Chapter 01
03 Juni 2018
Seorang gadis duduk termenung di balkon kamar dengan tatapan kosongnya. Ia sudah pernah melihat balkon ini namun baru kali ini ia berdiri di balkon tersebut, balkon serta kamar yang akan ia lihat dan tempati setiap harinya.
Tanggal dan hari ini akan terus diingat olehnya. Tanggal dan hari juga yang membuat hidup dan statusnya sudah berubah menjadi seorang wanita dan seorang istri dari laki-laki yang ia benci. Di mana semuanya terjadi tanpa keinginannya, membuat orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi kecewa dengan semua ini.
Hebatnya laki-laki itu, di awal membuatnya benar-benar menyukai bahkan mencintai laki-laki tersebut, kini pada akhirnya ia harus membenci bahkan tidak bisa menerima laki-laki yang sudah menjadi suaminya akibat skandal yang tidak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun.
Rara, perempuan itu sudah 2 jam lamanya berada di balkon kamar tanpa berniat masuk menghangatkan tubuhnya yang sudah mulai kedinginan akibat suhu udara yang kian menurun karena semakin larut nya malam.
Rara menundukkan wajahnya untuk menatap gaun putih yang masih ia pakai. Rara meremas gaun itu lalu terduduk lemas sambil menangis.
"Ra," panggil seseorang.
Rara berhenti menangis dan langsung menghapus air matanya.
"Gue, Nathan." Rara menghela napas lalu berbalik dan mendapati seorang laki-laki dengan setelan jas nya.
Rara memperhatikan tangan Nathan untuk memastikan apakah itu Nathan atau bukan. Rara memperhatikan jemari Nathan, tidak ada cincin di sana. Penampilan Nathan juga sangat berbeda dari laki-laki yang sudah menghancurkan masa depannya.
"Mau apa lo?" Tanya Rara dingin dengan tatapan lurus ke depan.
Nathan berjalan mendekati Rara, ia berdiri di pembatas balkon ikut menatap lurus ke depan.
"Gue tau lo belum bisa nerima ini semua." Kata Nathan.
"Gue juga tau kalo ini semua terjadi karena kesalahan Abang gue, Ardhan."
Nathan diam sejenak.
"Sampe kapan lo belum bisa nerima Ardhan? Lo terus-terusan bikin dia dihantui rasa bersalah."
"Itu gak sebanding sama apa yang gue rasain, Nat. Gue rusak, gue udah bikin orang-orang kecewa akibat perbuatan Abang lo. Gue udah bilang sama dia gue gak butuh tanggung jawab dia, tapi akhirnya dia sendiri yang nawarin diri mau tanggung jawab!" Ucap Rara sedikit menggebu-gebu.
"Malah gue yakin kalo dia sengaja ngelakuin ini, sengaja bikin gue rusak biar gue terus sama dia." Lanjut Rara dengan suara yang pelan.
Mendengar itu, Nathan langsung menggelengkan kepala berbalik menghadap wanita itu.
"Gue gak ngerti lagi kenapa lo bisa berpikir kayak gitu. Berpikir kalo Ardhan ngerusak lo dengan sengaja. Sekarang lo pikir, Ardhan bisa ngelakuin itu karna apa? Karna siapa? Dalam kata lain lo juga bikin Ardhan rusak, Ra! Lo udah buat dia terlanjur cinta sama lo, tapi tiba-tiba aja lo mutusin dia karna laki-laki lain. Lo nyakitin Ardhan, lo udah bawa dia terbang tinggi tapi lo jatuhin gitu aja!" Kata Nathan.
Rara menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya sambil menangis.
"Seharusnya lo bersyukur orang yang pernah lo sayang ada di deket lo, gue yakin suatu saat nanti lo bisa nerima Ardhan. Jangan tutup kedua mata lo untuk Ardhan, jangan tutup hati lo buat Ardhan kalo lo gak pengen ngerasain gimana rasanya kehilangan."
Rara diam dengan tangis yang sudah agak reda.
"Gue udah ngerasain, Ra. Ngerasain gimana rasanya kehilangan orang yang gue sayang, gue di tinggalin selamanya, sampe sekarang gue belum bisa ikhlas. Gue gak mau lo ngerasain hal yang sama kayak gue."
Nathan menjauhkan dirinya dari pembatas balkon, berdiri di dekat pintu masuk ke kamar.
"He will still love you even though you don't love him anymore." Ucap Nathan sebelum ia pergi meninggalkan Rara.
"Fany bobok sini?" Tanya gadis bersuara childish sembari memperhatikan tempat asing itu.
"Iya bobok di sini. Mau kan?"
"Fany kan punya lumah, kenapa halus bobok di sini?" Tanyanya lagi.
"Fany sekarang udah mulai banyak tanya, ya. Bawel." Katanya sambil terkekeh.
Ardhan mendudukkan tubuh mungil Fany di sofa, mereka berdua duduk berhadapan.
"Mulai sekarang ini juga rumah Fany, Fany bobok nya di sini." Ucap Ardhan.
Fany diam tampak berpikir.
"Kak Ala?" Tanya Fany.
"Bobok di sini juga. Ini rumah aku, tempat ini punya aku, punya kalian juga." Jawab Ardhan sambil tersenyum.
Fany diam memperhatikan sekelilingnya.
Pandangan mereka berdua berpaling ke arah perempuan yang baru saja keluar dari kamar. Mereka saling tatap.
Ardhan menghela napas ketika Rara kembali masuk ke dalam kamar.
"Fany mau mamam lagi?" Tanya Ardhan. Fany menggeleng menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Ya udah aku anter ke kamar ya. Fany bobok nya sama kak Rara." Fany menatap dan menunjuk Ardhan.
Ardhan yang mengerti maksud Fany tertawa kecil heran dengan gadis kecil itu masih suka irit ngomong dan malu kepada dirinya.
"Aku bobok nya di kamar lain, Fany bobok nya di situ sama kak Rara." Ucap Ardhan seraya menunjuk kamar di mana Rara sempat keluar dari kamar itu tadi.
Ardhan menggendong Fany, sebelum mengetuk pintu kamar Ardhan menghela napas.
Rara mengikat asal rambutnya untuk membuka pintu kamar, ia tahu siapa yang mengetuk dan apa tujuan orang itu mengetuk pintu kamarnya.
Setelah terbuka, Rara langsung mengambil Fany dari gendongan Ardhan dan menutup pintu dengan cukup kuat.
Ardhan memejamkan mata melihat sikap Rara barusan. Sepertinya ia harus terbiasa dengan suasana dan sikap dingin Rara kepadanya.
Ardhan menepuk bahu saudara kembarnya yang sedang memegang koper.
"Good luck, bro!" Kata Ardhan. Nathan mengacungkan jempolnya memeluk Ardhan sebelum ia pergi.
"Got it for me."
Nathan mengangguk, "I will not disappoint you."
Mereka berpelukan sebelum akhirnya mereka benar-benar berpisah. Membiarkan Nathan mengejar impiannya, bukan impian Nathan, impiannya, impian Ardhan.
"Gue udah bersih, lo tenang aja. Titip salam buat Rara sama Fany, banyak-banyak sabar aja, lo pasti bisa." Kata Nathan. Ardhan terkekeh sambil mengangguk.
Nathan menatap ketiga teman-temannya yang sedang berekspresi sedih, entah memang karena murni merasakan sedih atau hanya sekedar settingan saja, entahlah. Intinya Nathan juga berat meninggalkan mereka.
"Kalo lo gak jadi, gue yang bakal gorok lo." Kata Adit. Nathan terkekeh memukul d**a laki-laki itu.
"Tenang aja, ntar pulang-pulang lo semua bakal muja-muja gue."
"Iye serah. Udah sono." Ucap Rio mendorong tubuh Nathan agar segera masuk ke pintu keberangkatan.
Setelah berpamitan kepada orangtua dan juga teman-temannya, Nathan pun pergi meninggalkan mereka dan juga meninggalkan negaranya.
Arkan merangkul Nathan untuk mengantarkan anaknya pergi ke negara yang pernah mendidiknya hingga menjadi seperti ini.
"Lo udah ngorbanin cita-cita lo demi Rara, Ar." Kata Adit.
Ardhan menanggapi nya dengan santai karena ia sedang menyetir.
"Toh, gue juga udah punya pekerjaan lain. Lagian Nathan juga mau-mau aja, sekalian dia pengen ngelupain semuanya. Cari kehidupan baru." Balas Ardhan.
"Iya sih, tapi kan lo pengennya pilot, malah ujung-ujungnya jadi pengusaha."
"Not bad, I love it! Ngeliat Nathan aja nanti gue udah seneng, gak harus gue yang jadi pilot."
"Iya sih lo udah tanggung jawab, tapi kan gak gini juga." Ucap Nino.
Ardhan menghela napas.
"Gue gak mungkin ninggalin Rara, lo semua tau kan apa yang gue maksud."
"To alert if she was pregnant in the near future." Kata Adit pelan namun dapat di dengar oleh mereka.
Ardhan diam. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi karena memang semuanya sudah tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang harus ia hadapi.
Di pagi hari, Rara sudah dibuat sibuk di dapur. Ini bukanlah yang pertama kalinya ia berada di dapur namun ini adalah yang pertama kalinya ia berada di dapur yang masih sangat asing baginya. Meskipun tidak ingin melihat Ardhan, Rara tidak ingin menelantarkan laki-laki itu dengan tidak memasak makanan.
Fany duduk di meja makan sambil memainkan garpu dan sendok. Pagi ini Rara hanya membuat nasi goreng, sarapan pagi yang umum di masak oleh ibu-ibu rumah tangga. Ibu-ibu rumah tangga?
"Fany udah laper, ya?" Tanya Rara sambil menaruh nasi goreng yang sudah ia buat di piring kosong milik Fany.
Fany diam dengan tatapan entah kemana. Rara mengikuti arah tatapan Fany. Masih hitungan detik Rara menatap objek yang sama dengan Fany, wanita itu langsung menatap nasi gorengnya, menaruh di piring kosong lainnya.
Ardhan berjalan menuju dapur seraya memegang ponsel dan menaruh jas navy blue nya di tangan. Penampilan Ardhan membuat siapapun tidak bisa kedip, kecuali Rara. Rambut di sisir rapi kebelakang, aroma tubuh yang memabukkan, kemeja polos berwarna putih terlihat pas di tubuh Ardhan, jam tangan Rolex melingkar di pergelangan tangannya menambah kesan dewasa pada laki-laki itu. Benar-benar menawan dan menggoda! Sangat jauh berbeda dengan penampilan Rara yang hanya menggunakan piyama dengan lengan serta celana yang panjang bermotif kepala Minnie mouse serta rambut yang di ikat asal bahkan sedikit berantakan.
Setelah menaruh nasi goreng di piring Ardhan, Rara membereskan dapur, memberikan s**u kepada Fany dan juga dirinya. Di dalam hati Ardhan tersenyum senang melihat perlakuan Rara yang tidak membeda-bedakan antara dirinya dan Fany. Hanya sikap Rara saja lah yang sangat jauh berbeda, saat bersama gadis kecil itu Rara terlihat sangat baik, sedangkan sikap Rara kepada dirinya sangat dingin, dan Ardhan pun memaklumi nya.
"Kamu gak ikut makan?" Tanya Ardhan saat Rara ingin pergi dari dapur.
Rara menjawab pertanyaan Ardhan hanya dengan menggeleng sambil pergi dari dapur.
Ardhan menatap Fany yang sedang menatapnya. Ardhan tersenyum sembari mengelus kepala Fany lalu menyuruh gadis kecil itu makan, begitu juga dengan dirinya.
Rara duduk sendirian di sofa seraya membaca majalah, ketika mendengar suara gelak tawa adiknya tidak sedikitpun Rara menoleh ke belakangnya di mana Fany tertawa bersama Ardhan. Sebenarnya Rara ingin berada di kamar saja, tapi ia berpikir tidak baik terus-terusan murung berdiam diri, percuma saja semuanya sudah terjadi. Rara tidak tahu apakah semuanya bisa kembali seperti dulu atau tidak.
"Jangan nakal, ya. Di rumah aja oke?"
"Oke!" Balas Fany dengan semangat. Ardhan bersyukur dengan adanya Fany, setidaknya gadis kecil itu bisa mengobati rasa pilu nya dan menjadi teman bicaranya selama Rara terus bersikap dingin kepadanya.
Ardhan menggendong Fany membawa gadis itu di dekat Rara. Mendudukkan Fany di samping Rara, Rara hanya diam tanpa mengalihkan matanya dari majalah.
Rara mendekap tubuh Fany menggunakan satu tangannya, sementara Ardhan belum pergi karena laki-laki itu sedang menerima telepon.
Ardhan memasukkan ponselnya ke saku celana bahannya yang berwarna senada dengan jas yang sudah ia kenakan.
Ardhan menatap Rara yang masih fokus membaca majalah. Ia ingin pergi, sempat ragu apakah harus berpamitan atau tidak, pasalnya ini adalah yang pertama kalinya ia akan berpamitan dengan Rara. Berpamitan kepada wanita yang sudah menjadi istrinya.
"Aku pergi, ya." Pamit Ardhan mengusap puncak kepala Rara lalu pergi keluar dari apartemen.