Keesokan harinya, langit Yogyakarta tampak jernih, awan berarak perlahan seolah ingin ikut menyambut hari baru. Udara pagi yang masih sejuk berembus lembut ketika Sekar dan rombongannya bersiap untuk berangkat menuju Taman Sari.
Kali ini, mereka tidak menaiki mobil—melainkan dua delman yang telah disiapkan oleh pihak keraton. Suara derap kaki kuda dan derit roda kayu di jalan batu menciptakan suasana klasik yang seakan membawa mereka mundur ke masa silam. Sekar duduk di delman pertama bersama Wiryajaya, sementara Aria dan ketiga adiknya menaiki delman kedua.
Sesampainya di kompleks Taman Sari, suasana tenang langsung menyambut mereka. Dinding-dinding batu putih yang mulai kusam dimakan waktu tetap berdiri gagah, memantulkan cahaya pagi dengan keanggunan yang tak lekang oleh zaman. Burung-burung kecil berterbangan di sekitar kolam, sementara suara gemericik air menjadi latar alami yang menenangkan hati.
Namun begitu Sekar turun dari delman, beberapa abdi dalem yang tengah membersihkan halaman menatapnya dengan mata terbelalak. Mereka saling berbisik, sebagian bahkan menunduk dengan terburu-buru.
“Gusti... Kanjeng Putri Dyah Sekarjati...?” bisik salah seorang abdi dalem tua dengan suara bergetar, hingga sapu di tangannya hampir terjatuh.
Sekar tertegun, menatap mereka dengan bingung. “Maaf... saya--”
Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Wiryajaya sudah melangkah maju dan memberikan isyarat halus dengan gerakan tangan. Senyum lembut di wajahnya cukup membuat para abdi dalem itu segera menunduk kembali tanpa berkata apa-apa lagi.
“Tidak apa-apa,” ucap Wiryajaya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Mereka hanya terkejut melihat seseorang yang wajahnya mirip dengan kisah lama.”
Sekar mengangguk perlahan, meski hatinya terasa semakin penuh tanda tanya. Ia memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh dan mulai fokus pada pekerjaannya hari itu: penelitian rekonsrvasi Taman Sari.
Ia berjalan mengamati arsitektur bangunan yang unik—pintu-pintu sempit yang menghubungkan lorong, tembok tebal yang menahan panas, serta pola ubin kuno yang sebagian sudah terkelupas tapi masih menyimpan keindahan. Sesekali ia mencatat hal-hal kecil di buku catatannya, sementara Wiryajaya menjelaskan fungsi-fungsi ruangan dari sudut pandang sejarah keraton.
Sementara itu, ketiga adiknya bersama Aria meminta izin kepada abdi dalem untuk turun ke area pemandian putri. Salah satu abdi dalem wanita yang sudah sepuh mengangguk sambil tersenyum hangat. “Silakan, Nduk. Ini sudah diizinkan langsung oleh Gusti Putri.”
Kirana langsung bersorak kecil. “Makasih, Mbah!” katanya riang.
Tangga menuju kolam pemandian tampak basah oleh embun. Airnya bening kebiruan, memantulkan bayangan langit dan dinding-dinding tua yang mengelilinginya. Aria dan ketiga adik Sekar berdiri di tepi tangga, menikmati keindahan yang menenangkan hati itu.
“Cantik banget, ya...” gumam Nayla, sambil menunduk melihat pantulan wajahnya di air.
Sementara itu, Sekar dan Wiryajaya berjalan menyusuri lorong sempit yang sedikit lembap. Aroma batu basah bercampur bunga-bungaan membuat suasana terasa magis.
“Lorong ini dulu jadi penghubung rahasia antara pemandian putri dan ruang pribadi sultan,” jelas Wiryajaya tenang, jemarinya menyusuri dinding tua yang dingin. “Tidak banyak orang diizinkan lewat sini.”
Sekar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga mereka sampai di ujung lorong yang langsung mengarah ke tepi kolam pemandian. Dari situ, mereka bisa melihat Aria dan ketiga adiknya yang masih tertawa-tawa di tangga kolam.
Wiryajaya menatap ke arah Sekar. “Kamu harus coba, Sekar.”
Sekar menoleh heran. “Coba apa, Mas?”
“Rasakan airnya,” jawabnya lembut, tapi matanya tajam menatap. “Sekali saja. Air ini sudah mengalir ratusan tahun, menyimpan banyak kenangan dari masa lalu. Coba rasakan... siapa tahu kamu menemukan sesuatu.”
Sekar sempat ragu, tapi dorongan rasa penasaran yang halus mengalahkan logikanya. Ia mendekat, menurunkan diri perlahan di anak tangga pertama kolam. Ujung jariknya sedikit basah ketika ia mengangkat rok agar tidak menyentuh air.
Lalu ia membungkuk, membiarkan jemari kakinya menyentuh permukaan air kolam yang dingin.
Dan saat itu juga, sesuatu terjadi.
Sekar terdiam. Hembusan angin yang tadi lembut mendadak berubah hening. Suara burung-burung menghilang, udara di sekitarnya seperti berhenti. Dari permukaan air yang bening, muncul pantulan yang bukan dirinya yang sekarang, melainkan bayangan lain.
Ia melihat dirinya mengenakan kebaya sutra berwarna biru muda, berhiaskan melati di rambut, berjalan di antara taman dengan langkah anggun. Di belakangnya, seorang pria bersorban lurik dan berikat kepala batik mengikutinya dengan tatapan hormat.
Sekar menarik napas dalam, nyaris kehilangan keseimbangan. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, bayangan itu lenyap seolah disapu angin.
Ia menatap Wiryajaya yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu tidak terkejut, sebaliknya, ia menatap Sekar dengan ekspresi lembut, bahkan sedikit... haru.
Sekar menatapnya penuh kebingungan. “Mas... barusan aku lihat--”
Wiryajaya tersenyum samar. “Aku tahu,” katanya pelan. “Kamu mulai merasakannya, kan? Tempat ini mengenalmu lebih dulu, Sekar.”
Sekar hanya bisa menatapnya, napasnya sedikit tercekat. Ia tak tahu apakah yang baru saja ia alami itu nyata, atau hanya imajinasi. Tapi perasaannya berkata, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai terbangun, sesuatu yang sudah lama tertidur di kedalaman jiwanya.
Dan dari balik tembok tua Taman Sari, angin lembut bertiup kembali, membawa aroma melati yang samar... seolah ikut menyambut pulangnya seorang putri yang telah lama hilang.
Lorong itu sunyi. Hanya suara langkah Sekar dan Wiryajaya yang bergema di antara dinding batu yang lembap. Lampu-lampu kecil di sisi tembok menyorot samar, menampakkan ukiran bunga teratai yang mulai pudar dimakan waktu.
“Lorong ini dulunya tempat para putri menuju ruang pijat dan sauna,” jelas Wiryajaya pelan. “Tempat mereka beristirahat setelah mandi di kolam utama.”
Sekar berjalan perlahan, matanya menatap lurus pada pintu kayu tua di ujung lorong. Entah kenapa dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang memanggil. Ia melangkah mendekat, dan saat jemarinya menyentuh gagang pintu, sesuatu di balik sana seolah hidup kembali.
Bayangan samar muncul. Tiga gadis muda tertawa kecil sambil bermain air. Mereka mengenakan kemben halus warna gading, rambutnya disanggul rapi. Sekar terpaku. Nafasnya tercekat.
“Itu…” bibirnya gemetar. “Mereka… adik-adikku.”
Ia hendak melangkah masuk, namun tangan Wiryajaya cepat menahan lengannya. “Sekar, tunggu. Ada apa?”
“Mereka ada di sana!” seru Sekar, menunjuk pintu itu dengan tatapan yakin. “Aku lihat sendiri! Mereka tersenyum ke arahku.”
Wiryajaya menatap kosong ke arah yang sama, namun di matanya hanya ada ruangan gelap dan kosong. “Tidak ada siapa-siapa di dalam, Sekar.”
Sekar menatapnya tak percaya, kemudian kembali menoleh ke arah pintu. Tapi kali ini, yang tersisa hanya keheningan. Tidak ada tawa, tidak ada bayangan. Hanya sisa embun di gagang pintu, seolah baru saja disentuh seseorang.
Ia mundur perlahan, menatap ke sekeliling. “Aku… aku tahu mereka ada di sana barusan,” bisiknya pelan.
“Barangkali kau hanya lelah,” ujar Wiryajaya lembut, meski raut wajahnya tampak tegang. Ia tak berani mengucap lebih banyak.
Sekar menghela napas panjang. “Mungkin.” Tapi dalam hatinya, ia tahu apa yang dilihatnya tadi bukan sekadar bayangan.
Mereka berjalan kembali ke arah kolam pemandian. Kali ini Sekar memperhatikan setiap langkahnya dengan cermat. Anehnya, tanpa perlu dijelaskan, ia tahu betul fungsi tiap kolam yang mereka lewati.
“Kolam itu… untuk Raja dan Ratu,” ucapnya lirih sambil menunjuk kolam besar berukir naga emas. “Yang itu untuk para selir. Dan di sebelah sana… untuk para perempuan yang sedang masa kotor.”
Wiryajaya tertegun. “Dari mana kau tahu itu semua?”
Sekar menatap ke air yang memantulkan wajahnya. “Entahlah. Seperti aku pernah ada di sini sebelumnya.”
Sebelum Wiryajaya sempat bertanya lagi, langkah-langkah cepat terdengar dari kejauhan. Ketiga adik Sekar dan Aria muncul, wajah mereka memerah karena panas.
“Kak, tempat ini luar biasa!” seru salah satu adiknya sambil tertawa.
Sekar tersenyum, meski pikirannya masih diselimuti rasa aneh yang tak bisa dijelaskan.
Wiryajaya mengajak mereka semua menuju sisi belakang kompleks pemandian. Di sana terdapat sebuah lorong sempit yang menurun ke bawah tanah. Udara di sana dingin dan berbau tanah lembap.
“Lorong ini,” kata Wiryajaya sambil menyalakan obor kecil, “dulunya digunakan keluarga kerajaan untuk melarikan diri jika keraton diserang. Panjangnya bisa mencapai beberapa kilometer, tembus hingga ke hutan di luar tembok kerajaan.”
Sekar menyentuh dinding lorong itu. Permukaannya kasar, namun di sela-sela batu ia merasakan sesuatu, semacam getaran halus, seolah tempat itu masih menyimpan jejak langkah ratusan tahun lalu.
“Rasanya… seperti lorong ini masih hidup,” gumamnya pelan.
Wiryajaya menatapnya lama, seolah ingin menanyakan banyak hal tapi urung. Ia hanya berkata lirih, “Mungkin tempat ini memang menunggu seseorang untuk mengingatnya kembali.”
Sekar menatap ke arah ujung lorong yang gelap, lalu kembali menatap Wiryajaya. Ada sesuatu di balik pandangan itu, sebuah kesadaran samar bahwa masa lalu belum sepenuhnya pergi.
Angin berhembus kencang dari arah lorong bawah tanah. Sekar yang semula berdiri di depan Wiryajaya refleks menutup mata. Ketiga adiknya dan Aria menjerit pelan, memegangi tangan satu sama lain. Suara desir angin itu seperti bergulung, membawa bisikan yang entah dari mana asalnya, suara perempuan-perempuan yang menembang lirih dalam bahasa Jawa kuno.
“Apa yang terjadi, Mas Wirya?” tanya Aria, panik.
Namun sebelum Wiryajaya sempat menjawab, cahaya terang menyilaukan mata mereka semua. Sekar sempat berusaha menutup wajahnya dengan tangan, tapi cahaya itu semakin kuat, melingkupi seluruh tubuh mereka. Lalu.. gelap.
***
Sekar membuka matanya perlahan. Hembusan lembut bunga kenanga dan melati memenuhi seluruh ruangan. Ia mendapati dirinya berbaring di atas dipan kayu jati berukir halus. Tirai putih tipis menggantung di sekeliling tempat tidurnya, berayun lembut diterpa angin.
Matanya terbelalak ketika menyadari tubuhnya hanya terbalut selembar kemben sutra warna gading. “Apa... ini di mana?” bisiknya kaget, menatap sekeliling.
Ia bangkit, melangkah menuju jendela besar di sisi kanan ruangan. Bingkainya terbuat dari kayu jati tua yang dipoles mengilap. Ia mendorongnya perlahan. Berat, tapi bisa terbuka dengan suara berderit halus.
Cahaya matahari masuk, menyorot taman kecil di luar. Ada suara gamelan samar, dan aroma dupa menguar dari kejauhan.
Belum sempat Sekar mengerti apa yang sedang terjadi, suara langkah cepat terdengar dari arah luar kamar. Seorang gadis muda dengan wajah panik berlari masuk sambil membungkuk dalam. Rambutnya disanggul sederhana, dan tubuhnya juga hanya terbalut kemben coklat muda.
“Ndoro Putri! Astaghfirullah... Nyuwun pangapunten, Ndoro Putri!” ucapnya terburu-buru, wajahnya pucat. “Kula kedah wonten ing sisih panjenengan nalika panjenengan tangi, nanging kula kalepasan...”
Sekar terpaku. “Ndoro... apa?”
Gadis itu menunduk semakin dalam. “Ndoro Putri… panjenengan kados pundi? Menawi wonten ingkang kirang, mangga dhawuh, kula Ratna.”
“Ratna?” Sekar menatapnya dengan mata melebar. Wajah gadis itu—sangat mirip dengan Ratna, asistennya di dunia nyata. Sama bentuk mata, senyum, bahkan nada suaranya.
Sekar terkekeh kecil tanpa sadar. “Kau ini... Ratna juga? Astaga... kalian benar-benar pandai bercanda.”
Namun bukannya ikut tertawa, gadis itu justru semakin panik. Ia menunduk sambil gemetar, “Ndoro, kula nyuwun pangapunten... menawi panjenengan badhe medal, monggo kenakan rumiyin kebaya panjenengan. Nggih? Kula badhe nyepeng rambut panjenengan sekedhap malih.”
Sekar berhenti tertawa. Tatapannya beralih ke meja rias besar di sudut ruangan, di atasnya terlipat rapi kebaya halus warna biru laut dengan selendang emas di sampingnya.
Ia mengangguk pelan. “Baiklah, Ratna...” katanya akhirnya, sedikit bingung tapi mencoba menuruti.
Ratna menghela napas lega, lalu buru-buru keluar kamar sambil menunduk dalam. Sekar memperhatikan kepergian gadis itu dari jendela, menyadari kalau halaman di luar bukan halaman hotel atau rumah modern melainkan taman keraton, dengan gapura bata merah dan jalur batu yang melingkar ke arah pendapa.
Sekar menyentuh kembennya pelan. “Kenapa rasanya... semuanya begitu nyata?”
Ia lalu mengambil kebaya itu dan mulai memakainya perlahan. Kainnya lembut, wangi kenanga, dan di d**a sebelah kiri tersemat bros kecil berbentuk bunga teratai emas. Entah mengapa, saat jarinya menyentuh bros itu, hati Sekar terasa bergetar, seolah benda itu mengenali dirinya lebih dulu.
Begitu kebaya biru laut itu melekat di tubuhnya, Sekar menarik napas panjang. Ratna yang berdiri di belakangnya membantu merapikan selendang dan menata untaian melati di rambutnya. Lalu, dengan langkah perlahan, mereka melangkah keluar kamar.
Begitu pintu kayu jati itu terbuka, udara pagi yang hangat langsung menyapa kulitnya. Deretan dayang dan abdi dalem perempuan berbaris di sepanjang koridor batu. Mereka mengenakan kemben warna lembut dan kain jarik bermotif parang kecil. Begitu Sekar melangkah, mereka semua menunduk dalam dan mengucap hampir serempak,
"Sugeng enjang, Ndoro Putri Dyah Sekarjati...”
Sekar terpaku. Suara serempak itu membuat jantungnya berdegup cepat. Ratna tersenyum bangga di sampingnya, seolah hal itu sangat biasa. Tapi bagi Sekar, itu menakutkan sekaligus membingungkan.
"Dyah Sekarjati...?" pikirnya. Itu... namanya?
Ia menatap sekeliling. Semua tampak begitu hidup, ukiran kayu di tiang-tiang pendapa, suara burung perkutut, aroma bunga melati yang kuat. Dari cara mereka berpakaian dan berbicara, Sekar baru benar-benar sadar... ini bukan mimpi. Ia seperti kembali ke masa lalu ke era ketika keraton masih berdiri dalam kejayaannya.
Belum sempat ia mencerna semuanya, tiba-tiba terdengar suara riuh dari ujung halaman. “Ndoro! Ndoro Putri!”
Sekar menoleh, dan hampir tak percaya melihat tiga gadis berlari ke arahnya dengan wajah panik. Mereka dikejar beberapa dayang yang memegang kain dan selendang, berusaha menghentikan mereka.
“Mbakyuuu!” teriak salah satu dari mereka, wajahnya adalah Ayu, adik pertamanya, tapi kini rambutnya disanggul dan tubuhnya hanya berbalut kemben merah muda serta kain batik.
