Chapter 02

1791 Words
"Selamat pagi, Pak. Hari ini kita ada meeting dengan salah satu klien dari Malaysia. Meeting di mulai jam 10 nanti." Kata sekretaris Ardhan sambil berjalan karena ia harus menyamakan langkahnya dengan Ardhan yang juga berjalan menuju ruangan kerjanya. "Setelah itu?" Tanya Ardhan sudah duduk di bangku kebesarannya. "Setelah meeting kita ada lunch bersama Pak Haryanto. Setelah lunch bapak harus memeriksa dokumen yang Ibu berikan, dokumen nya sudah ada di meja bapak." Ardhan melirik map berwarna hijau yang ada di dekat laptopnya. "Baik, terima kasih kamu bisa keluar sekarang." Kata Ardhan mulai membuka laptopnya dan sekretaris tersebut pun keluar dari ruangannya. Kuping Ardhan terasa sangat tidak nyaman dengan panggilan nya di kantor, Ardhan sudah protes namun tetap saja bawahannya selalu memanggil dengan panggilan yang tidak sesuai dengan umurnya. Ditambah lagi Ibunya menyarankan panggilan itu untuk Ardhan. Ardhan membuka laptop bukan untuk mengerjakan pekerjaannya, ia hanya ingin memantau Rara dan Fany melalui CCTV yang terhubung ke laptopnya. Ardhan memperhatikan Rara yang sedang memberi makan Fany, mereka bercerita bahkan tertawa bersama. Ardhan tersenyum kecil saat melihat Rara tertawa lepas, andai wanita itu tertawa karenanya, pikir Ardhan. Pandangan Ardhan beralih ke arah wanita cantik yang sedang berjalan mendekatinya. "Kamu ngapain?" Ardhan menggeleng, "ya mau kerja, Mi." "Jangan main-main ya kalo gak mau turun jabatan." Ardhan menghela napas karena ia sudah mendengar kalimat itu berkali-kali. "Iya, Mami." Nesya duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. "Gimana Rara?" "Ya gitu." "Gitu gimana? Dia ngurusin kamu dengan baik gak? Atau mungkin gak diurusin?" Ardhan menatap Nesya. "Mami kok gitu ngomongnya?" Tanya Ardhan sedikit merasa tidak enak dengan ucapan Ibunya. "Emang kenapa? Kalian aja nikah karna terpaksa, Mami bisa liat kalo Rara gak nyaman." Nesya melirik Ardhan. "Semuanya butuh waktu, Mi." "Butuh kesabaran juga." Ardhan memilih diam. "Udah isi?" Tanya Nesya membuat Ardhan kembali menoleh. Nesya menaikkan sebelah alisnya meminta jawaban dari Ardhan. "Nikah juga baru kemaren." Jawab Ardhan. "Ngelakuin nya kan udah lama." Ardhan benar-benar merasa tersindir oleh ucapan Ibunya yang kian hari kian tajam setelah terjadinya skandal itu. "Mami gak suka sama Rara? Atau udah bener-bener kecewa banget sama Ardhan?" "Mami gak ada bilang kalo Mami gak suka sama Rara, malah waktu kalian pacaran Mami dukung kalian. Soal kecewa sama kamu, iya masih." Ardhan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi menopang pipinya menggunakan jemari nya sambil menatap Nesya yang sudah berdiri di hadapannya. "Rasa kecewa Mami terbayarkan kalo kamu bisa ngejalanin tugas-tugas kamu di kantor dengan baik. Mami tau gak seharusnya Mami kasih kamu jabatan ini karna kamu gak punya pengetahuan dan pengalaman soal mengelola perusahaan. Tunjukkin ke Mami kalo kamu bisa, peran kamu sangat penting di perusahaan ini, kamu bisa belajar sama Pak Kusuma. Kalo ada yang gak ngerti tanya dia." Jelas Nesya. Ardhan mengangguk sambil tersenyum kecil. Nesya mengelus tangan Ardhan lalu keluar dari ruangan itu. Ardhan menjauhkan tubuhnya dari sandaran kursi untuk mengambil papan nama yang ada di hadapannya. Ia memperhatikan tulisan yang ada di papan itu. Ardhan Adelard Chief Executive Officer Ardhan membuka pintu apartemen memperhatikan sekelilingnya, kosong. Ardhan pergi ke kamarnya untuk mandi karena ia harus melanjutkan pekerjaannya, jika sebelumnya setiap malam Ardhan tenang-tenang saja bahkan dapat keluar rumah kini Ardhan hanya bisa berkutat di depan laptop, mengerjakan tugasnya hingga larut malam. Ardhan pergi ke dapur bukan untuk makan, melainkan ingin minum. Ardhan membuka tudung saji yang berisikan makanan, sepertinya Rara memasak makan malam. Pikiran negatif mulai memenuhi pikirannya, takut jika Rara pergi dari apartemen dan meninggalkannya. Untuk memastikan apakah dugaannya benar atau tidak Ardhan pun pergi ke kamar Rara. Ketika sudah berdiri di depan pintu kamar Rara, Ardhan diam sejenak. Ia tidak dapat mendengar suara apapun dari dalam kamar itu, tidak mendengar suara Fany sedikitpun. Tok..tok... Ardhan mengetuk pintu berkali-kali berharap pintu itu segera terbuka. "Ra," panggil Ardhan. Tidak ada jawaban. Tok..tok... Ardhan kembali mengetuk pintu dan hasilnya sama saja pintu itu tidak terbuka. Saat tangan ingin kembali mengetuk pintu, ia mendengar suara pintu apartemen terbuka. Ardhan bernapas lega ketika ia dapat mendengar suara Fany. Ardhan tersenyum melihat Fany berlari ke arah nya. "Fany dari mana?" Tanya Ardhan membawa Fany ke gendongan nya. "Pelgi." Balas Fany. Ardhan menatap Rara. "Kalian dari mana?" Tanya Ardhan kepada Rara. "Kan udah di jawab sama Fany." Balas Rara datar masuk ke dalam kamar. Ardhan memperhatikan Rara yang sudah masuk ke kamar lalu balik memperhatikan Fany. "Fany udah mamam?" "Udah, sama kak Ala." Ardhan mengangguk membawa Fany ke ruang kerjanya. Ardhan menaruh Fany di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. Memberikan Fany buku tulis dan pulpen agar gadis kecil itu tidak merasa bosan. Sedangkan Ardhan sudah mulai berkutat di depan laptop dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah selesai dengan tugasnya Ardhan melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Fany masih kuat melek sambil terus menulis dan mencoret-coret buku yang ia berikan. Bahkan gadis kecil itu masih bisa bersenandung kecil yang Ardhan tidak mengerti apa yang dinyanyikan oleh Fany. Ardhan duduk di samping Fany untuk melihat apa yang ditulis gadis kecil itu. Ardhan terbelalak melihat Fany menulis angka dan huruf-huruf dengan kategori yang cukup rapi untuk anak seusianya. Ardhan mengambil buku itu memperhatikan tulisan tangan Fany dengan jarak yang lebih dekat. "Waah, Fany hebat udah bisa nulis 1 sampe 10. Nulis a-b-c-d nya rapi banget." Ucap Ardhan masih memperhatikan tulisan Fany. "Di ajalin kak Ala." Kata Fany sebelum Ardhan bertanya siapa yang mengajarinya menulis. Ardhan menaruh buku itu membawa Fany ke pangkuannya. "Fany mau sekolah? Biar lebih pinter lagi." Fany diam. "Mau gak? Ntar bisa ketemu sama temen-temen baru, sama orang-orang baru. Mau?" "Sekolah?" Ulang Fany. Ardhan langsung mengangguk. Fany diam sejenak lalu mengangguk. Ardhan tersenyum mengelus kepala Fany. "Besok kita bilang sama kak Rara ya kalo Fany mau sekolah. Sekarang kita tidur." Ucap Ardhan membawa Fany keluar dari ruang kerjanya. Pagi hari, Ardhan duduk diam di meja makan. Di dapur ada dirinya, Rara dan juga Fany. Ardhan dan Rara terus saling diam, bukan karena Ardhan tidak ingin mengajak bicara, hanya saja ia tidak ingin membuat mood Rara semakin hancur akibat berbicara dengannya. Jadilah ia hanya mengobrol dengan Fany atau Fany dengan Rara. Sungguh Ardhan sangat membenci suasana seperti ini, mereka benar-benar menjadi orang asing sekarang. Ardhan menatap Rara saat ia mengingat pembicaraan nya dengan Fany mengenai sekolah. "Ra," panggil Ardhan sambil menatap punggung Rara karena wanita itu sedang masak membelakanginya. "Fany mau sekolah." Lanjut Ardhan. Rara berbalik, berbalik menatap Fany bukan Ardhan. Yang ngomong kan gue. "Fany mau sekolah?" Tanya Rara kepada Fany. "Mau." Jawab Fany antusias. "Yakin mau sekolah?" Tanya Rara lagi. Ardhan diam mendengarkan pembicaraan kedua perempuan itu. Fany mengangguk dengan cepat. Rara memperhatikan Fany sejenak sebelum ia kembali memasak. "Ya udah kalo emang mau sekolah." Kata Rara membuat Fany menoleh ke arah Ardhan. "Nanti kita cari ya sekolahnya." Ucap Ardhan mengelus kepala Fany yang dibalas anggukan olehnya. "Kalo gitu ntar Fany aku bawa ya?" Rara mengangguk kecil menyodorkan sarapan yang ia buat ke hadapan Fany dan Ardhan. Mata Ardhan tertuju kepada dua objek berbeda yang ada di hadapannya. Fany dan beberapa orang anak-anak masuk ke sebuah gedung ditemani oleh orangtua mereka. Fany setengah berdiri di dalam mobil, ia memperhatikan teman-teman seusianya melalu kaca mobil dengan seat belt yang masih berada di tubuhnya. Cukup lama memperhatikan, tubuh Fany merosot duduk seraya menatap Ardhan. "Mau kan sekolah?" Tanya Ardhan. Fany menggeleng dengan raut wajah yang sedih. "Lho kenapa? Tadi katanya mau." Fany duduk bersandar menghadap Ardhan dan menggeleng. "Meleka ada Mama ada Papa, Fany gak ada." Adu Fany dengan mata yang sudah memerah. Ardhan melepas seat belt Fany membawa gadis kecil itu ke pangkuannya lalu menghapus air mata Fany yang sudah jatuh di pipi chubby nya. "Kata siapa Fany gak punya Mama sama Papa. Fany punya kok." Ucap Ardhan memberi ketenangan. Fany menggeleng menutup wajahnya menggunakan kedua tangan mungilnya sambil terisak. Ia menyandarkan kepalanya di d**a bidang Ardhan. "Sssttt, jangan nangis." Bisik Ardhan menjauhkan tangan Fany dari wajah imut gadis itu. "Aku juga Papa nya Fany kok, mulai dari sekarang aku bakal jadi Papa Fany." Kata Ardhan sembari menghapus air mata Fany. Fany menatap Ardhan dengan mata bulatnya. "Mama Fany siapa?" Tanya Fany sesenggukan. "Kak Ala dong." Jawab Ardhan menyentuh ujung hidung Fany. "Papah Fany." Tunjuk Fany kepada Ardhan. Ardhan langsung mengangguk dan tersenyum. "Mulai dari sekarang aku Papa Fany. Jangan nangis lagi ya." Fany mengangguk. "Panggil Papa boleh?" Tanya Fany. "Boleh sekaliii!" Balas Ardhan memeluk Fany lalu keluar dari mobil. "Kita liat-liat dulu ya sekolahnya. Fany jadi kan sekolahnya?" "Jadi kok." Ardhan tertawa kecil melihat kepolosan Fany. Ketika Ardhan sudah berada di sekolah yang didominasi oleh anak-anak kecil seusia Fany, para ibu-ibu yang sedang mengantarkan anaknya langsung menatap Ardhan. Ardhan berjalan menyusuri gedung itu dengan kemeja berwarna hitam dengan lengan yang di gulung sampai ke siku, kancing bagian atas sengaja dibiarkan terbuka, penampilan khas pria dewasa menarik perhatian yang ada di sekolah itu, terutama kaum hawa. "Ada yang bisa saya bantu, pak?" Ardhan menatap perempuan dengan postur tubuh tinggi, kulit yang putih sedang tersenyum manis kepadanya. "Oh iya, saya mau daftarin anak saya di sini. Bisa?" Tanya Ardhan. Perempuan itu langsung mengangguk. "Bisa, mari saya antar ke kantor." Katanya tak pernah menghilangkan senyum di bibirnya. Ardhan duduk bersama Fany di kursi yang sudah disediakan untuk mereka. "Silahkan di isi ya, pak." Ucap perempuan yang mengantarkan Ardhan serta Fany ke kantor. Ardhan mengangguk mengambil kertas yang diberikan kepadanya lalu mulai mengisi formulir pendaftaran untuk Fany. "Kamu mau?" Tawar perempuan itu memberikan permen untuk Fany. Fany pun mengambil permennya dengan malu-malu. "Bilang apa." Kata Ardhan dengan suara yang lembut. "Makasih." Ucap Fany membuat perempuan tadi tersenyum gemas. Cute banget, kali aja duda. Batin perempuan itu dengan tatapan tak pernah lepas dari wajah tampan Ardhan. "Bapak bisa mengambil buku, seragam, serta perlengkapan Fany di depan ya pak." Katanya tersadar dari rasa kagumnya ketika Ardhan memanggil-manggilnya. "Administrasi nya juga di sana?" Tanya Ardhan membantu Fany turun dari kursi. "Iya pak, mari saya antar lagi." Setelah selesai mengurus soal sekolah Fany, Ardhan kembali ke kantor dengan membawa Fany. Hal ini juga yang pertama kalinya Ardhan lakukan, membawa anak kecil ke kantornya sehingga membuat karyawan-karyawan nya menatapnya dan juga Fany. Ardhan membawa Fany duduk di sofa yang ada di dekat meja kerjanya, mengambil laptop dari lemari yang ada di ruangan itu dan memberikan tontonan kartun untuk Fany agar anak itu tidak merasa bosan, serta tak lupa dengan cemilan. Setelah memastikan jika Fany tidak akan rewel, Ardhan mulai mengerjakan pekerjaannya memeriksa berbagai dokumen dan mempelajarinya. Saat sedang melihat-lihat dokumen Ardhan teringat Rara di apartemen. Ia pun menghidupkan laptopnya untuk melihat Rara melalui CCTV. Ardhan mengerutkan dahi ketika Rara melangkahkan kaki menuju pintu apartemen, seorang laki-laki tampan seumuran dirinya masuk ke apartemen. Mata Ardhan terbelalak lebar melihat Rara dan laki-laki itu saling berpelukan, berpelukan dengan cukup lama. Ardhan langsung menutup laptopnya memakai jas nya, Fany terheran-heran ketika Ardhan mematikan tontonan kartunya dan membawanya pergi dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD