BAB 20

1541 Words
Langit pagi di atas Keraton Bumi Kencana terlihat begitu jernih, seakan belum mengetahui kabar getir yang akan segera mengguncang seluruh negeri. Sekar berjalan dengan langkah cepat melewati lorong panjang beralaskan marmer putih. Di tangannya, masih tergenggam erat kain merah yang tadi pagi ditemukan menempel pada tombak. Aroma logam darah di kain itu masih samar tercium, tapi yang lebih kuat kini adalah tekad di d**a seorang putri yang telah tumbuh menjadi pemimpin sejati. Mahesa dan para pengawal berjalan di belakangnya, menjaga jarak dengan hormat. Sementara itu, ketiga adiknya — Ayu, Kirana, dan Nayla — serta Aria turut menyertai langkahnya, menunduk dalam setiap kali mereka melewati para abdi istana. Begitu tiba di pendopo utama, Raja Wiryakusuma telah menunggu, duduk di singgasana dengan wajah teduh namun penuh wibawa. Ratu duduk di sisi kanannya, menatap kedatangan putri sulung mereka dengan tatapan cemas. Sekar menunduk hormat. “Ampun, Ayahanda. Putri datang membawa kabar yang kiranya perlu Ayahanda dengar segera.” Raja memberi isyarat dengan anggukan lembut. “Bangkitlah, Sekar. Katakan, apa yang telah terjadi?” Sekar maju perlahan, lalu memperlihatkan kain merah yang telah ia lipat rapi. “Pagi tadi, di rumah singgah, seorang pengawal gugur terkena tombak. Tombak itu berasal dari kerajaan di timur Pulau Jawa—kerajaan Suradipa Timur. Mereka menuntut perang, Ayahanda.” Raja Wiryakusuma menatap kain itu dalam diam, lalu memandang putrinya dengan mata yang tajam namun penuh rasa bangga. “Dan kau yang menemukannya sendiri?” Sekar menunduk sedikit, menjawab dengan nada lembut namun tegas, “Benar, Ayahanda. Hamba juga berhasil melumpuhkan mata-mata yang menyusup ke halaman rumah singgah. Mohon ampun, hamba mengambil pedang Adipati Mahesa tanpa izin.” Senyum kecil terbit di wajah sang raja. “Sekar... kau bukan hanya putri kerajaan ini, tapi juga pewaris darah seorang prajurit. Aku tak menyangka tangan halusmu mampu mengayun pedang dengan ketepatan seperti itu.” Sekar mengangkat wajahnya perlahan. “Hamba hanya berbuat sebagaimana semestinya, Ayahanda. Bila negeri ini ditantang, maka sudah sepatutnya kita berdiri tegak, bukan tunduk. Hamba memohon agar kerajaan ini bersiap berperang.” Raja Wiryakusuma menatap Sekar lekat-lekat. Tatapan itu bukan hanya tatapan seorang ayah, tapi juga seorang raja yang melihat keberanian lahir dari darahnya sendiri. “Kau berbicara layaknya seorang panglima, Sekar. Dan kau benar. Kerajaan Timur sudah terlalu sering memancing bara.” Ratu menatap keduanya dengan resah. “Tapi, Kanda, peperangan bukan hal kecil. Akan banyak nyawa yang hilang.” Raja menghela napas dalam, kemudian menatap istrinya lembut. “Aku tahu, permaisuri. Tapi kadang, damai hanya bisa ditegakkan lewat keberanian. Sekar, kau boleh beristirahat. Aku akan mengumpulkan para panglima.” Sekar menunduk hormat. “Sendika dawuh, Ayahanda.” Ia berbalik hendak meninggalkan pendopo, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara sang ayah memanggil nama yang membuat dadanya bergetar pelan. “Mahesa.” Sekar menoleh sedikit, hanya cukup untuk melihat Mahesa maju dengan langkah tegap, membungkuk hormat. “Sendika dawuh, Paduka.” Raja Wiryakusuma berbicara dengan nada tegas, “Kau akan memimpin pasukan ke timur. Persiapkan prajurit pilihan dan segera laporkan kesiapanmu sebelum matahari terbenam.” Hening. Sekar tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Di hatinya, sesuatu terasa mencengkeram. Mahesa akan pergi berperang—dan kali ini, mungkin saja tidak akan kembali. Mahesa menjawab lantang, “Sendika dawuh, Paduka. Hamba akan berangkat secepatnya.” Sekar segera melangkah pergi sebelum air matanya jatuh. Ia berjalan cepat melewati lorong-lorong keraton, menahan gejolak di dadanya yang seolah menyesakkan napas. Begitu sampai di kamarnya, Ratna yang menunggu di depan pintu segera membungkuk. “Ndoro putri, apakah perlu hamba siapkan makan siang?” Sekar menggeleng. “Tidak, Ratna. Aku hanya ingin kau bawakan kain satin putih, benang warna maroon, dan air rendaman bunga kenanga serta melati. Cepatlah.” Ratna sedikit terkejut, namun segera menuruti perintah itu. Tak lama kemudian, Ratna kembali dengan nampan berisi bahan yang diminta. Sekar duduk di depan meja kayu rendah di kamarnya. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengambil kain satin putih di hadapannya. Tangannya gemetar halus saat jarum mulai menembus kain. Benang maroon itu menari perlahan di antara jemarinya, membentuk pola yang hanya ia pahami—bunga kenanga dan melati, bunga kesukaannya, bunga yang selalu dipakai untuk menenangkan hatinya. Setiap tusukan jarum adalah doa. Doa agar Mahesa kembali dalam keadaan selamat. Doa agar hatinya, yang kini mulai memahami arti cinta, tidak harus kehilangan sebelum sempat diungkapkan. Sesekali, Sekar berhenti menyulam dan menatap hasil karyanya. Ia tersenyum kecil, lirih berbisik, “Mahesa... semoga saputangan ini menjadi penuntunmu pulang. Dan bila kau tak kembali… biarlah saputangan ini menjadi saksi bahwa aku pernah menyayangimu dalam diam.” Ratna yang berdiri di dekat jendela hanya menunduk. Ia tahu, di balik keanggunan ndoro putrinya itu, tersimpan hati yang mulai belajar mencinta. *** Suara malam terdengar lembut dari luar kamar. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga kenanga dan melati yang baru saja Sekar petik dari taman belakang rumah singgah. Di atas meja kayu, sehelai saputangan halus tergeletak, baru selesai dijahit olehnya dengan penuh ketelatenan. Sekar menuang air rendaman bunga ke dalam mangkuk kecil, lalu merendam saputangan itu perlahan. Jemarinya mengusapnya lembut, seolah sedang menitipkan doa di setiap serat kainnya. Setelah beberapa saat, ia mengangkat saputangan itu, memerasnya perlahan, lalu menaruhnya di atas telapak tangan. Sekar meniupnya pelan.. satu, dua, tiga kali, dengan napas yang berisi harapan. "Semoga orang yang menerimanya selalu dalam lindungan tuhan," bisiknya lirih. Ketukan lembut terdengar dari pintu. Sekar menoleh. “Masuklah,” katanya dengan suara yang tenang. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Aria dengan wajah serius, namun matanya tetap teduh. “Sekar,” katanya sambil berjalan masuk, “aku baru dapat kabar. Mahesa akan berangkat ke medan perang besok pagi. Aku yang diminta buat jagain kamu selama dia pergi.” Sekar terdiam sesaat. Tangannya refleks meremas saputangan yang kini sudah setengah kering. “Begitu cepat?” tanyanya pelan. Aria mengangguk. “Iya. Keputusan raja turun sore ini.” Sekar menarik napas panjang. “Aku tahu dia pasti siap. Tapi tetap saja, rasanya… nggak tenang.” Aria menatap wajah sahabatnya itu lama. “Kamu takut kehilangan dia?” Sekar hanya tersenyum samar. “Nggak tahu, Aria. Mungkin aku cuma takut... ada hal yang belum sempat aku bilang.” Aria melihat saputangan di tangan Sekar, lalu tersenyum nakal. “Saputangan itu buat siapa, hm?” Sekar mengerling ke arahnya, lalu menunduk. “Rahasia.” “Ah, jadi benar ini buat dia!” seru Aria sambil terkekeh kecil. Sekar hanya tersenyum tanpa menanggapi lebih jauh. Setelah beberapa saat, Aria bangkit. “Oke, aku keluar dulu ya. Aku harus ketemu Rakai buat koordinasi penjagaan. Kamu istirahat, Sekar.” Sekar mengangguk pelan. “Iya, hati-hati, Aria.” Begitu pintu tertutup, Sekar kembali menatap saputangan itu. Ia menaruhnya di tepi meja, lalu menatap ke jendela yang separuh terbuka. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tak lama, terdengar ketukan lain. Kali ini lebih pelan. Sekar berbalik. “Siapa?” “Saya, Mahesa,” suara bariton yang begitu ia kenal terdengar dari balik pintu. Sekar mendekat, lalu membuka pintu. “Masuklah.” Mahesa melangkah masuk dengan langkah tenang. Pakaian perangnya sudah siap, hanya tanpa senjata di pinggang. Matanya menatap Sekar dengan lembut. “Aku datang sebentar saja, Diajeng. Besok pagi pasukan akan berangkat ke perbatasan. Aku ingin memberikan sesuatu sebelum aku pergi.” Ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari balik kainnya, sebuah tusuk sanggul berwarna perak dengan ukiran rumit di pangkalnya. Sekar menatapnya kagum. “Indah sekali…,” gumamnya. Mahesa tersenyum tipis. “Itu bukan sekadar perhiasan, Diajeng. Lihat bagian tengahnya.” Ia menekan sisi bawah tusuk sanggul, dan seketika sebuah bilah kecil berkilau muncul dari dalam. Sekar terkejut. “Itu… belati?” Mahesa mengangguk. “Senjata tersembunyi. Kalau sesuatu terjadi padamu, kau bisa melindungi diri dengan ini.” Sekar menatapnya lama, matanya sedikit berkaca-kaca. “Kau pikir aku akan menghadapi bahaya sebesar itu?” Mahesa menatap dalam ke matanya. “Aku tidak tahu apa yang menunggu di depan, Diajeng. Tapi aku ingin kau siap, apa pun yang terjadi.” Sekar tersenyum lirih. Ia mengambil tusuk sanggul itu, menggenggamnya erat. “Terima kasih, Mahesa.” Lalu, ia mengambil saputangan yang tadi baru kering, melipatnya dengan rapi, dan menyerahkannya kepada Mahesa. “Ini untukmu,” katanya pelan. Mahesa menerima dengan tatapan heran. “Untuk apa ini?” Sekar menatapnya lembut. “Untuk kemenangan. Aku berharap kemenangan kerajaan… juga berarti kepulanganmu. Kemenangan untukku.” Hening sejenak. Mahesa menatap saputangan itu, lalu menatap wajah Sekar. Ada getaran aneh di dadanya yang hangat, tapi juga menekan. Ia hampir mengangkat tangan untuk menyentuh wajah Diajeng-nya itu, tapi cepat-cepat menahan diri. Namun Sekar melangkah lebih dulu. Ia mendekat, lalu tiba-tiba memeluk Mahesa erat. Mahesa terkejut, tubuhnya menegang sesaat sebelum akhirnya pelan-pelan membalas pelukan itu. Sekar berbisik di dadanya, “Kau harus pulang, Mahesa. Aku akan menunggumu.” Mahesa mengembuskan napas dalam, suaranya parau ketika menjawab, “Peperangan ini takkan lama, Diajeng. Aku akan pulang. Aku berjanji.” Sekar menatapnya, menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku percaya.” Mahesa tersenyum kecil, mengusap lembut bahu Sekar sebelum mundur satu langkah. “Simpan tusuk sanggul itu baik-baik.” Sekar mengangguk. “Dan kau simpan saputangan itu. Jangan sampai hilang.” Ketika Mahesa berpaling menuju pintu, Sekar memandang punggungnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada harapan, ada cemas, tapi juga… sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perasaan kagum. Dan di luar kamar itu, malam pun menjadi saksi dua hati yang tak saling terucap, tapi saling mengikat dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD