari. Saya sudah memilih tempatnya, sebuah café bernuansa Jawa. Ini saya kirimkan maps lokasinya.” Sekar membuka tautan maps yang dikirimkan. Café itu tampak unik—dinding kayu dengan ukiran khas Jawa, atap limasan, dan halaman kecil dengan taman bunga. Bahkan menunya yang terpampang di situs resmi café didominasi makanan tradisional seperti gudeg, garang asem, hingga wedang uwuh. Sekar menimbang sejenak, lalu mengetik balasan. “Baik, Tuan Wiryajaya. Kebetulan saya akan pergi bersama sahabat saya. Apa boleh jika saya mengajaknya?” Balasan dari Wiryajaya datang tidak lama setelahnya. “Tentu saja, Mbak Sekar. Kebetulan saya juga ingin mengajak sahabat saya agar pertemuan lebih santai. Sampai jumpa siang nanti.” Sekar menarik napas panjang. Ada sedikit rasa penasaran bercampur gugup di dadanya. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar pembicaraan proyek, ada sesuatu dari tatapan Wiryajaya kemarin yang masih membekas—tatapan yang penuh kerinduan, entah mengapa. Ia segera menoleh lagi ke arah Aria yang masih tidur, lalu menepuk bahunya pelan. “Aria, bangunlah. Kita ada janji siang ini.” Aria membuka mata setengah sadar. “Hmm… ada apa, Sekar?” suaranya serak karena baru bangun. “Aku sudah janjian bertemu dengan Tuan Wiryajaya untuk bahas proyek. Kamu ikut denganku. Jadi ayo bangun, nanti tidak sempat bersiap.” Aria hanya mengangguk kecil sebelum menarik selimut, mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Sekar berdiri, meraih handuk, lalu keluar kamar. Ia memilih mandi di kamar Nayla yang pagi itu sudah kosong karena adik bungsunya kuliah pagi. Sedangkan Aria dibiarkan memakai kamar mandi di kamar Sekar. Selesai mandi, Sekar mengenakan setelan yang sudah ia siapkan, tanktop putih polos, rok lilit berwarna ungu lavender, dan blazer putih dengan motif etnik halus. Ia menambahkan riasan sederhana seperti bedak tipis, eyeliner halus, serta lipstik berwarna nude dan sepasang anting kecil berbentuk bunga. Hasilnya elegan sekaligus profesional, namun tetap memberi sentuhan anggun khas dirinya. Di sisi lain, Aria yang sudah selesai mandi tampak kebingungan memilih pakaian. Sekar pun mendekatinya dengan beberapa helai busana di tangan. “Aria, pakailah ini saja. Blazer putih etnik sama seperti punyaku, lalu tanktop putih, kain batik pink, dan celana kulot putih. Cocok untukmu, terlihat sopan dan tetap modern.” Aria tersenyum lega. “Kamu memang selalu tahu cara membuat orang terlihat pantas, Sekar.” Setelah keduanya selesai berdandan, mereka berdiri di depan cermin besar kamar Sekar. Pemandangan yang terpancar hampir seperti bayangan kembar—sama-sama memakai blazer putih etnik, namun Sekar dengan rok lilit lavender dan Aria dengan kain pink. Sama-sama cantik, sama-sama berwibawa, tetapi tetap memancarkan kepribadian berbeda. “Kita terlihat seperti partner kerja sungguhan, ya,” ucap Aria sambil terkekeh kecil. Sekar hanya tersenyum samar, lalu meraih tas kerja dan kunci mobil. “Mari kita berangkat. Aku ingin sampai di café sebelum waktunya supaya bisa membaca suasana dulu.” Mereka berdua turun ke garasi. Mobil Sekar, sebuah sedan hitam yang selalu terawat sudah menunggu. Sekar duduk di kursi kemudi, Aria di sampingnya. Mesin menyala, dan mereka pun meluncur keluar menuju jalanan Bogor yang mulai padat. Di sepanjang perjalanan, Aria melirik Sekar yang tampak fokus menyetir. “Sekar, kamu tampak lebih serius dari biasanya. Apakah karena pertemuan dengan Tuan Wiryajaya ini?” Sekar tidak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu berkata pelan. “Ada sesuatu pada caranya menatapku kemarin, Aria. Tatapan itu… seperti tatapan orang yang sudah lama mengenalku. Aku sendiri bingung harus menanggapinya bagaimana.” Aria mengerutkan alis, tetapi hanya menepuk bahu Sekar ringan. “Jangan terlalu dipikirkan. Fokuslah pada proyekmu. Kalau memang ada yang lebih dari itu, biarkan waktu yang menjawab.” Sekar tersenyum tipis, merasa sedikit lega dengan kata-kata sahabatnya. Mobil mereka terus melaju, menembus hiruk pikuk Jakarta, hingga akhirnya berbelok menuju arah Kota Bogor sesuai petunjuk maps yang dikirimkan oleh Wiryajaya. Jalanan semakin sejuk dengan pepohonan di kanan kiri, udara pun mulai terasa lebih bersih. Hingga akhirnya, di depan mereka tampak sebuah bangunan café bergaya Jawa dengan arsitektur kayu ukir yang megah namun tetap hangat. Halaman kecilnya dipenuhi bunga-bunga tropis, dan alunan gamelan halus terdengar samar dari dalam. Sekar memarkirkan mobil di depan café itu. Ia dan Aria saling bertukar pandang sebentar, lalu tersenyum. “Mari kita lihat, Aria. Mungkin ini awal dari sesuatu yang besar, entah untuk pekerjaanku, atau mungkin lebih dari itu,” ucap Sekar sambil menatap café dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. Aria menanggapi dengan senyum penuh dukungan. “Apa pun itu, aku di sini untuk menemanimu, Sekar.” Mereka pun turun dari mobil, melangkah beriringan menuju pintu café, bersiap untuk bertemu dengan Wiryajaya dan sahabatnya. Begitu Sekar dan Aria melangkah masuk ke café bernuansa Jawa itu, aroma kopi tubruk bercampur wedang jahe menyambut mereka, bersama denting lembut gamelan yang diputar di sudut ruangan. Pencahayaan hangat dari lampu gantung rotan menambah suasana semakin akrab. Sekar langsung menyapu pandangan ke seluruh ruangan, hingga matanya tertumbuk pada dua pria yang duduk santai di dekat jendela besar. Lokasi meja itu strategis, cahaya matahari menembus kaca, jatuh tepat ke meja kayu jati tempat mereka duduk. Keduanya mengenakan kemeja putih rapi yang dilipat di pergelangan, dipadukan dengan celana beige yang sederhana namun memberi kesan elegan. Sekar langsung mengenali salah satunya, Wiryajaya. Ia duduk tegak, senyum tipis menghiasi wajahnya ketika pandangannya beradu dengan Sekar. Seperti kemarin, tatapan itu kembali, tatapan yang penuh arti, seolah menyimpan kerinduan yang tak pernah terucapkan. Sekar menarik napas pendek, lalu berbisik pada Aria. “Itu Tuan Wiryajaya. Mari kita ke sana.” Mereka pun berjalan mendekat. Sekar tersenyum sopan lalu menyapa. “Selamat siang, Tuan Wiryajaya.” Wiryajaya segera berdiri, menyambut dengan ramah. “Selamat siang, Mbak Sekar. Silakan duduk. Senang akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Sekar lalu menoleh ke sahabatnya. “Perkenalkan, ini sahabat saya, namanya Aria. Kami sudah bersahabat sejak SD.” Aria tersenyum dan menjabat tangan Wiryajaya dengan sopan. “Senang bertemu dengan Anda, Tuan.” Namun senyum Aria segera berubah menjadi keterkejutan begitu matanya berpaling ke pria yang duduk di samping Wiryajaya. Bibirnya terbuka pelan, nyaris tak percaya. “Rangga?!” serunya refleks. Pria itu menoleh, lalu tertawa kecil. “Aria? Wah, tidak