BAB 11

2658 Words
Langkah Sekar berayun perlahan melewati lorong panjang keraton. Dinding-dinding tinggi berhiaskan ukiran jati tampak berkilau terkena pantulan cahaya matahari pagi. Aroma bunga kenanga dan melati yang semerbak menambah ketenangan suasana, membuat Sekar tersenyum kecil. Namun senyum itu justru mengundang tatapan heran dari para abdi dalem yang lewat. “Lho… Ndoro Putri kok sumringah menika?” bisik salah satu abdi wanita pada temannya. “Biasane galak ngeten loh…,” sahut yang lain dengan wajah bingung. Sekar mendengarnya, tapi hanya tersenyum sambil melanjutkan langkah. Dalam hati, ia merasa geli. Jadi selama ini aku dikenal galak? Pantas Ratna tadi gemetaran begitu lihat aku bangun… Ia menuruni tangga batu menuju halaman depan, tempat seekor kuda delman hitam berhiaskan kain beludru biru tua telah menunggu. Sopir delman itu segera menunduk dalam, memberi hormat. “Ndoro Putri, dalem sampun siyap.” Sekar hendak melangkah naik ketika dari kejauhan terdengar derap langkah berat pasukan berkuda. Suara itu semakin dekat, membuat para abdi dalem menunduk hormat. Sekar menoleh. Di antara barisan kuda itu, seorang laki-laki berperawakan tegap turun perlahan. Rambutnya terikat rapi, sorot matanya tajam namun berwibawa. Sekar tertegun. Wajah itu… ia mengenalnya. Wiryajaya. Namun saat laki-laki itu berjalan mendekat dan menunduk hormat, nada suaranya membuat Sekar sadar, ia bukan Wiryajaya yang ia kenal di masa kini. “Sendika, Ndoro Putri,” katanya dengan suara dalam dan berwibawa. “Perkenankan hamba memperkenalkan diri. Nama hamba Mahesa Adiwangsa, Jendral utama prajurit keraton, dan pengawal pribadi Paduka Dyah Sekarjati.” Sekar terpaku. Mahesa menatapnya dengan hormat, tanpa tanda-tanda mengenal dirinya lebih jauh. “Jendral… Mahesa Adiwangsa?” Sekar mengulang pelan, mencoba memastikan. Laki-laki itu mengangguk. “Kanjeng Ratu memerintahkan hamba untuk mendampingi perjalanan Paduka ke luar keraton. Hamba mohon izin untuk mengawal.” Sekar menelan ludah pelan. Pandangannya tak lepas dari mata Mahesa yang jernih, mirip sekali dengan tatapan Wiryajaya—tegas, tapi penuh ketenangan. Ia sempat melirik pakaian sang Jendral: kain prajurit dengan sabuk kulit hitam dan hiasan logam berbentuk naga. “Baiklah, Jendral Mahesa,” jawab Sekar akhirnya dengan senyum kecil. “Kalau begitu, aku serahkan pengawalan padamu.” Mahesa menunduk lagi dengan anggun. “Sendika, Ndoro Putri.” Sekar pun menaiki delman. Namun sebelum kudanya berangkat, ia sempat menatap keluar jendela kecil di sisi kiri. Mahesa sudah berada di atas kudanya, menatap lurus ke depan sambil memegang tombak panjang di tangan kanan. Ada sesuatu dalam cara Mahesa duduk di pelana kuda itu, mantap, disiplin, tapi tidak kaku. Dan entah kenapa, d**a Sekar terasa hangat. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang pernah mengenal laki-laki itu jauh sebelum pertemuan hari ini. Mahesa Adiwangsa… apa kau di masa Modern adalah… dia? Delman pun mulai bergerak pelan meninggalkan halaman keraton. Sekar menatap keluar jendela, menikmati udara segar dan desiran dedaunan yang bergoyang. Di belakangnya, suara langkah kuda Mahesa terdengar teratur, mengiringi setiap laju roda delman. Sementara itu, di antara bisikan para abdi dalem yang menonton dari kejauhan, seseorang berbisik pelan, “Ndoro Sekar… kok beda ya saiki. Lembut banget.” Dan mungkin memang benar. Sekar kini bukan lagi Dyah Sekarjati yang dulu dikenal angkuh. Ia adalah Sekar masa kini, yang terlempar ke masa lalu dan mungkin, ditakdirkan untuk memperbaiki sesuatu yang belum sempat diselesaikan di kehidupan sebelumnya. Udara pagi terasa segar ketika delman berhenti di depan gerbang besar yang terbuat dari kayu jati. Di atasnya tergantung hiasan bunga melati yang baru saja dipetik, harum dan menenangkan. Sekar turun perlahan, langkahnya terhenti begitu matanya menatap rumah yang berdiri megah di hadapannya. Bangunan itu begitu akrab. Atapnya menjulang tinggi, pilar-pilarnya kokoh dengan ukiran motif bunga kenanga di setiap sisi. Di sudut terasnya ada kursi panjang dari rotan, persis seperti yang ia duduki sehari lalu di masa modern. Sekar menatap sekeliling dengan mata membulat. Ini… villa Mas Wiryajaya? Detak jantungnya berdegup cepat. Semua detailnya sama, dari jendela besar di sisi timur hingga taman kecil dengan kolam berisi ikan merah. Jadi… rumah yang aku minta di masa ini, ternyata rumah yang kelak menjadi villa itu… Mahesa berjalan mendekat, suaranya lembut namun tetap berwibawa. “Ndoro Putri, inilah griya yang panjenengan perintahkan untuk dibangun enam purnama lalu. Hamba hanya memastikan semuanya aman sebelum panjenengan tiba.” Sekar menoleh ke arah Mahesa, mencoba menenangkan dirinya. “Terima kasih, Jendral Mahesa.” Mahesa tersenyum tipis. “Hamba hanya menjalankan perintah, Diajeng.” Sekar refleks menatapnya dengan kaget. “Diajeng?” Mahesa menunduk hormat, sedikit tersipu. “Panjenengan tadi berkenan meminta agar hamba memanggil Ndoro dengan sebutan yang lebih santai. Maka… hamba memilih Diajeng, jika diperkenankan.” Sekar tertawa kecil, walau ada rona hangat di pipinya. “Baiklah… tapi kau juga jangan terlalu formal padaku. Cukup panggil aku Ndoro atau Diajeng saja, jangan Dyah Sekarjati terus. Terlalu panjang.” Mahesa tersenyum hangat. “Sendika, Diajeng.” Ia sempat menatap wajah Sekar yang diterpa cahaya matahari pagi. Pandangan itu lembut, tapi ada sesuatu di baliknya—seolah ia menatap seseorang yang sudah lama ia kenal tapi tak bisa ia ingat dari mana. Sekar menyadarinya. Tatapan itu membuat jantungnya berdebar. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dan melangkah ke arah teras. “Rumah ini… sepertinya tenang sekali,” katanya, mencoba mengalihkan suasana. “Aku ingin menjadikannya tempat istirahat. Jauh dari keramaian dan segala drama di dalam keraton. Aku juga ingin membatik dan menyulam di sini.” Mahesa menunduk. “Tempat ini memang panjenengan pilih sendiri, Diajeng. Dekat dengan hutan kecil dan aliran sungai. Udara di sini menenangkan. Sangat cocok untuk istirahat seorang putri.” Sekar tersenyum. Ia berjalan ke taman di samping rumah, menyentuh dedaunan hijau yang berembun. “Aku merasa seperti… pernah datang ke sini sebelumnya,” ucapnya lirih. Mahesa mendekat perlahan, berdiri di belakang Sekar. “Kadang, hati kita mengenali tempat yang bahkan belum pernah kita datangi… karena mungkin, di waktu lain, jiwa kita pernah berada di sini.” Sekar terdiam. Kata-kata itu menggema lembut di telinganya, membuatnya perlahan menoleh. Jarak di antara mereka hanya sejengkal. Cahaya matahari menyinari wajah Mahesa yang kini begitu dekat, hingga Sekar bisa melihat dengan jelas tatapan matanya yang hangat dan teduh, seperti milik seseorang yang di masa modern ia kenal baik. Sekar buru-buru mundur setengah langkah, merapikan kain jariknya dengan gugup. “Aku… aku rasa aku akan melihat-lihat bagian dalam rumah dulu,” ucapnya terbata. Mahesa menunduk sopan, meski senyum tipis tetap terukir di bibirnya. “Hamba akan berjaga di luar, Diajeng. Bila ada yang panjenengan perlukan, panggil saja.” Sekar melangkah masuk ke rumah itu, berusaha menenangkan degup jantungnya. Tangannya menyentuh meja ukiran di ruang tengah, semuanya terasa nyata, begitu hidup, tapi juga menyimpan rasa aneh yang tak bisa ia jelaskan. Dari balik pintu, suara Mahesa terdengar lagi, lembut namun jelas. “Tempat ini akan aman selama hamba di sini, Diajeng. Hamba janji.” Sekar terdiam sesaat, lalu tersenyum samar tanpa menoleh. “Aku percaya padamu, Mas.” Kata itu keluar begitu saja, Mas. Dan begitu ia menyadarinya, pipinya kembali memanas. Ia menutup wajahnya pelan sambil tertawa kecil. “Ya ampun, Sekar… apa-apaan sih ini…” gumamnya pelan. Di luar, Mahesa tersenyum mendengar panggilan itu. Entah kenapa, ada rasa hangat di dadanya, seolah satu bagian dirinya yang lama hilang kini perlahan kembali. *** Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menembus sela dedaunan dan jatuh lembut di halaman rumah Dyah Sekarjati. Burung-burung kecil bersahutan dari pepohonan sekitar, sementara angin membawa aroma melati dari taman belakang. Sekar duduk di beranda, di atas tikar pandan yang lembut, sementara Mahesa berdiri tak jauh darinya, menjaga dengan tenang seperti biasanya. Namun, sore itu berbeda. Tidak ada suara dari para abdi dalem, tidak ada panggilan tugas dari dalam keraton. Hanya keheningan yang membuat suasana terasa lebih damai. “Mas Mahesa,” panggil Sekar pelan, suaranya lembut seperti bisikan. Mahesa menoleh, sedikit kaget karena jarang sekali Dyah Sekarjati memanggilnya dengan nada sehangat itu. “Sendika, Diajeng. Ada apa?” Sekar menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduklah. Aku tidak ingin berbicara dengan seorang penjaga, tapi dengan seorang teman.” Mahesa tampak ragu, tapi akhirnya menuruti permintaan itu. Ia duduk di samping Sekar, menjaga jarak sopan seperti seorang ksatria yang paham batasan. “Ada yang ingin panjenengan bicarakan?” Sekar menatap langit senja di depannya, warna jingga keemasan menari di mata air kolam. “Aku hanya merasa… aneh. Semua ini terasa nyata, tapi juga seperti mimpi. Aku mengenali tempat ini, bahkan setiap sudutnya. Tapi aku tidak pernah hidup di masa ini.” Mahesa menoleh, keningnya berkerut halus. “Apa maksud Diajeng?” Sekar menarik napas panjang. “Mas Mahesa, apa kau percaya kalau seseorang bisa… berpindah waktu?” Mahesa tertawa kecil. “Dunia ini penuh misteri, Diajeng. Tapi berpindah waktu? Itu hanya kisah dongeng yang biasa diceritakan abdi dalem untuk menidurkan anak-anak.” Sekar menatapnya serius. “Tapi aku sungguh-sungguh. Aku berasal dari masa depan.” Mahesa menatapnya, matanya memantulkan sinar sore yang mulai temaram. “Dari masa depan?” Sekar mengangguk. “Di masa itu, aku seorang arsitek konservasi bangunan bersejarah. Tugasku melestarikan tempat-tempat seperti keraton ini, termasuk Taman Sari.” Mahesa terdiam. Ia ingin tertawa, tapi sesuatu dalam tatapan Sekar menahannya. Tatapan itu terlalu jujur untuk dianggap lelucon. “Aku datang bersama adik-adikku dan sahabatku,” lanjut Sekar dengan nada tenang. “Kami sedang melakukan penelitian di Taman Sari. Lalu… tiba-tiba, semuanya berubah. Aku terbangun di kamar kayu dengan aroma bunga kenanga dan melati. Semua orang memanggilku Dyah Sekarjati. Bahkan adik-adikku dan sahabatku juga berubah nama.” Mahesa menatap wajahnya lama, lalu berkata pelan, “Diajeng tahu, Putri Dyah Sekarjati yang hamba kenal tidak akan berbicara selembut ini. Ia keras kepala, mudah marah, dan… sangat angkuh. Tapi panjenengan…” ia berhenti sejenak, “…berbeda. Terlalu lembut, terlalu tenang.” Sekar tersenyum kecil. “Mungkin karena aku bukan dia.” Mahesa menggeleng pelan. “Tidak mungkin. Hamba menjaga Dyah Sekarjati sejak usia dua belas tahun. Tidak ada yang bisa meniru suaranya, langkahnya, tatapannya.” Sekar menunduk, memainkan ujung jariknya. “Tapi aku bukan meniru. Aku memang dia, tapi dari waktu yang lain.” Keheningan menyelimuti mereka. Angin meniup dedaunan, dan satu kelopak melati jatuh di antara mereka. Mahesa memungut kelopak itu, menatapnya sejenak, lalu berkata lirih, “Kalau benar begitu, Diajeng… lalu apa maksud waktu membawa panjenengan ke sini?” Sekar mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi aku punya firasat, semua ini ada hubungannya dengan rumah ini. Rumah yang sama dengan yang kumasuki di masa modern. Bahkan motif batik di dinding dalamnya… sama persis.” Sekar bangkit dan melangkah ke arah ruang tengah, Mahesa mengikutinya. Di dinding tergantung selembar kain batik besar dengan motif bunga kenanga dan garis lengkung menyerupai gelombang air. Sekar menatapnya dalam-dalam. “Ini… batik yang sama,” gumamnya. “Aku pernah melihatnya di rumah Mas Wiryajaya di masa modern. Bahkan warnanya tidak pudar sedikit pun.” Mahesa mendekat, matanya juga terpaku pada kain itu. “Batik ini hamba ingat. Diajeng memintanya dibuat sendiri. Diajeng bilang motif ini berasal dari mimpi yang sering menghantui.” Sekar menatap Mahesa dengan terkejut. “Mimpi?” Mahesa mengangguk. “Mimpi tentang masa depan. Tentang kota besar yang penuh cahaya, tapi juga kesepian.” Sekar menelan ludah. "Itu kotaku…" batinnya. Mereka berdua terdiam lama. Hanya angin sore yang mengisi ruang itu, menebarkan aroma kenanga yang semakin kuat. Sekar akhirnya berkata pelan, “Mungkin waktu mencoba mempertemukan dua jiwa yang sama. Aku dan dia… adalah satu. Tapi aku tidak tahu kenapa.” Mahesa menatapnya, lembut tapi dalam. “Entah siapa pun panjenengan sebenarnya, Diajeng… hamba hanya tahu, sore ini, panjenengan terlihat paling jujur yang pernah hamba lihat.” Sekar menatapnya balik, jantungnya berdetak cepat tanpa sebab. “Dan kau, Mas Mahesa… terlalu tenang untuk seorang yang baru saja mendengar hal mustahil.” Mahesa tersenyum kecil. “Mungkin karena hati hamba percaya, walau akal belum bisa menerima.” Sekar terdiam, lalu tersenyum samar. “Terima kasih, Mas.” Mereka berdua berdiri di bawah cahaya senja yang perlahan memudar, di antara waktu yang tak lagi pasti, masa lalu yang hidup, dan masa depan yang menunggu. Sinar matahari mulai condong ke barat, perlahan berganti warna menjadi jingga keemasan yang menelusup di antara pepohonan di halaman depan rumah Dyah Sekarjati. Burung-burung mulai kembali ke sarang, sementara aroma tanah dan kenanga dari taman belakang ikut terbawa angin senja. Mahesa yang sejak tadi berdiri di sisi kanan Sekar menatap langit sore itu sejenak, lalu menunduk sopan. “Diajeng, sebaiknya kita kembali ke keraton. Ratu tentu akan khawatir bila panjenengan terlalu lama di luar.” Sekar menatap langit yang mulai temaram, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, Mas Mahesa. Kau benar, sudah saatnya aku pulang.” Mahesa memberikan isyarat pada kusir delman untuk menyiapkan kereta kuda. Saat delman berhenti di depan halaman, Sekar naik perlahan, dan Mahesa memastikan langkahnya aman sebelum duduk di seberang, menjaga jarak seperti seorang ksatria sejati. Perjalanan menuju keraton terasa damai. Roda delman berderak lembut di jalan berbatu, suara lonceng kecil di leher kuda berdenting ritmis, menambah suasana tenang di antara mereka. Sekar memandangi pemandangan sore, hatinya campur aduk — antara keheranan atas apa yang terjadi, dan ketenangan aneh yang ia rasakan di dekat Mahesa. Sesekali Mahesa melirik Sekar, lalu tersenyum tipis. “Panjenengan tampak lebih tenang hari ini, Diajeng.” Sekar menoleh. “Mungkin karena aku mulai terbiasa dengan keadaan ini.” Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan pelan, “Atau mungkin karena aku tahu aku tidak sendirian.” Mahesa menunduk sopan, tapi senyum kecil tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Tak lama, menara keraton terlihat di kejauhan. Delman berhenti di halaman depan, di mana suasana sudah ramai oleh para abdi dalem yang menyalakan lentera-lentera minyak untuk menerangi jalan. Mahesa segera turun terlebih dahulu, kemudian menoleh sambil mengulurkan tangan. “Hati-hati, Diajeng.” Sekar sempat ragu, tapi akhirnya menerima uluran itu. Sentuhan tangan Mahesa hangat, kuat tapi lembut. Sekar buru-buru menarik tangannya kembali begitu kakinya menapak tanah, pipinya sedikit memanas tanpa ia sadari. “Terima kasih, Mas,” ujarnya pelan. Mahesa hanya menunduk dalam-dalam. “Kewajiban hamba, Diajeng.” Sekar menatap sekilas sosok Mahesa yang kini berjalan menjauh menuju arah barat, ke rumah para prajurit yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah utama keraton. Ada sesuatu yang menggantung di d**a Sekar, tapi ia menepisnya dengan senyum kecil. Saat ia melangkah masuk ke pelataran keraton, tiga sosok langsung menyambutnya dengan semangat. “Mbak Sekar!” seru Ayu, melambai-lambaikan tangan. “Akhirnya Mbak pulang juga!” Kirana ikut bersuara, “Kami sudah belajar membatik seharian, tangan ini sampai pegal!” Dan Nayla langsung menyahut, “Aku hampir meneteskan malam cair ke kain! Untung Kak Ayu cepat menolong!” Sekar tertawa mendengarnya, membuat suasana malam itu terasa lebih hangat. “Kalian hebat. Sudah mulai belajar hal penting untuk seorang putri.” Lalu Aria datang sambil menghela napas panjang, wajahnya terlihat lelah tapi tetap tenang. “Sekar, jadi adipati itu tidak mudah rupanya. Aku harus mengawasi latihan prajurit, mendengar laporan, bahkan ditugaskan menemui pengawas keamanan keraton.” Sekar tersenyum geli. “Begitulah, Adipati Aria Kusumawardhani. Jabatan itu bukan sekadar gelar, tapi tanggung jawab besar.” Ayu dan Kirana menahan tawa, sementara Nayla bertepuk tangan. “Wah, Adipati Aria sekarang serius sekali ya!” Aria memutar mata. “Kalian ini, aku kan bicara serius.” Sekar tertawa kecil, menepuk bahu Aria. “Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, Aria. Aku bangga.” Setelah duduk bersama di serambi, mereka berbincang panjang. Ketiga adiknya bergantian bercerita tentang kegiatan mereka dari membatik, belajar membaca aksara Jawa kuno, hingga latihan menari di pendopo. Sekar mendengarkan semuanya dengan penuh perhatian, kadang tertawa, kadang memberi nasihat. Namun, ada satu hal yang ia simpan rapat-rapat, pertemuannya dengan Mahesa di rumah itu. Tentang percakapan mereka yang aneh, tentang perasaan hangat yang muncul tanpa alasan. Sampai malam menutup langit dengan kelamnya, Sekar masih menatap langit dari jendela kamarnya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma kenanga dari taman. Ia tersenyum samar, lalu berbisik pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Mas Mahesa Adiwangsa… siapa sebenarnya dirimu, dan kenapa wajahmu sama persis dengan Mas Wiryajaya di masaku?” Dan di kejauhan, di rumah para prajurit, Mahesa menatap ke arah keraton yang temaram oleh cahaya lentera, menggumam lirih. “Diajeng Sekarjati… kenapa rasanya, aku pernah mengenalmu jauh sebelum hari ini.” Malam pun jatuh sempurna, menyimpan rahasia di antara dua hati dari dua masa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD