Kabin first class terasa begitu berbeda dari yang pernah Sekar rasakan. Kursinya luas, empuk, dan bisa diatur hampir rata seperti ranjang. Ada meja kecil di samping kursi dengan lampu baca yang elegan, sementara pramugari menawari minuman segar dengan senyum ramah. Aria terlihat sangat antusias, matanya berbinar melihat desain kabin yang mewah, sedangkan ketiga adik Sekar, Ayu, Kirana, dan Nayla, sibuk mengamati fasilitas hiburan layar sentuh di depan masing-masing kursi mereka.
Sekar sendiri duduk agak tenang, mencoba menyesuaikan diri. Ia bukan tidak suka, tapi kemewahan ini terasa terlalu jauh dari kesehariannya. Tangannya menggenggam ponsel, berusaha mencari kenyamanan di layar kecil yang familiar. Namun, matanya akhirnya beralih pada sosok Wiryajaya yang duduk di kursi depannya. Pria itu santai, seolah memang sudah terbiasa dengan perjalanan seperti ini.
Dengan suara pelan, Sekar mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Mas,” katanya hati-hati, “nanti kalau pulang… jangan pakai tiket seperti ini lagi ya. Aku nggak enak. Kalau bisa tiket biasa saja, atau paling tidak business class.”
Wiryajaya menoleh, menatap Sekar dengan senyum tipis. Ia tidak tampak tersinggung, justru seperti memahami kegelisahan gadis itu.
“Sekar…,” ujarnya lembut, “aku hanya ingin perjalanan ini nyaman buat kalian semua. Tapi kalau itu membuatmu merasa canggung, baiklah. Pulangnya nanti, aku belikan business class saja. Itu pun sudah lebih dari cukup, kan?”
Sekar menghela napas lega, tersenyum kecil. “Makasih, Mas. Aku cuma nggak mau bikin suasana jadi… berlebihan.”
Wiryajaya menatap Sekar sejenak, lalu matanya menyipit dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia mencondongkan tubuh ke arah gadis itu.
“Nanti malam… ikut aku makan malam, ya. Berdua saja.”
Sekar terdiam. Dadanya berdebar halus, bukan karena takut, tapi karena tak menduga undangan itu. Ia refleks menoleh ke arah ketiga adiknya yang sedang sibuk sendiri. “Mas, aku nggak bisa. Aku nggak mau ninggalin mereka begitu saja.”
Belum sempat ia menambahkan alasan lain, suara ceria Aria terdengar.
“Sekar, tenang aja. Nanti aku sama Rangga bisa jagain mereka, kok. Kita malah bisa ajak jalan-jalan ke Malioboro bareng.”
Rangga yang duduk di kursinya hanya mengangguk kalem, senyumnya tenang, menambahkan kepastian dari ucapan Aria.
“Iya, Sekar. Kamu nggak perlu khawatir. Mereka aman sama kami.”
Sekar menatap Aria dengan pandangan seolah berkata: "Kenapa sih kamu ngomong kayak gitu?" Tapi Aria hanya terkekeh kecil, jelas senang dengan ide itu. Ayu, Kirana, dan Nayla yang mendengar ucapan itu pun langsung terlihat bersemangat.
“Mbak, seriusan ke Malioboro? Wah, seru banget dong!” seru Nayla sambil menepuk bahu Kirana.
“Iya, kita bisa cari jajanan, terus belanjain batik juga,” timpal Kirana.
Ayu yang biasanya lebih kalem pun ikut mengangguk antusias. “Aku juga setuju, Mbak. Kayaknya asik.”
Sekar menatap mereka satu per satu, kemudian akhirnya kembali pada Wiryajaya. Ia merasa tidak punya alasan kuat lagi untuk menolak. Dengan napas panjang, ia mengangguk kecil.
“Baiklah, Mas. Tapi cuma makan malam aja, ya. Nggak lebih.”
Wiryajaya tersenyum puas, ada sinar hangat di matanya. “Tentu saja. Aku hanya ingin kita bisa ngobrol lebih tenang.”
Aria yang duduk tidak jauh dari mereka menyembunyikan senyumnya di balik tangan, jelas sekali ia senang Sekar akhirnya setuju. Rangga pun menoleh sekilas, menatap wajah Sekar yang masih terlihat agak canggung, lalu ia kembali duduk tenang dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Perjalanan di udara berlangsung dengan nyaman. Pramugari menyajikan sarapan khas penerbangan first class: roti hangat, buah segar, dan teh harum. Ketiga adik Sekar terlihat betah, sesekali tertawa kecil saat mencoba kursi yang bisa diatur menjadi lebih rebah. Aria asik mengambil foto suasana kabin dengan ponselnya, sementara Sekar hanya menikmati secangkir teh, pikirannya melayang pada ajakan makan malam nanti.
Ia tak tahu kenapa merasa sedikit gelisah. Mungkin karena ia belum benar-benar paham maksud di balik undangan itu. Tapi di sisi lain, ada perasaan halus yang mengatakan bahwa malam nanti akan menjadi titik penting, sesuatu yang bisa membuka lebih banyak rahasia yang belum pernah ia dengar.
Sekar melirik Aria yang sedang asik mengobrol dengan Nayla. Sahabatnya itu tampak ceria, tidak menunjukkan sedikit pun tanda lelah. Ia menghela napas, lalu kembali bersandar ke kursinya.
Baiklah, Sekar. Jalani saja dulu. Toh, Mas Wiryajaya nggak pernah bermaksud buruk padamu…
Sementara itu, Rangga yang duduk agak menyudut tampak memperhatikan interaksi kecil itu semua dengan tenang. Bibirnya melengkung dalam senyum samar ketika melihat wajah Sekar yang penuh pertimbangan. Ia tidak ikut campur, tapi jelas dalam hatinya ia tahu: ada hal-hal besar yang sedang bergerak di balik semua ini.
Pesawat perlahan berguncang ringan saat mulai menurunkan ketinggian. Suara pramugari memberi pengumuman bahwa mereka akan segera mendarat di Yogyakarta. Sekar menegakkan tubuhnya, memasang sabuk pengaman. Ia menoleh ke arah jendela, melihat pemandangan awan yang mulai berganti dengan hamparan hijau sawah dan atap-atap rumah khas Jawa. Ada rasa hangat menyeruak di hatinya.
“Welcome to Jogja,” gumamnya lirih, hampir hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Aria yang duduk di sebelahnya mendengar itu, lalu tersenyum. “Akhirnya kita sampai juga. Aku udah nggak sabar.”
Sekar mengangguk kecil, menahan perasaan campur aduk dalam dirinya. Jogja bukan hanya perjalanan singkat untuk liburan. Ada sesuatu yang menantinya di sana, sesuatu yang entah bagaimana, berkaitan dengan darah bangsawan yang sempat disinggung Wiryajaya sebelumnya.
Dan malam nanti, mungkin ia akan mendengar sebagian dari kebenaran itu.
***
Mobil SUV hitam yang mereka naiki perlahan memasuki area villa milik Wiryajaya. Jalan setapak yang dipaving rapi dipenuhi pepohonan rindang di kanan kiri, meneduhkan suasana. Begitu mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar berbentuk rumah joglo, Sekar terpana. Villa itu tampak megah sekaligus anggun, dengan atap tinggi khas joglo yang disangga tiang-tiang kayu jati berukir. Di depannya terbentang pendopo joglo yang luas, dihiasi ukiran detail khas Jawa yang menawan.
Begitu rombongan turun dari mobil, suara riuh bahagia menyambut kedatangan mereka. Beberapa mbok-mbok dengan kebaya lurik dan bapak-bapak dengan jarik serta blangkon berdiri rapi di halaman, wajah mereka sumringah.
“Wilujeng rawuh, Raden Adipati…,” ucap salah satu mbok dengan suara hangat sambil menundukkan badan sedikit.
Wiryajaya tersenyum ramah, mengangguk kecil. “Matur nuwun. Ini tamu-tamuku, sambutlah dengan baik.”
Sekar dan rombongan ikut tersenyum, meski agak kaget dengan sambutan semeriah itu. Ayu menggenggam lengan Sekar dengan kagum.
“Mbak, villanya Mas Wiryajaya keren banget. Kayak rumah bangsawan di film-film.”
Nayla yang memang hobi bikin vlog, langsung menyalakan kameranya. “Hai semuanya! Jadi hari ini kita baru aja sampai di Jogja dan… lihat deh! Kita lagi ada di villa super kece, villa tradisional ala rumah joglo! Dan… ini dia orang yang punya villa ini, Mas Wiryajaya!”
Kamera Nayla otomatis menyorot Wiryajaya. Alih-alih kaku, pria itu justru tersenyum ramah, melambaikan tangan. “Halo, salam kenal semuanya. Semoga kalian betah di sini.”
Nayla terkekeh senang. “Tuh kan, Mas Wiryajaya friendly banget, guys!”
Para pekerja villa pun terlihat bangga, jelas mereka menyayangi tuannya itu.
Tak lama, mereka dipersilakan duduk di pendopo joglo. Angin sepoi-sepoi masuk dari sisi terbuka pendopo, membuat suasana terasa teduh. Di hadapan mereka, sudah tersaji **makan siang khas Jawa** yang menggoda: enam piring besar **bakmi Jogja**, tiga dengan kuah hangat gurih, tiga lainnya goreng kecoklatan dengan taburan bawang goreng harum.
“Mbak! Aku mau yang berkuah, ya,” seru Ayu cepat sambil tersenyum ceria.
“Aku juga mau yang kuah, kayaknya seger banget,” timpal Nayla yang sudah tak sabar.
Sekar tersenyum, lalu memilih bakmi goreng. Sementara itu, Aria duduk bersebelahan dengan Rangga. Mereka asik berbincang pelan, terlihat sekali Aria begitu nyaman.
Sambil menyantap makanannya, Sekar sesekali mengamati detail arsitektur villa ini. Ukiran-ukiran di tiang kayu, atap tinggi dengan langit-langit bambu, serta lantai tegel bercorak klasik yang masih terawat rapi. Semua itu membuatnya takjub.
“Mas, arsitektur villa ini indah banget. Detailnya tuh… kaya punya cerita,” ujar Sekar akhirnya.
Wiryajaya menoleh, matanya memancarkan kebanggaan. “Memang ada ceritanya. Setelah aku mendapat gelar Raden Adipati dan dipercaya keraton untuk mengurus beberapa wilayah, aku membeli tanah beserta bangunan ini. Dulu, villa ini adalah kediaman seorang putri dan tiga adiknya. Putri bangsawan asli Jogja.”
Sekar tertegun mendengarnya. Matanya menatap lebih dalam pada ukiran-ukiran kayu. “Pantas terasa beda. Pasti ada aura sejarahnya.” Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Tapi Mas, tinggal sendirian di villa sebesar ini… nggak kesepian?”
Wiryajaya tertawa ringan. “Kalau tidak ada tamu, villa ini biasa kusewakan untuk acara atau keluarga yang berlibur. Aku sendiri biasanya tinggal di rumahku yang dekat keraton. Jadi tidak terlalu sepi.”
Sekar mengangguk pelan. “Oh, begitu. Pantas saja tetap terawat.”
Percakapan pun kembali mencair, semua sibuk dengan makan siang masing-masing.
Namun, di sela-sela suasana itu, Wiryajaya memperhatikan sesuatu. Para mbok yang berdiri di sisi pendopo terlihat… aneh. Mereka menatap Sekar tanpa berkedip, seolah ada sesuatu yang membuat mereka terpaku.
Wiryajaya yang menyadarinya segera memberi isyarat halus. Ia memanggil salah satu mbok yang paling tua, berkerudung jarik cokelat. Wanita itu mendekat dengan langkah hati-hati, lalu berbisik dengan suara nyaris tak terdengar.
“Raden… dumateng kula… punika… Putri Dyah Sekarjati, ta?”
Wiryajaya menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk tipis. “Inggih. Nanging, aja nganti Sekar curiga. Dheweke dereng mangertos sapa piyambakipun tenan. Kula pengin piyambakipun nemokake kebenaran meniko kanthi sendirinya.”
Mbok itu terkejut, tapi segera menunduk hormat. “Ngertos, Raden. Kula boten badhe ngendikan sanes-sanese. Nanging… nyuwun pangapunten, rasane boten wonten tiyang sanes sing saged mirib kados punika. Mboten namung rupane… nanging ugi auraipun.”
Wiryajaya hanya menatap Sekar dari kejauhan. Gadis itu terlihat sedang tertawa kecil bersama adik-adiknya, tanpa sadar menjadi pusat perhatian semua orang di pendopo. Ada cahaya lembut pada wajahnya yang membuat orang sulit berpaling.
Pria itu menarik napas panjang, dalam hati berkata, Sekar… cepat atau lambat, kamu akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya.
Sore hari mulai turun dengan lembut di villa joglo. Sinar matahari menembus sela pepohonan, menciptakan bayangan panjang di halaman yang luas. Angin sepoi-sepoi membawa aroma kayu jati dan bunga kamboja dari pekarangan.
Sekar, yang sejak siang tadi masih sibuk mengobrol dengan adik-adiknya dan Aria, akhirnya memberanikan diri menghampiri Wiryajaya yang tengah duduk santai di pendopo sambil menikmati teh hangat.
“Mas,” ucap Sekar pelan namun jelas, “saya mau izin. Saya, Aria, sama adik-adik mau keluar sebentar. Rencananya ke Pasar Beringharjo. Kami mau beli beberapa kebaya dan jarik untuk dipakai selama di sini.”
Wiryajaya mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. “Kenapa ke Beringharjo? Bukankah lebih mudah kalau langsung ke **Mirota Batik**? Kualitasnya bagus, pilihan banyak, dan nyaman belanjanya. Lagi pula, biar saya yang bayarkan.”
Sekar langsung menggeleng tegas, matanya menatap lurus tanpa ragu. “Mas, terima kasih, tapi tidak usah. Saya lebih memilih ke Pasar Beringharjo saja. Itu sudah tradisi kami sekeluarga kalau ke Jogja. Harganya juga lebih ramah. Tidak adil kalau Mas harus mengeluarkan uang untuk itu.”
Wiryajaya menyandarkan punggungnya ke kursi kayu jati, ekspresi wajahnya masih tenang, namun jelas ia sedang menguji keteguhan Sekar. “Sekar… kamu tahu kan, uang bukan masalah buat saya. Saya hanya ingin kalian nyaman, tidak perlu repot.”
Sekar menarik napas, lalu menjawab dengan nada yang lebih mantap. “Saya paham, Mas. Tapi bukan soal uang. Rasanya berbeda kalau belanja langsung ke pasar, bisa tawar-menawar, bisa merasakan suasana Jogja yang asli. Saya ingin adik-adik saya merasakan itu juga. Jadi biarkan kami ke Pasar Beringharjo saja.”
Ada jeda sejenak. Wiryajaya menatap Sekar lama, seolah menilai sikapnya yang keras namun jujur. Akhirnya, ia menghela napas, tersenyum samar. “Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Silakan. Tapi jangan lama-lama di sana, sore ini Jogja biasanya cukup ramai.”
Sekar tersenyum lega. “Terima kasih, Mas.”
Ayu, Kirana, dan Nayla yang sedari tadi diam mendengarkan langsung bersorak kecil.
“Makasih, Mbak!” ujar Nayla ceria.
“Ya ampun, aku udah nggak sabar lihat kebaya-kebaya cantik di sana,” tambah Kirana sambil menggenggam tangan Aria.
Aria tersenyum kecil, menatap Sekar dengan bangga. “Sekar tuh memang selalu tahu caranya menegaskan sesuatu. Salut banget sama kamu.”
Sekar hanya tertawa kecil, lalu menepuk bahu sahabatnya itu. “Bukan soal tegas, tapi aku nggak mau semua serba ditanggung orang lain. Kita juga harus punya cara sendiri menikmati Jogja.”
Wiryajaya hanya mengangguk tipis, namun dalam hatinya semakin yakin: ketegasan Sekar ini, justru yang membuatnya semakin sulit mengalihkan pandangan.