Chapter 05

1217 Words
"Cuma kamu sama Fany aja yang ke sini?" Ardhan mengangguk atas pertanyaan Ibunya. "Rara kemana? Kenapa gak ikut?" "Di apartemen, Mi. Rara lagi sakit, tapi udah mendingan sekarang." Nesya menaikkan sebelah alisnya. "Sakit? Sakit apa? Sakit perut?" Ardhan mengangguk. "Bilang aja udah hamil." Ardhan langsung menggeleng. "Enggak kok, Rara telat makan jadi perutnya sakit. Udah gitu Rara juga kecapekan." Nesya menatap Fany yang sedang menatapnya. "Bentar lagi Che pulang, sabar ya." Ucap Nesya sambil tersenyum. Fany mengangguk kecil tanpa menjauhkan tubuhnya dari Ardhan. "Kamu abis ini mau balik ke kantor lagi?" Tanya Nesya melirik jam dinding berukuran besar yang ada di rumah itu. "Iya, tapi gak lama. Rara sendirian di apartemen." "Fanyyy!!!" Pekik seorang gadis yang tak lain adalah Cheara. Cheara masuk ke dalam rumah dengan masih memakai seragam sekolah. Ia berlari mendekati Fany dan memeluk gadis kecil itu. "Kamu nginep di sini kan sama aku? Iya kan?" Tanya Cheara membantu Fany turun dari sofa langsung membawa Fany ke kamarnya. "Cheara udah lupa kayaknya sama Ardhan." Ucap Ardhan terkekeh kecil. "Karna kamu udah pindah rumah, udah jarang main sama dia lagi. Kadang Cheara tiap malem nangis pengen ketemu tapi kamu sibuk terus. Sekali-sekali ajak juga Cheara ke apartemen." Ardhan mengangguk mendengar ucapan Ibunya. "Ya udah, Ardhan mau ke kantor lagi. Besok Ardhan ke sini lagi kok, diusahain ngajak Rara." "Iya semoga dia mau." Ardhan kembali mengangguk, memeluk dan mencium Nesya lalu pergi. Rara duduk sendirian di depan TV menonton film action dengan tidak bersemangat. Bahkan ia sempat berkali-kali mengganti channel TV untuk mencari program yang enak. Rara melirik ke kanan ketika mendengar suara pintu apartemen terbuka. "Kamu udah makan?" Tanya Ardhan berdiri di samping Rara sambil melonggarkan dasinya. Rara mengangguk tanpa menatap Ardhan, "udah." Ardhan mengelus puncak kepala Rara lalu pergi. Rara menggigit bibir bagian bawahnya saat merasakan ada sesuatu yang tak beres pada hati dan otaknya. Rara menoleh ke belakang untuk melihat Ardhan yang sudah berjalan menuju kamar. "Lo?" Ardhan menghentikan langkahnya berbalik menatap Rara. "Aku? Aku kenapa?" Rara diam lalu kembali membuka suara. "Udah makan?" "Kamu nanya sama siapa?" Tanya Ardhan membuat Rara kesal sendiri. "Lo lah, udah makan belom?" Tanya Rara sedikit ketus. Ardhan terkekeh kecil melihat sikap ketus Rara kemudian ia menggeleng. "Aku baru keluar dari kantor, macet banget takutnya kalo makan makin macet nanti, pulangnya kelamaan sedangkan kamu di sini sendirian." Kata Ardhan. Rara diam menatap Ardhan, entah mengapa kali ini ia merasa sedikit tersentuh dengan ucapan serta perlakuan Ardhan. Ardhan kembali berjalan masuk ke kamarnya ketika Rara tidak berbicara apa-apa lagi. 30 menit kemudian, Ardhan keluar dari kamar melihat ke arah ruang tamu dan sudah tidak ada Rara di sana. Mungkin Rara sudah tidur, pikirnya. Ardhan pun pergi ke dapur untuk makan, ia tidak tahu apakah ada makanan atau tidak. Jika tidak ada setidaknya Ardhan masih bisa membuat mie instan. Ketika sudah berada di dapur Ardhan mengedipkan mata beberapa kali saat melihat Rara. "Kamu ngapain?" Tanya Ardhan berdiri di dekat meja makan sedangkan Rara berdiri di depan kompor. "Ya menurut lo aja gue lagi ngapain?" Tanya Rara balik tanpa menatap Ardhan. "Masak, untuk siapa?" "Ntar juga tau." Ardhan memilih diam, ia bingung apakah harus duduk atau pergi karena masih belum mengerti untuk siapa Rara melakukan itu. "Kenapa masih berdiri?" Ardhan tersadar dari lamunannya akibat suara Rara. "Duduk!" Ujar Rara sambil memegang piring yang berisikan makanan. Ardhan pun duduk, Rara memberikan piring yang berisikan nasi serta lauk yang cukup menggoda lidah. Rara menaruh piring itu di hadapan Ardhan dengan segelas air putih. "Kamu gak mau nemenin aku?" Rara yang hendak keluar dari dapur berhenti melangkah. Ardhan tersenyum senang saat Rara tidak pergi dari dapur dan duduk bersamanya. Rara duduk mengalihkan tatapan ke berbagai arah. Jika ia sedang memegang ponsel mungkin Rara tidak akan secanggung ini dengan Ardhan. Ia merasa seperti baru berduaan saja dengan laki-laki itu. "Ka-" Ardhan mengumpat di dalam hati saat ponselnya berbunyi membuatnya mengurungkan niat untuk mengajak Rara berbicara. "Lo gak liat gue lagi ngapain?" Tanya Ardhan kesal. "Oh lagi makan, ya sorry gue ganggu. Makan sendirian pasti? Percuma dong udah punya istri." Nathan tertawa membayangkan penderitaan Ardhan. Ardhan melirik Rara, sementara Rara juga sedang melirik ponsel Ardhan. "Lo dari kemaren ngeliatin apa sih? Denger suara Fany lagi lo?" Ardhan menggeleng, ia pun memegang ponselnya yang ia sandarkan di gelas. Perlahan Ardhan mengarahkan ponselnya kepada Rara. Rara menatap layar ponsel Ardhan, terdapat wajah Nathan di sana. "Eh, ada kakak ipar." Rara diam memperhatikan Nathan tanpa ekspresi. "Kenapa? Lo masih gak suka juga gue panggil kakak ipar? Lo sama Abang gue kan udah nikah, gak salah kan gue manggil kakak ipar." Rara mengangguk dan tersenyum dengan terpaksa. Ardhan tersenyum geli melihat keduanya. Layar ponsel kembali terarah kepada Ardhan. "Segitu kangennya lo sama gue hampir tiap hari VC terus?" "Bukan soal itu k*****t! Gue gagal pas simulator. Temen-temen gue yang lainnya padahal bisa, gue enggak. Lagian gak papa, cuma simulator komputer doang kok." "Gak papa? Cuma simulator komputer kok? Gue cekek juga lo!" Rara memperhatikan Ardhan yang terlihat frustasi akibat ucapan Nathan tadi. Bahkan makanan Ardhan sudah tersingkir dari hadapan laki-laki itu. Ardhan beralih menatap Rara, "kamu kalo emang udah ngantuk ke kamar aja." "Tadi kan lo minta gue untuk nemenin." Rara masih penasaran dengan obrolan Ardhan dan Nathan jadi ia mencari alasan agar tetap berada di tempat itu. "Woy! Masih ada besok-besok lah. Gue ini Ar, gimana???" Ardhan menghela napas menatap kesal Nathan. "Kesel gue sama lu." "Ya udah maap sih. Namanya juga pemula." "Temen-temen lo gak pemula noh? Lo anak baru nih ceritanya?" "Kok lo ngegas?" "Kesel gue, gue aja sekesel ini sama lo. Gimana Papi nanti." "Jadi gue harus gimana dong?" "Ya udah gak papa gagal, masih awal gak papa. Kalo lo gagal lagi gak mau gue ketemu sama lo sampe lo bener-bener jadi pilot." "Kok lo gitu sih??" "Bodo!" "Makanya lo aja yang jadi pilot, sok-sok jadi pengusaha sih lo." "Gak papa, gue menikmati. Gak kayak lo ngeluh mulu." "Halah, pengen kan lo jadi pilot? Gue yakin cuma sekitar 10 persen lo bilang menikmati. 90 persennya lo pengen banget jadi pilot. Yekan?" Ardhan menggelengkan kepala kembali melanjutkan makannya. "Gelengan yang tak meyakinkan." "Berkicau lah sesuka mu." Kata Ardhan membuat Nathan tertawa. Ardhan menyimpan ponselnya ke kantong celana saat dirinya dan Nathan sudah selesai berbicara. Rara mengambil piring kotor Ardhan dan juga gelas lalu mencucinya. "Emm... Besok kamu ikut jemput Fany?" Tanya Ardhan membuka percakapan. "Liat besok." Ardhan mengangguk, "oh ya udah." Ardhan masih duduk sambil memainkan ponselnya. Rara menatap Ardhan tanpa sepengetahuan laki-laki itu, ingin keluar dari dapur tapi entah mengapa ia merasa tidak enak jika pergi begitu saja meninggalkan Ardhan, jika mengajak Ardhan keluar dari dapur ada rasa tidak ikhlas pada diri Rara. Entahlah semuanya tampak membingungkan. "Kok malah bengong?" Lamunan Rara Rara terbuyarkan ketika Ardhan berbicara kepadanya. Rara menggeleng. "Udah siap nyuci piringnya? Mau balik ke kamar?" Tanya Ardhan. Rara mengangguk dan berjalan keluar dapur diikuti oleh Ardhan. Rara mendadak berhenti untuk menutup pintu kamarnya saat melihat Ardhan berdiri di depan kamarnya. "Ngapain?" Tanya Rara datar. "Good night." Balas Ardhan tersenyum. Rara mengangguk kecil lalu menutup pintu. Ketika pintu sudah tertutup Ardhan tidak langsung pergi, ia sempat diam sejenak menatap pintu kamar Rara. "I always try to make you want to look at me again, and I hope everything can come back as before." Gumam Ardhan masih menatap pintu kamar Rara lalu tak lama pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD