Mentari pagi menyusup lembut melalui celah jendela kayu, menimpa wajah Sekar yang tampak lebih segar setelah malam panjang yang dilaluinya. Aroma embun dan tanah basah menyelinap masuk, berpadu dengan suara burung-burung kecil yang berkicau di halaman rumah singgah. Ia membuka matanya perlahan, menyadari tubuhnya kini terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Ratna, yang sedari tadi duduk di sisi ranjang, segera menundukkan kepala dengan sopan saat melihat ndoro putrinya telah terbangun.
“Ndoro putri, apakah paduka telah merasa lebih baik pagi ini?” tanya Ratna dengan suara lembut penuh hormat.
Sekar mengangguk pelan, jemarinya membenarkan rambut yang terurai di bahunya. “Aku sudah lebih baik, Ratna. Hanya saja… aku ingin makan sesuatu yang tidak terlalu berempah. Perutku belum sepenuhnya siap menerima santapan berat. Mungkin sesuatu yang berkuah—ringan, tapi hangat,” ujarnya lirih namun tegas.
Ratna menunduk hormat. “Baik, ndoro. Hamba akan memerintahkan dapur untuk menyiapkan makanan seperti yang paduka kehendaki.”
Sebelum Ratna beranjak, Sekar menambahkan, “Dan satu lagi. Mintalah pada pengawal untuk menyiapkan air di pemandian. Aku ingin air yang dingin, dicampur bunga melati dan kenanga. Aroma itu akan membuatku segar kembali.”
“Sendika dawuh, ndoro,” ucap Ratna seraya menunduk dalam-dalam, lalu melangkah keluar untuk melaksanakan perintah.
Tak lama berselang, dari luar pintu terdengar suara langkah tegap diiringi ketukan perlahan.
“Diajeng,” suara berat dan berwibawa itu terdengar dari luar. “Ini saya, Mahesa, memohon izin untuk menghadap.”
Sekar menoleh pada pintu, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat tanpa ia mengerti mengapa. “Masuklah, Mahesa,” jawabnya dengan nada tenang, meski hatinya berdebar.
Pintu kayu itu terbuka, dan Mahesa melangkah masuk dengan sikap penuh hormat. Ia mengenakan pakaian dinas pengawal yang rapi, pedangnya tergantung di sisi pinggang, wajahnya tampak tegas namun ada sedikit bayangan lelah di matanya.
“Bagaimana keadaanmu pagi ini, diajeng?” tanyanya dengan nada lembut, berbeda dari ketegasan yang biasa terdengar darinya. Tatapannya penuh perhatian, menelusuri wajah Sekar untuk memastikan tiada lagi tanda lemah.
“Aku jauh lebih baik, Mahesa. Terima kasih telah menjaga semalam,” jawab Sekar pelan, namun tatapannya tak berani menatap langsung mata Mahesa. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, perasaan yang tak seharusnya tumbuh di tengah situasi genting ini.
Mahesa menarik napas dalam, menundukkan kepala sejenak, lalu bersuara dengan nada berat. “Ampun, diajeng. Ada sesuatu yang perlu saya laporkan. Tadi malam… kami mendapati seseorang mencurigakan di sekitar rumah singgah. Saya dan Rakai segera mengejar, namun orang itu berhasil meloloskan diri. Kami telah memperketat penjagaan di seluruh penjuru, tetapi…” ia mengepalkan tangan dengan kuat, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya, “…beberapa pengawal ditemukan tertidur di pos masing-masing. Saya telah menegur mereka dengan keras.”
Sekar terdiam, melihat betapa tegangnya rahang Mahesa. Ia tahu betul Mahesa sangat menjunjung tanggung jawab dan kesetiaan. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, mendekati Mahesa dengan langkah tenang. Tangannya terulur, menyentuh lengan lelaki itu dengan lembut.
“Tenanglah, Mahesa,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas. “Kemarahanmu menunjukkan kepedulianmu. Tapi jangan biarkan amarah itu membebanimu terlalu lama. Aku percaya padamu dan Rakai. Kalian telah melakukan yang terbaik.”
Mahesa terdiam. Sentuhan lembut Sekar di lengannya membuat sesuatu bergetar di dadanya, namun ia menunduk dalam, menahan gejolak yang tiba-tiba hadir tanpa kendali.
“Diajeng terlalu baik kepada hamba,” ujarnya pelan.
Sekar tersenyum tipis, lalu duduk kembali di kursi dekat jendela. Ia mulai memijat pergelangan kakinya perlahan, rasa pegal masih terasa setelah semalaman beristirahat. Melihat itu, Mahesa segera melangkah maju.
“Apakah diajeng masih merasa sakit di kaki? Izinkan hamba membantu memijat,” katanya dengan nada tulus.
Sekar menggeleng lembut, tersenyum samar. “Tidak perlu, Mahesa. Aku bisa melakukannya sendiri. Kau sudah cukup banyak melakukan hal untukku.”
Mahesa hanya menunduk. Ada keraguan di matanya, seolah ingin mengatakan sesuatu namun memilih menahan diri. Ia merogoh lipatan bajunya, mengeluarkan selembar kertas yang dilipat rapi.
“Ini…” katanya sambil meletakkan kertas itu di atas meja kecil di samping Sekar. “Hanya sedikit tulisan yang hamba buat tadi malam. Anggap saja… pengingat kecil bahwa setiap pagi membawa harapan baru.”
Sebelum Sekar sempat bertanya, Mahesa telah membungkuk hormat dan melangkah keluar dengan cepat.
Sekar menatap punggungnya yang menjauh dengan debar tak menentu. Setelah Mahesa pergi, ia membuka lipatan kertas itu. Di dalamnya, tertera tulisan tangan Mahesa yang tegas namun lembut.
Pipi Sekar merona tanpa bisa dikendalikannya. Senyum kecil muncul di bibirnya, begitu lembut, seperti bunga kenanga yang merekah perlahan di permukaan air pemandian yang sebentar lagi akan menantinya.
Namun jauh di lubuk hatinya, Sekar tahu rasa yang tumbuh itu adalah kemewahan yang belum boleh ia nikmati. Ia harus fokus pada tujuannya, pada perjalanan besar yang menantinya. Tapi pagi itu… untuk sejenak saja, ia izinkan dirinya menikmati manisnya perasaan yang bersemi dalam diam.
Usai berendam dalam pemandian bunga, Sekar melangkah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa segar dan wangi melati yang lembut masih menempel di kulitnya. Ratna segera menyambut dengan selendang putih yang diulurkan dengan takzim.
Sekar mengenakan kebaya berwarna putih polos yang lembut di kulit, dipadu dengan kain batik lilit bermotif parang kecil berwarna cokelat keemasan. Anting emas berbentuk bunga kecil ia kenakan di kedua telinganya. Sederhana, namun memancarkan keanggunan yang sulit disangkal.
Ratna mendekat, membawa sisir dan beberapa tusuk konde. “Ndoro putri, izinkan hamba menata rambut paduka. Jika digelung tinggi, paduka akan tampak lebih berwibawa,” ujarnya penuh hormat.
Namun Sekar tersenyum lembut dan menggeleng. “Tidak, Ratna. Hari ini aku ingin rambutku dibiarkan tergerai saja. Biarlah udara pagi menyentuhnya, agar pikiranku pun lebih ringan.”
“Sendika dawuh, ndoro,” jawab Ratna, menunduk patuh.
Sekar melangkah keluar dari kamar, langkahnya ringan, penuh wibawa namun tetap lembut. Rambut hitam panjangnya menjuntai hingga punggung, berkilau terkena sinar matahari yang menembus jendela. Wangi melati dan kenanga yang menempel pada kulitnya menyeruak ke seluruh lorong rumah singgah, membawa suasana tenteram bagi siapa pun yang melintas.
Saat tiba di serambi, Sekar mendapati ketiga adiknya sedang duduk di meja makan bersama Aria. Piring-piring berisi nasi hangat, sayur lodeh, dan tempe goreng tersusun rapi di hadapan mereka. Gelak tawa kecil terdengar, menandakan betapa hangatnya suasana pagi itu.
“Mbakyu Sekar!” seru Nayla begitu melihat Sekar datang. Wajahnya yang masih muda berseri-seri penuh semangat.
Ayu dan Kirana segera menunduk hormat, lalu menyapa lembut, “Selamat pagi, Mbakyu.”
Sementara Aria, yang duduk berseberangan dengan mereka, hanya tersenyum kecil dan berkata, “Selamat pagi, Sekar.” Suaranya tenang namun hangat, seperti biasa.
Sekar membalas dengan anggukan halus. “Selamat pagi semuanya,” ujarnya sambil duduk di kursi yang disediakan Ratna. “Kalian tampak menikmati sarapan.”
“Kami hanya makan sederhana, Mbakyu,” sahut Kirana sambil tertawa kecil. “Tapi jujur saja, masakan di rumah singgah ini terasa nikmat sekali. Udara di sini pun menenangkan.”
Sekar tersenyum, memandangi mereka satu per satu. “Aku senang kalian merasa nyaman di sini. Namun setelah kita selesai makan nanti, kita harus bersiap kembali ke keraton. Ibu sudah menanti, dan kita tidak boleh terlalu lama di luar tembok istana.”
Ketiga adiknya saling berpandangan, lalu mengangguk serempak. “Baik, Mbakyu,” jawab mereka hampir bersamaan.
Aria menatap Sekar dengan pandangan lembut, lalu berkata, “Aku akan memastikan pengawalan kembali ke keraton berjalan aman.”
“Terima kasih, Aria,” jawab Sekar tenang, namun dalam hatinya ada rasa yang sulit ia jelaskan antara kagum dan segan.
Mahesa yang sedari tadi berdiri tak jauh dari serambi, memperhatikan dari kejauhan. Tatapannya terpaku sejenak pada sosok Sekar yang duduk anggun di antara aroma bunga dan cahaya pagi. Saat Sekar menoleh ke arahnya, pandangan mereka bertemu sekejap. Sekar menatapnya lembut, lalu tersenyum kecil, senyum yang membuat Mahesa menunduk cepat untuk menyembunyikan gejolak yang tiba-tiba menghangat di dadanya.
Sekar menunduk perlahan, mulai menyantap sarapannya dengan tenang. Sendok di tangannya bergerak anggun, sementara Ratna berdiri di belakangnya dengan sikap siap sedia. Di antara aroma melati dan suara lembut percakapan pagi, suasana rumah singgah itu terasa damai seolah sejenak dunia luar yang penuh intrik dan bahaya menghilang dari pikiran mereka.
Namun di balik kedamaian itu, Sekar tahu ini hanyalah ketenangan sebelum langkah panjang berikutnya dimulai.
Suasana sarapan yang semula penuh tawa berubah menjadi tegang dalam sekejap. Suara gaduh dari arah luar rumah singgah menggema, disusul teriakan para pengawal yang tampak panik. Suara dentingan logam terdengar jelas dan kemudian, hening yang menyesakkan.
Ayu, Kirana, dan Nayla spontan menoleh ke arah jendela. “Ada apa itu?” seru Nayla dengan nada cemas.
Sekar meletakkan sendoknya perlahan, matanya menatap tajam ke arah pintu. Dalam benaknya, firasat buruk segera muncul. Di luar, teriakan pengawal semakin jelas.
“Diajeng, mohon jangan keluar,” ujar Mahesa cepat sambil bergegas menuju pintu. “Izinkan hamba memeriksa dahulu.”
Namun Sekar bangkit dari kursinya dengan ketegasan yang membuat semua orang di meja terdiam. “Tidak, Mahesa. Aku harus tahu apa yang terjadi.”
Aria juga berdiri. “Aku ikut, Sekar. Jika ini urusan keamanan, adipati tidak boleh tinggal diam.”
Mahesa hendak menahan, namun Sekar menatapnya dengan sorot mata yang tidak bisa dibantah. “Kau ikut saja menjaga kami dari dekat. Itu perintah.”
“Sendika dawuh, Diajeng,” ucap Mahesa akhirnya, menunduk dalam, lalu memberi aba-aba kepada dua pengawal untuk membuka jalan.
Begitu mereka melangkah keluar, udara pagi yang sejuk berubah menjadi tegang dan pekat. Di depan gerbang rumah singgah, para pengawal tampak berkumpul dengan wajah pucat. Di tanah, seorang pengawal muda tergeletak tak bernyawa—dadanya tertembus sebuah tombak panjang dengan kain merah yang terikat di pangkalnya.
Mahesa segera memberi perintah keras, “Jaga perimeter! Jangan biarkan siapa pun mendekat!”
Sekar melangkah maju, matanya menatap tombak itu dengan tajam. Meski udara di sekitar terasa mencekam, ia tetap berdiri tegak. Ratna yang berlari menyusul di belakang hanya bisa menunduk ngeri melihat darah mengalir di tanah.
“Ndoro putri…” suara Ratna gemetar.
Namun Sekar tak menoleh. Ia menunduk sedikit, lalu memegang kain merah yang terikat di tombak. Di sana tertulis huruf-huruf halus yang dikenalnya, tulisan dari kerajaan di timur Pulau Jawa. Ia membaca dengan lantang agar semua mendengar:
"Kepada Kerajaan Bumi Kencana, bersiaplah. Kami, dari Tanah Suradipa Timur, menuntut kembali wilayah perbatasan yang telah kalian rebut. Jika tidak menyerah, maka perang adalah jalan satu-satunya.”
Hening. Hanya suara burung di kejauhan yang terdengar. Ketiga adik Sekar yang menyusul di belakang menatap dengan wajah pucat. Nayla menutup mulutnya, Ayu menggenggam tangan Kirana erat.
Sekar menatap tubuh pengawal yang gugur, lalu berucap lirih namun tegas, “Ia gugur dalam tugas menjaga tanah kerajaan ini. Pastikan keluarganya dijamin kesejahteraannya. Makamkan dia dengan kehormatan seorang prajurit.”
Mahesa menunduk dalam, “Sendika dawuh.”
Namun Sekar belum beranjak. Tatapannya menelusuri sekeliling halaman, menilai arah datangnya tombak itu. Posisi luka di d**a korban, sudut jatuhnya senjata, dan jarak dari gerbang—semuanya ia perhatikan dengan cermat.
“Tombak ini tidak dilempar dari jauh,” ujarnya pelan. “Arahnya datang dari sisi utara pagar… di balik semak itu.”
Mahesa menatap ke arah yang sama. “Itu tidak mungkin, Diajeng. Kami sudah menyisir area semalam—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Sekar melangkah cepat menuju pagar. Matanya menajam, menelusuri semak yang tampak bergoyang halus.
“Ada seseorang di sana,” gumamnya.
“Diajeng, jangan dekati—” seru Mahesa, tapi Sekar sudah bergerak lebih cepat. Ia meraih pedang di pinggang Mahesa, mengangkatnya dengan presisi yang mengejutkan, lalu melemparkannya ke arah semak.
Suara logam menembus daging terdengar jelas. Dari balik semak, seseorang terjatuh, mengerang kesakitan.
Mahesa segera berlari ke sana, diikuti beberapa pengawal. Saat tubuh pria berpakaian hitam itu diangkat, Mahesa mengenalinya, orang yang tadi malam sempat mereka kejar namun hilang jejak.
“Diajeng…” Mahesa menatap Sekar, kagum bercampur heran. “Bagaimana anda tahu?”
Sekar menatap lurus ke arah mata-mata itu. “Naluri seorang yang mencintai tanahnya tidak akan pernah salah. Jika satu tombak dikirim untuk menebar ketakutan, maka jawabannya haruslah keberanian.”
Rakai yang datang terburu-buru setelah mendengar keributan menunduk hormat pada Sekar. “Ndoro putri, perintah paduka?”
Sekar menatap tubuh mata-mata itu dengan tatapan dingin. “Kunci orang ini. Nanti siang, aku ingin mendengar siapa yang mengutusnya. Bila perlu, kirim pesan balasan ke kerajaan timur bahwa Bumi Kencana tidak gentar menghadapi siapa pun yang berniat mengusiknya.”
Mahesa menatap Sekar dalam diam, matanya tak bisa menyembunyikan kekaguman. Dalam sorot tegas dan wajah lembut itu, ia melihat sosok pemimpin sejati dan di dalam dadanya, sesuatu mulai bergetar, lebih kuat dari sebelumnya.