Menyusul di belakangnya Kirana dan Nayla, yang juga tampak kebingungan dengan gaya berpakaian sama. Ketiganya langsung menghampiri Sekar dan berhenti tepat di depannya, terengah.
“Mbakyu! Ini gimana sih?!” Ayu bersuara dengan logat yang masih modern, membuat para dayang yang mendengarnya saling berpandangan aneh.
Sekar langsung menarik mereka menjauh sedikit, menatap satu per satu. “Kalian... Ayu? Kirana? Nayla?”
“Iya, Mbak! Tapi mereka panggil aku Dyah Nadindra!” ujar Ayu panik.
“Aku malah dipanggil Dyah Amaratani...” sahut Kirana dengan wajah bingung.
“Dan aku, Dyah Saraswati... apa-apaan ini, Mbak?” seru Nayla yang paling kecil, matanya sudah berkaca-kaca.
Sekar terpaku. Nama-nama itu, nama putri kerajaan Jawa kuno yang dulu pernah ia baca saat meneliti naskah kuno Taman Sari. Perlahan, kesadaran itu datang padanya seperti aliran air dingin. Ia dan adik-adiknya... mungkin benar-benar hidup di masa lampau.
Sebelum ia sempat menjelaskan, suara langkah cepat datang dari arah timur. Seorang gadis berpakaian kebaya ungu datang dengan wajah panik, Aria. Tapi penampilannya pun berbeda. Rambutnya disanggul tinggi, dan di pinggangnya terikat selendang berwarna ungu tua bertabur benang emas.
“Sekar!” panggilnya lalu buru-buru menutup mulutnya ketika beberapa abdi dalem menatapnya aneh. Ia meralat cepat dengan nada formal, “Eh... Ndoro Putri Dyah Sekarjati!”
Sekar menatapnya cemas. “Aria?”
“Iya, ini aku! Tapi aku nggak ngerti kenapa mereka panggil aku Adipati Aria Kusumawardhani! Adipati, Sekar! Aku bahkan bukan laki-laki!” katanya cepat, hampir teriak, membuat Ratna di belakang Sekar spontan menunduk, berusaha menahan tawa.
Ketiga adik Sekar tertegun. “Apa-apaan ini, Mbak? Kita semua... kayak punya nama baru,” ujar Kirana dengan suara kecil.
Sekar menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri, lalu menatap mereka semua dengan serius.
“Mungkin... ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Taman Sari kemarin. Air kolam dan cahaya aneh itu. Aku... aku rasa kita benar-benar dibawa ke masa lalu.”
Keempat gadis itu saling berpandangan ngeri. Suasana jadi tegang, hanya terdengar suara burung dan desir angin.
“Aku tahu kalian takut,” lanjut Sekar pelan. “Tapi kita nggak boleh panik. Kita harus tetap tenang. Aku akan cari Wiryajaya—dia pasti tahu sesuatu.”
Belum sempat mereka melangkah, seorang dayang berlari kecil menghampiri, membungkuk hormat.
“Ndoro Putri...” ucapnya dengan suara lembut tapi tegas. “Kula ngaturaken dhawuh... dalem Sri Baginda Raja lan Ratu ageng nyuwun rawuhipun panjenengan sedaya. Kula dipun dhawuh supados Ndoro Putri Dyah Sekarjati saha para Dyah sanes enggal-enggal nyiapaken diri.”
Sekar menatap dayang itu, lalu memandang adik-adiknya dan Aria. Wajah-wajah mereka tampak campuran antara bingung dan panik.
“Raja dan Ratu... ingin bertemu kita?” tanya Aria pelan.
Sekar mengangguk. “Ya. Dan... sepertinya mereka tahu siapa kita sekarang.”
Ia menatap jauh ke arah pendapa besar di ujung taman. Dari sana, samar-samar terlihat dua sosok berpakaian kebesaran kerajaan sedang menunggu.
Dengan napas pelan, Sekar membenarkan selendangnya dan berbisik ke Aria, “Apa pun yang terjadi nanti, jangan tunjukkan ketakutan. Kita harus berpura-pura tahu posisi kita di sini...”
Aria mengangguk perlahan, sementara ketiga adik Sekar berdiri di belakang, berusaha meniru sikap tenang sang kakak.
Dan dengan langkah pasti, Sekar Dyah Sekarjati melangkah menuju pendapa keraton, tempat takdirnya, yang mulai membuka lembaran masa lalunya.