BAB 6

2367 Words
Pagi itu, aroma harum teh melati menyebar di ruang makan. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja makan yang sudah penuh dengan hidangan sederhana: nasi uduk, tempe orek, telur dadar iris, dan sambal terasi kesukaan Ayu. Sekar sudah duduk manis di kursinya, rambut panjangnya ia ikat sederhana agar tak mengganggu. Sementara itu, Ayu, Kirana, dan Nayla menyusul, masih terlihat sedikit mengantuk tapi wajah mereka berseri-seri karena tahu hari ini mereka akan berangkat ke Jogja. “Pagi-pagi udah rame aja rumah ini,” celetuk Papa sambil membaca koran, namun senyumnya lebar penuh kebanggaan melihat keempat anaknya berkumpul. Mama datang dari dapur membawa teko teh panas. “Sarapan dulu yang kenyang, jangan sampai kalian lemas pas perjalanan nanti.” “Siap, Ma,” jawab Sekar sambil menuang teh ke cangkir masing-masing adiknya. Mereka mulai makan bersama, obrolan ringan bercampur tawa kecil terdengar mengisi ruangan. Namun tiba-tiba Mama menatap Papa, memberi kode seolah ada sesuatu yang perlu mereka sampaikan. Papa pun meletakkan korannya, menegakkan tubuh, lalu menatap anak-anaknya. “Kalian berempat, Papa sama Mama sudah transfer uang jajan ke rekening masing-masing, ya.” Sekar hampir tersedak mendengar itu. “Loh, Pa… buat apa aku dikasih uang jajan juga? Kan aku udah kerja. Udah lama aku nggak nerima uang jajan dari Papa Mama.” Ayu, Kirana, dan Nayla langsung terkekeh melihat ekspresi kakaknya. “Wah, Kak Sekar jadi mahasiswa rasa anak kecil lagi, dapet uang jajan juga,” goda Nayla. Sekar melotot kecil. “Nayla, jangan bikin malu deh.” Papa tertawa kecil, lalu menepuk bahu Sekar. “Kamu jangan bingung gitu, Kar. Uang jajan untuk kamu itu bukan buat keperluan sehari-hari. Anggap saja sebagai titipan Papa, supaya kamu bisa beli oleh-oleh nanti di Jogja. Jadi kamu nggak perlu mikirin keluar duit sendiri.” Sekar terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. Ada rasa hangat yang menyeruak di dadanya. Ia sudah terbiasa mandiri, bahkan menolak bantuan orangtua sejak bekerja. Tapi kali ini, perhatian kecil dari Papa dan Mama itu membuatnya merasa kembali jadi anak, bukan sekadar kakak tertua yang selalu harus kuat. “Baiklah, Pa, Ma. Kalau begitu aku terima. Nanti aku pastikan uangnya kepakai buat beli oleh-oleh, bukan hal lain,” ucapnya sambil tersenyum. Mama tersenyum puas. “Bagus. Mama percaya kamu bisa atur itu.” Ayu yang duduk di samping langsung berseru, “Yes! Aku udah kepikiran mau beli gelang perak khas Jogja. Katanya bagus-bagus banget.” Kirana menimpali, “Aku sih pengen beli kain batik tulis. Bisa dipakai buat acara kampus nanti.” “Kalau aku jelas mau kuliner, dong,” Nayla menepuk meja antusias. “Bakpia, gudeg, sate klathak… ah, aku udah nggak sabar.” Papa ikut tertawa mendengar antusiasme mereka. “Ngomong-ngomong soal bakpia, Kar…” Papa menoleh ke Sekar, “…Papa nitip belikan bakpia asli Jogja, ya. Biar bisa dimakan rame-rame pas kalian pulang.” Sekar mengangguk mantap. “Siap, Pa. Bakpia jadi prioritas utama.” Mama lalu menambahkan, “Kalau Mama nitipnya kebaya satu set lengkap dengan kain batik yang indah. Mama pengen punya kebaya baru untuk acara nanti. Kalau bisa, pilihkan warna yang kalem tapi tetap anggun.” Sekar menoleh pada adik-adiknya, lalu tersenyum. “Oke, kebaya dan kain batik untuk Mama, bakpia untuk Papa. Nanti kita pilih bareng-bareng di Beringharjo.” Kirana langsung bersemangat. “Asik! Aku suka banget kalau disuruh pilih-pilih kain.” Sementara Ayu hanya mendesah dramatis. “Jangan lama-lama ya, Kak. Aku takut kebablasan belanja.” Nayla terkikik. “Itu justru serunya, Yu. Jalan bareng di pasar tradisional.” Mama memandang keempat anaknya dengan tatapan penuh kasih. “Kalian ini memang selalu bikin rumah ramai. Mama senang melihat kalian kompak begini. Ingat, ya, saling jaga selama di sana. Jangan ada yang bertindak seenaknya.” “Iya, Ma,” jawab