BAB 5

2730 Words
Suasana di meja kayu panjang itu akhirnya mulai mencair setelah beberapa saat sebelumnya penuh dengan kalimat-kalimat misterius dari Wiryajaya. Makanan tradisional dengan sentuhan modern sudah tersaji; ada gudeg dalam piring keramik, ayam goreng bumbu kelapa, hingga segelas wedang uwuh yang hangat aromanya. Semua orang tampak mulai rileks, meninggalkan kecanggungan yang sempat menghantui pertemuan awal mereka. Sekar, yang duduk di seberang Wiryajaya, sesekali menyuap nasi dan lauk dengan rapi, memperhatikan bagaimana lawan bicaranya menjaga sopan santun bahkan ketika hanya mengangkat sendok. Aria sudah lebih dulu cair, karena Rangga yang duduk di sampingnya selalu melontarkan candaan kecil, membuatnya sesekali tertawa menutup mulut dengan tangan. Di sela-sela obrolan ringan itu, Wiryajaya mendadak menatap Sekar dengan keseriusan yang membuat perempuan itu menegakkan punggung. “Sekar,” ucapnya pelan namun jelas, “kamu tidak perlu membeli tiket pesawat untuk perjalanan ke Jogja nanti. Biar saya yang urus. Untuk kamu dan Aria, saya yang akan belikan.” Sekar sempat terdiam. Sendok di tangannya berhenti di atas nasi. Tatapannya bergeser ke Aria, yang menatap balik penuh tanda tanya. Lalu Sekar menggeleng pelan. “Terima kasih, Mas Wiryajaya. Tapi saya bisa membeli sendiri. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya,” katanya dengan suara terjaga, penuh tata krama. Wiryajaya tidak membalas segera. Ia hanya meneguk wedang uwuhnya, lalu meletakkan gelas itu kembali. Senyumnya lembut namun penuh ketegasan. “Kalau begitu, tiket untuk kamu dan Aria saya anggap selesai. Jangan menolak. Anggap saja itu bentuk terima kasih saya karena kamu sudah bersedia membantu proyek ini.” Sekar menghela napas pelan. Ia tahu dari raut wajah Wiryajaya bahwa tidak ada gunanya berdebat. Akhirnya ia mengangguk kecil. “Baik, kalau memang Mas ingin begitu. Saya tidak akan memperpanjang.” Namun baru saja ia merasa lega, Wiryajaya kembali berbicara. “Dan… saya juga akan membelikan tiket untuk tiga adikmu. Bukankah mereka akan ikut menyusul hari Jumat? Tidak perlu khawatirkan biaya, Sekar. Semua akan saya urus.” Sekar sontak menoleh. Sorot matanya tajam, tapi tidak kasar. Ada tegas sekaligus canggung dalam suaranya. “Mas, untuk adik-adik saya, biar saya saja yang urus. Mereka tanggung jawab saya. Saya tidak ingin membebani orang lain.” Aria sempat melirik cepat ke wajah sahabatnya. Ia tahu betul, Sekar selalu menjaga martabatnya dan keluarganya. Namun Wiryajaya tidak mundur. Ia mencondongkan badan sedikit, menatap Sekar dengan penuh keyakinan. “Sekar, jangan berpikir begitu. Saya tidak merasa terbebani. Justru, saya senang kalau bisa memastikan semua orang yang kamu sayangi merasa nyaman saat di Jogja nanti. Saya anggap mereka bagian dari kamu. Jadi, biarkan saya yang urus.” Sekar mengerjap pelan. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya, tapi juga ada rasa segan yang begitu kuat. Tatapannya turun ke piring seakan mencari jawaban dari sana. “Saya… tidak ingin mereka merasa harus berhutang budi pada orang lain, Mas.” Wiryajaya tersenyum samar, menatapnya dengan penuh ketulusan. “Sekar, kebaikan yang lahir dari niat tulus tidak pernah menjadi hutang budi. Percayalah.” Hening sesaat mengisi meja itu. Aria menatap Sekar, berusaha mendukung lewat tatapan tanpa kata. Rangga hanya tersenyum kecil sambil meneguk minumnya, seakan sudah terbiasa melihat keras kepala perempuan yang duduk di sampingnya itu. Akhirnya, dengan helaan napas pasrah, Sekar menunduk kecil sebagai tanda setuju. “Baiklah, Mas. Kalau memang Mas memaksa, saya terima. Tapi hanya kali ini saja.” Senyum Wiryajaya mengembang, begitu lembut dan penuh lega. “Terima kasih, Sekar.” Aria menepuk pelan tangan sahabatnya di bawah meja, seakan berkata tanpa suara kalau tidak apa-apa, kamu sudah berusaha menolak dengan cara terbaikmu. Obrolan pun kembali mengalir. Mereka membicarakan detail perjalanan, villa yang akan mereka tempati, hingga beberapa agenda kunjungan. Namun di balik senyum dan gurau kecil yang terdengar, hati Sekar masih dipenuhi tanda tanya. Mengapa Wiryajaya begitu memperhatikannya, bahkan hingga kepada adik-adiknya? Dan mengapa, meski ia mencoba menolak, pada akhirnya selalu luluh di hadapan keteguhan laki-laki itu? *** Mobil milik Sekar melaju pelan menembus jalan Bogor yang mulai teduh sore itu. Pepohonan di sisi kiri dan kanan jalan menambah nuansa sejuk, membuat perjalanan terasa singkat dan ringan. Dari kaca jendela, Aria memandang keluar sambil menahan senyum, sementara Sekar tetap fokus menyetir, tangannya mantap memegang kemudi. “Sekar,” suara Aria memecah hening, “aku masih belum bisa berhenti mikirin tadi.” Sekar melirik sekilas, lalu kembali menatap jalan. “Maksudmu apa?” Aria menoleh, menatap sahabatnya. “Ya, Wiryajaya itu. Dari cara dia ngomong, dari caranya ngeliatin kamu… rasanya tuh kayak bukan cuma urusan kerjaan.” Sekar menarik napas panjang, bibirnya sedikit mengerucut. “Aku juga sadar, Aria. Tatapannya tadi… aneh. Kayak ada sesuatu yang dia simpan.” “Persis!” Aria langsung menimpali, semangat. “Dia ngeliatin kamu itu bukan kayak klien sama arsitek. Lebih… gimana ya, penuh perhatian. Aku sampai bingung sendiri.” Sekar tersenyum tipis, tapi matanya tetap lurus ke depan. “Aku jujur bingung juga. Bagian dari diriku pengen pura-pura nggak peka. Tapi ada bagian lain yang… entah kenapa merasa nyaman.” Aria menghela napas, tangannya disilangkan di d**a. “Aku paham. Tapi yang bikin aku kaget, dia juga langsung mau urus tiket untuk adik-adikmu. Itu kan bukan hal kecil. Dia bener-bener mikirin keluargamu juga.” Sekar menoleh cepat ke arah sahabatnya, lalu tersenyum getir. “Itu yang bikin aku berat. Aku nggak mau adik-adikku terbiasa menerima bantuan begitu. Mereka tanggung jawabku, bukan tanggung jawab orang lain.” “Ya, tapi kadang nggak salah juga kalau ada orang yang tulus mau nolong,” kata Aria lembut. “Kamu kan tahu sendiri, nggak semua orang bisa sejujur itu.” Sekar terdiam, hanya membiarkan mesin mobil berdengung mengisi hening. Aria mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih pelan. “Sekar, jujur sama aku. Kamu merasa ada sesuatu ke Wiryajaya?” Sekar tertegun. Tangannya sedikit mengencang di setir. “Aku… nggak tahu, Aria. Aku cuma baru ketemu dia beberapa kali. Tapi… tatapan itu… seolah aku pernah lihat sebelumnya. Seolah aku kenal dia dari lama. Itu yang bikin aku bingung.” Aria menatapnya lekat-lekat. “Jangan bilang kamu juga kepikiran soal yang tadi—tentang darah bangsawan, reinkarnasi, segala macam itu.” Sekar tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Aku bukan tipe orang yang gampang percaya hal-hal begitu. Tapi… rasanya aneh. Kayak semua ini bukan kebetulan.” Mobil pun memasuki jalan kecil menuju rumah orangtua Sekar. Udara semakin sejuk, suara jangkrik sudah mulai terdengar samar. Aria masih memandang ke luar jendela, lalu tertawa kecil. “Sekar, aku jadi makin penasaran. Kalau memang nanti kita ke Jogja, mungkin semua pertanyaan ini bakal ada jawabannya.” Sekar mengangguk, kali ini tatapannya lebih mantap. “Ya, mungkin. Jogja seakan memang menunggu kita, Aria.” Mobil berhenti di depan rumah orangtua Sekar, halaman yang asri menyambut mereka. Sebelum turun, Aria menoleh sekali lagi pada sahabatnya. “Apapun yang terjadi nanti, kamu tahu kan, aku selalu ada di sampingmu?” Sekar menatapnya, senyum tulus mengembang di wajahnya. “Aku tahu, Aria. Dan itu lebih dari cukup.” Mereka pun turun dari mobil, melangkah masuk ke rumah, seolah siap menyambut babak baru yang sebentar lagi akan terbuka di hadapan mereka. Suasana ruang keluarga terasa akrab. Lampu gantung berwarna kuning temaram menyinari ruangan, menambah hangat obrolan malam itu. Papa duduk santai di kursi kayu jati, sementara Mama masih mengenakan kebaya sederhana, sibuk menyeduh teh hangat untuk semua orang. Sekar duduk di sofa, Aria di sampingnya, dan ketiga adiknya mengelilingi mereka dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “Jadi, Sekar,” Papa membuka percakapan dengan nada tenang, “bagaimana pertemuanmu tadi dengan Wiryajaya?” Sekar menaruh cangkir tehnya di meja, lalu menarik napas pelan. “Alhamdulillah lancar, Pa. Kami membahas detail proyek Taman Sari, dan… Senin nanti aku sama Aria akan berangkat ke Jogja.” Mama menoleh cepat, alisnya sedikit terangkat. “Senin? Cepat sekali. Kalian akan tinggal di mana di sana, Nak?” “Di villa milik Mas Wiryajaya,” jawab Sekar hati-hati. “Beliau menawarkan tempat itu supaya aku dan Aria bisa lebih dekat dengan lokasi proyek. Dan soal tiket… beliau juga yang akan menanggungnya. Termasuk tiket untuk adik-adik, yang akan menyusul Jumat nanti setelah kuliah mereka selesai.” Ayu, Kirana, dan Nayla spontan bersorak kecil. “Asiiiik! Kita ke Jogja!” kata Nayla dengan wajah berbinar. Papa tersenyum tipis, matanya tajam menatap Sekar. “Nak, kalau orang itu sampai menanggung tiket kalian semua, berarti benar kata Papa, dia bukan orang sembarangan. Sikapnya mencerminkan pengaruh besar.” Sekar mengangguk pelan. “Iya, Pa. Aku juga sudah merasa begitu.” Belum sempat obrolan berlanjut, ponsel Sekar yang tergeletak di meja bergetar. Notifikasi pesan masuk. Sekar mengambilnya dan membaca sekilas. Matanya membesar sedikit, membuat Aria menoleh ingin tahu. Pesan dari Wiryajaya atau kini di ponselnya tertulis nama “Mas Wiryajaya”: “Sekar, aku sudah atur supaya ketiga adikmu ikut berangkat dari awal bersama kamu dan Aria. Untuk perkuliahan mereka, biar aku yang urus. Aku sudah hubungi pihak kampus masing-masing. Jadi tidak perlu khawatir.” Sekar menutup layar ponsel dengan cepat, menghela napas panjang sambil menegakkan tubuhnya. “Kenapa, Mbak?” tanya Kirana penasaran. Sekar menoleh ke adik-adiknya, lalu ke Papa dan Mama. Dengan suara datar namun jelas, ia berkata, “Mas Wiryajaya baru saja bilang… ketiga adikku tidak perlu menunggu sampai Jumat. Mereka akan ikut dari awal. Mas-nya bilang urusan perkuliahan mereka sudah diurus.” Seketika ruangan itu hening. Semua menatap Sekar dengan ekspresi berbeda: adik-adiknya antara bingung dan senang, Aria terkejut menutup mulutnya, sedangkan Papa dan Mama saling berpandangan. “Ya Allah…” Mama bergumam lirih. “Berarti benar-benar bukan orang biasa. Sampai bisa mengurus kuliah begitu…” Sekar menunduk, tangannya menggenggam ponsel erat-erat. “Aku cuma bisa menghela napas. Klien ini… memang kadang bertindak semaunya. Tapi apa pun itu, aku harus tetap profesional.” Papa mendekat, menepuk bahu Sekar dengan mantap. “Ingat, Nak. Setinggi apa pun derajat atau pengaruh orang itu, kamu tetap harus menjaga batasmu. Jangan sampai terlena. Papa percaya kamu bisa.” Sekar mengangguk pelan. “Iya, Pa. Aku janji akan tetap fokus pada pekerjaan.” Ketiga adiknya yang semula heboh kini saling berbisik, mencoba menahan rasa penasaran. Hanya Aria yang menatap Sekar dengan tatapan penuh arti, seolah ingin mengingatkan: bahwa perjalanan mereka ke Jogja mungkin akan membawa lebih banyak cerita daripada sekadar proyek pekerjaan. Malam itu suasana rumah terasa hangat, meskipun sedikit riuh dengan percakapan empat bersaudara yang baru saja menyelesaikan makan malam. Aria duduk santai di ruang tamu, menatap Sekar yang sibuk berbicara pada ketiga adiknya. Wajah Aria sempat terlihat bimbang, namun akhirnya ia menarik napas panjang dan tersenyum kecil. “Kar, kayaknya aku pulang ke rumah dulu deh malam ini,” ucap Aria, suaranya lembut tapi jelas terdengar oleh semua orang. Sekar menoleh, sedikit terkejut. “Kamu pulang? Kenapa nggak sekalian nginap di sini aja, biar besok kita langsung bareng-bareng berangkat?” Aria menggeleng pelan. “Aku mau beberes barang dulu, takut ada yang ketinggalan. Lagian… aku juga kangen sama rumah.” Senyumnya tipis, namun matanya berbinar. Ada rasa tenang ketika menyebut kata rumah. Baik, aku buatkan scene tambahan sepanjang **1000 kata** sesuai arahanmu. Ceritanya akan fokus pada detail suasana malam itu, interaksi Sekar dengan Aria dan adik-adiknya, serta proses persiapan masing-masing. Aria sempat terdiam sejenak setelah Sekar menanyakan apakah ia ingin langsung ikut menginap malam itu atau pulang dulu ke rumahnya. Wajahnya tampak ragu, namun kemudian ia tersenyum kecil sambil mengangguk. “Aku pulang dulu aja, Sekar. Kayaknya masih ada beberapa hal yang harus aku beresin di rumah. Lagian, biar besok aja sekalian bareng-bareng ke bandara.” Sekar menatapnya sambil mengangguk penuh pengertian. “Iya, nggak apa-apa, Aria. Besok aku sama adik-adik bakal jemput kamu, biar kita berangkat sama-sama ke bandara. Jadi kamu nggak usah repot naik taksi sendiri.” Mata Aria berbinar sejenak, ada rasa lega mendengar janji itu. “Makasih banget, Sekar. Aku jadi lebih tenang. Besok jam berapa kira-kira jemputnya?” “Pagi sekitar jam delapanan, ya. Supaya masih ada waktu buat check-in. Kan kita flight ke Jogja jam sepuluh,” jawab Sekar. Aria mengangguk mantap. Ia lalu berdiri, merapikan tas kecilnya, dan berpamitan pada adik-adik Sekar yang duduk lesehan di lantai sambil membuka koper masing-masing. “Ayu, Kirana, Nayla… aku pamit dulu, ya. Sampai ketemu besok.” Ketiganya serempak menoleh dan tersenyum. “Bye, Kak Aria!” seru Ayu sambil melambaikan tangan. “Jangan lupa bawa barang-barang penting, Kak,” tambah Kirana. “Besok kita rame-rame deh. Pasti seru,” celetuk Nayla. Suasana menjadi hangat, dan Aria pun meninggalkan rumah itu dengan langkah ringan, meski dalam hatinya sudah berdenyut rasa tak sabar untuk perjalanan esok hari. *** Begitu pintu tertutup, Sekar menoleh pada adik-adiknya. “Eh, kalian jangan kebanyakan bawa baju, ya. Ingat, nanti selama di Jogja kita mau beli kebaya sama kain jarik di Beringharjo. Jadi baju casual cukup bawa sedikit aja. Lebih banyak ruang di koper buat belanja di sana.” Kirana langsung manyun. “Hah, jadi aku nggak boleh bawa dress favorit aku dong, Kak?” Sekar terkekeh. “Dress boleh, tapi satu aja. Jangan lima. Kita nanti belinya di sana. Yang penting bawa baju tidur sama baju casual buat jalan-jalan biasa. Sisanya nggak usah repot.” Nayla, yang paling muda, tampak bersemangat. “Berarti nanti aku bisa beli jarik warna biru, Kak? Yang adem gitu, kayak yang dipakai orang-orang di kraton itu?” “Iya, Nay. Nanti kita pilih bareng-bareng. Tapi tetap ya, kalian bawa koper agak besar biar muat semuanya.” Ayu yang biasanya paling kalem ikut bersuara. “Oke, Kak. Jadi intinya kan baju tidur, baju casual secukupnya, sama alat pribadi. Sisanya belanja di Jogja.” Sekar mengacungkan jempol. “Pinter. Nah, aku sekarang mau masuk kamar dulu. Kalian juga siapin koper masing-masing. Jangan lupa alat sholatnya bawa, skincare kalau perlu, dan sendal juga harus ada. Nanti kalau di villa kan kita butuh sendal jepit biar nggak ribet.” Ketiganya mengangguk dan segera beranjak ke kamar masing-masing. *** Di kamarnya, Sekar duduk di depan koper yang sudah dibuka. Ia menarik napas panjang, lalu mulai menata barang satu per satu. Pertama, ia melipat tiga daster batik kesayangannya. Coraknya sederhana, tapi adem dipakai. Setelah itu ia mengambil celana kulot putih yang cocok dipadu dengan tanktop atau kebaya. “Yang ini cukup,” gumamnya pelan sambil menaruhnya rapi di koper. Kemudian ia mengambil beberapa tanktop warna netral, putih dan hitam, plus dalaman yang sudah ia siapkan dalam pouch terpisah. Tak lupa ia menyusun skincare routine-nya seperti cleanser, toner, moisturizer, dan sunscreen ke dalam tas kecil transparan. Lalu haircare berupa sisir, hair oil, dan serum rambut. Setelah selesai dengan kebutuhan pribadi, ia memasukkan alat sholat seperti mukena dan sajadah travel yang dilipat rapi. Terakhir, ia menyiapkan satu tas kecil berisi sendal flatshoes dan sendal jepit untuk dipakai di villa nanti. Sekar menutup koper itu sebentar, lalu duduk di tepi ranjang sambil menatap ponselnya. Ia membuka chat, mengetik pesan singkat untuk Aria: “Aria, jangan lupa ya besok siapkan baju tidur, baju casual seadanya aja. Kebaya dan jarik kita beli di Jogja. Jangan lupa alat sholat, skincare, sama sendal jepit juga. Koper agak besar aja biar muat. Sampai besok!” Tak lama, centang biru muncul di layar. Balasan Aria segera datang. “Siap, Sekar. Makasih banyak sudah ingetin. Sampai ketemu besok pagi.” Sekar tersenyum kecil. Ada rasa puas melihat semuanya mulai rapi dan terorganisir. Perjalanan ini terasa semakin nyata. *** Sementara itu, suara berisik terdengar dari kamar adik-adiknya. Ayu sibuk memilih-milih baju di lemari sambil mengeluh, “Aku bingung deh, Kak! Mau bawa yang warna pink atau hijau?” Dari kamar lain, Nayla terdengar bersorak. “Aku udah masukin semuanya, tinggal skincare doang!” Sedangkan Kirana lebih tenang, duduk sambil melipat baju satu per satu dengan rapi. “Ayu, jangan ribet. Dua aja cukup.” Sekar yang mendengar kegaduhan itu hanya menggeleng sambil tersenyum. “Dasar bocah-bocah. Untung besok aku yang mimpin packing ke bandara, kalau nggak bisa berantakan semuanya.” Ia lalu berdiri, memastikan koper sudah tertutup rapat, dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur longgar berwarna biru muda. Rasanya nyaman, adem di kulit. Sekar naik ke ranjang, menarik selimut, lalu menutup mata. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang perjalanan ke Jogja, tentang belanja di Pasar Beringharjo, suasana hangat di villa, serta momen kebersamaan dengan adik-adiknya dan Aria. Namun di balik semua itu, ada pula rasa tanggung jawab besar sebagai kakak tertua. Ia ingin memastikan perjalanan ini berjalan lancar, aman, dan menyenangkan bagi semuanya. “Besok harus fresh,” bisiknya pelan sebelum terlelap. Lampu kamar dipadamkan, hanya tersisa cahaya redup dari lampu tidur di sudut ruangan. Di luar, suara jangkrik menemani malam yang kian larut. Rumah itu perlahan hening, masing-masing penghuni tenggelam dalam mimpi mereka, menyimpan semangat untuk hari esok yang menjanjikan petualangan baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD