BAB 15

2065 Words
Mentari pagi menembus celah jendela kayu jati, menebarkan semburat keemasan ke seluruh ruangan. Burung-burung di taman keraton berkicau lembut, seolah menyambut hari yang baru — hari di mana Putri Dyah Sekarjati akan mempersembahkan gagasan pertamanya di hadapan para penasehat dan bangsawan kerajaan. Sekar duduk di depan cermin perunggu besar di kamarnya. Rambut panjangnya telah disanggul rapi oleh Ratna, dihiasi tusuk konde emas berbentuk bunga melati. Kulitnya yang halus tampak berseri ketika sinar pagi memantul dari kebaya biru emerald yang ia kenakan — warnanya menenangkan namun berwibawa, berpadu indah dengan kain batik Sidoluhur yang membalut tubuhnya dengan elegan. Batik Sidoluhur, motif yang hanya dikenakan oleh keturunan bangsawan perempuan, menggambarkan cita-cita luhur dan kebijaksanaan seorang pemimpin wanita. Ratna tersenyum lembut di belakangnya. “Ndoro putri, panjenengan tampak ayu nian hari ini. Warna biru itu seolah jadi cahaya bagi semua yang melihat.” Sekar menatap pantulan dirinya di cermin, tersenyum tipis. “Ratna… hari ini bukan soal kecantikan. Hari ini, aku harus membuat mereka percaya bahwa aku bisa membawa perubahan.” Ratna menunduk hormat. “Niat luhur panjenengan itulah yang membuat cahaya itu muncul, ndoro.” Tak lama kemudian, Aria datang mengetuk pintu, mengenakan pakaian adipati-nya yang gagah. “Sekar, para penasehat sudah berkumpul di pendopo. Mahesa juga sudah menunggu.” Sekar berdiri dengan tenang, mengambil kipas kayu ukir dari meja, lalu melangkah bersama Aria keluar kamar. Langkah-langkah mereka menelusuri koridor panjang menuju pendopo utama. Suara gamelan lembut mengiringi langkah mereka, seolah memberi kekuatan. Di pendopo, suasana tampak tegang namun teratur. Para bangsawan dan penasehat kerajaan duduk berbaris di sisi kanan dan kiri. Ratu dan Raja duduk di kursi singgasana, ditemani beberapa pejabat tinggi. Mahesa berdiri di sisi kanan, mengenakan pakaian prajurit kerajaan lengkap, wajahnya serius namun matanya tak lepas dari Sekar yang baru saja masuk. Semua mata seketika tertuju pada sosok Putri Dyah Sekarjati. Anggun. Tenang. Tapi dalam sorot matanya, tampak kekuatan dan kebijaksanaan yang menuntun setiap langkahnya. Ratu tersenyum lembut. “Sekar, mari duduk di sini. Kami ingin mendengar rancanganmu.” Sekar bersimpuh anggun, meletakkan kipas di pangkuannya. “Terima kasih, Ibu, Ayahanda.” Salah satu penasehat senior, Patih Arya Wiradikara, membuka pembicaraan. “Kami mendengar Diajeng Sekar ingin membentuk lembaga baru. Bolehkah kami tahu seperti apa wujudnya?” Sekar menatapnya sopan, lalu menjawab dengan suara mantap. “Benar, Paman Arya. Hamba ingin membentuk lembaga yang bernama *Lumbung Bumi Kencana* — lembaga yang menampung hasil bumi rakyat, untuk dijual secara langsung pada pihak luar negeri dengan harga yang adil.” Para penasehat mulai berbisik. Beberapa terlihat terkejut, beberapa mengernyit ragu. Sekar melanjutkan dengan tenang, “Selama ini, rakyat menjual rempah dan hasil panen dengan harga yang tidak sebanding. Akibatnya, mereka hidup pas-pasan, bahkan kekurangan. Padahal, kerajaan kita mendapat julukan ‘Tanah Emas’ karena kesuburan dan kekayaannya. Maka, sudah sepantasnya rakyat turut menikmati kemakmuran itu.” Salah satu bangsawan, Adipati Wira Kusuma, mengangkat tangan. “Diajeng Sekar, gagasan panjenengan memang terdengar indah, namun bagaimana bila pihak Belanda tidak setuju dengan harga baru yang lebih tinggi?” Sekar menatapnya tenang, tanpa kehilangan wibawa. “Jika mereka menolak, maka kerajaan tidak akan menjual hasil bumi hingga perjanjian baru dibuat. Kita masih memiliki cadangan pangan dan hasil hutan untuk bertahan sementara waktu. Kekuatan kita ada pada tanah ini, bukan pada mereka.” Pendopo kembali hening. Semua mata kini tertuju penuh pada Sekar. Aria menimpali dengan suara mantap, “Saya sudah menyiapkan daftar desa yang bisa menjadi mitra awal untuk program ini. Dengan pengawasan prajurit dan pengelolaan yang baik, rakyat akan merasa aman.” Raja bersandar di kursinya, menatap putri sulungnya lama. “Kau sudah memikirkan sejauh itu, Sekar?” Sekar menunduk sopan. “Hamba hanya ingin berbuat sesuatu agar kerajaan kita tidak hanya dikenal karena kebesaran, tapi juga karena keadilan terhadap rakyatnya.” Ratu menatap para penasehat. “Bagaimana pendapat kalian?” Patih Arya Wiradikara berdiri, menyembah. “Gagasan ini sangat mulia, Gusti Ratu. Namun kami mohon agar Diajeng Sekar dibantu oleh Mahesa dan Aria untuk memastikan keamanan dan pengawasan lembaga ini.” Raja mengangguk pelan. “Baik. Aku setuju. Lumbung Bumi Kencana akan dibentuk.” Suara gamelan yang lembut tiba-tiba terdengar lebih hidup. Semua yang hadir menunduk memberi hormat. Sekar menatap ibunya, matanya sedikit berkaca. Ratu tersenyum bangga. “Sekar, inilah langkah pertamamu sebagai pemimpin. Kau bukan hanya putri kerajaan, kau kini menjadi pelindung rakyatmu.” Mahesa menunduk hormat di belakang, namun dalam hatinya, ia merasa dadanya penuh rasa kagum yang sulit disembunyikan. Dalam diam, ia tahu… Putri Dyah Sekarjati bukan lagi gadis angkuh yang dulu ia kenal. Ia kini menjadi cahaya bagi kerajaan. Sekar menunduk, lalu menjawab lembut, “Hamba akan menjaga amanah ini sebaik-baiknya, Ibu. Demi rakyat dan tanah yang hamba cintai.” Suasana siang itu begitu tenang di lingkungan keraton. Angin semilir menerpa pepohonan beringin yang berdiri kokoh di halaman dalam. Sekar baru saja berbincang dengan Aria dan Mahesa mengenai persiapan festival, ketika salah satu prajurit berlari kecil menghampiri mereka. Prajurit itu menundukkan kepala hormat. “Lapor, Tuan Mahesa,” ucapnya dengan napas tertata. “Seluruh kepala desa di wilayah kerajaan telah datang dan memohon izin untuk bertemu dengan Putri Sekar.” Mahesa menoleh ke arah Sekar, memberi hormat kecil. “Izinkan saya melaporkan hal ini pada Baginda Raja dan Permaisuri terlebih dahulu, Putri.” Sekar mengangguk lembut. “Silakan, Mahesa.” Mahesa berjalan cepat ke arah pendopo utama tempat raja dan ratu duduk berbincang ringan. Suasana di sana tampak teduh, cahaya matahari jatuh lembut di sela-sela tiang kayu jati yang dipoles halus. Ia memberi salam hormat lalu berlutut. “Baginda Raja, Permaisuri. Para kepala desa telah tiba dan memohon untuk menemui Putri Sekar.” Ratu menatap suaminya, kemudian tersenyum. “Waktu mereka tepat. Biarkan Sekar yang menyambut mereka terlebih dahulu.” Raja mengangguk setuju. “Sampaikan padanya, ia boleh mempersilakan para kepala desa masuk.” Mahesa menunduk. “Perintah Baginda akan hamba sampaikan.” Ia lalu bangkit, melangkah kembali ke halaman di mana Sekar berdiri menunggu. “Putri,” katanya setelah tiba. “Baginda Raja dan Permaisuri mempersilakan Anda menyambut para kepala desa.” Sekar tersenyum, matanya berbinar. “Baik. Aku akan menyambut mereka sekarang.” Ia lalu berbalik dan berjalan anggun menuju gerbang luar keraton. Aria mengikutinya dari belakang, sementara beberapa prajurit menjaga jarak di sisi mereka. Begitu Sekar muncul di tangga batu keraton, para kepala desa yang telah menunggu langsung menunduk dalam hormat. Mereka mengenakan busana adat desa masing-masing, lengkap dengan ikat kepala, tampak gugup namun penuh rasa bangga. Sekar melangkah perlahan menuruni tangga, kain kebaya biru emerald-nya berkilau lembut tersapu sinar matahari. Senyum ramah terukir di wajahnya, anggun dan menenangkan. “Selamat datang, para sesepuh desa,” ucapnya dengan suara lembut namun berwibawa. “Kehadiran kalian merupakan kehormatan bagi kami.” Seorang kepala desa tertua menunduk. “Terima kasih, Putri. Kami datang membawa kabar baik tentang panen di wilayah masing-masing dan ingin menyampaikan rasa syukur kami kepada Baginda Raja dan Permaisuri.” Sekar menautkan kedua tangannya di depan d**a, menunduk hormat sebagai balasan. “Kami berterima kasih atas kerja keras kalian semua. Tanpa dedikasi dan gotong royong rakyat di desa, kerajaan ini tidak akan makmur.” Beberapa kepala desa saling menatap kagum atas tutur kata sang putri yang lembut tapi tegas. Sekar lalu menoleh ke arah beberapa pengawal. “Tolong arahkan para kepala desa ini ke pendopo utama,” perintahnya tenang. “Ayahanda dan Ibunda telah menanti mereka.” “Siap, Putri!” seru para pengawal serempak. Sekar menatap kembali para kepala desa dan memberi senyum terakhir. “Silakan, para sesepuh. Semoga pertemuan ini membawa berkah bagi kita semua.” Dengan penuh hormat, para kepala desa mengikuti para pengawal menuju pendopo utama. Sekar memandangi mereka hingga langkah-langkah itu menghilang di balik pilar besar, sebelum ia berbalik dan berjalan kembali ke arah Aria dan Mahesa. “Rakyat selalu datang dengan niat baik,” gumamnya pelan, masih menatap arah mereka pergi. Mahesa menunduk sedikit, suaranya dalam. “Dan Putri selalu tahu bagaimana menyambut mereka dengan bijaksana.” Sekar menoleh sekilas, tersenyum. “Sudah seharusnya begitu. Seorang pemimpin tidak hanya memerintah, tapi juga mendengar.” Pendopo utama keraton kini terasa lebih ramai. Para kepala desa telah duduk bersila di lantai marmer beralas permadani, sementara di singgasana utama, Raja dan Ratu tampak anggun duduk berdampingan. Sekar duduk di sisi kiri mereka, dengan Aria dan Mahesa berdiri sedikit di belakang — menjaga formasi seperti protokol istana yang teratur. Suara burung di luar pendopo menyatu dengan desiran angin yang lembut menerpa tirai tipis dari sutra. Ratu tersenyum ramah mempersilakan mereka berbicara, “Silakan, para sesepuh. Kami telah mendengar kabar panen yang melimpah. Katakanlah, bagaimana keadaan di desa kalian masing-masing?” Salah seorang kepala desa, berusia paling tua, maju sedikit dan memberi hormat. “Ampun Baginda, syukur kepada Sang Pencipta, hasil bumi kami berlimpah. Namun kami masih bingung bagaimana mendistribusikannya agar adil dan tidak ada hasil yang terbuang.” Sekar menatap semua kepala desa dengan lembut, lalu menunduk sedikit sebelum berbicara. “Justru karena itulah, aku ingin menyampaikan satu rencana,” ucapnya dengan tenang. Suaranya jelas, namun penuh keteduhan yang membuat semua mata menatap ke arahnya. Para kepala desa memperhatikan dengan saksama saat Sekar melanjutkan, “Kita akan membangun Lumbung Bumi Kencana. Tempat ini akan menampung seluruh hasil panen dari berbagai desa di wilayah kerajaan. Lumbung ini tidak hanya sekadar gudang, melainkan pusat pengelolaan hasil bumi kita.” Ia menatap ke arah raja dan ratu sejenak, dan keduanya memberi anggukan lembut tanda restu penuh. “Setelah ditampung dan disortir,” lanjut Sekar, “hasil panen terbaik akan dijual kepada pihak pemerintah Belanda dengan harga yang pantas, sesuai kesepakatan baru yang telah Ayahanda setujui.” Para kepala desa mulai saling berpandangan, sebagian tampak cemas. Salah satu dari mereka mengangkat tangan perlahan. “Putri… apakah itu berarti hasil panen kami akan diambil seluruhnya oleh kerajaan?” tanyanya hati-hati. Sekar tersenyum, menenangkan. “Tidak, tentu tidak demikian. Justru rencana ini dibuat agar kalian tidak dirugikan lagi. Selama ini, banyak tengkulak asing yang membeli hasil bumi kalian dengan harga murah, bukan?” Beberapa kepala desa mengangguk setuju, wajah mereka mulai berubah dari cemas menjadi penasaran. “Nah,” lanjut Sekar dengan tenang, “dengan sistem ini, kerajaan akan menjual hasil panen itu langsung tanpa perantara. Dan pembagian hasilnya akan jelas yaitu 60% untuk rakyat, dan 40% untuk kerajaan. Bagian kerajaan akan digunakan untuk memperkuat pertahanan, pendidikan, dan kesejahteraan desa.” Hening sejenak. Semua mata memandang Sekar. Lalu perlahan, terdengar desisan kagum di antara para kepala desa. Wajah-wajah yang semula tegang kini mulai melunak. “Jadi, Putri,” ucap salah satu kepala desa muda, “kami tidak perlu takut lagi hasil panen kami dijual murah di pasar luar?” Sekar mengangguk lembut. “Benar. Kalian akan mendapat harga layak. Dan aku ingin lebih dari itu… aku ingin tiap desa saling mengenal dan saling membantu.” Ia menoleh pada Aria, yang menatapnya penuh semangat. “Selama ini, tiap desa memiliki hasil pertanian yang berbeda, ada yang lebih banyak beras, ada yang sayur, ada pula yang hasil kebunnya melimpah. Maka aku minta kalian saling bertukar hasil panen. Barter antar desa, agar semua kebutuhan rakyat tercukupi tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pedagang luar.” Salah seorang kepala desa perempuan tampak tersenyum, matanya berbinar. “Itu ide yang indah sekali, Putri. Desa kami memiliki hasil palawija berlimpah, tapi sering kekurangan beras. Dengan cara ini, kami bisa saling melengkapi.” Sekar tersenyum haru. “Itulah harapanku. Kerajaan bukan hanya tentang istana dan tembok megah, tapi tentang rakyatnya yang hidup sejahtera bersama.” Ratu menatap putrinya dengan bangga. “Engkau benar, Sekar. Keadilan dan kesejahteraan tidak datang dari kekuasaan, tapi dari kebijaksanaan dalam berbagi.” Raja pun menambahkan dengan suara mantap, “Mulai besok, perintah ini akan disebarkan ke seluruh penjuru. Lumbung Bumi Kencana akan mulai dibangun di tanah kerajaan bagian timur, dekat aliran sungai utama. Mahesa, pastikan keamanan dan kelancaran proyek ini.” Mahesa menunduk hormat. “Siap, Baginda.” Para kepala desa serentak bersujud, rasa lega dan hormat menyelimuti ruangan. “Terima kasih, Baginda… terima kasih, Putri Sekar. Kami akan menyampaikan kabar baik ini pada rakyat di desa kami.” Sekar menatap mereka satu per satu, senyumnya tulus. “Sampaikan pula bahwa ini bukan hanya perintah kerajaan… tapi niat tulus dari kita semua untuk membangun negeri yang makmur dan saling menjaga.” Suara tepuk tangan pelan dari para pengawal dan dayang yang menyaksikan dari kejauhan terdengar samar. Dan di antara pancaran cahaya sore yang masuk dari sela tirai pendopo, wajah Sekar tampak berkilau lembut, seperti kebaya biru emerald yang ia kenakan, memantulkan harapan baru bagi seluruh rakyat kerajaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD