Jam menunjukkan lewat tiga dini hari. Udara dingin pegunungan menelusup masuk ke setiap celah kain dan baju zirah. Di kejauhan, kabut tipis menari di atas tanah yang lembab, sementara api unggun yang tersisa hanya berkerlip pelan, seolah berjuang melawan gelap. Suara derap kuda terdengar mendekat. Para prajurit yang berjaga segera berdiri, menyalakan obor tambahan. Dari balik gelap itu, tampak rombongan Sekar dan Aria datang bersama pasukan tambahan. Bendera kerajaan berkibar pelan di antara kabut, membawa harapan baru di tengah malam. Mahesa yang tengah memeriksa posisi penjagaan tersentak. Matanya membulat saat melihat sosok yang duduk tegak di atas kuda putih — kebaya maroon-nya kontras dengan gelap malam, dan tusuk sanggul pemberiannya berkilau di bawah cahaya obor. “Diajeng…” bisik

