BAB 17

2128 Words
Malam kian larut. Lentera mengapung di atas kolam, musik rakyat mengiringi tari-tarian yang dipersembahkan oleh para seniman. Aria terlihat sedang berbincang dengan seseorang di dekat taman bunga seorang panglima muda berperawakan gagah dengan mata tajam dan senyum ramah. “Rakai Darmawangsa,” katanya sambil menunduk sopan. “Panglima muda di bawah komando Jendral Mahesa.” Aria tertawa kecil. “Namamu hampir sama dengan gebetan ku di masa-- eh maksudku, namamu indah sekali!” Rakai menatapnya bingung. “Gebetan?” Aria buru-buru tersenyum kaku. “Maksudku… temanku yang gagah juga.” Mereka berdua tertawa. Entah kenapa, malam itu Aria merasa nyaman. Ada sesuatu di mata Rakai yang begitu mirip dengan Rangga. Mata yang hangat, penuh perhatian, tapi juga memancarkan keberanian yang membuatnya sulit berpaling. Di sisi lain alun-alun, Nayla tengah memperhatikan pertunjukan wayang yang ditampilkan seorang seniman muda kerajaan bernama Arya Jayapati. Gerak tangannya lincah, ekspresi wajahnya hidup. Saat Arya menoleh dan tersenyum, Nayla terpaku. “Revan…?” bisiknya lirih. Wajah Arya memang begitu mirip dengan teman sanggar tarinya di masa modern — Revan, yang selalu menemaninya menari hingga larut malam. Arya mendekat dengan sopan. “Apakah Tuan Putri berkenan menonton lebih dekat?” Nayla tersenyum kecil, menunduk. “Tentu, Arya. Aku senang melihatmu berkarya.” Entah kenapa, dadanya berdebar. Seolah waktu berputar kembali. Sementara itu, Ayu yang duduk tak jauh dari panggung tiba-tiba dihampiri oleh seorang bangsawan tampan berbusana putih dan berselendang emas. “Perkenalkan,” ucapnya lembut sambil membungkuk, “hamba Pangeran Wiraputra, putra dari sahabat Sri Baginda Raja.” Ayu membalas senyum, tapi pandangannya menajam. Ada sesuatu yang familiar di wajah pangeran itu. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Pangeran?” Wiraputra tertawa kecil. “Mungkin di mimpi, Tuan Putri.” Ayu terkekeh, sementara rona merah muda mulai naik di pipinya. Tak jauh dari mereka, Kirana tampak berbicara dengan seorang pemuda tampan berwajah tenang bernama Indradewa, putra dari salah satu adipati bawahan Aria. “Putri Dyah Amaratani,” ucap Indradewa sopan, “saya mengagumi cara Tuan Putri dalam membatik dan memadukan warna di kain. Setiap warna seperti punya makna.” Kirana tersenyum malu. “Aku hanya memberikan warna sesuai hati.” “Dan hatimu tampaknya punya selera yang indah,” jawab Indradewa, membuat Kirana menunduk cepat, menyembunyikan wajah memerahnya. Di tengah keramaian, Sekar berdiri di tepi taman bunga, mengamati lentera yang perlahan naik ke langit. Mahesa datang mendekat, menunduk sopan. “Putri, malam ini rakyat terlihat sangat bahagia,” ujarnya. Sekar menatapnya sambil tersenyum lembut. “Mereka pantas bahagia, Mahesa. Aku hanya berharap kebahagiaan ini bisa bertahan lama.” Mahesa menatap wajah itu dalam-dalam, tanpa sadar langkahnya makin dekat. “Jika kebahagiaan Putri Sekar berarti kebahagiaan negeri,” katanya lirih, “maka aku akan memastikan tak ada satu pun yang mengusiknya.” Sekar menoleh, mata mereka bertemu di bawah cahaya lentera. Sekejap, waktu berhenti. Angin malam berhembus pelan, mengibaskan ujung selendang Sekar hingga menyentuh tangan Mahesa. “Terima kasih, Mahesa,” katanya lembut. “Kau selalu ada di saat aku membutuhkannya.” Mahesa hanya menunduk. Ia ingin berkata lebih, tapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tahu, perasaan itu harus ia simpan dulu, setidaknya sampai waktu berpihak pada mereka. Malam itu berakhir dengan langit penuh cahaya. Lentera-lentera naik tinggi, seolah mengirim doa rakyat kepada tuhan dan di antara semua doa itu, terselip dua hati yang mulai saling menemukan. Malam mulai meredup. Satu per satu lentera padam, meninggalkan cahaya temaram dari obor yang masih menyala di sudut-sudut alun-alun. Musik gamelan berhenti, digantikan suara jangkrik dan desir angin yang mengusap lembut halaman kerajaan. Festival panen yang megah itu akhirnya selesai meninggalkan tawa, kenangan, dan rasa syukur di d**a semua orang. Sekar berdiri di tepi panggung, memandang rakyat yang mulai berkemas pulang. Senyum di wajah mereka terasa hangat sekali, membuat hatinya lega. Tapi tiba-tiba, sesuatu terlintas di benaknya, wajah dua ibu paruh baya yang beberapa hari lalu memberikan kain mereka untuknya dan Aria, saat mereka kembali dari sungai. "Aku belum sempat membalas kebaikan mereka…” batin Sekar lembut. Ia menoleh pada Mahesa yang tengah berdiri tak jauh darinya, mengawasi jalannya pembongkaran dekorasi. “Mahesa,” panggilnya pelan. Mahesa segera mendekat dan menunduk sopan. “Ada perintah, Tuan Putri?” Sekar tersenyum tipis. “Bawakan dua kain batik yang ada di kereta kencana. Keduanya buatan tanganku sendiri. Aku ingin memberikannya pada dua ibu yang kemarin menolongku dan Aria.” Mahesa sempat menatapnya beberapa detik. Senyum kecil muncul tanpa sadar. “Baik, Tuan Putri. Saya akan mengambilnya.” Ia segera melangkah cepat menuju kereta kencana yang terparkir di tepi pelataran. Di dalam peti kecil bersampul kain halus, ia menemukan dua lembar batik indah berwarna lembut, satu berwarna hijau zamrud, satu lagi krem kecoklatan. Keduanya memiliki motif khas Sekar yaitu bunga kenanga dan melati yang disulam halus di tepi kain. Mahesa menatap kain itu sejenak, lalu mengusap salah satu sudutnya dengan lembut. “Dia bahkan menyulamnya dengan hati…” gumamnya lirih. Tak butuh waktu lama, Mahesa kembali ke arah alun-alun. Ia melihat dua sosok ibu-ibu yang dulu memberikan kain pada Sekar dan Aria, mereka tampak sedang merapikan tikar dan sisa makanan di dekat tenda rakyat. Mahesa menghampiri, namun tepat ketika hendak berbicara, Sekar sudah berjalan ke arah mereka dengan anggun, selendangnya bergoyang ringan tertiup angin malam. “Sudah kau temukan mereka?” tanya Sekar. Mahesa mengangguk dan menyerahkan dua kain itu dengan kedua tangannya. “Ini, Diajeng. Keduanya hasil buatanmu sendiri.” Sekar menerima kain itu dengan senyum lembut. Ia menunduk hormat kepada kedua ibu yang tampak terkejut dan gugup melihat kedatangan sang putri. “Ndoro Putri... astaga, kenapa repot-repot datang malam begini? Kami sudah merasa sangat bersyukur waktu itu,” ujar salah satu dari mereka, suaranya gugup tapi penuh hormat. Sekar tersenyum hangat. “Tidak ada yang merepotkan, Bu. Waktu itu kalian menolongku dan Aria tanpa pamrih. Maka izinkan aku membalas dengan sesuatu yang sederhana.” Ia lalu menyerahkan kedua kain itu, masing-masing satu untuk tiap ibu. “Ini hasil tanganku sendiri,” katanya lembut. “Motif kenanga dan melati, bunga yang melambangkan ketulusan dan kasih sayang. Semoga kain ini membawa berkah untuk keluarga kalian.” Kedua ibu itu menatap kain batik di tangan mereka, lalu menunduk dalam-dalam. Salah satunya bahkan menitikkan air mata. “Ndoro Putri benar-benar berhati mulia... padahal dulu kami takut sekali mendekat,” bisik mereka lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Sekar hanya tertawa kecil. “Kalau dulu aku terlalu keras, mungkin karena aku belum belajar memahami. Sekarang aku ingin berbeda.” Mahesa yang berdiri di belakang Sekar hanya terdiam. Pandangannya lembut kagum, haru, dan entah, sedikit getir. "Dia bukan hanya pemimpin… dia cahaya,” pikirnya. Sekar lalu berpamitan pada kedua ibu itu dengan hormat. “Jagalah kain itu baik-baik. Dan sampai jumpa lagi di festival berikutnya.” Kedua ibu itu menunduk dalam. “Terima kasih, Ndoro Putri… semoga Gusti memberkahi langkahmu.” Dari kejauhan, Ratu memperhatikan pemandangan itu bersama Raja. Keduanya berdiri di teras pendopo, ditemani sinar lentera yang berpendar lembut. Ratu memegang tangan Raja perlahan. “Lihatlah, mas. Putri kita benar-benar berubah.” Raja mengangguk pelan, matanya masih menatap ke arah Sekar yang kini berjalan pelan bersama Mahesa menuju kereta kencana. “Ya,” jawabnya lirih. “Dulu aku terlalu keras padanya. Aku ingin dia menjadi tangguh seperti panglima, bukan lembut seperti ibunya. Tapi ternyata... ketegasan dan kelembutan bisa bersatu dalam dirinya.” Ratu tersenyum. “Sekarang aku mengerti kenapa banyak bangsawan memuji kebijaksanaannya. Aku berpikir... mungkin sudah saatnya kita memikirkannya untuk masa depan.” Raja menoleh perlahan. “Maksudmu?” “Perjodohan,” bisik Ratu pelan. “Pangeran Adiwangsa, putra dari sepupuku yang tinggal di wilayah barat kerajaan. Lelaki baik, cerdas, dan berbudi luhur. Ia sepadan dengan Sekar.” Raja terdiam lama. Tatapannya kembali ke arah putrinya yang sedang membantu Mahesa menaikkan barang ke kereta. “Jika itu yang membuatnya bahagia, aku tidak keberatan,” ujarnya akhirnya. “Tapi jangan memaksanya, diajeng. Sekar sudah terlalu lama hidup di bawah tekanan. Aku tak ingin dia terluka karena keputusan kita lagi.” Ratu mengangguk lembut. “Aku mengerti, kangmas. Kali ini, biarkan dia yang memilih.” Dan malam itu berakhir dengan angin yang berhembus tenang. Di bawah cahaya bulan, Sekar duduk di dalam kereta kencana, menatap bintang sambil tersenyum kecil tanpa menyadari bahwa takdir sedang mulai menulis bab baru dalam hidupnya. Udara malam terasa lembut setelah festival berakhir. Lentera-lentera di halaman keraton masih menyala, menebar cahaya keemasan di atas lantai batu yang lembap oleh embun. Sekar berjalan beriringan dengan Mahesa dan Aria menuju pendopo utama. Dari jauh, Raja dan Ratu sudah menanti di kursi singgasana ringan, masih mengenakan busana kebesaran mereka yang kini tampak santai namun tetap berwibawa. Sekar melangkah maju, lalu bersimpuh anggun di hadapan mereka. “Ayah, Ibu Ratu,” ucapnya lembut. “Hamba mohon izin untuk beristirahat malam ini di rumah singgah dekat gerbang keraton. Letaknya tidak jauh dari sini, dan hamba ingin memastikan tempat itu cukup layak untuk ditempati sebelum digunakan lagi.” Ratu sempat menatap Raja, kemudian tersenyum lembut. “Baiklah, Sekar. Jika itu yang kau kehendaki. Tapi malam sudah larut, kau tidak boleh pergi sendiri.” Sekar menunduk hormat. “Baik, Ibu.” Raja menimpali dengan suara berat namun penuh kasih, “Mahesa.” Mahesa segera melangkah maju dan menunduk dalam. “Sendika dawuh, Baginda.” “Aku titipkan Putri Sekar padamu malam ini,” ujar Raja tegas. “Kau temani dia ke rumah singgah, pastikan keamanannya. Nanti biarkan Dayang Ratna menyusul bersama beberapa penjaga tambahan.” Mahesa menunduk hormat. “Hamba akan menjaganya, Baginda.” Sekar tersenyum pelan mendengar itu, lalu berucap, “Terima kasih, ayah, Ibu. Sekar berjanji akan kembali besok pagi.” Namun sebelum ia sempat bangkit, terdengar suara ceria dari sisi kanan pendopo. “Mbak Sekar!” seru Nayla sambil menarik kedua saudaranya, Ayu dan Kirana. “Kami ikut juga, ya, Mbakyu!” sambung Kirana, matanya berbinar. “Kami belum sempat melihat rumah singgah itu sejak kemarin.” “Iya,” tambah Ayu sambil menatap Raja penuh harap. “Ayahanda, izinkan kami menemani Mbakyu. Kami berjanji akan bersikap sopan.” Raja dan Ratu saling pandang, lalu Ratu tersenyum lembut. “Baiklah, kalau begitu. Tapi kalian bertiga harus tetap didampingi oleh para dayang kalian masing-masing.” Seketika wajah ketiga adik Sekar berseri-seri. “Dayang Asih untuk Ayu, Dayang Ningrum untuk Kirana, dan Dayang Laras untuk Nayla,” sambung Ratu dengan suara tenang. “Dan tentu saja, Dayang Sari akan menemani Adipati Aria.” Aria yang sejak tadi berdiri di sisi kanan Sekar, sempat terbelalak kecil ketika mendengar namanya disebut. “Hamba?” tanyanya memastikan. Raja tersenyum kecil. “Ya, Adipati Aria. Aku tahu kau dan Sekar bersahabat baik. Aku percayakan kau untuk ikut serta bersama mereka. Toh rumah singgah itu masih dalam wilayah pengawasanmu. Dan Mahesa, kamu akan dibantu oleh Rakai.” Aria cepat-cepat menunduk dalam, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Sendika dawuh, Baginda.” Sekar menatap sahabatnya itu, nyaris tertawa melihat ekspresinya yang gugup tapi bahagia. Ia menutupi tawa dengan senyum lembut, sebuah senyum yang tak luput dari pengamatan Mahesa. Mahesa yang berdiri di belakang Sekar hanya memperhatikan diam-diam. Cahaya lentera memantul di mata Sekar, menambah kesan anggun di wajahnya yang lembut. “Dia tersenyum lagi…” batin Mahesa, "dan entah mengapa setiap kali dia tersenyum, dunia serasa berhenti berputar.” Raja kemudian menutup percakapan dengan nada hangat, “Baiklah, kalian semua boleh berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan terlalu larut di perjalanan. Rumah singgah memang tak jauh, tapi malam bisa membawa banyak kejutan.” “Sendika dawuh,” jawab mereka serempak sambil bersujud hormat. Tak lama kemudian, halaman tempat festival dipenuhi kesibukan kecil. Para dayang mempersiapkan perlengkapan, sementara Mahesa memerintahkan beberapa prajurit untuk bersiap mengawal. Empat dayang utama sudah berada di posisi masing-masing, membawa lentera dan bungkusan kecil berisi kebutuhan pribadi para putri. Aria berdiri di samping kudanya, tampak mencoba menahan senyum yang terus muncul. Sementara ketiga adik Sekar sudah saling berbisik, menertawakan ekspresi malu-malu sang adipati. Sekar muncul dari pendopo dengan langkah anggun, kini mengenakan selendang biru lembut di bahunya. Ia menatap malam dengan tatapan damai, lalu mendekat pada Mahesa. “Semua sudah siap?” tanyanya. Mahesa menunduk sopan. “Sudah, Diajeng. Jika diperkenankan, kita berangkat sekarang.” Sekar mengangguk, lalu berjalan menuju kereta kencana. Mahesa, seperti biasa, memayungi langkahnya dan membantu Sekar naik dengan lembut. Jari mereka sempat bersentuhan, hanya sebentar, tapi cukup membuat jantung Mahesa berdebar lebih cepat. “Terima kasih, Mahesa,” ucap Sekar dengan nada pelan. Mahesa hanya menunduk, berusaha menutupi ekspresinya. “Tugas hamba untuk memastikan keselamatan diajeng.” Dan malam itu, rombongan kecil itu pun berangkat. Kereta kencana meluncur pelan keluar gerbang keraton, diikuti derap kuda para pengawal. Angin malam bertiup lembut membawa aroma melati dari taman istana. Sekar menatap ke luar jendela, melihat bintang berkelip di langit. Senyum tipis menghiasi wajahnya, sementara Mahesa yang menunggangi kudanya di sisi kanan kereta hanya bisa mencuri pandang menyadari bahwa semakin lama, semakin sulit baginya untuk memisahkan rasa hormat dari rasa kagum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD