BAB 8

2431 Words
Suasana sore di Jogja semakin terasa kental ketika Sekar, Aria, dan ketiga adiknya menaiki dua kereta delman yang telah disiapkan oleh Wiryajaya. Delman pertama dinaiki oleh Sekar bersama Aria, sementara Ayu, Kirana, dan Nayla dengan riang menempati delman kedua. Tadinya Sekar sempat ingin mengendarai mobil saja karna lebih cepat dan lebih praktis, pikirnya. Namun Wiryajaya menolak dengan alasan bahwa Sekar belum terlalu mengenal jalanan Jogja, takutnya justru nanti tersesat. Sekar sempat ingin membantah, tapi pada akhirnya ia mengakui ada benarnya juga. “Ini rasanya agak berlebihan, ya?” gumam Sekar sambil melirik Aria. Aria tersenyum kecil, menepuk pelan tangan sahabatnya itu. “Sekar, kamu tahu kan, Mas Wiryajaya memang orangnya begitu. Dan lagi, kapan lagi kita bisa naik delman dengan suasana kayak gini? Nikmati aja.” Di delman belakang, suara Nayla terdengar jelas meski tertiup angin sore. “Wahh! Asik banget! Aku sukaaa! Terima kasih, Mas Wiryajaya!” seru Nayla sambil mengangkat tangan ke udara, membuat orang-orang di jalan menoleh dengan senyum. Kirana hanya menggeleng sambil tertawa kecil melihat tingkah adiknya yang paling kecil itu. Ayu, yang lebih tenang, hanya tersenyum sembari memandang suasana sekitar jalan Malioboro dengan hiruk pikuk khasnya, pejalan kaki yang sibuk berbelanja, dan aroma sate serta gudeg dari penjaja makanan kaki lima. Sekar, yang mendengar suara riang adik-adiknya dari belakang, akhirnya ikut tersenyum meski tadi sempat merasa keberatan. Dalam hatinya ia bergumam, "Yah, kalau adik-adik senang, aku pun ikut senang.” Perjalanan dengan delman itu berlangsung sekitar dua puluh menit. Derap kaki kuda berpadu dengan bunyi lonceng kecil di lehernya menciptakan irama khas yang jarang mereka rasakan di Jakarta maupun Bogor. Sesekali, kusir delman mereka menyapa pedagang atau tukang becak yang dikenalnya di sepanjang jalan. “Ada rasa kayak kembali ke masa kecil, ya,” komentar Aria sambil menatap keluar. “Iya, bener,” jawab Sekar sambil tersenyum. “Aku jadi inget waktu dulu papa pernah ajak kita jalan-jalan ke Malioboro. Tapi sekarang rasanya lebih spesial.” Akhirnya, kedua delman berhenti tepat di depan **Pasar Beringharjo**. Bangunan pasar dengan nuansa khas kolonial itu berdiri kokoh, dengan keramaian yang seolah tidak pernah padam. Suara pedagang, aroma kain baru bercampur dengan jajanan pasar, serta hiruk pikuk para pembeli menyambut mereka begitu kaki menjejak tanah. Kusir kedua delman dengan sopan menunduk, “Mbak, Nyonya… kami akan menunggu di sini saja. Kalau sudah selesai belanja, tinggal panggil kami kembali.” Sekar mengangguk sopan, “Iya, Pak. Terima kasih banyak. Nanti kalau sudah selesai, kami kembali ke sini.” Para kusir pun menambatkan kudanya di antara jajaran delman lain yang juga menunggu penumpang. Kuda-kuda itu tampak tenang, sesekali meringkik kecil sambil mengibaskan ekornya. Sekar menoleh pada adik-adiknya yang sudah tampak tidak sabar. “Ayo, jangan jauh-jauh dari aku ya. Pasar ini luas, jangan sampai kepisah.” “Aduh, Mbak Sekar ini…” Nayla cemberut sambil melipat tangannya, “kayak aku anak kecil aja. Aku kan bisa jaga diri.” “Justru karena kamu suka terlalu semangat, aku khawatir,” balas Sekar sambil menatap adiknya dengan tatapan penuh kewaspadaan. Kirana langsung menggandeng tangan Nayla, “Ya sudah, Nay, bareng aku aja. Nanti kalau ada kebaya bagus, kita tawar bareng.” Ayu hanya tersenyum tenang, “Aku mau lihat-lihat batik juga, Mbak. Kalau ada motif parang rusak yang bagus, tolong kabarin.” Aria menepuk pelan bahu Sekar, “Tenang, aku juga ikut ngawasin mereka. Jadi kamu nggak sendirian.” Sekar menghela napas, tersenyum, lalu berkata, “Baiklah, ayo kita masuk. Kita cari kebaya yang adem dipakai.” Dengan langkah beriringan, Sekar, Aria, dan ketiga adiknya masuk ke dalam Pasar Beringharjo, siap untuk berpetualang di antara lautan batik, kebaya, dan kain jarik yang mewarnai setiap sudutnya. Pasar Beringharjo pada sore hari terasa semarak dengan hiruk-pikuk para pembeli dan pedagang. Sekar berjalan berdampingan dengan Aria, keduanya berhenti di sebuah kios yang menampilkan deretan kebaya dengan warna-warna lembut dan motif yang menawan. Dengan teliti, Sekar memperhatikan dua kebaya berwarna putih yang menggantung berdampingan. Yang satu bermotif bunga mawar merah muda, dan yang lain bermotif bunga daisy kuning kecil yang tampak anggun. Ia pun mendekat, menyentuh lembut kainnya, lalu menawar dengan cara yang sopan namun tegas. Penjual tersenyum ramah, akhirnya memberikan harga yang sesuai dengan harapan Sekar. Tidak berhenti di sana, Sekar dan Aria juga membeli beberapa set pakaian batik berupa outer dan rok lilit yang praktis dipakai untuk berbagai acara. Keduanya kemudian melirik ke arah rak sederhana yang memajang tank top berbahan kain halus. “Ini enak sekali dipakai di rumah,” kata Aria sambil mengambil beberapa helai. Sekar mengangguk, ikut memilih beberapa warna netral yang menurutnya nyaman untuk sehari-hari. Rasa senangnya semakin bertambah ketika ia menemukan sebuah blazer berwarna biru muda yang serasi dengan kain jarik bermotif parang halus yang baru saja dibelinya. “Cantik sekali kalau dipadukan dengan jarik ini,” ucapnya lirih, sambil membayangkan penampilannya nanti. Aria pun mengiyakan dengan senyum hangat. Sebelum benar-benar meninggalkan pasar, mereka sempat membeli beberapa aksesoris sederhana berupa anting-anting perak kecil, bros berbentuk bunga, dan beberapa ikat pinggang batik yang tampak unik. Semua belanjaan itu dimasukkan ke dalam tas-tas besar yang segera mereka bawa keluar menuju dua delman yang telah menunggu di depan pasar. Dua kusir delman itu menyambut mereka dengan ramah, lalu membantu menata belanjaan. Perjalanan pulang menuju villa terasa lebih ringan, karena Sekar dan adik-adiknya sibuk bercerita mengenai barang-barang yang mereka pilih. "Gimana? Seru gak belanja nya?" tanya Sekar yang dijawab anggukan Aria. "Seseru itu sih emang ya, kapan-kapan kita harus begini lagi!" sahut Aria membuat keduanya tertawa. Sesampainya di villa, suara riang para mbok-mbok terdengar menyambut kedatangan mereka. Dengan cekatan, para mbok membantu membawa belanjaan ke kamar masing-masing. Sekar, yang masih menenteng tas kecil di tangannya, tiba-tiba dihampiri oleh Wiryajaya. Laki-laki itu berdiri dengan tenang di pendopo, sorot matanya teduh. “Sekar,” ucapnya lembut, “bersiaplah untuk makan malam nanti. Pakailah pakaian yang menurut kamu cocok untuk suasana Jawa malam ini.” Sekar menatapnya sejenak, lalu mengangguk penuh pengertian. “Baik, Mas,” jawabnya singkat. Dengan hati-hati ia melangkah masuk ke kamar, siap mempersiapkan diri untuk makan malam yang pastinya akan berbeda dari biasanya. *** Sekar berdiri di depan cermin besar di dalam kamarnya, menatap bayangan dirinya sendiri. Kebaya putih dengan motif bunga daisy yang baru saja ia beli tampak begitu serasi menempel di tubuhnya. Ia memadukannya dengan rok lilit berwarna coklat keemasan, yang memberi kesan anggun sekaligus sederhana. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan tergerai alami, jatuh lembut di bahunya. Make up natural yang hanya menonjolkan kesegaran wajah membuatnya tampak bersinar. Ia tersenyum kecil, lalu mengenakan flatshoes sederhana yang memang sudah ia bawa dari rumah. Meski sederhana, penampilannya malam itu justru terlihat begitu cantik dan menawan. Perlahan, Sekar membuka pintu kamar dan melangkah keluar ke lorong villa. Suasana sudah tenang, hanya terdengar suara burung malam yang sesekali berbunyi dari kejauhan. Dari arah beranda, seorang mbok tua berjalan pelan menghampirinya sambil membawa sebuah wadah kecil dari tembaga yang diisi air kembang. Sekar menatapnya heran. “Mbok… ini apa ya?” tanyanya sopan. Mbok itu tersenyum, wajahnya penuh keramahan. “Nduk, ini air kembang. Biasanya, Mas Wiryajaya suka meminta agar kamarnya disemprot dengan air mawar, supaya wangi dan sejuk. Tapi kali ini, beliau juga minta kamar panjenengan diperlakukan sama… tapi dengan air melati.” Sekar tertegun. Alisnya sedikit terangkat, dan ia menatap mbok itu dengan raut kaget. “Air melati?” ulangnya pelan, seolah ingin memastikan. Mbok itu mengangguk pelan. “Inggih, Nduk. Katanya, biar kamar njenengan harum sesuai kesukaan njenengan.” Sekar mengerjap, hatinya bergetar. Bagaimana mungkin Wiryajaya tahu bahwa ia memang lebih menyukai aroma melati dibanding mawar? Ia tidak pernah menyebutkan hal itu sebelumnya, bahkan kepada adik-adiknya sekalipun. Senyum samar terlukis di bibirnya, bercampur antara takjub dan bingung. “Mas… tahu dari mana ya?” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada bertanya langsung. Mbok tua itu hanya tersenyum hangat, lalu menunduk sedikit sebelum berlalu untuk melaksanakan tugasnya. “Sudah, Nduk. Ora usah dipikirke. Biarkan saja, wong Mas Wiryajaya memang perhatian sama njenengan.” Sekar terdiam sejenak, menatap punggung sang mbok yang perlahan menghilang di balik lorong. Hatinya masih bergetar dengan rasa yang sulit ia namai antara terharu, heran, dan sedikit… takut. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu melangkah lebih pasti menuju pendopo, tempat makan malam akan segera dimulai. Langkah Sekar terhenti sejenak begitu ia tiba di pendopo. Di sana, Wiryajaya sudah menunggunya dengan tenang. Malam itu pria itu mengenakan kemeja batik putih dengan motif sederhana namun elegan, dipadukan celana kain panjang berwarna hitam. Sekilas, warna pakaian mereka seolah serasi—kebaya putih bunga daisy milik Sekar tampak menyatu indah dengan batik putih Wiryajaya. Sekar terdiam sepersekian detik, lalu menunduk sopan. Wiryajaya tersenyum hangat, matanya menatap penuh arti. “Sekar… malam ini kamu terlihat sangat cantik,” ucapnya dengan nada tulus. Sekar hanya tersenyum kecil, pipinya sedikit bersemu. “Terima kasih, Mas,” jawabnya singkat. Tanpa menunda waktu, Wiryajaya mengajak Sekar menuju mobil pribadinya yang sudah terparkir di halaman depan. Sebuah sedan hitam elegan dengan interior yang harum dan rapi. Wiryajaya sendiri yang membuka pintu penumpang untuk Sekar sebelum ia masuk ke kursi pengemudi. Mobil pun beranjak pelan, meninggalkan villa. Jalanan Jogja di malam hari terasa teduh, lampu-lampu jalan berpadu dengan suasana kota yang damai. Di dalam mobil, Wiryajaya sesekali mengajak Sekar mengobrol. Mereka membahas banyak hal tentang perjalanan tadi siang, tentang Aria dan adik-adik Sekar yang tampak begitu bahagia, juga tentang kuliner khas Jogja yang tidak pernah habis dibicarakan. Di tengah percakapan hangat itu, Sekar akhirnya memberanikan diri bertanya dengan nada lembut. “Mas… bagaimana bisa tahu kalau aku lebih suka wangi melati daripada mawar?” Wiryajaya menoleh sekilas, tersenyum samar. “Aku tahu sejak pertama kali kita bertemu. Waktu itu, di ruang rapat saat kamu masuk, wangi melati begitu semerbak. Tidak ada orang lain yang membawanya, hanya kamu.” Sekar tertegun. Ia mengingat-ingat, memang saat itu ia memakai minyak wangi dengan aroma melati. Wiryajaya melanjutkan, “Lalu pertemuan kedua kita, di kafe. Wangi yang sama hadir lagi. Dari situ aku tahu… itu aroma kesukaanmu.” Ia menarik napas pelan, lalu menambahkan dengan nada lebih dalam, “Dan sebenarnya… aku sudah tahu sejak dulu. Kesukaanmu itu tidak pernah berubah.” Kata-kata terakhir Wiryajaya membuat Sekar tercengang. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, sebuah rasa penasaran yang semakin kuat. Namun tepat ketika ia hendak membuka suara, mobil mereka berhenti. Mereka telah sampai di Gadri Resto. Sekar menoleh keluar jendela dan matanya langsung berbinar. Rumah makan itu tampak seperti rumah biasa, bergaya Jawa kuno, tetapi begitu luas dan penuh pesona. Lampu temaram, dekorasi antik, dan nuansa hangat membuat suasananya nyaman meski cukup ramai oleh pengunjung lain. Pelayan segera menyambut mereka, lalu membawa mereka menuju sebuah meja yang sudah disiapkan. Dengan sikap penuh hormat, Wiryajaya menarik kursi untuk Sekar duduk terlebih dahulu, sebelum ia sendiri mengambil tempat di seberangnya. Mereka kemudian memesan makanan. Sekar, dengan penuh rasa ingin tahu, memilih Salad Jawa untuk pembuka, Bistik untuk hidangan utama, dan Telo Ijo untuk pencuci mulut. Wiryajaya yang sudah terbiasa makan di sana memesan menu yang sama, hanya berbeda pada hidangan utama: ia memilih Nasi Brongkos Ayam Asat. Selain itu, ia menambahkan satu pesanan lagi. “Satu porsi tempe mendoan juga, Mbak,” ucapnya pada pelayan. Sekar langsung menoleh padanya, matanya sedikit melebar. “Mas… kok bisa tahu kalau aku suka mendoan?” tanyanya dengan nada terkejut. Wiryajaya tersenyum tipis, menatap Sekar dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Aku tahu banyak tentangmu, Sekar. Lebih dari yang kamu kira.” Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ada misteri yang semakin menebal di sekeliling pria itu tentang dirinya, tentang masa lalu yang seakan-akan Wiryajaya pahami. Pelayan datang membawa pesanan mereka. Aroma khas Jawa langsung memenuhi meja. Salad Jawa tersaji segar dengan sayuran rebus, kentang, dan bumbu kacang yang harum. Bistik ala Jawa dihidangkan dengan kuah kecap manis yang menggoda, sementara Nasi Brongkos Ayam Asat milik Wiryajaya tampak begitu kaya rempah. Tempe mendoan disajikan hangat, masih mengepulkan aroma wangi daun bawang dan tepung yang renyah. Sekar tersenyum tipis melihat semua itu. “Mas, aku jadi nggak nyangka bisa makan malam seperti ini. Suasananya benar-benar Jawa sekali.” Wiryajaya mengangguk pelan. “Aku ingin kamu merasakan Jogja, Sekar. Bukan hanya dari tempat wisata, tapi dari meja makan juga. Di sinilah kearifan Jawa hidup.” Sekar mengambil sendok dan mencicipi Salad Jawa lebih dulu. Rasa gurih manis kacangnya berpadu pas dengan sayuran. Ia mengangguk kecil. “Enak sekali. Aku jadi ingat masakan mama.” Wiryajaya menatapnya dengan lembut. “Aku senang kalau itu bisa membuatmu merasa nyaman. Mungkin memang ada hal-hal yang membuatmu selalu terikat dengan Jawa, meski kamu besar di Bogor.” Sekar berhenti mengunyah. Kalimat itu terdengar seperti kode lagi. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Wiryajaya serius. “Mas… kenapa beberapa kali seperti memberi isyarat tentang aku dan Jawa? Bahkan tadi siang, waktu di villa, aku lihat mbok-mbok seperti menatapku dengan heran. Ada apa sebenarnya?” Wiryajaya tersenyum samar, kali ini lebih tenang. “Kamu peka juga rupanya.” Ia menyandarkan tubuh ke kursi, suaranya menurun lebih dalam. “Aku tidak bisa menjelaskan semua sekarang. Ada waktunya nanti. Tapi percayalah, Sekar… kamu bukan orang biasa. Darahmu, asalmu… lebih dekat dengan tanah ini daripada yang pernah kamu kira.” Sekar terdiam. Jantungnya berdebar. Kata-kata itu menambah rasa penasaran yang sudah menggelayuti pikirannya sejak awal bertemu pria ini. Ia berusaha menutupi kebingungannya dengan mengambil potongan mendoan yang baru saja disajikan. Begitu digigit, kelembutan tempe hangat dengan gurih renyah tepungnya membuat Sekar spontan tersenyum. “Hmm… ini enak sekali. Mendoan memang nggak pernah gagal.” Wiryajaya tertawa kecil. “Aku tahu itu makanan kesukaanmu. Sejak dulu, kamu tidak pernah bisa menolak mendoan.” Sekar mengernyit bingung, menatapnya dalam-dalam. “Sejak dulu? Mas ngomong seakan-akan kita sudah kenal lama.” Wiryajaya menatapnya dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Mungkin memang begitu adanya.” Sekar terdiam lagi. Dalam hati ia ingin bertanya lebih jauh, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menahan. Seolah bagian kecil dari dirinya takut pada jawaban yang mungkin keluar. Ia lalu memilih melanjutkan makannya, mencoba mengalihkan perhatian. Makan malam itu berlangsung dalam suasana hangat. Sesekali mereka membicarakan hal ringan, tentang kuliah adik-adik Sekar, tentang Aria yang begitu polos, bahkan tentang kebaya yang tadi siang mereka beli. Tetapi di balik percakapan ringan itu, Sekar tahu ada sesuatu yang besar yang masih disembunyikan Wiryajaya darinya. Saat dessert Telo Ijo datang, Sekar tersenyum lagi. “Mas, aku belum pernah coba ini sebelumnya. Tapi tampilannya menarik.” Wiryajaya menimpali, “Telo Ijo ini sederhana, tapi rasanya manis alami. Sama seperti beberapa hal dalam hidup… sederhana, tapi menyimpan rahasia di dalamnya.” Sekar kembali menoleh padanya. Kalimat itu terdengar lagi seperti sebuah kode. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Dalam hati, ia berjanji apapun yang disembunyikan Wiryajaya tentang dirinya, cepat atau lambat, ia harus tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD