6. REGRET

1259 Words
"Rana, minum s**u dulu ya, Sayang." Livia mengguncang lembut botol berisi s**u yang akan diminumkannya pada Kirana yang disambut oleh bocah yang hampir berusia dua tahun tersebut dengan antusias. Matanya menari-nari. "Ma acih, Ibu!" Seru Kirana sambil mencium pipi ibunya. Livia memperlakukan anaknya dengan kasih sayang. Sekian bulan lamanya ia belajar menerima bahwa Rana akan menjadi anak satu-satunya yang pernah lahir dari rahimnya setelah Tuhan memberinya karma yang begitu berat. Pukulan yang diterima atas perbuatannya yang memaksa masuk ke dalam rumah tangga Fara dan Andra sangat telak. Kedua indung telurnya di angkat pasca ia melahirkan Kirana hingga mustahil baginya untuk mempunyai keturunan lagi. Tidak hanya sampai disitu, anak satu-satunya itu pun lahir dalam keadaan istimewa. Walaupun begitu, Livia tetap mencintai anaknya sepenuh hati. Hanya Rana pelipur lelah dan sedihnya. Tidak sepatutnya Rana ikut menanggung kesalahannya sebagai perempuan kedua yang menghancurkan rumah tangga suaminya hingga mereka bercerai karena perbuatannya. Pertumbuhan Kirana sedikit melambat dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Pada usia menjelang dua tahun, ia baru bisa berjalan. Begitu juga dengan perkembangan bahasanya. Bocah itu berbicara dengan artikulasi yang tidak jelas dan lidah cadel menggemaskan. Livia teratur membawa anaknya terapi bicara dan bahasa untuk menutupi kekurangannya. Bocah perempuan itu tumbuh menjadi anak yang cantik dengan rambut panjang dan tebal. Ia mempunyai fisik agak lemah dan sering sakit-sakitan. Sehari-hari ia hanya bermain di rumah ditemani oleh Livia dan babysitternya. Livia jarang membawanya keluar apalagi jika kondisi cuaca sedang tidak baik karena Rana sangat rentan terkena flu dan demam. Usahanya butiknya pun berkembang dengan lancar. Tuhan melimpahkan rejeki melalui pintu yang tidak disangka-sangka setelah kehadiran Kirana. Pasca pindah ke rumah yang baru, kehidupan rumah tangga yang awalnya dikira Livia akan membaik, ternyata hanya harapan kosong. Mereka bagaikan dua orang asing yang tinggal dalam satu atap yang sama. Andra tidak pernah lagi main tangan dengan Livia dan sesekali lelaki itu masih pulang dalam keadaan mabuk. Namun, pengabaian demi pengabaian yang ia dapatkan lebih menyiksa batinnya. Andra pergi pagi dan pulang hampir tengah malam semenjak bekerja lagi disebuah perusahaan properti. Sang suami menjadi workaholic, memulai lagi karirnya dari nol dengan menjadi staf biasa dan merangkak naik sedikit demi sedikit hingga diangkat menjadi kepala tim operasional di lapangan. Satu hal yang disyukuri oleh Livia adalah Andra sangat menyayangi anaknya. Walaupun pada awalnya ia sulit menerima kehadiran anak itu terlepas dari keadaannya yang istimewa atau tidak. Andra hanya menyayangkan kenapa anaknya harus lahir dari rahim wanita yang tidak ia cintai, kenapa anak itu harus hadir dari rahim wanita yang membuat Fara-nya pergi. Livia tidak baik-baik saja. Andra yang terus-terusan tidak acuh membuat hatinya pedih. Penebusan dosa dalam neraka yang dulu dijanjikan Andra belum juga berakhir. Ia lebih tersiksa didiamkan dibanding dulu saat ia dikasari. Dulu Andra masih berbicara kepadanya walaupun penuh dengan amarah menyala yang selalu menyalahkan kehadirannya. Pernah memang Livia mencoba meluluhkan hati Andra yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia tetap berusaha menjadi istri yang sebaik-baiknya melayani Andra. Menyiapkan pakaian yang bersih dan rapi, melayani kebutuhan perut Andra dengan masakan-masakan enak. Tetapi Andra tidak bergeming. Lelaki itu berekspresi datar dan cenderung dingin. Andra juga tidak pernah lagi menyentuhnya, bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun Andra hanya akan tertidur begitu saja. Pernah ia merendahkan dirinya sendiri dengan memakai pakaian kurang bahan untuk menggoda Andra. Tetapi bukannya berhasrat, suaminya itu malah melemparkan pandangan jijik kepadanya. "Jangan membungkuk terlalu rendah, Livia. Kau bersujud sekalipun, aku tidak akan lagi menyentuhmu." Livia menangis terisak-isak. Harga dirinya luluh lantak. Dipandang menjijikkan oleh suaminya sendiri melukai batinnya. "Sampai kapan kita akan terus begini, Mas?" "Kamu tahu jawabannya, bukan? Sampai kamu membawa Fara kembali padaku, aku tidak akan memaafkanmu." "Lalu apa yang terjadi jika Mbak Fara kembali?" "Tentu saja aku akan kembali padanya." "Bagaimana denganku, Mas?" "Kau sudah tahu jawabannya." Balas Andra datar dan berlalu menuju kamarnya. Tidak ada lagi hasrat yang terlihat di mata Andra untuknya. Livia lelah, entah sampai kapan ia akan bertahan dalam rumah tangga semu yang tidak jelas kemana muaranya. Tetapi satu hal yang pasti, jika Tuhan mengizinkannya bertemu dengan Fara nanti, ia akan memohon pada perempuan itu untuk kembali pada Andra, walaupun hatinya tidak akan pernah rela. *** Malam semakin larut. Mata tua itu menitikkan dua bulir bening yang kian lama kian deras. Hatinya menyimpan kepedihan dan nestapa. Perempuan tua itu kesepian. Setelah ditinggal Andra dan Livia yang memilih tinggal dirumah baru, giliran Rania dan Lestari yang pergi. Rania telah menikah dengan seorang pengusaha dan diboyong oleh suaminya ke Surabaya. Sedangkan Lestari memilih bekerja di pulau Batam menjadi supervisor di sebuah perusahaan manufaktur. Rani sendirian. Sesekali ia akan mengunjungi Livia dan cucunya di siang hari ketika Andra pergi bekerja. Ia menatap Andra penuh kerinduan, tetapi anaknya itu masih menyimpan bara dendam kepadanya. Tidak ada yang lebih menyakiti hatinya sebagai seorang ibu tatkala anaknya sendiri mengacuhkannya. Ia pun tidak dapat menyalahkan Andra. Semua kesialan di depan mata adalah akibat ulahnya sendiri. Berbagai gumam penyesalan menyeruak dalam hatinya. Ia menyesal telah membuat keluarganya sendiri luluh lantak. Puluhan pengandaian bergaung dalam hatinya. Andai begini, andai begitu, jika saja begini dan begitu. Jika saja harta tidak membutakan mata hatinya, tentu saat ini ia tengah bahagia dikelilingi oleh anak dan menantu. Tidak peduli jika tidak ada cucu. Hanya saja pengandaian itu sudah tidak berguna. Nasi sudah jadi bubur. Tinggal bagaimana meramunya agar tetap bisa dimakan walaupun rasanya jauh dari harapan. Fara telah menghilang. Rani berkali-kali mendatangi Danu menggali informasi tentang keberadaan perempuan itu. Tetapi mantan adik kelasnya itu juga bungkam tidak memberitahu apa-apa. Rani nelangsa. Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Butik yang dibangga-banggakannya kandas, menyisakan satu unit saja untuk menyokong kebutuhannya sehari-hari. Tidak ada lagi hidup mewah dengan gaya wah seperti sebelumnya. Kerasnya hidup memaksanya tidak lagi berjalan dengan angkuh melainkan dengan kepala menunduk. Rani menengadah, memohon pada Yang Kuasa. Andai saja ya Allah, aku dipertemukan kembali dengan wanita pemilik hati anakku, aku bersedia bersujud di depannya meminta maaf dan ampunan serta memohon ia agar kembali. Sudahi rasa sakit ini, Tuhan. Aku sungguh tidak sanggup lagi. *** Livia turun dari sedan merah menyala miliknya kemudian menggendong Kirana yang terlelap di kursi kemudi. Semalam ia mengajak Kirana menginap di butik yang salah satu ruangannya telah dirubah menjadi kamar sederhana untuk tempat beristirahat. Mereka terpaksa menginap di sana berhubung banyaknya pesanan yang masuk belakangan ini hingga para karyawan keteteran mengerjakan orderan. Sementara Livia menghandle beberapa desain yang siap diluncurkan dalam beberapa waktu kedepan di ajang fashion show besar di kota Jakarta. Ia membuka pelan pintu depan yang ternyata tidak dikunci. Keningnya mengerinyit heran. Tidak biasanya hari Minggu sang suami ada di rumah. Laki-laki itu ketika libur suka kelayapan entah kemana dan pulang menjelang tengah malam seperti biasanya. Livia menidurkan Kirana di kamarnya lalu mengusap-usap kepalanya pelan dan menyelimuti bocah itu. Kemudian ia beranjak menuju kamarnya dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia lalu melangkah pelan ke arah kamar Andra yang pintunya setengah terbuka. Livia mendorong pelan pintu tersebut dengan rasa penasaran yang membuncah. Matanya menangkap sepasang stiletto berwarna merah menyala yang berserakan di lantai. Jantungnya berdegub kencang. Dan ketika disana ia melihat sang suami tengah berciuman penuh gairah dengan seorang perempuan yang tengah terduduk di pahanya, ia memekik pilu. Livia melarikan langkahnya menuju kamarnya sendiri dan menutupnya dengan debuman keras. Tubuhnya jatuh dan luruh. Ia menangis, meraung memukul-mukul lantai dengan hati hancur berserakan. Semua rasa yang ia tahan berkumpul menjadi tangis yang memilukan. Hatinya hancur, sungguh sangat hancur. Pikirannya melayang pada Fara yang entah dimana. Seketika ia sadar dengan semua dosa yang telah ia lakukan. Semua perkataan Fara yang menyakiti hatinya selama ini ternyata belum ada apa-apanya dibanding perbuatannya yang menyebabkan Fara memilih pergi. Livia luluh lantak. Ia meratap pilu. "Maafkan aku, Mbak! Ternyata begini rasanya dikhianati!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD