Ardhan berdiri di depan kamar mandi dengan gelisah, sudah 15 menit Rara berada di kamar mandi namun tidak kunjung keluar.
"Ra," panggil Ardhan.
Tidak ada jawaban.
"Ra, kamu gak papa?" Tanya Ardhan sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
Tak lama pintu itu terbuka, mata Ardhan langsung tertuju kepada benda pipih berwarna putih campur biru yang ada di tangan Rara.
Rara menatap Ardhan.
"Kamu?"
Rara menggeleng memberikan benda yang ia pegang kepada Ardhan.
Negatif.
Ardhan langsung bernapas lega.
"Sekarang kita ke dokter ya, mungkin kamu cuma sakit perut. Sekalian kita jemput Fany." Ucap Ardhan, Rara sempat ragu untuk menerima ajakan Ardhan namun akhirnya ia mengiyakan ajakan laki-laki itu.
Ardhan memperhatikan seorang dokter yang sedang menulis sesuatu lalu memberikan selembar kertas kepada Ardhan.
"Nanti tebus obatnya, ya." Kata dokter itu.
Ardhan mengangguk.
"Jadi saya gak papa kan dok?" Tanya Rara.
"Tidak, kamu hanya kelelahan saja. Jangan sampai telat makan. Jangan pikirkan masalah yang ada, itu semakin membuat kondisi kamu memburuk." Rara mengangguk tersenyum kecil.
"Kalo gitu kami permisi ya dok, terima kasih." Ucap Ardhan membantu Rara berdiri.
Setelah keluar dari rumah sakit Rara menjauhkan tangan Ardhan dari bahunya. Ardhan hanya bisa menghela napas melihat perubahan sikap Rara.
"Emang tadi belum sarapan pagi?" Tanya Ardhan saat mereka sudah berada di mobil.
"Cuma roti." Balas Rara sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Kita cari makan dulu ya, Fany pulang sepuluh menit lagi kok."
Tidak ada jawaban.
Ardhan berdiri di dekat pos satpam sambil memperhatikan gadis kecil yang sedang berlari ke arahnya diikuti oleh perempuan yang pernah ia temui di sekolah itu.
"Papaah!" Pekik Fany, Ardhan membungkukkan badan dan membawa Fany ke gendongan nya.
"Gimana sekolahnya? Seru?" Tanya Ardhan seraya menciumi Fany.
"Seluu, Fany punya temen balu." Balas Fany menceritakan harinya di sekolah.
Ardhan tersenyum lalu menatap perempuan yang sedang berdiri di hadapannya.
"Oh iya pak, saya Christy gurunya Fany." Katanya memperkenalkan diri.
"Baik, saya permisi ya Bu. Mau pulang." Perempuan bernama Christy tadi pun mengangguk tersenyum ramah.
Ardhan pun pergi sambil menggendong Fany, Christy masih berdiri di tempatnya memperhatikan Ardhan dan juga Fany. Mata Christy menyipit ketika ia melihat seorang wanita keluar dari mobil sembari membantu Fany masuk ke dalam mobil.
"Itu kayaknya istrinya deh." Christy menoleh ke asal suara.
"Sok tau lo, Ta."
"Lah jadi siapa coba kalo bukan istrinya? Kalo emang bukan istrinya mungkin aja pacarnya." Christy diam masih memperhatikan mobil sedan berwarna hitam mulai pergi dari depan sekolah.
"Masa iya lo mau ngambil laki orang." Kata rekan Christy.
"Siapa juga yang mau ngambil, udah yuk pulang."
Rara yang sedang melewati ruang kerja Ardhan mendadak berhenti di depan pintu ruangan itu karena tak sengaja mendengar Ardhan mengobrol dengan seseorang.
"Gila ya, baru aja mulai gue udah di suruh ke sini aja."
Ardhan terkekeh melihat raut wajah kesal saudara kembarnya.
"Siapa suruh lo ogahan kalo di ajak Papi ke kokpit. Kaget kan lo sekarang."
"Tau ah, pusing gue. Lo liat aja nih tombol-tombol yang ada di sini. Kagak ngerti gua."
Ardhan kembali terkekeh membolak-balikkan lembaran kertas yang ada di tangannya.
"Ini gue lupa apa namanya, padahal baru tadi di kasih tau. Apa ya."
Ardhan mengalihkan pandangannya dari kertas ke layar laptop, saat ini Ardhan dan Nathan melakukan panggilan via video call.
"Yoke, Nat."
"Naah iya. Kalo gue bilangnya tongkat kontrol."
"Iya, itu kan bahasa Indonesia nya."
Yoke, atau tongkat kontrol terlihat seperti setir mobil, alat ini gunanya adalah untuk mengendalikan ketinggian (naik dan turun) pada hidung pesawat dan sayap.
"Di yoke dorong untuk apa? Naik atau turun?" Tanya Ardhan kembali fokus ke lembaran kertasnya.
"Eng... Naik, ya?"
Ardhan menggeleng, "turun. Tarik baru untuk naik."
"Oh iya gue lupa."
"Bilang aja gak tau."
Terdengar suara tawa dari Nathan.
"Untuk lepas landas kecepatan pesawat harus berapa rpm, Nat?" Tanya Ardhan tanpa menatap Nathan.
Ardhan melirik Nathan tanpa mengangkat kepalanya yang sedang tertunduk.
"2000 rpm?"
Ardhan mengangkat kepalanya dan menggeleng.
"2200 rpm. Untuk lepas landas, pesawat harus di kecepatan tertentu supaya daya angkat nya cukup. Naikin mesin sampe 2200 rpm dan lo siap terbang. Tarik tuas sirip satu notch untuk nurunin sirip pesawat, lo seharusnya bisa liat ini dari kokpit. Pastiin pesawat harus tegak lurus sekitar 45 derajat di jalur lepas landas dan mengarah ke angin. Atur elevator trim lo ke netral. Hampir semuanya harus netral... So, masih ada yang kurang ngerti Nathan Adelard?" Tanya Ardhan menautkan kedua tangannya.
Nathan menggeleng kecil memperhatikan Ardhan.
"Ah, ribet. Kenapa gak lo aja sih di sini? Biar gue di situ tuh gantiin lo. Gue jadi pengusaha lo sini jadi pilot. Untuk saat ini iya gue masih niat, lah kalo ntar gue udah gak niat lagi gimana?"
"Lo bakal di usir sama Mami. Lagian lo juga mau ngelupain Milly kan? Ya udah di sana aja lo, kalo di sini ntar gak bisa ngelupain."
"Tapi barusan lo ngingetin gue ke dia:("
Ardhan tersenyum.
"Lebih enak jadi pilot, Nat. Kerjanya cuma nerbangin pesawat. Lo bisa sekalian jalan-jalan, setiap lo mau kerja lo diperhatiin langsung sama dokter. Kalo lo jadi pengusaha yang ada lo makin stres ntar, gak cuma ngandelin otak tapi tenaga juga. Gak ada yang bisa merhatiin lo sebelum lo kerja kecuali lo emang udah punya istri."
"Lo udah punya istri tapi gak diperhatiin juga tuh."
"Nikmati aja kegiatan lo yang sekarang. Kalo lo gak mau jadi pilot lo udah bikin Papi kecewa, Papi pengen salah satu di antara kita jadi pilot, gue bersedia tapi takdir enggak, gue ditakdirkan jadi kayak gini. Jangan ngeluh kalo lo mau sukses, belum tentu orang-orang yang ada di luar sana seberuntung kita."
"Wiih, pemikiran pengusaha banget ah."
Ardhan menggelengkan kepala dengan tanggapan Nathan terhadap ucapannya.
"Gue serius."
Nathan tertawa.
"Iya deh bapak Ardhan seorang Chief Executive Officer."
Rara masih berdiri di depan ruang kerja Ardhan sambil menguping pembicaraan antara dua orang laki-laki itu. Rara tidak sepenuhnya mendengar ucapan Nathan, ucapan Ardhan lah yang paling ia dengar. Rara menatap lukisan abstrak yang ada di hadapannya, tatapan memang ke arah lukisan itu namun pikirannya tertuju kepada hal lain.
"Mama ngapain?" Rara tersentak kaget dan mendapati Fany sudah berdiri di sampingnya.
"Eh, sstttt... Yuk ke kamar." Rara membekap mulut Fany dan membawa gadis itu ke kamar.
"Lo ngeliatin apa?"
"Tadi kayaknya gue denger suara Fany. Biasanya dia langsung masuk sih kalo emang ada di luar tadi."
"Halu mungkin lo. Lo terlalu mikirin Fany sampe halu gitu karna dia? Bukannya mikirin Rara."
"Udah dulu ya, gue mau lanjut beresin ini. Besok-besok lagi deh."
"Dari tadi gue dikacangin mulu kalo soal Rara."
"Kapan-kapan ngobrol lagi, udah ya gue matiin. Bye!"
Setelah tidak berkomunikasi lagi dengan Nathan, Ardhan membereskan lembaran kertasnya yang tercecer di meja. Memasukkan kertas itu ke tas kerjanya.
Ardhan keluar dari ruang kerjanya mengalahkan kaki ke kamar Rara, hal yang biasa ia lakukan setiap malam sebelum ia ingin tidur. Memastikan jika Rara dan Fany sudah tidur walaupun ia memastikannya hanya melalui luar kamar Rara, ketika Ardhan tidak mendengar suara Rara ataupun Fany disaat itulah Ardhan yakin jika Rara dan Fany sudah tidur.
Ardhan mengurungkan niatnya untuk ke kamar Rara saat mendengar suara Fany dari arah dapur. Dan benar saja, Rara dan Fany masih berada di dapur.
Rara sedang membuatkan Fany s**u sedangkan Fany duduk menjatuhkan kepalanya di meja makan memperhatikan Rara yang sedang membuat s**u.
"Ini di minum dulu s**u nya, abis itu tidur." Ujar Rara memberikan botol s**u untuk Fany.
Ardhan berdiri diam di ambang pintu memperhatikan kedua perempuan itu.
Rara menoleh ke arah pintu hingga matanya bertemu dengan mata Ardhan.
Ardhan berjalan mendekati mereka dan duduk di samping Fany. Melihat kehadiran Ardhan Fany langsung senang dan menggelayut manja pada laki-laki itu.
"Fany tadi di depan ruang kerja Papa, ya?" Tanya Ardhan sambil menyisir rambut Fany dengan jemarinya.
Mendengar pernyataan Ardhan, Rara malah menjadi gelisah sendiri. Rara menatap Fany berharap Fany mau menatapnya dan memberi kode agar tidak berbicara apa-apa kepada Ardhan, namun nihil Fany tidak menatapnya sama sekali.
"Mama ke kamar duluan, ya. Ntar Fany nyusul, s**u nya di abisin." Ucap Rara langsung pergi dari dapur.
Ardhan menatap kepergian Rara, sikap wanita itu terlihat agak aneh. Ardhan kembali menatap Fany.
"Tadi Fany di depan ruang kerja Papa?" Ulang Ardhan.
Fany mengangguk menjauhkan ujung botol s**u nya dari mulut.
"Sama Mama." Kata Fany kembali meminum s**u nya.
Anak kecil gak mungkin bo'ong.
"Serius sama Mama? Emang kalian ngapain? Kok bisa di depan ruang kerja Papa?" Tanya Ardhan semakin penasaran.
Fany kembali berhenti minum untuk menjawab pertanyaan Ardhan.
"Fany liat Mama beldili telus Fany ikut beldili juga."
Ardhan berpikir sejenak, mencerna ucapan polos Fany. Bibir Ardhan berkedut menahan senyum.
"Oh, berarti tadi Mama duluan yang berdiri di depan ruang kerja Papa terus Fany ngeliat Mama berdiri Fany samperin jadi Fany ikut berdiri juga?" Fany mengangguk.
Ardhan ikut mengangguk, seulas senyum terukir di bibirnya.
"Kira-kira Mama ngapain di depan ruang kerja Papa?" Tanya Ardhan lebih jauh.
"Diem aja, telus Mama kaget pas ada Fany." Senyum Ardhan terukir semakin lebar.
"Ya udah, bobok ya. s**u nya udah habis kan?"
"Udah."
Ardhan menggendong Fany mengantarkan gadis kecil itu ke kamar Rara.
Rara mengutuk dirinya sendiri ketika mendengar suara ketukan pintu. Ia pun membuka pintu mendapati Ardhan sedang menggendong Fany. Cepat-cepat Rara mengambil Fany, ketika hendak menutup pintu Ardhan menghalangi dengan memegang pintu kamarnya.
Rara menatap Ardhan dengan wajah ketus nya.
"Good night." Ucap Ardhan sambil tersenyum.
Rara tidak membalasnya dan langsung menutup pintu, Ardhan terkekeh melihat raut wajah Rara yang cukup lucu menurut nya.
"Fany bilang ya kalo Mama berdiri di depan ruang kerja Papa?" Tanya Rara sembari mendudukkan Fany di tempat tidur.
Ardhan mendekatkan kupingnya ke pintu kamar Rara dan tentu saja ia dapat mendengar ucapan Rara membuatnya semakin geli sendiri.
"Papa nanya, telus Fany jawab." Balas Fany.
"Tapi-"
Tok...tok...tok...
"Hissh... Udahlah tidur sana!" Teriak Rara membuat tawa Ardhan pecah dan pergi dari depan kamar Rara sambil tersenyum tidak jelas.
Ardhan melirik Rara yang sedang menunjukkan ekspresi kesal di wajah cantik wanita itu. Bukannya merasa takut Ardhan justru geli sendiri. Pasti Rara sedang malu akibat kejadian tadi malam.
"Tadi malem Fany di depan ruang kerja Papa sama siapa?" Tanya Ardhan mendekatkan tubuhnya ke tepi meja menatap Fany yang sedang makan roti.
Fany menunjuk Rara menggunakan garpu dengan pipi yang menggembung karena mulutnya dipenuhi oleh roti.
Ardhan kembali melirik Rara, raut wajah Rara terlihat semakin kesal lagi.
"Siapa duluan nih yang berdiri di depan ruang kerja Papa?" Tanya Ardhan.
"Mama!" Jawab Fany fokus ke roti nya.
Ardhan tersenyum. Rara hanya diam saja dengan wajah yang ditekuk.
"Kamu kalo mau masuk ya masuk aja, jangan berdiri gitu." Ucap Ardhan seraya menatap Rara.
"Gak ada yang berdiri di depan ruang kerja lo." Balas Rara sambil mengoles roti dengan selai coklat.
"Jadi Fany bohong nih? Masa anak kecil bohong." Kata Ardhan.
"Fany gak bohong!" Seru Fany.
"Iya enggak kok, berarti Mama ya yang bohong." Ucap Ardhan yang disambut anggukan oleh Fany.
"Terserah kalian aja." Rara memberikan dua lembar roti kepada Ardhan lalu mencuci piring.
"Pah, Fany mau ketemu Che."
"Bilang dulu sama Mama, dibolehin gak."
"Ma boleh?" Tanya Fany yang dijawab anggukan oleh Rara.
"Tapi ntar Minggu pulang, Senin harus sekolah." Kata Rara.
"Ya udah ntar abis pulang sekolah Papa anter ya. Jangan nakal kalo ketemu Che nanti." Fany langsung mengangguk dan tersenyum senang.