Ardhan memperhatikan dua orang yang sedang berpelukan dihadapannya, Rara menangis sedangkan laki-laki itu berusaha menenangkan Rara dengan cara mengelus punggung serta kepala Rara.
"Permisi," Rara membuka kedua matanya yang sedang terpejam. Melihat kehadiran Ardhan perlahan Rara menjauhkan tubuhnya dari laki-laki itu.
"Aku ganggu?" Tanya Ardhan.
"Jadi lo Ardhan?" Tanya laki-laki yang masih merengkuh tubuh Rara, ekspresi laki-laki itu tampak seperti sedang menahan amarah.
Ardhan mengangguk.
Rara menahan tangan laki-laki tersebut saat hendak berdiri mendekati Ardhan.
"Kamu tenang aja." Katanya lembut mengelus pipi Rara.
Ardhan mengatupkan rahangnya melihat adegan keduanya.
"Mau lo yang keluar, atau gue?" Tanya Ardhan kepada laki-laki bertubuh tegap itu.
"Keep calm, dude. I will not hurt your wife, enough you who hurt her."
Ardhan menatap Rara yang masih duduk tanpa berniat membalas tatapannya. Ardhan memperhatikan Fany yang sedang menatap kepergian laki-laki itu, Ardhan membawa Fany ke kamar karena ia ingin berbicara dengan Rara. Ardhan yakin jika pembicaraan nya dengan Rara akan menimbulkan sedikit pertengkaran, tidak enak jika harus dilihat oleh Fany jadi Ardhan membawa anak itu ke kamar.
"Siapa dia?" Tanya Ardhan setelah ia mengantarkan Fany ke kamar.
Rara diam.
"Ra, siapa dia?" Ulang Ardhan.
Rara menatap Ardhan dengan tatapan tak suka, "mau siapa dia bukan urusan lo!"
Ardhan menelan ludahnya dengan terpaksa. Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan.
"Kenapa tadi kalian peluk-pelukkan?" Tanya Ardhan dengan nada suara yang masih normal.
"Udah gue bilang bukan urusan lo!"
"Jelas urusan aku karna aku-"
"Suami?" Potong Rara.
"Gue gak nganggap lo kayak gitu." Lanjut Rara tertawa getir.
Kedua rahang Ardhan terkatup semakin ketat.
"Aku tau kamu gak suka sama aku, aku tau kamu gak akan pernah maafin aku. Tapi, apa salahnya kita coba untuk memperbaiki semuanya? Memperbaiki hubungan kita lagi." Kata Ardhan pelan namun penuh penekanan.
Rara membuang muka menghapus air matanya yang sudah kembali jatuh. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia menangis akhir-akhir ini.
Ardhan diam sejenak memberikan kesempatan Rara untuk berbicara, namun sepertinya tidak ada yang ingin disampaikan oleh wanita itu.
Ardhan menghela napas berat lalu pergi keluar apartemen dengan perasaan yang amat sakit.
Ardhan duduk menyadarkan tubuhnya di kursi dengan mata yang terpejam. Ardhan membuka kedua matanya untuk melihat jam dan sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Ardhan berada di kantornya sekarang, sudah sejak 5 jam yang lalu. Keadaan kantor sudah sepi tapi Ardhan masih berada di kantor, belum waktunya ia ingin pulang. Ardhan masih ingin menenangkan diri setelah pertengkarannya dengan Rara.
Seorang gadis kecil duduk sendirian di ruang tamu dengan mata yang terus tertuju ke arah pintu masuk apartment. Fany menunggu Ardhan pulang namun laki-laki itu tidak pulang-pulang juga.
"Fany, yuk tidur." Ajak Rara.
Fany menggeleng.
"Papa." Rara mengerutkan dahi.
"Papa? Papa siapa?" Tanya Rara bingung.
"Papaah!!" Rengek Fany menggoyangkan kakinya yang menggantung.
Rara menghela napas saat ia berhasil mengerti maksud dari Fany.
"Kita tidur aja, yuk."
Fany kembali menggeleng.
"Telfon Papa!" Pinta Fany.
Rara menggeleng, "nanti juga pulang."
Rara menggendong paksa Fany membawa anak itu ke kamar, tindakan Rara malah membuat Fany menangis sejadi-jadinya.
"Fany gak ada Papa!" Ucap Rara sedikit meninggikan suaranya.
Fany masih menangis, kali ini ia menangis di tempat tidur.
"Papa!" Rengek Fany sambil sesenggukan.
"Gak ada Papa! Kamu gak punya Papa! Sekarang tidur!" Fany menggeleng terus menangis.
"Fany tidur!" Ucap Rara dengan tegas.
"Gak ma-mau!" Kata Fany sesenggukan.
"Jadi maunya apa??"
"Papah!"
"Fany," Fany langsung berhenti menangis dan menatap sosok yang sedang dicari-cari sedari tadi.
Ardhan berdiri di ambang pintu kamar tersenyum ke arah Fany. Fany langsung turun dari tempat tidur berlari memeluk Ardhan.
"Kok malah nangis?" Ardhan menghapus air mata Fany, ia menatap Rara sejenak lalu pergi membawa Fany ke kamarnya.
Ardhan menatap gadis kecil yang sudah tertidur di tempat tidurnya dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah. Ardhan tidak menyangka jika Fany bisa sampai seperti ini hanya karena tidak mendapati dirinya di rumah.
Ardhan keluar dari kamar untuk mengambil minum, bukan untuknya melainkan untuk Fany. Berjaga-jaga jika gadis itu terbangun, Fany cukup sering terbangun di tengah malam hanya karena ingin minum. Jadi Ardhan menyiapkan nya terlebih dahulu sebelum Fany terbangun nanti.
Ardhan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dapur ketika melihat keberadaan Rara di dapur yang sedang minum.
Tatapan mereka saling bertemu.
Rara langsung menatap ke arah lain sementara Ardhan masih menatap wanita itu.
"Fany tidur sama aku." Kata Ardhan.
Rara mengangguk.
"Besok juga Fany udah masuk sekolah. Besok aku kasih seragam sama perlengkapan sekolah Fany."
Rara mengangguk lagi.
Setelah itu Rara keluar dari dapur, pergi melewati Ardhan begitu saja. Sebenarnya Ardhan masih sangat penasaran dengan laki-laki yang berpelukan dengan Rara tadi, mereka terlihat sangat dekat. Tapi Ardhan lebih memilih diam tidak ingin berdebat lagi dengan Rara, ia tidak mau membuat Rara semakin membencinya. Jadi Ardhan lebih memilih diam, jika dengan diam bisa membuat semuanya akan baik-baik saja.
Ardhan berdiri di depan cermin sambil membetulkan dasinya. Pandangan Ardhan beralih ke arah gadis kecil yang dengan cerianya masuk ke kamarnya dengan sudah memakai seragam sekolah model tutu dress berwarna navy blue berlengan panjang dan terdapat dasi kupu-kupu berwarna merah di bagian leher seragam itu. Rambut Fany yang dibiarkan tergerai sebahu dengan poni lebat sebatas alis menambah keimutan di wajah Fany.
Ardhan membungkukkan tubuh agar wajahnya sejajar dengan wajah Fany.
"How cute you are." Kata Ardhan mengelus pipi Fany.
Fany tersenyum malu hingga kedua matanya menyipit.
"Udah siap pergi ke sekolah?" Tanya Ardhan.
"Siap!" Balas Fany dengan semangat.
Ardhan menggenggam tangan Fany keluar dari kamarnya.
"Fan-" Rara menatap Ardhan yang sudah berdiri di hadapannya sambil menggenggam tangan Fany.
Rara memasukkan kotak bekal untuk Fany ke dalam tas ransel berwarna pink dengan gambar unicorn dibelakangnya. Tidak perlu bertanya lagi dari mana datangnya tas itu, pasti jawabannya dari Ardhan.
Rara memakaikan Fany tas dan merapikan rambut serta poni gadis kecil itu.
"Bekal Fany udah kakak ta-"
"Mama, kak Ala jadi Mama Fany." Kata Fany. Rara diam sejenak lalu mengangguk.
"Iya, Mama. Bekal Fany udah Mama taruh di tas, ntar di makan." Fany mengangguk mencium punggung tangan Rara lalu menggandeng tangan Ardhan.
"Aku sama Fany pergi." Pamit Ardhan, Rara mengangguk masih berada di ruang tamu memperhatikan kedua orang itu keluar dari apartemen.
Rara membolak-balik buku berukuran kecil berwarna krem yang ia temukan di tas Fany. Ia pun membuka buku itu untuk melihat apa yang isi dari buku tersebut.
Mata Rara membulat sempurna setelah mengetahui isi dari buku itu.
"SPP 6 juta per-tiga bulan. Dimasukin ke seolah mana ini." Gumam Rara masih terkejut dengan apa yang ia ketahui barusan.
Setelah puas membaca dan melihat buku itu Rara pun menyimpannya di laci kamarnya. Kembali menuju ruang tamu untuk menjalankan tugasnya membereskan apartemen sendirian karena memang mereka tidak memiliki ART.
Ketika Rara hendak menyapu, tiba-tiba saja kepala nya terasa pusing dan badannya langsung lemas. Rara pun memilih untuk duduk sebentar beristirahat. Ia bingung sendiri kenapa bisa seperti ini sedangkan biasanya tidak pernah. Mau sesibuk dan secapek apapun Rara tidak pernah sedikitpun ia jatuh tumbang. Tapi sekarang rasanya Rara benar-benar tidak berdaya, kepalanya semakin terasa pusing.
20 menit beristirahat, Rara kembali melanjutkan pekerjaannya. Belum sampai 5 menit berdiri Rara kembali lemas sambil memegang perutnya yang terasa sedikit aneh. Rara memijat kepalanya sambil memegang dinding. Samar-samar Rara mulai memejamkan mata hingga ia merasakan tubuhnya akan terjatuh ke lantai.
"Eeh, Ra." Rara membuka kedua matanya ketika ia merasakan bahwa tubuhnya jatuh di dekapan seseorang.
Ardhan, laki-laki itu lah yang menangkap tubuh Rara yang hampir saja jatuh ke lantai.
"Kamu kenapa? Muka kamu pucet banget." Ucap Ardhan menggendong Rara ke kamar. Rara tidak melawan, ia tidak melawan karena sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan tindakan Ardhan, bahkan untuk berbicara saja Rara tidak sanggup
Ardhan meletakkan Rara di tempat tidur, Rara meringis memegang kepalanya.
"Sakit ya?" Tanya Ardhan mulai khawatir. Rara mengangguk kecil.
"Kita ke dokter, yuk? Ntar kamu makin kenapa-napa."
Rara menggeleng.
Ardhan duduk di tepi tempat tidur seraya menaruh tangannya di kening Rara, tidak ada gejala jika Rara demam karena memang badan Rara tidak panas.
"Mau minum? Aku ambilin, ya?"
"Gak." Balas Rara lirih.
Rara berbaring membelakangi Ardhan, Ardhan tidak tinggal diam. Ia pun mengelus lengan Rara bahkan memijat nya, Ardhan tersenyum senang ketika tidak mendapatkan perlawanan dari Rara membuatnya semakin tidak ingin meninggalkan Rara.
Ardhan sedikit membungkukkan badannya untuk mendekatkan diri kepada Rara.
"Masih sakit?" Tanya Ardhan lembut dengan tangan yang masih mengelus lengan Rara.
Rara menggeleng lemah.
"Minum dulu ya, biar enakan." Bujuk Ardhan.
Ardhan semakin senang saat Rara mengangguk lalu duduk dan meminum air hangat yang sudah ia ambil tadi.
Ardhan menatap Rara ketika wanita itu sudah selesai minum. Rara juga menatap Ardhan.
"Makasih." Ucap Rara kembali berbaring, senyum terukir indah di bibir Ardhan.
"Kalo ada perlu apa-apa bilang aku, ya." Kata Ardhan, Rara mengangguk dan mulai memejamkan mata.
Ardhan masih duduk di tepi tempat tidur menyadarkan tubuhnya dengan kedua tangan yang sama-sama sibuk mengelus. Satu tangan mengelus layar ponsel yang satu lagi mengelus punggung Rara.
Sampai saat ini belum ada perlawanan. Ardhan harap ini adalah langkah awal dari Rara yang mulai bisa menerimanya. Ya semoga.
Ardhan menoleh ke arah Rara saat wanita itu bergerak ingin bangkit dari tempat tidur.
"Kamu kenapa? Mau ke mana?" Tanya Ardhan memperhatikan Rara yang sudah bangkit.
"Ra, kamu-"
"Hueek..." Rara berlari ke kamar mandi menundukkan kepalanya di wastafel.
Ardhan langsung menyusul Rara mendekati Rara yang masih muntah. Ardhan mengelus-ngelus punggung Rara serta memijat tengkuk wanita itu.
"Masih mau muntah?" Tanya Ardhan.
Rara mencuci mulutnya lalu menggeleng. Ardhan merengkuh tubuh lunglai Rara membantu Rara kembali berbaring di tempat tidur.
Rara berbaring membelakangi Ardhan, ia sadar apa yang sudah Ardhan lakukan tapi pikirannya tidak tertuju kepada setiap perlakuan lembut Ardhan. Pikiran Rara tertuju ke arah lain. Refleks Rara menyentuh perutnya dengan mata yang terbuka lebar. Jika tadi Rara hanya sekedar menyentuh perutnya kini sentuhan itu berubah menjadi tekanan, Rara menekan perutnya berharap apa yang ia takutkan tidak benar-benar terjadi.
"Aku telfon dokter ya, biar dokter nya ke sini kalo kamu emang gak mau ke rumah sakit." Ucap Ardhan.
Rara langsung berbalik masih memegang perutnya.
Rara menggeleng, "beliin aja test pack." Kata Rara membuat tubuh Ardhan kaku seketika.