mereka serempak. Sarapan berlanjut dengan suasana hangat. Sesekali tawa pecah ketika Ayu mulai bercerita soal dramanya memilih baju semalam, atau ketika Nayla dengan polos mengatakan kalau ia lebih peduli dengan isi kulkas villa daripada isi kopernya. Sekar hanya bisa tersenyum melihat ulah ketiga adiknya. Meski kadang ribut, mereka tetap satu sama lain saling melengkapi. Dan pagi itu, ia merasa begitu bersyukur masih bisa duduk bersama keluarga lengkap, ditemani orangtua yang penuh perhatian. Setelah piring-piring mulai kosong dan gelas teh tinggal setengah, Sekar menoleh ke jam dinding. “Oke, kita harus siap-siap. Jam delapan kita harus jemput Aria, ingat?” Ayu mengangguk sambil buru-buru meneguk sisa tehnya. “Siap, Kapten!” Kirana menaruh sendoknya perlahan. “Aku langsung bawa koper ke ruang tamu.” Nayla malah masih sibuk mengunyah tempe orek. “Aku bentar lagi, Kak… tempenya sayang kalau nggak dihabisin.” Sekar menghela napas sambil tersenyum geli. “Ya ampun, Nayla. Udah, cepat habisin. Jangan sampai kita telat.” Mama bangkit, merapikan piring-piring. “Kalian tenang aja, nanti Mama bantu siapin snack buat di jalan. Biar nggak kelaparan di bandara.” Papa menambahkan, “Dan ingat, jangan sampai ada yang ketinggalan. Kalau ada barang yang terlupa, nanti malah repot.” Keempatnya mengangguk, kemudian bangkit dari kursi. Mereka berpencar ke kamar masing-masing untuk memastikan koper sudah tertutup rapat. Sekar berjalan terakhir, menoleh sebentar ke arah Papa dan Mama yang masih berdiri di ruang makan. Senyum hangat terlukis di wajahnya. “Terima kasih, Pa, Ma. Untuk semuanya.” Papa hanya mengangguk, sementara Mama melambaikan tangan. “Hati-hati, Nak. Jaga adik-adikmu baik-baik.” Dan dengan itu, pagi mereka benar-benar dimulai. Sebuah awal yang penuh cinta dan kehangatan keluarga, sebelum akhirnya menuju perjalanan panjang ke Jogja. Suasana pagi di Bogor masih terasa sejuk ketika Sekar keluar dari rumah, menyeret koper besarnya. Ketiga adiknya sudah lebih dulu menunggu di teras dengan koper masing-masing. Mobil SUV hitam milik Papa terparkir gagah di depan rumah, siap membawa mereka ke bandara. “Mbak, aku taruh koper di bagasi ya,” ucap Ayu sambil membuka pintu bagasi. “Iya, Yu. Pastikan rapat, jangan sampai ada yang jatuh pas jalan,” balas Sekar sembari mengangkat kopernya sendiri ke dalam bagasi. Kirana sibuk menata koper agar muat semua, sementara Nayla sibuk selfie di depan mobil. “Cieee, kita kayak mau syuting reality show traveling gitu. Pas banget mobilnya SUV, elegan banget!” Sekar hanya menggeleng pelan. “Nayla, tolong jangan bikin drama dulu pagi-pagi. Kita bisa telat kalo kamu kelamaan gaya.” “Aku udah selesai, Mbak. Santai aja,” jawab Nayla, masih asik memotret dirinya bersama mobil. Akhirnya setelah koper masuk semua, mereka naik ke mobil. Sekar duduk di kursi pengemudi, Ayu di sampingnya, sementara Kirana dan Nayla duduk di kursi belakang. “Seatbelt semua udah?” tanya Sekar sambil menyalakan mesin mobil. “Udah, Mbak!” jawab mereka serempak. SUV hitam itu pun meluncur pelan meninggalkan rumah. Jalanan Bogor yang masih pagi tidak terlalu padat, membuat perjalanan lebih santai. Sekar fokus menyetir, sementara adik-adiknya mulai ribut sendiri di belakang. “Eh, Mbak, nanti kalau udah nyampe Jogja aku mau bikin konten jalan-jalan di Malioboro. Boleh kan?” tanya Nayla penuh semangat. Sekar menatap lewat spion tengah. “Boleh aja, tapi jangan ganggu jadwal kita. Kita ke Jogja bukan cuma buat liburan, ingat itu.” Kirana menimpali, “Tapi seru juga sih, Mbak. Bisa sekalian dokumentasi. Kan Nayla jagonya bikin vlog, biar ada kenangan juga.” Sekar mendesah, tapi bibirnya tersenyum kecil. “Yaudah deh, asal nggak bikin ribet.” Obrolan mereka berhenti sejenak ketika SUV hitam itu mulai memasuki kawasan perumahan Aria. Rumah sahabat Sekar itu sudah terlihat dari jauh. Dan benar saja, Aria sudah berdiri di depan pagar rumahnya, koper di samping, sambil memainkan ponsel. “Aaaaa! Kak Ariaaa!” teriak Nayla dari kursi belakang sambil melambaikan tangan heboh. Kirana ikut melongok keluar jendela. “Ya ampun, baru semalam ketemu kok hebohnya kayak ketemu idola aja.” Aria menoleh, lalu tertawa melihat tingkah dua adik Sekar itu. Begitu mobil berhenti, ia langsung melangkah menghampiri. “Pagi, Sekar,” sapa Aria dengan senyum hangat. “Pagi, Aria. Udah siap semua?” Sekar menurunkan kaca jendela sambil membalas senyum sahabatnya. “Udah, tinggal koper aja nih. Berat sih, tapi masih bisa dibawa,” jawab Aria sambil menepuk koper hitamnya. Ayu buru-buru keluar dari mobil membantu mengangkat koper Aria ke bagasi. Sementara itu, Nayla langsung membuka pintu belakang dan setengah berlari menghampiri Aria. “Kak Ariaaa! Duduk sama aku ya di belakang!” katanya antusias. Aria tertawa kecil, mengacak rambut Nayla yang dicepol rapi. “Kamu ini, Nay, baru semalam ketemu masih aja kayak kangen setahun.” Kirana menambahkan sambil tersenyum, “Udah biasa, Kak Aria. Nayla tuh emang over-excited kalau sama orang yang dia suka.” “Bukan suka, tapi sayang,” protes Nayla sambil menggandeng tangan Aria. Sekar yang sudah kembali fokus ke setir hanya bisa menghela napas sambil menahan tawa. “Nayla, biarin Kak Aria duduk tenang dulu. Jangan gangguin.” Akhirnya mereka semua masuk ke mobil. Aria duduk di kursi belakang bersama Kirana dan Nayla, sementara Ayu tetap di depan. Begitu pintu tertutup, SUV hitam itu kembali meluncur di jalan. “Gimana tidurnya tadi malam?” tanya Sekar sambil melirik sebentar ke arah Aria melalui spion. “Lumayan, tapi masih agak ngantuk sih. Untung kamu jemput, Kar. Jadi nggak perlu ribet manggil taksi online,” jawab Aria. Nayla langsung menyelutuk, “Ya ampun Kak Aria, kalau nggak dijemput sama Mbak Sekar, biar aku yang jemput. Demi Kak Aria, aku bela-belain deh.” Semua orang di dalam mobil tertawa mendengar tingkah Nayla. Bahkan Sekar pun sempat tersenyum geli. “Tenang aja, Nay. Aku cukup dijemput sama sahabatku ini,” kata Aria sambil menunjuk Sekar. Obrolan di mobil terus berlanjut, penuh canda tawa. Sekar sesekali ikut menanggapi, tapi lebih sering fokus ke jalan. Baginya, yang terpenting pagi itu adalah mereka semua bisa sampai ke bandara dengan selamat, tepat waktu, dan membawa semangat yang penuh sebelum perjalanan panjang ke Jogja. SUV hitam itu akhirnya berhenti di parkiran rumah Sekar di Jakarta Utara. Perjalanan dari Bogor terasa cukup lancar meski sedikit macet di beberapa titik. Begitu mobil terparkir, Sekar segera turun, membuka bagasi, dan membantu adik-adiknya menurunkan koper. “Nay, Yu, Kirana… pastikan barang kalian lengkap. Jangan ada yang tertinggal di mobil,” ujar Sekar dengan nada tegas. “Iya, Mbak,” jawab mereka kompak. Setelah memastikan semua koper sudah tertata rapi, Sekar memesan taksi online. Lima belas menit kemudian, mobil berwarna putih berhenti di depan mereka. Sopirnya dengan ramah membantu memasukkan koper ke bagasi. Perjalanan ke bandara hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sekar, yang duduk di kursi depan bersama sopir, lebih banyak diam sambil memandang jalan. Aria dan ketiga adiknya duduk di belakang, mengobrol pelan agar tidak terlalu berisik. Begitu mobil berhenti di terminal keberangkatan internasional, Sekar mengucapkan terima kasih pada sopir. Mereka keluar dari mobil satu per satu, koper ikut diturunkan. Namun, pemandangan yang menyambut mereka begitu berbeda dari biasanya. Beberapa pria berpakaian tuxedo hitam berdiri rapi di dekat pintu masuk terminal. Mereka langsung mendekat dengan langkah mantap. “Selamat pagi, Ibu Sekar,” ucap salah satu pria dengan suara berat namun sopan. Ia menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. “Kami ditugaskan oleh Tuan Wiryajaya. Kami akan membantu perjalanan Anda.” Sekar spontan menoleh pada Aria. Kedua sahabat itu saling bertatapan, sama-sama menghela napas panjang. Aria sempat tersenyum miris, lalu berbisik, “Kayaknya kita beneran jadi tamu istimewa, Kar…” Sekar hanya bisa mengangguk pelan. Sementara itu, ketiga adiknya menahan tawa kecil, jelas kaget sekaligus terhibur dengan situasi yang tidak mereka bayangkan. Para bodyguard itu kemudian mengarahkan mereka masuk. “Tidak perlu check-in tiket, Ibu. Semua sudah diurus. Tiket Anda adalah kelas utama.” Sekar berhenti sejenak. “First class?” tanyanya dengan alis terangkat. “Betul, Ibu.” Aria menutup mulutnya, berusaha menahan tawa, sementara Sekar menghela napas sekali lagi. “Astaga….” gumamnya pelan. Mereka masuk ke area lounge eksklusif. Di sana, Wiryajaya sudah menunggu dengan sikap tenang, mengenakan kemeja putih bersih dan jas hitam sederhana. Aura wibawa begitu jelas terpancar darinya. “Selamat pagi, Sekar,” ucapnya lembut sambil tersenyum. “Selamat pagi, Mas Wiryajaya,” balas Sekar dengan sopan. Ia kemudian menoleh ke adik-adiknya. “Ini adik-adikku, Mas. Ayu, Kirana, dan Nayla.” Ketiga adiknya segera maju satu per satu, mencium tangan Wiryajaya dengan penuh hormat. “Selamat pagi, Mas,” ucap mereka hampir bersamaan. Wiryajaya tersenyum hangat. “Senang sekali bisa bertemu dengan kalian semua.” Aria berdiri sedikit di belakang, tersenyum menyaksikan adegan itu. Ia tahu, meski sederhana, momen perkenalan seperti ini akan berarti banyak untuk adik-adik Sekar. Mereka duduk bersama di lounge yang luas, dikelilingi furnitur elegan dan hidangan ringan yang tersaji rapi. Sekar, yang masih canggung dengan kemewahan ini, akhirnya membuka percakapan. “Mas… ini terlalu mewah. Seharusnya kita bisa berangkat dengan cara biasa saja.” Wiryajaya menatapnya penuh ketenangan. “Tidak apa-apa, Sekar. Saya ingin kita bisa berbincang beberapa hal penting dengan lebih nyaman nanti di atas pesawat. Anggap saja ini cara saya memastikan kita bisa berdiskusi tanpa terganggu.” Sekar sempat terdiam. Matanya berpindah pada Aria, seolah meminta dukungan. Aria hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. “Kalau begitu… baiklah,” ucap Sekar akhirnya. Tak lama, pengumuman boarding terdengar. Seorang bodyguard mendekat, memberi isyarat bahwa sudah waktunya mereka bergerak. Mereka berjalan bersama menuju gate, koper kabin mereka sudah lebih dulu diurus oleh para bodyguard. Sekar merasa langkahnya berat, bukan karena koper, melainkan karena suasana yang terlalu resmi dan berbeda dari kebiasaannya. Namun kejutan belum berhenti di sana. Saat memasuki area boarding, sosok yang tidak asing terlihat berdiri menunggu. Rangga. “Rangga?” suara Aria meninggi sedikit, jelas terkejut sekaligus senang. Rangga tersenyum hangat. “Iya, Aria. Aku ikut juga. Kebetulan Wiryajaya ngajak aku sekalian, katanya biar nggak terlalu sepi.” Aria spontan tersenyum lebar. Wajahnya berseri-seri, membuat Kirana dan Nayla saling menyikut pelan, menahan tawa melihat ekspresi kakak sahabat mereka itu. Mereka pun masuk pesawat bersama-sama. Kursi first class yang lega membuat perjalanan terasa semakin nyaman. Bodyguard mengatur koper di kabin atas, memastikan semuanya rapi. Sekar duduk di kursinya, mengambil ponsel, dan mencoba mengalihkan perhatian dari semua kemewahan yang membuatnya kikuk. Aria duduk tidak jauh darinya, asyik berbincang dengan Rangga. Sementara itu, ketiga adiknya duduk berdampingan, saling berbisik kecil dengan wajah penuh semangat. Tak lama kemudian, suara pramugari terdengar memberi instruksi. Mesin pesawat bergetar, bersiap untuk lepas landas. Sekar menarik napas panjang, menatap ke luar jendela. “Semoga perjalanan ini lancar,” bisiknya lirih, sementara dalam hati ia masih bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menunggu mereka di Jogja nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD