BAB 21

2371 Words
Pagi itu, udara terasa berbeda. Langit sedikit mendung, tapi cahaya matahari masih menembus lembut sela-sela pepohonan di halaman rumah singgah. Dari kejauhan, burung-burung berkicau seolah hendak memberi semangat pada mereka yang akan berangkat ke medan perang. Sekar berdiri di dekat taman kecil, mengenakan kebaya hijau muda yang memancarkan kesederhanaan dan keanggunan sekaligus. Kain jarik bermotif parang menghiasi langkahnya yang tenang. Rambutnya disanggul rapi, disematkan tusuk sanggul pemberian Mahesa—yang kini berkilau lembut terkena sinar matahari pagi. Ia terlihat begitu damai, seolah seluruh semesta bersekutu menjaganya. Tapi di balik ketenangan itu, ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Dari kejauhan, Mahesa berdiri di balik barisan prajurit yang tengah bersiap. Pandangannya tak lepas dari sosok Diajeng-nya itu. Sekilas, Mahesa menahan senyum—namun di balik senyum itu, dadanya bergetar hebat. "Apa ini cinta?" batinnya bergema. "Ya. Tak ada lagi keraguan." Seketika, suara aba-aba dari panglima terdengar. Para prajurit diberi waktu singkat untuk berpamitan kepada keluarga atau orang yang mereka sayangi. Mahesa segera melangkah, menyelinap ke arah taman kecil di sisi belakang rumah singgah—tempat Sekar berdiri sendirian. Langkahnya perlahan, tapi mantap. “Diajeng…” panggilnya pelan. Sekar menoleh. Wajahnya seketika berbinar, tapi matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. “Kau sudah bersiap, Mahesa?” tanyanya lembut. Mahesa mengangguk. “Sudah, Diajeng. Sebentar lagi kami akan berangkat.” Sekar menunduk sejenak, menggigit bibirnya yang bergetar. “Aku tahu peperangan ini penting bagi kerajaan… tapi bolehkah aku jujur?” Mahesa menatapnya dalam. “Katakanlah.” Sekar menarik napas panjang, suaranya bergetar pelan. “Aku takut.” Mahesa mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Jangan takut, Diajeng. Aku berjanji akan kembali.” “Tapi perang tak pernah bisa ditebak. Kau bisa saja—” Mahesa langsung mengangkat tangannya, menenangkan. “Jangan katakan itu. Aku takkan membiarkan apa pun memisahkan aku dari kerajaan… dan darimu.” Sekar menatapnya, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku tidak ingin menahanmu, Mahesa. Aku hanya ingin tahu… apakah kau akan benar-benar pulang.” Mahesa terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. Ia mendekat, menghapus air mata Sekar dengan ujung jarinya. “Selama Diajeng menungguku, aku akan pulang. Karena alasan untuk kembali… ada di sini.” Ia meletakkan tangannya di d**a Sekar, tepat di atas jantungnya. Sekar memejamkan mata, menahan isak. “Mahesa…” bisiknya lirih. Tanpa bisa dicegah, Sekar meraih Mahesa dan memeluknya erat. Mahesa sempat tertegun, tapi kemudian membalas pelukan itu dengan hangat. “Aku akan baik-baik saja,” ucap Mahesa di telinganya. “Kau harus percaya.” Sekar menggenggam kuat pakaian Mahesa, berusaha menahan tangisnya agar tak terdengar. “Kau harus pulang, Mahesa. Kau harus.” Mahesa tersenyum di antara helaan napasnya yang berat. “Aku akan pulang, Diajeng. Aku bersumpah atas nama kerajaan dan kehormatan.” Keduanya terdiam lama, hanya suara angin yang mengiringi perpisahan itu. Sampai akhirnya, Mahesa melepaskan pelukan perlahan, menatap wajah Sekar untuk terakhir kali sebelum keberangkatan. “Jangan lepaskan tusuk sanggul itu,” katanya lembut. “Dan jangan berhenti menunggu.” Sekar mengangguk, matanya merah, tapi bibirnya tersenyum tipis. “Pergilah, Mahesa. Lakukan apa yang harus kau lakukan.” Mahesa menunduk hormat, lalu berbalik. Tapi sebelum melangkah jauh, ia menoleh sekali lagi, seolah ingin merekam wajah Sekar dalam ingatan selamanya. Tak jauh dari sana, di halaman samping, Aria tengah berdiri bersama Rakai. Rakai sudah mengenakan pakaian perangnya, sementara Aria tampak kebingungan melihat sikapnya yang lebih serius dari biasanya. “Kenapa sih, tiba-tiba pamitan gini? Kamu kayak mau pergi jauh banget,” ujar Aria sambil menyilangkan tangan. Rakai tersenyum tipis. “Ya, bisa dibilang begitu. Saya cuma pengen bilang… jaga diri baik-baik di sini.” Aria menatapnya heran. “Kamu ngomong kayak saya yang pergi, bukan kamu.” Rakai mendekat sedikit, suaranya menurun. “Adipati Aria… adalah orang yang berharga buat saya. Jadi wajar kan kalau saya pamitan dengan cara yang pantas.” Aria tertegun, matanya membulat. “Rakai… maksud kamu apa sih ngomong kayak gitu?” Rakai hanya tersenyum samar, lalu menunduk hormat seperti seorang ksatria pada junjungannya. “Nggak usah bingung. Nanti kamu ngerti.” Aria diam, dadanya entah kenapa berdegup cepat. Dan sebelum ia sempat menjawab, Rakai sudah berbalik, melangkah ke arah pasukan yang mulai berbaris di bawah panji-panji kerajaan. Di kejauhan, Mahesa menunggang kuda di barisan depan, membawa bendera pasukan. Saat pasukan mulai bergerak, Sekar berdiri di teras, menggenggam ujung selendangnya erat. Tusuk sanggul di rambutnya berkilau di bawah cahaya matahari, seperti mengirim pesan diam bahwa hatinya akan tetap di tempat yang sama, menunggu seorang Jendral bernama Mahesa. Sekar berdiri di taman dalam, menatap hamparan kolam teratai yang tenang. Embun pagi yang mulai menghilang masih menggantung di kelopak bunga, memantulkan cahaya lembut yang menenangkan hati. Ratna datang membawa nampan kecil berisi teh hangat dan kudapan manis. “Ndoro Putri, silakan teh-nya. Hari ini paduka raja ingin anda beristirahat saja,” ujarnya pelan. Sekar tersenyum tipis. “Istirahat bukan berarti berhenti berpikir, Ratna. Justru di saat seperti ini, hati harus tetap waspada.” Ratna menunduk hormat, tak berani menanggapi lebih jauh. Tak lama kemudian, Aria datang dengan langkah ringan. Rambutnya digelung sederhana, namun tetap membawa aura berwibawa sebagai Adipati. “Hari yang indah untuk secangkir teh, ya, Sekar,” ucapnya sambil duduk di kursi batu di hadapan Sekar. Sekar menatapnya dengan senyum samar. “Kau datang, Aria?” Aria mengangkat alis, menyesap teh yang baru disuguhkan Ratna. “Entahlah… mungkin karena aku ingin memastikan seseorang tak lagi melamun di taman sejak tadi.” Sekar terkekeh lirih. “Aku tidak melamun. Aku hanya menunggu kabar.” “Ah,” Aria menyipitkan mata, suaranya menurun nakal. “Kabar dari siapa, Ndoro Putri? Mahesa, kah?” Sekar memalingkan wajah, pipinya bersemu halus. “Kau terlalu banyak bicara, Aria.” “Tapi wajahmu sudah menjawab sebelum mulutmu sempat menyangkal,” sahut Aria cepat, membuat Ratna yang tengah menuang teh menunduk dalam, menahan tawa yang hampir lolos. “Ratna,” panggil Sekar lembut namun tegas, “kau dengar sesuatu?” Ratna tergagap, “N–Ndoro Putri, hamba hanya mendengar angin bertiup.” Aria tertawa pelan, “Atau mungkin Ratna juga tahu sesuatu tentang saputangan yang dijahit dengan benang warna maroon itu?” Sekar menatap Aria dengan tatapan setengah geli, setengah jengkel. “Kau benar-benar tak tahu malu, Aria.” “Lebih baik tak tahu malu daripada pura-pura tak peduli,” balas Aria ringan sambil meneguk teh terakhirnya. Keduanya tertawa kecil, menutup pagi itu dengan kehangatan yang sejenak membuat keraton terasa damai. Sementara itu, ketiga adik Sekar — Ayu, Kirana, dan Nayla — sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Ayu tengah menulis catatan tentang tanaman obat, Kirana sedang membatik di pendopo, dan Nayla sibuk melatih tariannya di pendopo. Semua tampak tenang. Semua tampak seperti hari biasa. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Senja turun perlahan, menggantikan siang yang panjang dengan langit jingga keemasan. Suara gamelan dari kejauhan mengalun lembut, seolah meninabobokan suasana keraton yang damai. Tapi malam itu, sesuatu terasa berbeda. Tiba-tiba, dari arah alun-alun depan, terdengar suara derap kaki kuda disertai pekikan keras. Abdi dalem berlari tergesa melewati lorong, wajah mereka tegang dan panik. Ratna yang tengah menyiapkan lampu minyak di kamar Sekar, segera menoleh ketika mendengar hiruk-pikuk di luar. “Ndoro Putri… ada kegemparan di alun-alun. Raja memanggil Anda segera.” Sekar berdiri, wajahnya berubah serius. “Aria!” panggilnya. Tak lama, Aria sudah muncul di depan pintu dengan langkah cepat. “Aku dengar panggilan Raja juga. Ayo, kita ke balairung.” Sekar mengenakan kebaya merah maroonnya dengan cepat. Warna itu menyala dalam cahaya lentera, membuatnya tampak berwibawa sekaligus berani. Aria, dengan pakaian Adipati berwarna hitam keemasan, melangkah di sampingnya. Keduanya berjalan cepat menyusuri lorong panjang, sementara suara prajurit yang berlarian membawa kabar bergema di luar. Ketika mereka tiba di balairung, Raja sudah berdiri di tengah ruangan, ditemani beberapa penasehat dan pengawal kerajaan. “Sekar, Aria,” suara Raja bergema, dalam dan berwibawa. “Pasukan musuh dari timur bergerak lebih cepat dari perkiraan. Mereka sudah menyeberangi perbatasan sebelum fajar.” Sekar dan Aria saling bertukar pandang. Sekar maju selangkah, suaranya tenang tapi tegas. “Apakah Mahesa telah mengetahui hal ini, ayah?” Salah satu prajurit yang baru datang dengan pakaian berdebu menunduk hormat. “Hamba pembawa pesan dari Jendral Mahesa, ndoro. Pasukan beliau masih bertahan, namun meminta bala bantuan segera.” Sekar menatap kain merah yang dibawa prajurit itu simbol tanda bahaya. Dadanya bergetar hebat. “Berapa jumlah pasukan tambahan yang dibutuhkan?” “Seribu prajurit, ndoro.” Raja menatap putrinya dalam diam. Ia tahu apa yang akan diucapkan Sekar bahkan sebelum Sekar membuka mulutnya. “Ayahanda,” ucap Sekar akhirnya, suaranya bergetar namun mantap. “Izinkan hamba memimpin pasukan tambahan itu.” Balairung seketika senyap. Semua mata tertuju padanya. Aria menatap Sekar dengan kaget. “Sekar, apa kau yakin? Ini bukan tugas ringan.” Sekar menatap Aria dengan mantap. “Aku tidak bisa tinggal diam, Aria. Jika Mahesa berjuang di garis depan, aku pun harus berjuang di sisinya demi kerajaan.” Raja menatapnya lama, lalu perlahan tersenyum. “Aku sudah tahu hari ini akan tiba. Sejak kecil, kau kulatih bukan hanya untuk berbicara dengan kebijaksanaan, tapi juga bertarung dengan kehormatan. Jika itu keputusanmu, maka aku izinkan.” Sekar menunduk hormat, namun mata indahnya menyimpan tekad kuat. Dalam benaknya, ia teringat kembali bayangan Dyah Sekarjati, putri pejuang dari masa lampau yang darahnya kini mengalir dalam dirinya. Mungkin inilah panggilan itu. Mungkin inilah alasan kenapa ia harus ada di masa ini. Aria menatapnya lama, lalu menarik napas panjang. “Kalau begitu, aku ikut. Aku takkan membiarkan kamu berangkat sendirian.” Sekar menoleh, menatap sahabatnya dengan senyum hangat. “Kau memang keras kepala, Aria.” “Dan kau, terlalu berani, Sekar.” Keduanya saling menatap, menyadari bahwa langkah yang akan mereka tempuh bukan lagi sekadar tentang kerajaan melainkan tentang hati, takdir, dan keberanian yang diwariskan dari masa ke masa. Malam itu, langit keraton diselimuti awan tebal. Bulan purnama tampak samar di balik kabut, seolah ikut menahan napas menatap keberanian yang tengah tumbuh di jantung istana. Balairung utama diterangi oleh ratusan pelita yang berbaris di sepanjang dinding. Nyala api kecil itu menari lembut, memantulkan bayangan gagah para prajurit yang bersiap siaga. Suara derap langkah, denting senjata, dan kain sutra yang berdesir menciptakan harmoni yang menggugah semangat juang. Di tengah ruangan, berdiri Sekar dalam balutan kebaya warna merah maroon berpadu kain jarik bermotif parang rusak. Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi tusuk sanggul pemberian Mahesa yang menjadi ebuah simbol perlindungan, cinta, dan keberanian yang kini ia kenakan dengan penuh kebanggaan. Ia tampak berwibawa, namun di balik sorot matanya yang tegas, tersimpan luka rindu yang mulai tumbuh. Ratna menunduk di sampingnya, matanya sembab menahan haru. “Ndoro Putri tampak begitu agung malam ini,” ucap Ratna dengan suara pelan namun bergetar. Sekar tersenyum kecil. “Bukan keagungan yang kuinginkan, Ratna. Hanya keteguhan hati agar tak goyah.” Dari arah utara balairung, Adipati Aria melangkah masuk dengan pakaian perang berwarna hitam keemasan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang, dan di pundaknya kain penanda kepemimpinan pasukan. Tatapannya tegas, namun saat mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di wajahnya. “Diajeng Sekar, pasukan siap berangkat kapan saja,” ujarnya dengan nada hormat. Sekar mengangguk. “Baik. Tapi sebelum itu, aku harus berpamitan pada ayahanda dan ibunda.” Mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang dalam, tempat Raja dan Ratu telah menunggu. Raja mengenakan jubah kebesaran warna hitam beludru berbordir emas, sementara Ratu duduk di sisi beliau dengan pakaian ungu lembayung. Ketika Sekar dan Aria memberi hormat, suasana ruangan seolah membeku oleh rasa haru yang tak terucap. Sekar berlutut di hadapan kedua orang tuanya. “Ampun, ayahanda dan ibunda. Hamba datang untuk memohon restu. Malam ini, hamba akan berangkat memimpin pasukan tambahan. Doakan agar langkah hamba dan pasukan kita dilindungi tuhan.” Ratu segera berdiri, menatap putri sulungnya dengan mata berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Sekar erat. “Anakku, andai ibunda bisa menahanmu agar tetap di sini, niscaya akan ibunda lakukan. Tapi aku tahu darah pejuang mengalir dalam dirimu. Pergilah, dan pulanglah dengan selamat.” Sekar menunduk, mencium tangan ibundanya. “Hamba akan pulang membawa kemenangan, Ibunda.” Raja menepuk pundaknya dengan lembut. “Kau anakku yang paling kukeras-kan hidupnya, Sekar. Tapi malam ini aku melihat, segala tempaan itu tidak sia-sia. Pergilah, dan buktikan bahwa kerajaan ini tak pernah kehilangan keberanian.” Sekar menatap ayahnya dengan bangga. “Terima kasih, Ayahanda.” Ketika ia berdiri, ketiga adiknya — Ayu, Kirana, dan Nayla — telah menunggu di ambang pintu. Ketiganya segera memeluk sang kakak dengan isak tertahan. “Mbakyu… hati-hati di sana,” bisik Ayu, menggenggam tangan Sekar erat-erat. Kirana menunduk, matanya merah. “Jangan berlama-lama di medan perang. Kami akan berdoa untukmu setiap hari.” Nayla memeluk Sekar dari belakang, suaranya bergetar lembut. “Kembalilah dengan tersenyum, Mbakyu.” Sekar tersenyum, menyeka air mata di pipi adik-adiknya. “Kalian bertiga harus menjaga diri. Jangan biarkan keraton kehilangan cahayanya. Percayalah, aku akan pulang.” Ketika mereka berpisah, Aria sudah menunggu di depan gerbang utama. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma tanah dan bunga kenanga dari taman istana. Puluhan pasukan berkuda telah berbaris di depan kereta perbekalan, membawa panji kerajaan berwarna merah bata dengan lambang kerajaan di tengahnya. Sekar naik ke atas kuda putih pemberian Raja, seekor kuda yang dulu juga pernah ditunggangi oleh Dyah Sekarjati. Aria menatapnya dari samping, lalu tersenyum kecil. “Kar, bahkan dalam pakaian perang pun kamu masih terlihat menakjubkan.” Sekar menoleh sedikit, menahan senyum. "Aria, simpan aja deh sanjungan kamu untuk setelah peperangan selesai.” “Okelah,” jawab Aria sambil tertawa kecil, “tapi jangan lupa, aku berjanji menjaga punggungmu di medan perang nanti.” Sekar menarik tali kudanya, menatap ke depan. “Dan aku akan memastikan tidak ada satu pun dari pasukan kita yang jatuh tanpa kehormatan.” Suara sangkakala berbunyi, tanda keberangkatan pasukan tambahan. Gerbang utama keraton terbuka perlahan, memperlihatkan jalan panjang yang diterangi cahaya obor di kiri dan kanan. Raja dan Ratu berdiri di anjungan tertinggi, menyaksikan keberangkatan putri mereka dengan d**a bergetar haru. Sekar menundukkan kepala, memberi hormat dari atas kudanya, sebelum akhirnya memberi aba-aba tegas: “Pasukan Kerajaan, maju!” Sorak kemenangan bergema di langit malam. Denting pedang, derap kuda, dan kibaran panji merah bata berpadu menjadi satu irama keberanian. Di bawah cahaya rembulan yang perlahan muncul dari balik awan, Sekar dan Aria memimpin pasukan tambahan menuju medan perang. Tusuk sanggul di rambut Sekar berkilau samar, seolah Mahesa ada di sana yang menjaga, menguatkan, dan mendoakan dari kejauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD