Kereta kencana berhenti perlahan di tengah alun-alun desa yang luas, tempat yang akan dijadikan lokasi festival panen. Udara sore terasa hangat dengan aroma tanah dan padi kering yang semerbak tertiup angin. Bendera-bendera kerajaan sudah mulai dipasang di sepanjang jalan, meski masih banyak rakyat yang tampak bekerja dengan wajah lelah dan penuh hati-hati.
Begitu kereta berhenti, Mahesa turun lebih dulu lalu menundukkan tubuhnya, membuka pintu, dan mengulurkan tangan untuk membantu Sekar turun. “Silakan, Diajeng.”
Sekar menerima uluran itu dengan senyum lembut. Ketika kakinya menginjak tanah, para rakyat yang berada di sekitar lapangan spontan menundukkan kepala, memberi hormat dengan penuh takzim. Ada rasa hormat di sana, tapi juga… kegelisahan. Tatapan mereka campuran antara kagum dan takut, seolah tak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan sang ndoro putri yang selama ini dikenal keras dan tak segan memarahi rakyat jika ada kesalahan sekecil apa pun.
Sekar menatap mereka satu per satu. Ia bisa membaca kekhawatiran itu di mata mereka. "Jadi… aku memang begitu ditakuti di masa lalu ya," pikirnya dalam hati dengan getir. Namun ia tak ingin membuat suasana kaku. Ia melangkah beberapa langkah ke depan, lalu tersenyum, senyum tulus yang lembut, jauh dari kesan angkuh.
“Selamat sore semuanya,” sapa Sekar dengan nada hangat. “Terima kasih sudah bekerja keras menyiapkan tempat untuk festival kerajaan.”
Suara lembut itu membuat semua orang menatap ke arahnya dengan raut terkejut. Bahkan Aria yang berdiri di belakang Sekar nyaris tertawa menahan reaksi mereka. Salah satu abdi dalem berbisik lirih ke rekannya, “Ndoro putri… bicara lembut? Wah, jangan-jangan ada mujizat...”
Sekar menahan tawa kecil mendengar bisikan itu, tapi ia pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan langkahnya menuju kepala desa yang sudah membungkuk dalam-dalam menantikan kedatangannya.
“Selamat sore, Ndoro Putri Dyah Sekarjati,” ucap sang kepala desa dengan suara gemetar, “sungguh suatu kehormatan bagi kami menyambut Diajeng di desa kami ini.”
Sekar tersenyum dan menepuk pelan bahu sang kepala desa, sebuah sikap yang membuat semua orang di sekitar nyaris terbelalak. “Tidak perlu terlalu formal, Bapak. Saya justru yang berterima kasih. Desa ini indah, rakyatnya ramah. Saya merasa senang sekali bisa datang ke sini.”
Kepala desa itu terdiam sejenak, lalu menatap Sekar dengan campuran bingung dan kagum. “Ampun, Ndoro… saya hampir tidak percaya. Ndoro Putri tampak… berbeda sekali. Lembut dan penuh perhatian.”
Sekar tersenyum lagi. “Saya hanya ingin lebih mengenal rakyat saya dengan baik. Dan saya berjanji, mulai sekarang saya akan banyak mendengarkan mereka.”
Kalimat itu menyebar seperti angin sepoi-sepoi ke seluruh penjuru lapangan. Rakyat saling pandang, sebagian bahkan mulai berbisik pelan dengan wajah lega. Mereka teringat cerita dari beberapa keluarga yang pernah diundang ke keraton minggu lalu, cerita bahwa ndoro putri tertua kini berubah, lebih ramah, lebih hangat. Kini, mereka menyaksikannya sendiri.
Sekar kemudian mengajak kepala desa berjalan sedikit menjauh dari kerumunan, ditemani Aria dan Mahesa. “Besok pagi,” kata Sekar lembut, “saya ingin mengadakan pertemuan di keraton. Tolong, ajak semua kepala desa dari wilayah kerajaan. Saya ingin membicarakan hal penting tentang perekonomian dan kesejahteraan rakyat.”
Kepala desa langsung mengangguk dalam-dalam. “Baik, Ndoro Putri. Saya akan segera menyampaikan pesan ini malam ini juga.”
“Terima kasih, Bapak.” Sekar tersenyum lagi, lalu berpaling ke Aria yang tampak sedang mengamati persiapan festival.
“Aku sudah punya sedikit gambaran untuk acara besok malam,” kata Aria sambil menunjuk ke arah lapangan yang luas itu. “Kita bisa jadikan area tengah itu untuk panggung kesenian rakyat — penari, pemain gamelan, dan para penyair bisa tampil di situ. Lalu di sisi barat bisa dipakai untuk stan makanan dan hasil bumi.”
Sekar mendengarkan dengan penuh semangat. “Bagus sekali idemu. Aku juga kepikiran menambahkan hiasan dari janur dan bunga-bunga di setiap gerbang kecil menuju area panggung. Akan terlihat indah kalau diterangi lampu minyak di malam hari.”
Keduanya tampak begitu bersemangat mengatur detail acara, seperti dua panitia festival modern yang sedang menata event besar. Hingga akhirnya Aria menatap Sekar dan tertawa kecil. “Sekar, aku baru sadar… kita ini kayak sedang kerja di era modern ya. Bedanya, di sini nggak ada event organizer.”
Sekar ikut tertawa. “Iya, dan nggak ada catering juga! Kalau di masa modern, aku tinggal telepon EO, pesan dekorasi, panggung, makanan, semuanya beres. Sekarang malah harus mikir sendiri, ya ampun…”
Tawa mereka pecah pelan, membuat beberapa rakyat di sekitar ikut tersenyum melihat keakraban dua gadis bangsawan yang jarang mereka lihat sehangat itu.
Mahesa yang berdiri tak jauh dari mereka menatap sekilas, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Diajeng, Adipati Aria, tidak perlu khawatir perihal makanan,” ujarnya tenang. “Pihak kerajaan sudah menyiapkan beberapa tukang masak terbaik dari dapur utama. Mereka akan datang malam ini untuk mulai mempersiapkan jamuan festival.”
Sekar menoleh dan tersenyum ke arahnya. “Wah, terima kasih, Mahesa. Itu sangat membantu.”
Mahesa menunduk hormat. “Kebahagiaan bagi hamba bisa membantu Diajeng.”
Sekar sempat menatapnya sedikit lebih lama dari biasanya. Ada rasa hangat yang muncul di dadanya, tapi cepat-cepat ia alihkan pandangannya kembali ke arah Aria. “Baiklah,” katanya dengan nada ceria, “kalau begitu, kita harus pastikan semua tenda, hiasan, dan peralatan musik sudah siap malam ini. Besok harus sempurna.”
Aria mengangkat alis. “Siap, Putri Sekar.”
Sekar tertawa kecil mendengar panggilan itu, dan bersama-sama mereka bertiga mulai memantau setiap sudut lokasi. Sementara di kejauhan, matahari mulai tenggelam perlahan di balik bukit, menandai berakhirnya satu hari penuh makna bagi sang putri yang kini perlahan menebus masa lalunya dengan kelembutan dan kebijaksanaan.
Langit sore mulai berwarna keemasan ketika suara gamelan dari kejauhan terdengar samar. Sekar dan Aria tampak sibuk bersama para warga desa, menata janur kuning dan bunga kamboja yang dijadikan hiasan untuk festival panen besok malam. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati memenuhi udara.
“Ndoro putri, bagian gapura sudah hampir selesai,” ucap salah satu warga sambil menunduk hormat.
Sekar tersenyum ramah, “Bagus sekali. Terima kasih ya, semuanya. Setelah ini, kita lanjutkan membuat hiasan di dekat panggung.”
Aria mengangguk sambil mengatur anyaman daun kelapa yang akan dijadikan hiasan atap. “Ternyata bikin dekorasi manual gini capek juga ya, Sekar. Kalau di masa kita dulu, tinggal sewa event organizer aja.”
Sekar terkekeh, “Iya, tinggal pesan lewat aplikasi, datang, rapi. Sekarang semua serba harus dikerjakan tangan sendiri.”
Para warga sempat saling pandang mendengar percakapan itu karena belum terbiasa mendengar kata-kata aneh dari dua ndoro putri mereka. Tapi mereka hanya tertawa kecil, kagum karena putri kerajaan yang dulu dikenal tegas dan dingin kini mau ikut menempelkan bunga dan menyapu halaman bersama mereka.
Ketika matahari hampir tenggelam dan dekorasi baru sekitar tujuh puluh persen rampung, Sekar berdiri dan mengelap peluh di dahinya. “Aria, ayo istirahat sebentar. Aku lihat tadi ada sungai di dekat ladang.”
Mereka berjalan bersama melewati pepohonan pisang dan rumpun bambu yang berdesir lembut. Di tepi sungai, air mengalir jernih memantulkan cahaya keemasan matahari. Sekar berjongkok, mencelupkan tangannya ke air.
“Dingin dan segar sekali…” gumamnya, lalu menciduk air dan membasuh wajah.
Aria ikut duduk di sampingnya, menatap riak air. “Kau tahu, Sekar… di antara semua prajurit Mahesa, ada satu panglima muda yang… entah kenapa, aku merasa pernah mengenalnya.”
Sekar melirik penasaran. “Siapa namanya?”
“Rakai Darmawangsa,” jawab Aria, matanya menerawang. “Dia orang kepercayaan Mahesa. Tapi… wajahnya mirip sekali dengan Rangga.”
Sekar menahan tawa kecil. “Rangga? Gebetanmu itu?”
Aria menepuk bahu Sekar pelan, wajahnya memerah. “Iya, yang itu. Tapi aneh saja rasanya, melihat seseorang yang wajahnya persis sama di masa ini…”
Sekar tersenyum lembut, “Mungkin semesta memang ingin kau bertemu lagi dengannya, hanya saja di waktu yang berbeda.”
Mereka sempat terdiam, menikmati suara alam. Daun bambu berayun pelan, suara jangkrik mulai terdengar, dan udara mulai terasa sejuk. Hingga tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.
“Diajeng Sekar, Adipati Aria!” suara berat itu datang dari kejauhan, Mahesa. Ia berjalan cepat, mantel perangnya setengah terbuka, tampak lega menemukan keduanya. “Ampun, Diajeng, sudah malam. Mari kembali ke balai desa.”
Sekar berdiri, hendak berbalik, namun kakinya terpeleset di bebatuan sungai yang licin. Ia hampir jatuh ke air, tapi dalam sekejap Mahesa menangkap pergelangan tangannya dengan sigap.
“Diajeng hati-hati!” seru Mahesa, menariknya ke pelukannya agar tidak jatuh.
Sekar bisa merasakan d**a Mahesa yang hangat dan degupnya yang cepat. Sementara Mahesa terdiam sesaat, menyadari betapa dekat jarak mereka sekarang. Ia segera menunduk sopan.
“Maaf, Diajeng… kaki Diajeng basah. Lebih baik saya gendong saja. Jalanan menuju desa licin.”
Sekar sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan serius Mahesa, ia mengangguk pelan. “Baiklah, tapi hati-hati, Mahesa.”
Dengan sigap, Mahesa berlutut, mengangkat Sekar dalam pelukan punggungnya. Sekar menahan tawa malu saat Aria menatap mereka sambil tersenyum geli. “Wah, ndoro putri kita benar-benar seperti diangkat pangeran ya,” bisik Aria, membuat Sekar mencubit lengannya pelan.
Mereka berjalan kembali ke balai desa. Cahaya obor mulai dinyalakan di sepanjang jalan. Ketika para warga melihat ndoro putri dan adipati mereka basah, mereka segera mendekat dengan khawatir.
“Ndoro! Air sungai pasti dingin, silakan pakai kain ini…” ucap seorang ibu desa sambil menyodorkan kain lurik bersih.
Sekar menatap kain itu, lalu menunduk penuh hormat. “Terima kasih, Bu. Kain ini sangat indah. Nanti akan saya ganti dengan yang baru.”
Namun si ibu segera menggeleng, “Ndoro tidak perlu menggantinya. Kami senang ndoro mau datang ke desa kami.”
Sekar dan Aria saling pandang, lalu tersenyum. “Kalau begitu, kami akan menyimpannya baik-baik,” kata Sekar lembut.
Keduanya segera mengganti kain rok yang basah dengan kain pemberian warga, lalu meninjau kembali persiapan festival. Lampion-lampion dari bambu sudah mulai digantung, dan bunga-bunga sudah tersusun di sekitar panggung.
Mahesa kemudian mendekat, menyembah ringan. “Diajeng, biar saya dan pasukan yang melanjutkan pengawasan malam ini. Diajeng dan Adipati Aria lebih baik kembali ke keraton.”
Sekar menatap sekeliling, memastikan semua baik-baik saja, lalu mengangguk. “Baik, Mahesa. Tapi jaga para warga ya. Mereka sudah bekerja keras.”
Mahesa menunduk dalam. “Perintah Diajeng akan saya laksanakan.”
Sekar menatap langit malam yang mulai penuh bintang, lalu berbisik pelan pada Aria, “Entah kenapa… rasanya tempat ini seperti menghidupkan sesuatu dalam diriku. Dulu aku mungkin keras, tapi sekarang aku ingin menjadi pemimpin yang berbeda.”
Aria tersenyum lembut. “Dan aku yakin, rakyatmu juga mulai melihat itu, Sekar.”
Baik 💫 berikut lanjutan **chapter berikutnya**, yaitu saat Sekar dan Aria tiba kembali di keraton dan melapor kepada Ratu mengenai ide Sekar membentuk organisasi hasil panen. Suasananya elegan, penuh rasa hormat, namun tetap hangat dan menggambarkan kebijaksanaan Sekar yang makin berkembang:
Kereta kencana yang membawa Sekar dan Aria meluncur pelan di jalan berbatu menuju keraton. Cahaya bulan menembus tirai malam, memantulkan sinar lembut di permukaan atap joglo kerajaan. Suara derap kuda terdengar berirama, diiringi desiran angin yang menyejukkan hati. Mahesa, yang menunggang kuda di sisi kiri kereta, sesekali melirik ke arah Sekar yang tampak diam memandang keluar jendela.
Ia tahu, dalam diamnya, Diajeng Sekar sedang memikirkan sesuatu yang besar.
Begitu kereta berhenti di halaman keraton, para abdi dalem segera menyambut dengan membungkuk hormat. Sekar turun perlahan, dibantu Mahesa seperti biasa. Aria mengikuti dari belakang, wajahnya terlihat lelah namun bahagia.
“Diajeng sudah ditunggu Gusti Ratu di pendopo,” ucap salah satu dayang sambil menunduk.
Sekar mengangguk lembut, lalu menatap Aria dan Mahesa. “Mari kita menghadap sekarang.”
Mereka bertiga berjalan melalui lorong panjang dengan dinding ukiran kayu jati yang megah. Obor di sepanjang dinding menerangi jalan, memantulkan bayangan lembut wajah Sekar yang kini terlihat lebih dewasa dan mantap.
Di pendopo utama, Ratu sudah duduk anggun di kursi tinggi berukir emas, dengan Raja di sisi kanannya. Kedua orang itu menoleh ketika Sekar, Aria, dan Mahesa masuk. Wajah Sang Ratu langsung melembut melihat putrinya.
“Sini, Sekar, Aria… duduklah,” ujar Ratu lembut.
Sekar dan Aria bersimpuh dengan anggun. Mahesa berdiri di belakang mereka dengan sikap tegap.
“Bagaimana keadaan desa tempat festival akan diadakan?” tanya Raja membuka percakapan.
Sekar menunduk hormat. “Semua berjalan dengan baik, Ayahanda. Warga bekerja dengan semangat. Hanya saja…” ia terdiam sejenak, menatap ke arah ibunya, “...ada hal penting yang ingin hamba sampaikan.”
Ratu mengangguk lembut. “Katakanlah, Sekar.”
Sekar menarik napas pelan, lalu mulai menjelaskan dengan penuh keyakinan. “Hamba melihat bahwa sebagian besar rakyat kita hidup dengan penuh kerja keras, namun mereka masih kesulitan memenuhi kebutuhan. Ternyata ini disebabkan oleh sistem perdagangan hasil bumi yang tidak adil, di mana pihak kolonial membeli rempah dengan harga rendah dan menjualnya dengan harga tinggi di negeri seberang.”
Aria menimpali pelan, “Bahkan sebagian warga harus menjual hasil panen mereka sebelum masa panen karena desakan hidup.”
Raja menatap mereka berdua dengan serius. “Lalu, apa yang hendak kalian lakukan?”
Sekar menatap keduanya dengan mantap. “Hamba memiliki gagasan, Ayahanda, Ibunda. Hamba ingin membentuk sebuah lembaga atau organisasi di bawah naungan kerajaan, yang akan menampung seluruh hasil panen rakyat. Hasil panen itu akan dijual ke pihak Belanda dengan harga yang wajar yaitu harga pasar yang sebenarnya. Pembagian hasilnya, hamba pikir, 60% untuk rakyat dan 40% untuk kerajaan.”
Ruangan pendopo hening sesaat. Angin malam masuk melalui celah-celah ukiran kayu, menggoyangkan tirai sutra di belakang Ratu.
Ratu tersenyum perlahan, matanya berbinar bangga. “Anakku… kau memikirkan rakyatmu.”
Sekar menunduk. “Hamba tidak ingin sejarah berulang, Ibunda. Bila perjanjian dengan pihak Belanda habis tempo, hamba berharap kita bisa memperbaruinya dengan syarat baru — syarat yang tidak merugikan rakyat kita sendiri.”
Raja bertopang dagu, menatap putrinya dalam diam. “Kau benar. Dulu, kerajaan memang pernah menderita karena kelaparan akibat sistem tanam paksa. Aku tidak pernah menduga kau akan memikirkan hal ini sejauh itu, Sekar.”
Mahesa yang berdiri di belakang akhirnya angkat bicara, suaranya dalam dan mantap. “Ampun, Kanjeng Raja, Gusti Ratu. Hamba bersaksi sendiri bagaimana Diajeng Sekar bergaul dengan rakyat. Mereka kini melihat Diajeng bukan hanya sebagai putri, tapi juga sebagai harapan.”
Ratu tersenyum lembut, lalu berdiri dan menghampiri Sekar. Dengan tangan halusnya, ia mengelus kepala putrinya.
“Sekar… selama ini Ibu hanya berharap kau menjadi putri yang baik. Tapi malam ini, Ibu melihatmu sebagai calon pemimpin kerajaan yang bijaksana.”
Sekar menunduk haru, “Hamba hanya ingin berbuat sesuatu agar tidak ada lagi yang kelaparan, Ibu.”
Raja menepuk bahu Mahesa, “Mahesa, bantu Sekar dalam rencana ini. Bentuk dewan kecil dari prajurit dan pejabat desa untuk merancang peraturan dasarnya.”
Mahesa segera menunduk dalam. “Siap, Kanjeng Raja. Akan hamba laksanakan.”
Ratu menatap Aria dengan senyum hangat. “Dan kau, Aria, tetaplah di sisi Sekar. Ide dan semangatmu sangat berharga bagi putri kami.”
Aria menunduk dalam, “Hamba akan selalu mendampingi, Gusti Ratu.”
Suasana menjadi hangat, namun penuh wibawa. Lilin-lilin di pendopo menyala terang, menciptakan pantulan lembut di mata Sekar. Malam itu, ia sadar — jalannya di masa ini bukan hanya sekadar menjadi putri, melainkan menjadi pembawa perubahan bagi seluruh rakyatnya.
Ratu lalu berkata lembut, “Besok pagi, Ibu ingin mendengar rancangan awalmu, Sekar. Ibu akan memanggil penasehat kerajaan agar mereka turut mendengar.”
Sekar menunduk dalam. “Baik, Ibu. Hamba akan menyiapkannya malam ini juga.”
Ketika Sekar bangkit untuk berpamitan, Ratu menahan tangannya sebentar. “Sekar… Ayah dan Ibu sangat bangga padamu.”
Sekar tersenyum haru. “Terima kasih, Ibu. Terima kasih, Ayahanda.”
Malam itu, Sekar berjalan keluar dari pendopo bersama Aria dan Mahesa. Bulan purnama menggantung tinggi di langit.
Aria menatap Sekar sambil tersenyum lebar. “Sepertinya besok kerajaan akan punya lembaga baru.”
Sekar menatap langit dan berbisik pelan, “Semoga ini jadi langkah awal agar rakyat tak lagi menderita.”
Mahesa menatapnya dari samping, tanpa kata, namun dalam hatinya tumbuh rasa kagum yang sulit ia sembunyikan. Putri yang dulu ia kenal keras kepala kini bersinar dengan kebijaksanaan yang memancarkan harapan baru bagi kerajaan.