Kereta kencana berhenti perlahan di depan rumah singgah berarsitektur indah dari batu putih dan kayu jati, dikelilingi taman kecil dengan bunga kenanga yang semerbak. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan lentera-lentera minyak yang berjejer di sepanjang jalan masuk.
Ayu, Kirana, Nayla, dan Aria menatap bangunan itu dengan takjub. “Astaga…” ucap Nayla menatap sekeliling, matanya berbinar. “Ini… ini kan villa Mas Wiryajaya di masa kita! Tapi bedanya, di sini jauh lebih megah dan penuh aura kerajaan.”
Ayu mengangguk cepat. “Iya, bahkan taman di sampingnya pun mirip. Cuma di masa kita udah jadi kolam ikan.”
Sekar tersenyum lembut mendengar celotehan adik-adiknya. “Mungkin… tempat ini memang sudah ditakdirkan untuk kita,” ucapnya pelan, suaranya bening seperti desir air. Ia menapaki anak tangga menuju serambi, diikuti Mahesa dan para pengawal. Namun, langkahnya tiba-tiba goyah.
“Mbakyu!” teriak Kirana panik begitu Sekar mendadak memegangi kepala, wajahnya pucat, dan tubuhnya hampir ambruk.
Dalam sekejap, Mahesa melesat cepat. “Diajeng!” serunya dengan nada yang nyaris bergetar. Ia menangkap tubuh Sekar tepat sebelum Sekar jatuh ke lantai batu. Dalam pelukannya, tubuh Sekar terasa ringan tapi dingin, napasnya tersengal.
Mahesa menatap wajahnya dengan cemas, rambut hitam Sekar yang halus menutupi sebagian pipinya. “Diajeng, dengarkan aku… kamu baik-baik aja, kan?” suaranya lirih, nyaris seperti doa.
Aria yang juga panik langsung menoleh ke pengawal. “Cepat! Panggil tabib kerajaan!”
Namun Ayu menahan tangan pengawal itu. “Jangan dulu!” katanya tegas. “Biar aku periksa dulu.” Nada suaranya berubah menjadi serius seperti seorang penyembuh sejati. Ia berlutut di sisi Mahesa yang masih memeluk Sekar dan memeriksa denyut nadi kakaknya.
“Denyutnya lemah tapi teratur… ini bukan karena penyakit,” ucap Ayu dengan mata tajam. “Mbakyu cuma kelelahan. Mungkin karena terlalu lama berdiri di festival tadi.”
Mahesa menatap Ayu dengan nada khawatir. “Jadi… apa diajeng akan baik-baik saya, ndoro?”
Ayu mengangguk lembut. “Akan baik-baik saja. Tapi harus istirahat total malam ini.” Ia lalu menoleh pada pengawal. “Tolong carikan tanaman daun mint, jahe merah, dan sedikit serai. Cepat!”
Beberapa pengawal segera berlari ke taman belakang mencari tanaman yang dimaksud. Kirana dan Nayla masih memegangi tangan kakak mereka, wajah mereka cemas namun berusaha tenang.
Tak lama, pengawal kembali membawa beberapa tanaman yang diminta. Ayu dengan sigap meraciknya di atas wadah tanah liat kecil, lalu menyeduhnya dengan air panas dari dapur rumah singgah. Aroma rempah yang menenangkan segera memenuhi udara.
“Ini,” kata Ayu sambil menyerahkan cangkir itu pada Mahesa. “Bantu saya dong, Mahesa. Angkat sedikit tubuh Mbak Sekar.”
Mahesa mengangguk tanpa banyak bicara. Ia menatap wajah Sekar yang masih terpejam, lalu perlahan mengangkatnya agar bersandar di dadanya. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena khawatir, tapi juga karena ada sesuatu yang berbeda ketika ia menatap wajah lembut itu dari jarak sedekat ini.
Sekar tampak tenang, meski keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Bibirnya yang pucat perlahan membuka ketika Ayu menyentuhkan cangkir itu ke bibirnya. “Pelan-pelan, Mbakyu…” bisik Ayu.
Seteguk demi seteguk, Sekar meneguk ramuan itu. Beberapa saat kemudian, napasnya mulai teratur kembali. Matanya perlahan terbuka, menatap Mahesa yang masih memeluknya.
“Maaf… aku—” suaranya lemah.
“Sstt… istirahat dulu, diajeng,” potong Mahesa cepat, suaranya bergetar tapi lembut. “Ndoro nggak perlu ngomong apa-apa dulu.”
Ada jeda hening di antara mereka. Hanya terdengar suara jangkrik dan desir angin malam. Tatapan mereka bertemu dan entah mengapa, seakan waktu berhenti sejenak. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
Mahesa memalingkan wajah lebih dulu, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. Ia tahu perasaannya mulai tumbuh, tapi ia tak berhak membiarkannya melampaui batas. Sekar adalah putri kerajaan, sementara dia hanyalah kesatria pengawal. Namun, hatinya… sudah terlanjur bergetar setiap kali menatapnya.
Sekar tersenyum tipis, seakan mengerti tanpa perlu kata. “Terima kasih, Mahesa,” bisiknya pelan sebelum matanya kembali terpejam, kali ini dengan tenang.
Ayu berdiri sambil menghela napas lega. “Syukurlah, dia tertidur. Kita biarkan dia beristirahat. Besok pagi pasti sudah lebih baik.”
Mahesa mengangguk pelan. “Aku akan tetap berjaga di luar kamarnya.”
Aria menepuk bahunya ringan. “Tenang saja, aku juga bakal bantu jaga. Sekar nggak akan sendirian.”
Tak lama kemudian, suara derap kaki terdengar dari halaman. Dayang Ratna datang lebih cepat dari perkiraan, membawa dua dayang tambahan serta beberapa perbekalan dari keraton. “Baginda Ratu mengirimkan kami untuk melayani Gusti Putri Sekar,” katanya dengan hormat.
Ayu dan Kirana segera mempersilakan mereka masuk. Sekar dibaringkan di kamar utama rumah singgah, sementara Mahesa dan Aria berjaga di beranda depan bersama para pengawal dan Panglima Rakai yang tiba tak lama setelahnya.
Malam semakin larut. Lentera di depan rumah singgah berayun lembut tertiup angin. Mahesa duduk di tangga batu, menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya masih penuh dengan bayangan Sekar yang lembut, kuat, dan anggun.
Rakai Dharmawangsa yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum samar. “Kau terlihat gelisah, Mahesa.”
Mahesa terdiam beberapa saat sebelum menjawab lirih, “Mungkin karena aku takut kehilangan sesuatu… yang bahkan belum sempat aku miliki.”
Rakai menatapnya lama, lalu menepuk bahunya pelan. “Kadang, yang paling berharga bukanlah memiliki… tapi menjaga agar tetap aman. Kau sudah melakukannya dengan baik.”
Mahesa menatap rumah singgah tempat Sekar beristirahat, lalu menghela napas panjang. “Semoga begitu, Rakai. Semoga begitu.”
Dan malam pun menutup hari itu dengan hening yang penuh arti di bawah cahaya bintang, antara takdir dan perasaan yang mulai tumbuh tanpa izin.
Malam di rumah singgah terasa tenang. Hanya suara dedaunan yang bergesekan dan desir angin lembut yang berhembus dari arah perbukitan. Di serambi depan, lentera masih menyala redup, menerangi Mahesa yang tengah duduk sendirian dengan selembar kertas daun lontar di pangkuannya.
Ia menulis perlahan, seolah setiap kata harus disusun dengan hati-hati agar tak menyinggung kesucian maknanya. Ujung pena bulu angsa yang dicelup tinta hitam bergerak pelan, menorehkan bait demi bait. Setiap guratan terasa seperti hembusan perasaan yang selama ini tak sempat diucapkannya.
“Engkau bagai embun yang jatuh di ujung pagi, menyentuh bumi tanpa meninggalkan luka.
Dalam tatapanmu, terpantul teduh langit, dan dalam langkahmu, tertanam keanggunan bumi.”
“Sekar… namamu menandai bunga yang mekar bukan karena musim, melainkan karena ketulusan jiwamu sendiri.
Engkau bukan hanya cahaya bagi negeri,
melainkan ketenangan bagi hati yang kehilangan arah.”
Mahesa meletakkan pena itu perlahan. Pandangannya kosong, tapi hatinya penuh. Ia menghela napas panjang, menyadari betapa dalam perasaan yang kini tumbuh terhadap Sekar. Namun, ia juga sadar batasnya. Ia hanyalah seorang kesatria, penjaga yang ditugaskan melindungi sang putri bukan sosok yang pantas menggenggam hatinya.
Langkah kaki terdengar di belakang. Panglima Muda Rakai Dharmawangsa datang membawa kendi berisi air hangat, lalu duduk di samping Mahesa. “Masih belum beristirahat?” tanyanya lembut.
Mahesa menggeleng pelan. “Tidak bisa, Rakai. Rasanya… ada sesuatu yang terus berputar di kepala ini.”
“Perihal Sekar?” tanya Rakai dengan nada yang penuh pengertian.
Mahesa terdiam sejenak, lalu mengangguk lirih. “Aku tidak tahu sejak kapan semua ini terjadi. Tapi malam ini, ketika ia jatuh pingsan di pelukanku… rasanya dunia berhenti sesaat. Aku tidak pernah merasa sekuat itu ingin menjaga seseorang.”
Rakai tersenyum samar. “Perasaan semacam itu memang tidak memilih waktu untuk datang. Tapi, Mahesa, ingatlah — seorang putri seperti Sekar hidup di antara kewajiban dan harapan rakyat. Jika kau berniat menaruh perasaan, biarlah itu menjadi doa, bukan beban.”
Mahesa menatap bintang yang berkerlip di langit. “Aku tahu. Karena itu, aku hanya ingin memberikan sesuatu… sekadar kenang-kenangan dariku. Bukan tanda cinta yang melampaui batas, tapi sebagai rasa hormat dan kekaguman.”
Rakai menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Sebuah kenang-kenangan, ya? Lalu, apa yang terpikir olehmu untuk diberikan?”
Mahesa menggeleng pelan. “Itu yang belum kutemukan jawabannya. Apa yang pantas diberikan kepada seorang putri seperti dia?”
Rakai berpikir beberapa saat, kemudian tertawa kecil. “Itu pertanyaan sulit, Mahesa. Sekar bukan sembarang wanita. Ia memiliki selera halus, tapi juga sederhana dalam cara pandang. Aku pun tidak tahu pasti apa yang dapat menyentuh hatinya.”
Belum sempat Mahesa menjawab, langkah cepat terdengar dari arah belakang. Adipati Aria muncul dengan senyum lebar dan suara riang yang memecah keheningan. “Dari tadi kalian berdua serius sekali, kayak lagi bahas strategi perang,” ujarnya sambil duduk di samping mereka.
Mahesa menatapnya datar. “Bukan strategi perang. Aku hanya sedang memikirkan… hadiah yang pantas untuk diberikan kepada Sekar.”
Aria menaikkan alisnya. “Hadiah untuk Sekar?” Suaranya sedikit menggoda. “Wah, sepertinya ada yang mulai jatuh hati.”
Mahesa menghela napas, enggan menanggapi gurauan itu. Tapi Aria tersenyum lebih lembut kali ini. “Tenang saja. Sekar bukan tipe wanita yang menilai hadiah dari nilainya, tapi dari ketulusan orang yang memberikannya. Apa pun yang datang dari hati, pasti ia terima dengan hangat.”
Mahesa menatap Aria dengan sungguh-sungguh. “Tapi jika kau yang mengenalnya lebih lama, menurutmu… apa hadiah yang pantas?”
Aria berpikir sejenak, lalu berkata dengan nada mantap, “Tusuk sanggul. Sekar sangat menghargai sesuatu yang melambangkan kelembutan dan keanggunan. Dan tusuk sanggul… adalah lambang kehormatan bagi wanita bangsawan. Jika kau ingin memberikan sesuatu, berikanlah yang bisa ia kenakan di rambutnya, bukan hanya di ingatannya.”
Mahesa diam cukup lama, merenungkan saran itu. Kemudian ia mengangguk pelan. “Tusuk sanggul, ya… itu ide yang bagus. Akan kuperbuatkan dari logam terbaik.”
Aria tersenyum lebar. “Nah, itu baru niat seorang kesatria sejati.” Ia berdiri dan menepuk bahu Mahesa. “Sekar pasti akan menyukainya, percayalah.”
Setelah Aria pergi meninggalkan serambi, Mahesa kembali menatap kertas lontar di pangkuannya. Namun kini pikirannya berkelana jauh. Ia membayangkan wajah Sekar ketika menerima tusuk sanggul itu… lembut, tapi dengan tatapan mata yang penuh makna.
Namun, jauh di dalam hatinya, Mahesa juga tahu bahwa Sekar bukan wanita biasa. Ia adalah seseorang yang pernah berkata bahwa keindahan sejati tidak hanya pada rupa, melainkan pada keberanian melindungi yang dicintai.
Karena itulah, Mahesa memutuskan sesuatu yang tak ia katakan kepada siapa pun bahkan pada Aria. Ia akan membuat tusuk sanggul itu bukan sekadar perhiasan, tapi juga senjata tersembunyi.
Sebuah belati kecil yang dibuat dengan bilah tipis dan ukiran indah, tampak seperti tusuk sanggul biasa. Namun ujungnya tajam dan kuat, tertanam dalam logam yang ditempa sendiri olehnya.
Ia ingin Sekar memiliki sesuatu yang bukan hanya melambangkan keanggunan, tetapi juga kekuatan. Karena bagi Mahesa, Sekar bukan hanya bunga yang indah, ia adalah pelindung bagi rakyatnya.
Mahesa menulis satu kalimat terakhir di bawah puisinya, seolah sebagai penutup bagi segala perasaannya malam itu:
“Bila hari tak memberi ruang untukku di sisimu, biarlah namaku terukir dalam senjata yang menjaga langkahmu.”
Dan di bawah cahaya lentera yang mulai redup, Mahesa menatap hasil tulisannya dengan senyum getir. Ia tahu, mungkin cintanya tak akan pernah terucap. Tapi bila suatu hari Sekar mengenakan tusuk sanggul itu entah di medan upacara, entah di tengah bahaya maka sebagian kecil dari dirinya akan selalu ada di sana. Menjaga. Dalam diam.
Malam semakin larut. Udara di sekitar rumah singgah mulai terasa dingin dan lembab. Cahaya bulan yang menembus celah pepohonan menimbulkan bayangan panjang di tanah, seolah menggambar siluet rahasia yang tak ingin terlihat. Di beranda depan, Mahesa berdiri tegak, matanya mengamati sekitar dengan tatapan waspada.
“Rakai,” panggilnya pelan namun tegas. “Kau merasakan sesuatu yang aneh malam ini?”
Rakai yang berdiri tak jauh darinya mengangguk perlahan. “Sejak tadi aku juga merasa ada gerak-gerik yang tidak biasa di sisi barat rumah singgah. Seperti ada yang mengintai.”
Mahesa mengerutkan alis. “Kita pastikan. Aku tidak ingin kejadian buruk menimpa para putri lagi.”
Tanpa banyak bicara, keduanya segera bergerak cepat. Langkah kaki mereka ringan, nyaris tak menimbulkan suara di tanah berpasir halaman rumah singgah itu. Mahesa membawa belatinya, sementara Rakai menggenggam tombak pendek yang selalu ia simpan di punggung.
Ketika mereka tiba di sisi barat rumah singgah, samar-samar terlihat bayangan seseorang melintas cepat di antara pepohonan. Mahesa langsung memberi isyarat dengan tangannya. “Kejar.”
Keduanya berlari secepat mungkin, menembus kegelapan. Angin malam menampar wajah mereka, sementara dedaunan kering berderak di bawah pijakan kaki. Mahesa berusaha mendekati sosok itu, tapi setiap kali mereka hampir sampai, bayangan itu justru semakin cepat menghilang di balik kabut.
“Dia mengenal tempat ini,” ujar Rakai terengah-engah. “Pergerakannya sangat terarah. Seperti sudah memetakan jalur pelarian.”
Mahesa mengepalkan tangan. “Sial! Ini bukan penyusup biasa. Dia pasti orang yang pernah berurusan dengan istana.”
Mereka terus mencari jejak hingga beberapa menit kemudian, tapi hasilnya nihil. Hanya daun yang terinjak dan bekas pijakan samar di tanah basah yang tersisa. Akhirnya Mahesa menghentikan langkahnya. Nafasnya berat, tapi matanya masih penuh amarah.
“Kita kembali,” ucapnya dingin. “Aku harus pastikan para putri tetap aman.”
Rakai mengangguk, lalu mereka berdua kembali ke rumah singgah dengan langkah cepat. Namun begitu tiba di halaman utama, amarah Mahesa langsung memuncak, dua pengawal yang seharusnya berjaga di gerbang tampak tertidur lelap, bersandar di tembok batu dengan tombak masih di tangan.
Mahesa mendekat dengan tatapan tajam. “Bangun!” teriaknya. Suaranya begitu keras hingga menggema di seluruh halaman. Kedua pengawal itu sontak terperanjat dan segera berdiri tegak sambil menunduk ketakutan.
“Maaf, Jendral Mahesa… kami hanya—”
“Diam!” potong Mahesa dengan nada penuh tekanan. “Kau menyadari siapa yang sedang kalian jaga di tempat ini? Itu para putri! Apa kalian ingin menanggung akibat jika sesuatu menimpa mereka malam ini?”
Keduanya gemetar. “Ampun… kami khilaf. Hanya sesaat tadi mata kami terpejam—”
Mahesa menatap keduanya dengan sorot tajam yang menusuk. “Sesaat yang kalian sebut itu bisa menjadi bencana bagi kerajaan. Aku tidak akan memaafkan kelalaian seperti ini.”
Rakai yang berdiri di sampingnya menepuk bahu Mahesa perlahan, berusaha menenangkan. “Mahesa, jangan terlalu keras. Mereka memang salah, tapi tidak ada yang terluka malam ini.”
Mahesa menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan amarahnya, namun nada suaranya tetap dingin. “Baiklah. Tapi mulai malam ini, aku ingin penjagaan diperketat. Tidak ada lagi pengawal yang berjaga sendirian. Setiap dua jam, pasukan berganti posisi. Aku ingin seluruh perimeter rumah singgah diawasi.”
Rakai segera mengangguk. “Akan aku laksanakan. Aku sendiri akan berkeliling setiap pergantian jaga.”
Mahesa menatap ke arah jendela kamar Sekar yang masih gelap. Hatinya terasa sesak, antara marah dan khawatir. Ia tahu, bayangan tadi bukan sekadar penyusup tapi ancaman. Sesuatu atau seseorang yang sengaja datang, menguji kesiapan mereka.
Rakai memperhatikan wajah Mahesa yang mulai tenang namun tetap tegas. “Kau mencurigai siapa?” tanyanya perlahan.
Mahesa menatap langit malam, lalu menjawab pelan, “Mungkin seseorang dari pihak kolonial… atau mungkin orang dalam yang tidak senang dengan rencana Lumbung Bumi Kencana. Apa pun itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Sekar tanpa izin dariku.”
Rakai mengangguk mantap. “Kita akan jaga beliau, Mahesa. Dengan nyawa sekalipun.”
Mahesa menghela napas panjang, lalu menatap langit yang perlahan diselimuti awan tipis. “Ya. Mulai malam ini, tidak boleh ada kelengahan lagi. Karena aku merasa… badai itu sudah mulai mendekat.”