Matahari baru saja naik, menyebarkan cahaya keemasan di halaman villa joglo itu. Udara terasa sejuk dengan semilir angin yang masuk melalui jendela kamar Sekar. Hari ini adalah hari penting—ia harus mendampingi Wiryajaya ke Keraton untuk menemui pihak dalam, meminta izin resmi agar proyeknya dapat berjalan dengan lancar.
Sekar berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Jas biru muda yang baru ia beli di Pasar Beringharjo kemarin terpasang rapi di tubuhnya, dipadukan dengan rok jarik berwarna senada yang menambah kesan anggun. Ia menyematkan bros silver kecil berbentuk bunga di d**a kiri, lalu mengambil tusuk sanggul berwarna perak yang dipilihnya semalam. Rambut panjang bergelombangnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh dengan lembut, membuat wajahnya terlihat segar dan lebih dewasa.
“Cukup rapi,” gumamnya kecil sambil tersenyum tipis pada bayangan di cermin. Ia mengambil tas kecilnya, lalu melangkah keluar kamar.
Begitu kakinya menuruni tangga kayu, aroma masakan Jawa dari ruang makan langsung tercium. Ia mendengar tawa Nayla yang khas, suara Ayu yang terdengar lembut, serta celoteh Kirana yang riang. Saat ia masuk ke ruang makan, pemandangan hangat itu membuat hatinya sejenak tenang.
Di meja panjang, sudah duduk adik-adiknya bersama Aria dan Rangga. Mereka tampak menikmati sarapan dengan lahap. Sementara di sisi lain meja, Wiryajaya dengan tenang meneguk teh hangatnya, mengenakan beskap hitam sederhana dengan kain jarik cokelat tua. Penampilannya hari itu begitu khas Jawa, kontras namun sekaligus selaras dengan penampilan modern Sekar.
Begitu Sekar masuk, semua mata tertuju padanya. Nayla spontan bersuara, “Mbak, cantik banget! Kayak mau sidang skripsi, eh bukan, kayak mau jadi putri keraton!”
Kirana terkekeh kecil, sementara Ayu hanya mengangguk sopan sambil tersenyum. Aria menatap sahabatnya dengan mata berbinar, “Sekar, kamu keliatan anggun sekali. Jas itu bener-bener cocok sama jariknya.”
Sekar hanya tersenyum malu, lalu berjalan ke arah kursi kosong. Wiryajaya berdiri sebentar, lalu dengan isyarat tangannya mempersilakan Sekar duduk di sebelahnya. “Silakan duduk di sini,” katanya tenang, nada suaranya penuh wibawa namun tetap lembut.
Sekar menurut. Pelayan segera menuangkan teh hangat ke cangkir di depannya. Di atas meja, sudah tersedia nasi hangat, sayur lodeh khas Jawa, ayam bacem, tempe garit goreng, serta sambal terasi yang menggoda. Ada pula irisan buah segar untuk penutup.
Sekar mengambil piring, menaruh sedikit nasi, beberapa potong tempe, dan sayur lodeh secukupnya. Ia memang terbiasa makan ringan di pagi hari. Baru saja ia menyuap sesuap nasi, suara Wiryajaya terdengar.
“Makanlah agak banyak, Sekar,” ucapnya pelan, namun dengan nada seperti sebuah perintah yang tersamar. “Hari ini kamu akan banyak bicara di keraton, tubuhmu harus punya tenaga.”
Sekar menoleh, menatapnya dengan mata sedikit membulat. Ia menggeleng pelan. “Maaf, Mas. Aku memang tidak terbiasa sarapan banyak. Kalau terlalu banyak justru nanti aku mual.”
Wiryajaya memandangnya sebentar, lalu tersenyum tipis, seolah paham. “Baiklah. Asal jangan sampai lapar di tengah acara nanti.”
Sekar mengangguk kecil. Ia kembali menikmati sarapannya perlahan.
Sementara itu, Nayla yang duduk di seberang meja justru sibuk merekam dengan kamera vlogging-nya. “Hai guys, pagi ini kita sarapan di villa super cantik. Lihat nih, Mbak Sekar mau ke keraton bareng Mas Wiryajaya. Kalau menurut kalian, mereka cocok nggak?”
Sekar spontan menoleh dengan wajah sedikit kesal. “Nayla, kamera itu matikan. Jangan bikin malu.”
Semua orang di meja tertawa kecil melihat ekspresi Sekar, termasuk Aria yang menutup mulutnya dengan tangan agar tidak terlalu keras tertawa. Rangga hanya tersenyum tipis, menatap Aria sejenak dengan tatapan penuh makna.
Wiryajaya tidak menanggapi, hanya menghela napas kecil sambil menyesap tehnya. Namun matanya tetap mengamati Sekar, seakan-akan setiap detail gerak-geriknya ingin ia simpan dalam ingatan.
Setelah sarapan usai, Wiryajaya berdiri terlebih dahulu. “Baiklah, Sekar. Kita harus bersiap. Mobil sudah menunggu di depan.”
Sekar mengangguk, lalu berpamitan sebentar pada adik-adiknya dan Aria. “Kalian jaga diri baik-baik di sini. Jangan lupa makan siang. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”
Ayu menunduk sopan, “Iya, Mbak. Hati-hati di jalan.”
Kirana mengacungkan jempol, “Mbak, jangan gugup ya! Kamu pasti keren kok di depan orang keraton.”
Dan tentu saja, Nayla tidak ketinggalan bersuara, “Jangan lupa vlog-in juga, Mbak. Biar aku edit-in nanti.”
Sekar hanya bisa menepuk pelan bahu Nayla sambil menggeleng. Lalu, dengan langkah anggun, ia berjalan keluar bersama Wiryajaya.
Di luar, mobil hitam sudah menunggu, lengkap dengan sopir berpakaian lurik. Wiryajaya membuka pintu mobil untuk Sekar, lalu menutupnya setelah ia duduk. Mobil pun perlahan melaju meninggalkan villa, menuju ke jantung budaya Jawa, Keraton.
***
Langkah Sekar terasa mantap ketika memasuki area Kraton bersama Wiryajaya. Udara pagi bercampur dengan aroma bunga yang ditanam di taman sekitar menambah kesakralan suasana. Deretan abdi dalem yang mengenakan beskap lengkap dengan blangkon menunduk hormat saat mereka lewat.
Beberapa abdi dalem yang sudah berusia lanjut, matanya berbinar seolah mengenali sosok Sekar. Ada yang bahkan berbisik lirih, namun sebelum kata itu keluar lebih jauh, Wiryajaya memberikan isyarat halus dengan gerakan tangan dan tatapan matanya. Seketika mereka terdiam, menunduk lebih dalam, lalu kembali menjaga sikap.
Sekar sempat menoleh ke arah Wiryajaya, sedikit bingung. Tapi pria itu hanya memberi senyum tipis, seakan berkata "tenang saja.”
Mereka akhirnya diarahkan menuju ruang pendopo agung. Ruangan luas dengan tiang-tiang kayu jati besar berukir emas, lampu gantung kristal klasik, dan lantai marmer putih. Di ujung ruangan, duduklah Sri Sultan Hamengkubuwono dengan putrinya di samping, anggun dalam busana kebesaran keraton.
Sekar spontan menunduk memberi hormat, sementara Wiryajaya maju selangkah.
“Yang Mulia, perkenankan saya memperkenalkan rekan kerja saya, Sekar,” ucap Wiryajaya dengan suara penuh wibawa.
Sultan tersenyum ramah, begitu juga putrinya. “Sugeng rawuh,” ujar Sultan.
Sekar sempat kaku. Ia bisa sedikit bahasa Jawa, tapi kalimat panjang sulit baginya. Ia menoleh pada Wiryajaya, yang segera berperan sebagai penerjemah.
“Yang Mulia menyambut kedatanganmu dengan hangat,” ujar Wiryajaya pelan pada Sekar.
Sekar pun membalas dengan senyum dan ucapan sopan, “Terima kasih, Yang Mulia.”
Pertemuan pun dimulai. Mereka duduk di tikar pandan khusus yang sudah disediakan. Wiryajaya membuka map proyek, lalu mulai menjelaskan konsep revitalisasi Taman Sari. Sultan mendengarkan seksama, sesekali menimpali dengan bahasa Jawa halus yang penuh filosofi.
Setiap kali Sultan berbicara, Sekar mendengar dengan seksama meski tidak mengerti sepenuhnya. Wiryajaya dengan cekatan menerjemahkan kalimat demi kalimat. Putri Sultan juga sesekali ikut menambahkan komentar ringan, terutama soal estetika taman dan nilai budaya yang harus tetap dijaga.
“Yang Mulia ingin memastikan,” ujar Wiryajaya menerjemahkan, “bahwa setiap detail taman tidak hanya sekadar indah, tapi juga merepresentasikan nilai-nilai leluhur.”
Sekar mengangguk penuh hormat. “Itu sudah menjadi prinsip utama dalam desain kami, Yang Mulia. Kami tidak akan mengabaikan warisan sejarah.”
Sultan tersenyum tipis, matanya menatap Sekar dengan penuh makna, seolah melihat sesuatu lebih dari sekadar arsitek muda yang datang membicarakan proyek. Sekar sempat merasa bulu kuduknya meremang, apalagi ketika ia menyadari beberapa abdi dalem di belakang sesekali masih melirik dirinya dengan pandangan samar.
Namun Wiryajaya tetap tenang, ia yang mengatur alur percakapan, memastikan diskusi berjalan lancar.
Pertemuan itu berlangsung cukup panjang, penuh detail, namun suasana tetap hangat dan penuh penghormatan.
Setelah pembahasan di pendopo selesai, Sultan beranjak perlahan dari duduknya, memberi tanda bahwa pertemuan akan dilanjutkan dalam suasana yang lebih santai. Putri yang sejak tadi duduk anggun di samping beliau kemudian menatap Sekar dengan senyum hangat.
“Kalau berkenan, Mbak Sekar... mari saya ajak berkeliling sebentar,” ucap sang putri lembut, suaranya menenangkan seperti alunan gamelan sore hari.
Sekar tampak terkejut sejenak, namun segera mengangguk sopan. “Dengan senang hati, Gusti Putri.”
Wiryajaya berjalan setengah langkah di belakang mereka, tetap menjaga jarak tapi cukup dekat untuk mendengar dan mengawasi. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang dengan dinding putih gading dan jendela kayu besar yang terbuka ke arah taman dalam Kraton.
Udara yang masuk membawa aroma melati dan kenanga, membuat langkah Sekar terasa ringan. Ia beberapa kali melirik ke arah Putri yang berjalan di sisinya—anggun, lembut, dan sama sekali tidak berjarak seperti bayangannya tentang keluarga kerajaan.
“Tempat ini... indah sekali,” ujar Sekar dengan nada kagum.
Putri tersenyum. “Taman ini sudah ada sejak masa Sri Sultan terdahulu. Banyak kisah yang hidup di antara pepohonan ini.” Ia menatap Sekar dengan lembut sebelum menambahkan, “Beberapa kisah bahkan sangat mirip dengan sosokmu.”
Sekar menoleh, sedikit bingung. “Mirip... saya, Gusti?”
Putri hanya tersenyum samar, tak menjawab langsung. Ia melangkah menuju halaman kecil di mana beberapa abdi dalem tengah merapikan bunga dan menyapu daun-daun kering. Begitu melihat Putri, mereka langsung berhenti dan menunduk hormat.
Namun pandangan mereka sempat tertahan pada Sekar. Tatapan itu bukan hanya hormat, ada semacam keterkejutan yang halus namun nyata. Beberapa dari mereka saling berbisik pelan dalam bahasa Jawa halus.
“... mirip banget... kaya Putri Dyah...”
“... iya, persis... kalo gak tau, dikira keturunan langsung...”
Sekar tak begitu paham ucapan mereka, tapi ia menangkap nada bisik-bisik itu. Ia melirik Wiryajaya dengan tatapan bertanya. Namun pria itu segera memberikan isyarat halus, senyum kecil dan anggukan ringan yang seolah berkata, tidak usah dipikirkan.
“Nderek Gusti,” ucap salah satu abdi dalem tua sambil menunduk dalam, tapi matanya sempat menatap Sekar lama, penuh rasa haru dan takjub.
Putri hanya tersenyum lembut. “Mereka senang melihat tamu sebaik kamu, Mbak Sekar. Sudah lama taman ini tak menerima kunjungan dari luar yang membawa suasana sehangat ini.”
Sekar tersipu. “Saya yang justru merasa terhormat bisa berada di sini, Gusti. Rasanya seperti melihat sejarah yang hidup.”
Putri menatap Sekar lekat-lekat seolah menyelami sesuatu yang lebih dalam dari sekadar wajahnya. “Mungkin memang ada alasan mengapa kamu merasa begitu,” ujarnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Sekar sedikit mengernyit, hendak bertanya, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Wiryajaya melangkah ke depan dengan sopan. “Gusti, mungkin sudah waktunya kembali ke pendopo. Sebentar lagi rombongan teknis akan datang membawa dokumen tambahan.”
Putri menatap Wiryajaya sejenak, lalu tersenyum. “Baiklah.” Ia menoleh pada Sekar. “Kita lanjutkan cerita ini lain waktu, ya, Mbak Sekar.”
Sekar hanya mengangguk dengan sopan, meski hatinya kini dipenuhi rasa penasaran. Siapa sebenarnya yang dimaksud para abdi dalem itu? Mengapa wajahnya mirip dengan seseorang dari masa lalu? Dan mengapa Wiryajaya tampak terlalu tenang, seolah tahu sesuatu yang belum waktunya ia ketahui?
Angin lembut berhembus, membawa aroma melati yang pekat. Sekar menatap taman itu sekali lagi sebelum melangkah pergi, tanpa tahu bahwa setiap langkahnya di tanah keraton itu mulai membangunkan kisah lama yang pernah tertidur puluhan tahun lamanya.
Langkah Sekar terhenti ketika mereka berjalan melewati sebuah ruangan di sisi timur keraton. Pintu kayu jati itu terbuka sedikit, dan dari celahnya terpancar cahaya keemasan lembut yang seolah memanggil. Ada sesuatu, entah suara, hawa, atau perasaan yang membuat Sekar spontan berhenti.
“Mas,” ujarnya lirih, menatap ke arah pintu itu. “Boleh kita masuk sebentar?”
Wiryajaya yang berjalan di depannya menoleh. Tatapannya berubah sesaat, seperti seseorang yang sudah tahu apa yang akan terjadi. Ia menimbang sejenak, lalu mengangguk pelan. “Boleh. Tapi hati-hati, ya, Sekar.”
Sekar membuka pintu perlahan. Aroma kayu tua bercampur wangi bunga melati memenuhi ruangan itu. Cahaya matahari sore masuk dari jendela kecil di atas, menimpa debu-debu halus yang beterbangan di udara, menciptakan pemandangan seperti butiran emas yang menari.
Di dalam, ruangan itu tampak kosong kecuali satu meja kecil, beberapa lukisan pudar di dinding, dan sebuah cermin besar berdiri tegak di sudut.
Sekar melangkah perlahan. Hatinya berdegup aneh—bukan takut, tapi seperti rasa rindu yang tidak bisa dijelaskan. Wiryajaya hanya berdiri beberapa langkah di belakangnya, menatap sekitar dengan wajah yang tak bisa ditebak.
“Ruangan ini dulunya dipakai untuk sesuatu yang cukup penting,” ucap Wiryajaya perlahan. “Tempat ini... pernah menjadi bagian dari sejarah yang sangat dekat denganmu.”
Sekar menoleh dengan bingung. “Maksud Mas?”
Wiryajaya hanya menatapnya sekilas, senyum samar muncul di bibirnya. “Nanti kamu akan mengerti, Sekar. Tidak sekarang.”
Sekar mengerutkan kening, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia berjalan mendekat ke arah cermin besar di sudut ruangan itu. Bingkainya terbuat dari kayu jati yang diukir halus dengan motif lung-lungan, meski sudah mulai dimakan usia.
Ketika Sekar berdiri di depannya, pantulan dirinya terlihat jelas—ia dalam balutan jas biru muda, rok jarik senada, dengan bros perak di d**a dan sanggul setengah di rambutnya. Semuanya tampak normal... sampai ia melihat sesuatu yang berubah.
Sekejap, pantulan itu bergeser. Sekar membeku.
Ia melihat dirinya—tapi bukan dirinya yang sekarang. Di dalam cermin, sosok yang berdiri mengenakan kebaya tradisional berwarna gading lembut bertabur benang emas. Lehernya dihiasi kalung kecil dari mutiara, rambutnya digelung rapi dan dihiasi untaian melati yang menjuntai indah.
Tatapan wanita di dalam cermin itu sama persis dengan tatapannya—lembut namun berwibawa, penuh rahasia yang tak bisa diucapkan.
Sekar mundur setengah langkah, napasnya tercekat. Ia memandangi pantulan itu dengan ngeri bercampur takjub. “M-Mas...” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Wiryajaya yang sedari tadi menelusuri ukiran di sisi dinding akhirnya menoleh. “Kenapa, Sekar?”
Sekar menunjuk ke arah cermin itu, tapi saat Wiryajaya menghampiri dan berdiri di sampingnya, pantulan itu berubah kembali—menjadi dirinya yang biasa. Hanya seorang wanita muda dengan pakaian modern dan wajah kebingungan.
“Barusan... aku.. aku lihat sesuatu,” kata Sekar pelan, suaranya gemetar. “Di cermin itu. Aku pakai kebaya, Mas. Kebaya yang... sangat indah.”
Wiryajaya menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya, campuran antara rasa iba dan pengetahuan yang dalam. Namun ia hanya menepuk pelan bahu Sekar. “Cermin ini sudah ada sejak lama. Kadang ia hanya memantulkan apa yang hatimu simpan.”
Sekar menatapnya dengan bingung. “Maksudnya?”
Wiryajaya menatap ke arah cermin, suaranya tenang tapi berat. “Mungkin... bagian dari dirimu yang dulu, Sekar, masih ingin diingat.”
Sekar ingin bertanya lebih jauh, namun suara langkah pelan dari luar mengagetkan mereka. Seorang abdi dalem tua muncul di ambang pintu, menunduk dalam. “Raden Wirya, Gusti Putri menunggu di pendopo.”
Wiryajaya menoleh dan mengangguk. Ia kemudian menatap Sekar, “Ayo, kita kembali.”
Sekar sempat menoleh sekali lagi sebelum keluar ruangan. Cermin itu kini tampak biasa saja, tapi entah mengapa, ia merasa seolah pantulan dirinya masih memandangnya... dari sisi lain waktu.
Ketika pintu kayu itu ditutup perlahan, ruangan kembali sunyi. Hanya bayangan samar seorang wanita berkebaya gading yang tersisa di permukaan cermin, tersenyum tipis sebelum menghilang dalam cahaya sore.