kusangka kita bertemu di sini.” Sekar menatap Aria dengan bingung. “Kamu kenal, Aria?” Aria segera menjelaskan. “Ini Rangga, teman kerja yang cukup dekat denganku. Kami sering mengerjakan beberapa laporan bersama.” Sekar sedikit terkejut, tapi lebih bingung lagi ketika mendengar jawaban Rangga. “Kebetulan sekali, ya. Karena saya sahabat lama Wiryajaya. Makanya saya di sini menemaninya.” Ada momen canggung yang singkat. Namun berbeda dengan Aria dan Rangga yang langsung larut dalam obrolan ringan tanpa ragu, Sekar dan Wiryajaya masih terjebak dalam keheningan yang tebal. Tatapan mereka bertemu sesekali, membuat Sekar merasa risih, meski ada bagian dalam dirinya yang enggan berpaling. Akhirnya Sekar membuka percakapan, mencoba mengalihkan perhatian pada hal yang profesional. “Baiklah, Tuan Wiryajaya, mengenai proyek Taman Sari… saya ingin mendengar detail langsung dari Anda. Apa yang menjadi prioritas utama dalam revitalisasi ini?” Wiryajaya mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya tenang, jelas. Ia menjelaskan satu per satu seperti pelestarian struktur asli, penggunaan bahan tradisional, hingga penguatan narasi sejarah yang akan disisipkan dalam bentuk ruang pamer. Sesekali matanya menatap langsung ke mata Sekar, dan setiap kali itu terjadi, Sekar merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan seakan sedang dibaca habis oleh lelaki itu. Setelah cukup lama berdiskusi, Wiryajaya akhirnya berkata, “Mbak Sekar, menurut saya akan lebih efektif jika Anda bisa berada di Jogja selama dua minggu penuh. Dengan begitu, Anda bisa mengawasi secara langsung tiap tahap awal pekerjaan.” Sekar terdiam sejenak. Dua minggu jelas terlalu lama. Ia masih memiliki proyek-proyek lain di Jakarta yang tak bisa ia abaikan. Aria pun spontan menatapnya dengan kaget, seperti meminta penjelasan. Sekar menggeleng pelan. “Saya rasa itu terlalu lama, Tuan. Saya masih harus mengawasi proyek lain di Jakarta. Maksimal saya hanya bisa satu minggu di Jogja.” Wiryajaya menatapnya cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, satu minggu. Itu sudah cukup, asalkan kita gunakan waktunya sebaik mungkin.” Sekar menghela napas lega. “Saya akan berangkat bersama Aria. Kami sudah berencana menyewa villa untuk tempat singgah selama seminggu. Jumat hingga Minggu, adik-adik saya juga akan menyusul ke sana. Setelah itu, saya akan kembali ke Jakarta.” Wiryajaya tersenyum tipis, lalu menimpali dengan nada hangat. “Kalau begitu, tidak usah repot menyewa villa. Gunakan saja villa saya di dekat Keraton. Lebih praktis, lebih nyaman, dan tentu saja… lebih aman. Anggaplah itu bentuk dukungan dari saya untuk pekerjaan besar ini.” Sekar terdiam sesaat, menimbang tawaran itu. Namun akhirnya ia mengangguk. “Kalau begitu, saya terima. Terima kasih banyak, Tuan Wiryajaya.” Sementara itu, Aria menoleh pada Rangga, seakan baru teringat sesuatu. “Rangga, kalau begitu aku akan mengambil cuti seminggu. Aku memang belum pernah ambil cuti sama sekali tahun ini, jadi rasanya pantas kalau kupakai sekarang.” Rangga terkekeh sambil mengangkat alis. “Ambil saja, Aria. Lagipula perusahaan tempatmu bekerja itu milik keluargaku. Aku rasa tidak akan ada yang berani memprotes.” Aria mencubit lengan Rangga dengan kesal. “Jangan sombong begitu, Rangga.” Mereka berdua tertawa, membuat suasana meja menjadi lebih cair. Namun di sisi lain, Sekar masih merasakan ketegangan samar setiap kali tatapannya bertemu dengan Wiryajaya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami, sesuatu yang seolah menariknya semakin dekat pada pria itu. Percakapan di meja kayu panjang yang menghadap jendela besar itu semula mengalir biasa, ringan, namun perlahan berubah arah ketika Wiryajaya menatap Sekar dengan sorot mata yang sulit diartikan. Suasana kafe bernuansa Jawa itu seakan menambah kesakralan setiap kata yang terucap. “Sekar…” ucap Wiryajaya pelan, namun mantap, membuat Sekar yang sedang memegang cangkir tehnya menoleh penuh perhatian. "Ada apa ya tuan?" "Bisa ga sih kamu jangan panggil saya Tuan? Panggil aja Mas kalau diluar jam kerja. Apa kamu tau, tidak semua orang bisa begitu cepat menyelami suasana Jogja, apalagi keraton dan sekitarnya. Biasanya, hanya mereka yang memiliki keterikatan darah… atau jiwa… yang merasakannya begitu alami.” Sekar terdiam. Kata-kata itu melayang di udara, seperti kode yang tak tertulis. Ia merasakan dadanya berdesir, tapi wajahnya tetap tenang. Aria, yang duduk di sampingnya, sempat melirik dengan tatapan penuh tanda tanya. “Darah bangsawan… maksudnya apa, Mas Wiryajaya?” tanya Sekar hati-hati, berusaha menjaga sopan santun. Wiryajaya tersenyum tipis, lalu melirik sekilas ke arah Aria yang juga tengah memperhatikannya. “Kalian berdua… entah sadar atau tidak, memancarkan sesuatu yang berbeda. Ada wibawa, ada keteguhan hati, dan ada rasa yang… jarang dimiliki orang biasa. Seperti darah bangsawan yang tak bisa disembunyikan, meski kalian tidak pernah mengenalnya secara langsung.” Aria sontak menegang. Kedua tangannya yang berada di pangkuan saling menggenggam. “Saya? Bangsawan?” tanyanya lirih, hampir tidak percaya. Sekar mencoba meredam ketidaknyamanan itu dengan senyum tipis. “Saya tidak yakin soal itu, Mas. Keluarga kami hidup sederhana, tidak pernah merasa punya kaitan dengan keraton atau darah bangsawan.” Rangga yang sejak tadi hanya menatap mereka berdua, tiba-tiba tersenyum tenang. Pandangannya jatuh ke wajah Aria yang terlihat bingung, bahkan nyaris polos. “Tidak heran kalau kalian terkejut. Tapi memang ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika. Kadang, jejak leluhur tetap melekat, meski tidak dicatat di kertas manapun.” Aria menatap Rangga, seakan mencari kepastian apakah itu hanya candaan atau sungguhan. "Ngga… apa benar?” tanyanya ragu. Rangga menunduk sedikit, lalu menatapnya lagi dengan senyum yang hangat. “Aria, kamu tidak perlu bingung. Waktu akan menjawab semua. Yang jelas, ada hal-hal yang tidak kebetulan, termasuk pertemuan malam ini.” Sekar menahan napas. Kata-kata itu semakin menambah teka-teki di pikirannya. Ia merasa seperti ditarik pada sesuatu yang samar, sesuatu yang ingin ia tolak tapi sekaligus ingin ia yakini. Tatapan penuh kerinduan Wiryajaya saat menatapnya kembali terbayang. “Kalau memang begitu,” ucap Sekar pelan sambil meletakkan cangkir tehnya, “mungkin nanti Jogja sendiri yang akan memberi jawabannya pada kami.” Wiryajaya menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Jogja selalu menyimpan rahasia, Sekar. Rahasia yang hanya bisa dibuka oleh mereka yang berani mencari.” Suasana meja itu mendadak hening, seakan semua orang sedang larut dalam pikirannya masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD