3. NEW DAY

1066 Words
"Bangun, Neng! Shalat subuh." Sam mengguncang tubuh Fara membangunkannya untuk menunaikan shalat subuh. Sementara ia sendiri sudah selesai mandi dan mengenakan baju kokonya bersiap untuk menunaikan kewajiban pada sang pencipta. "Ah elah! Bangun, dong!" Gerutunya melihat sang adik kembali menarik selimutnya. Sam menarik selimut itu sampai habis membuat Fara mengomel. "Apa sih, Sam?" "Shalat! Aku siram air es, mau?" "Ihh!" Mau tidak mau akhirnya Fara bangun sebelum Sam bertindak nekat. Usai menunaikan shalat subuh, Fara kembali masuk ke dalam selimutnya. Setelah kedatangannya kemarin sore, ia begitu lelah. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Koper belum di bongkar, kulkas belum berisi bahan makanan dan barang-barang yang belum di tata di tempatnya. Sam membuat sarapan pagi berupa sandwich dan sereal yang bahan-bahannya sempat ia beli semalam di toserba saat singgah dari bandara untuk mereka berdua. Lelaki itu terlatih mandiri setelah bertahun-tahun hidup sendirian di luar negeri. Masakannya malah lebih enak daripada masakan Fara yang notabene seorang perempuan. Siang harinya mereka berbelanja ke hypermarket terdekat dan membeli berbagai kebutuhan makan, mandi, alat-alat dapur dan lainnya. Fara menyusun bahan makanan ke dalam lemari pendingin sedangkan Sam keluar setelah janjian dengan salah seorang mahasiswa yang sudah mau pulang ke Indonesia untuk membeli mobilnya, berupa sebuah Toyota Corolla bekas seharga empat ribu dolar. Sam berkata tidak membutuhkan mobil baru karena hanya dipakai untuk akomodasi Fara pulang pergi kuliah sedangkan dirinya tidak akan kemana-mana, berhubung ia hanya bekerja di depan laptop dengan koneksi internet saja. *** Seminggu kemudian perkuliahan pun dimulai. Hari-hari yang berat dilalui Fara dengan susah payah. Perutnya yang sudah membuncit, ditambah lagi dengan faktor stres belajar terkadang membuatnya kelelahan. Pluralitas di Sidney membuat Fara cepat menyesuaikan diri. Ia mendapat teman-teman baru dari berbagai belahan negara yang sedang menuntut ilmu disana, termasuk teman-teman dari Indonesia sendiri. Fara tidak punya cukup waktu untuk bersosialisasi. Sepulang dari kuliah, Sam sudah standby menunggunya di parkiran kampus. Setiba di apartemen ia melanjutkan membuat tugas-tugas kuliah yang sangat menyita waktunya, berkutat dengan aljabar linear, hitung-hitungan kalkulus dan semacamnya yang membuat otaknya mandek. Apartemen yang awalnya lapang dan bersih, dalam beberapa minggu berubah menjadi seperti kapal pecah. Penuh dengan maket dan peralatan menggambar berserakan dimana-mana sehingga Sam mengomel tidak karuan. Fara pun membuktikan ucapan Ian. Mengambil kuliah double degree disaat hamil memang bukan pilihan yang bijak. Sam tidak bisa membantu apa-apa karena teknik arsitektur sekaligus desain grafis bukanlah bidangnya. Pria itu hanya mengerti bisnis, keuangan dan pemograman komputer yang menjadi hobinya sejak dahulu. Sejak awal kedatangan disana, mereka telah membagi tugasnya masing-masing. Sam yang kebagian tugas memasak selalu memastikan Fara mendapatkan gizi yang cukup dan seimbang. Lidah mereka berdua tidak begitu cocok dengan makanan bule, maka dari itu menu dari tanah air yang khas dengan sambalnya selalu menghiasi meja makan. Sedangkan Fara memilih tugas bersih-bersih yang menuntut banyak pergerakan berhubung ia harus aktif agar persalinannya dapat berjalan dengan lancar. Sementara pengecekan laporan keuangan yang dikirim melalui email oleh om Danu dan t***k bengek lainnya yang berhubungan dengan toko yang ditinggalkannya di Indonesia diserahkan pada Sam yang lebih mengerti seluk beluk bisnis dan finansial. "Sam, aku mau soto Padang." Pinta Fara ketika mereka sedang bersantai menikmati sore yang cerah dari balkon apartemen yang terletak di lantai dua belas. Sam memijit-mijit kaki Fara yang mulai membengkak menjelang hari persalinannya. Wanita itu sudah mengajukan izin sementara sampai ia melahirkan. Entahlah, semenjak hamil Fara tidak pernah mengidam macam-macam. Sepertinya si bayi yang telah diketahui jenis kelaminnya tersebut cukup tahu diri untuk tidak meminta yang aneh-aneh lewat ibunya. Tetapi, keinginannya sore ini melintas begitu saja tidak bisa ditahan. "Hah?" Sam melongo. "Mau cari dimana?" "Nggak tahu." Jawab Fara. "Aduh, ngidam jangan yang aneh-aneh kenapa, Ra?" "Tapi aku maunya yang itu, gimana dong?" "Ganti aja bisa nggak? Pizza atau cake, gitu?" "Gimana sih? Ponakanmu maunya soto, ya soto!" Fara mengerucutkan bibir. "Ponakan apa emaknya?" "Ishh! Ya sudahlah kalau nggak mau!" Fara merajuk sambil menghentakkan kakinya. Air matanya merebak. Suasana hatinya memburuk tiba-tiba membuat Sam serba salah. "Aduh ngambek. Iya iya, nanti aku cariin." Sambung Sam membuat mata Fara berbinar. "Beneran?" "Nggak, bercanda!" Jawab Sam sambil mencubit pipinya. Sam menyambar kunci mobilnya dan menghilang selama setengah jam kemudian, lalu pria itu kembali dan menyibukkan diri di dapur. Sementara Fara sibuk dengan laptop yang menyala di pangkuannya membaca artikel yang akan dijadikannya sebagai bahan membuat esai yang harus dikumpulkannya menjelang ia melahirkan. "Yuhuu, soto Padang sudah ready!" Panggil Sam melongokan kepalanya di pintu kamar Fara. Fara bergegas menuju meja makan dan melihat dua soto Padang beserta nasi, daging, kerupuk dan kelengkapan lainnya telah terhidang disana. Dua sendok makanan berkuah itu masuk ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja ia termenung dan air matanya mengalir. Tenggorokannya tercekat. Fara terisak lirih. Pikirannya melayang pada laki-laki yang sekarang berstatus sebagai mantan suami yang seharusnya ada di sisi melayani kebutuhannya saat hamil, bukan malah merepotkan Sam. Ia iri pada Livia. Wanita itu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari sang mertua juga suaminya. Hati Fara masih saja sakit mengingat laki-laki itu yang tidak pernah memilih dirinya. Susah payah ia berusaha mengalihkan pikirannya dari rumah tangga yang hancur berantakan karena kehadiran sang mantan pacar dari suaminya yang tidak tahu diri. Dalam beberapa bulan saja semua porak poranda. Lelaki itu mengatakan terpaksa, tapi kemudian juga dengan sukarela menerima perempuan itu bahkan menghamilinya. Sementara dirinya harus lari ke negeri orang membawa luka yang entah kapan sembuhnya. Ia harus pergi membawa anaknya dan membesarkannya seorang diri karena tidak rela berbagi suami. "Lho, lho? Kenapa, kok nangis?" Sam kelabakan melihat airmata Fara. Ia menyentuh lembut pundak Fara dengan tatapan setengah panik. Fara terus menangis sesenggukan. "Hei, kamu kenapa?" tanya Sam lalu menyeret kursinya ke tempat kosong di samping Fara. "Seharusnya bukan kamu yang menyiapkan semua ini, Sam. Maaf merepotkanmu." Isaknya pilu. "Astagfirullah, Ara. Kok baper sih? Aku nggak apa-apa kok, sumpah." "Maaf, Sam. Maaf." "Shhh, udah dong. Aku malah senang banget ada disini buat kamu." Sahut Sam lalu membawa kepala Fara kedadanya dan mengusap-usapnya menenangkan, hingga akhirnya Fara menyusut airmatanya. "Hidup itu memang tidak selalu manis. Jodoh, maut dan rezeki ada di tangan Tuhan. Jika memang takdirmu dengan dia hanya sampai disini, mau dikata apa? Terima dengan lapang d**a walaupun rasanya sakit dan sulit. Life must go on, kan?" Ujar Sam panjang lebar. Setelah sekian menit berlalu, Fara tidak menjawab ocehan Sam yang membuat pria itu bingung kenapa adiknya diam saja. Sam terus menunduk ke arah Fara yang masih bersandar di dadanya. "Ah elah, kok malah tidur? Dasar kebo! Capek-capek gue ngomong, eh dikacangin!" Gerutunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD