Di Minggu pagi, Rara memijat kepalanya saat merasakan pusing, sesekali ia memejamkan mata untuk menghilangkan rasa pusingnya. Mungkin akibat terlalu banyak pikiran membuat kepalanya terasa sangat sakit.
Rara duduk sendirian di ruang makan sambil terus memijat kepalanya.
"Kamu kenapa?" Tanya Ardhan sudah rapi dengan pakaian kerja nya. Bahkan di hari Minggu pun Ardhan masih harus bekerja.
Ardhan berdiri di ambang pintu karena takut jika Rara akan pergi kalau ia mendekat.
Rara menggelengkan kepala tanpa menatap Ardhan.
"Kepalanya sakit? Pusing?" Tanya Ardhan mulai khawatir, pasalnya wajah Rara juga terlihat pucat.
"Gak." Balas Rara masih bisa ketus di balik rasa pusingnya.
"Mau ke dokter aja?" Tawar Ardhan mulai mendekati Rara.
Rara duduk tegap saat Ardhan berdiri di dekatnya.
Jangan pergi please.
"Gak usah." Kata Rara sambil menuangkan air putih ke gelas dan meminumnya.
Melihat sikap ketus Rara, sudah seperti menjadi makanan sehari-hari nya. Sudah terbiasa.
"Udah makan belum?" Tanya Ardhan berusaha bersikap sebaik mungkin.
Rara menggeleng.
"Kenapa belum? Makan ya, aku ambilin."
Rara menaruh gelas di meja dengan cukup kuat, menoleh tajam ke arah Ardhan.
"Gue gak papa, gak laper! Gak mau makan! Ngerti gak sih!?" Tanya Rara kesal.
Ardhan mengangguk berusaha terus sabar.
"Ya udah istirahat aja kalo gitu." Ujar Ardhan.
Rara mengerenyit saat merasakan sesuatu yang aneh dari dalam perutnya. Ardhan semakin khawatir ketika melihat raut wajah tidak nyaman Rara. Sepertinya ada yang tidak beres.
"Ra, kita ke-"
"Hueeek..." Rara langsung berlari menuju wastafel yang ada di dapur menundukkan kepalanya untuk mengeluarkan cairan dari dalam mulutnya.
Ardhan langsung menghampiri Rara yang sedang muntah-muntah.
"Hueek..."
Takut-takut namun harus ia lakukan, Ardhan pun mengelus punggung Rara dan memijatnya.
"Kita ke dokter aja, yuk." Ucap Ardhan lembut.
Rara menggeleng mendorong Ardhan agar menjauh darinya. Dan Ardhan hanya bisa pasrah jika tidak ingin suasana diantara mereka semakin panas.
"Gak enak banget sih bau parfum lo! Sana-sana!!" Rara mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh Ardhan pergi menjauh darinya.
Ardhan mencium aroma tubuhnya, "biasanya gak pernah protes." Gumam Ardhan mendengus baju nya sendiri.
Rara terduduk lemas di sofa dengan kepala yang masih terasa berdenyut. Sudah berulang-ulang kali Ardhan mengajak Rara ke rumah sakit namun wanita itu menolak dan malah semakin marah kepadanya.
Rara melirik Ardhan yang sedang menelepon dengan seseorang, ia juga melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, biasanya sekitar jam delapan Ardhan sudah pergi.
"Saya tidak tau bisa ke kantor atau tidak."
"...."
"Nanti saya kabari, saya sedang di rumah. Kamu urus saja semuanya."
Rara terus memijat kepalanya serta mengelus perutnya yang masih agak mual. Ia mendengar ucapan Ardhan jika laki-laki itu tidak pergi ke kantor. Karena dirinya kah?
You do that for me?
Ardhan menaruh ponselnya di meja duduk di sofa yang berbeda dengan Rara dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
"Kamu yakin gak mau ke rumah sakit aja? Ntar kalo makin kenapa-kenapa gimana?"
Rara menghela napas panjang.
"Gak usah! Paling kayak kemaren."
"Aku telfon aja ya dokter Tya ke sini." Bujuk Ardhan.
"Terserah."
Ardhan berdiri memperhatikan dokter Tya yang sedang memeriksa kondisi Rara. Laki-laki itu sempat menggeram ketika berulang kali mendapatkan telpon dan berulang kali juga ia harus bolak-balik kamar keluar kamar.
Kali ini Ardhan sudah berada di kamar Rara setelah 2 menit yang lalu ia menerima panggilan telepon.
Dokter Tya menatap Ardhan dan Rara secara bergantian.
"Rara kenapa dok?" Tanya Ardhan.
Dokter Tya tersenyum, ia menggenggam tangan Rara. Rara bingung melihat arti senyuman dokter Tya.
"Kalian akan menjadi orangtua. Selamat Rara kamu hamil." Rara langsung lemas seketika. Tangannya yang ikut menggenggam tangan dokter Tya terlepas begitu saja. Rara menatap perutnya yang masih rata dengan perasaan yang campur aduk, telapak tangannya terasa mulai dingin dan berkeringat.
Sedangkan Ardhan, laki-laki itu terlihat sama syok nya dengan Rara. Rasa cemas Ardhan muncul, Ardhan ingat betul dengan ucapan sekaligus ancaman yang pernah Rara lontarkan. Menggugurkan kandungan.
"Saya yakin dia akan membawa kebahagiaan untuk kalian, saya tau kalian belum bisa menerima kehadiran dia, tapi biarkan dia merasakan rasanya kasih sayang orangtua. Terutama untuk kamu Rara, jaga dia baik-baik, dan untuk kamu Ardhan, tanggung jawab kamu semakin besar sekarang, lindungi mereka baik-baik." Ucap dokter Tya memberi pengertian kepada Ardhan dan Rara.
Ardhan mengangguk seraya tersenyum, sementara Rara hanya diam tidak memberikan ekspresi apapun selain ekspresi datar.
Setelah selesai berbincang dengan dokter Tya, Ardhan mengantarkan dokter itu sampai ke depan pintu apartemennya. Ketika dokter Tya benar-benar pergi Ardhan langsung bergegas ke kamar Rara, dan untung saja pintu tidak kunci sehingga Ardhan bisa masuk dengan mudah.
Rara masih duduk diam di tempat tidur, wanita itu menatap laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang cemas. Rara mengerti apa yang Ardhan takutkan.
Mereka berdua saling tatap.
"I can't accept this baby." Ucap Rara dengan tenangnya. Ardhan menggelengkan kepala.
"Don't do anything!" Kata Ardhan memperingati.
"Gue udah bilang sama lo dari jauh-jauh hari, sehari setelah lo ngerusak gue. Gue bakal gugurin kandungan ini!" Ardhan mengatupkan bibirnya.
"Ra,"
"Setelah itu kita bisa cerai, gue gugurin kandungan gue dan kita cerai. So easy!" Ucap Rara sambil tersenyum, senyum yang mengandung banyak makna.
"Ra, please, aku mohon sama kamu jangan ngelakuin hal gila kayak gitu. Dia gak punya salah apa-apa, please jangan." Pinta Ardhan benar-benar memohon.
Rara mulai terisak, tak lama ia menangis sejadi-jadinya membuat Ardhan harus ekstra sabar lagi.
"Gue gak mau bayi ini gak mau!! Gue gak mau ada dia!!" Pekik Rara dibalik tangisnya.
Ardhan yang semula hanya diam langsung bergerak cepat ketika kedua tangan Rara memukuli perut wanita itu sambil terus menangis.
"Gue gak mau!! Gak mau!!!" Ucap Rara terus memukuli perutnya.
"Ra!" Seru Ardhan menjauhkan tangan Rara dari perut, memberi perlindungan untuk anaknya. Jika tadi Rara memukuli perutnya, kini sudah berubah menjadi memukul tangan Ardhan yang ada di perutnya.
"Ra, stop it! I say stop!" Kata Ardhan sedikit menguatkan suaranya, Rara malah semakin membabi buta.
Karena Rara tidak kunjung berhenti, dengan paksa Ardhan mencekal kedua tangan Rara. Dan berhasil membuat Rara menghentikan aksinya.
"Stop! You hurt the baby." Ucap Ardhan pelan menangkup kedua pipi Rara.
Rara menunduk tanpa bisa berhenti menangis. Ardhan membawa Rara ke dalam pelukannya. Memberi ketenangan untuk wanita itu.
Ardhan terus mengelus punggung serta kepala Rara. Tangis Rara sudah mereda di dalam pelukannya. Ardhan masih memakai pakaian kerja nya, bukankah tadi Rara mengatakan jika bau parfum nya tidak enak?
Cukup lama dengan posisi seperti itu, Ardhan menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Rara. Ardhan mengecup kening Rara saat melihat wanita itu sudah tertidur. Dengan hati-hati Ardhan membaringkan Rara di tempat tidur.
Ardhan memperhatikan sejenak wajah Rara yang masih pucat, mengelus pipi Rara lalu beralih menatap perut Rara. Ardhan menaruh tangan lebarnya di perut Rara dan mengelusnya. Tindakannya itu tidak luput dari wajah Rara, takut jika Rara terbangun dan ternyata tidak.
Ardhan yang duduk di tepi tempat tidur beralih berjongkok agar wajahnya sejajar dengan perut Rara.
"Everything will be fine, Papa is always here for you. Hold on!" Bisik Ardhan.
Ardhan mengelus perut Rara lalu menciumnya dan pergi dari kamar itu.