Chapter 07

1677 Words
Ardhan sibuk berkutat di depan layar laptopnya melihat data statistik mengenai keuangan di perusahaan nya. Jabatan Ardhan di dalam perusahaan yang masih berada dibawah naungan ibunya adalah sebagai seorang CEO, jabatan yang klise memang. Ardhan mendapatkan jabatan itu bukan tanpa alasan, memang dengan mudah Ardhan bisa mendapatkan jabatan itu, namun tugas Ardhan tidaklah mudah. Tugas Ardhan adalah mengelola, dan menganalisis segala aktivitas fungsional bisnis seperti operasional, sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran. Membuat kebijakan, prosedur, dan standar pada organisasi perusahaan. Segala masalah dalam perusahaan dan mengkoordinasikan manajemen puncak dalam menyelesaikan masalah tersebut secara efektif dan efisien, dan tugas lainnya. Jika Ardhan gagal atau lalai dalam tugasnya, Ibunya tidak akan segan-segan menurunkan jabatan nya sebagai seorang office boy (OB). Heell!!! Maka dari itu Ardhan tidak bisa lagi main-main dalam mengerjakan sesuatu. Malah setelah tidak bersekolah lagi Ardhan baru merasakan penyesalan. Ardhan selalu berbicara sendiri kepada dirinya mengenai cara belajarnya di sekolah yang tidak pernah benar. Ardhan menyesal sering bolos dan cabut. Untung saja dalam hal perusahaan ini ada orang kepercayaan ibunya yang mau membantu dirinya, sambil melaksanakan tugasnya Ardhan sekalian belajar. Dalam waktu dekat ini semuanya aman terkendali tanpa ada masalah, tidak tahu kedepannya nanti. Yang jelas Ardhan tidak ingin turun jabatan dari seorang Chief Executive Officer (CEO) menjadi seorang Office Boy (OB). Ardhan melepaskan kacamatanya ketika mendengar ketukan pintu dari luar ruangan kerjanya. Tumben ada yang ngetuk pintu, biasanya gak pernah. Ardhan membuka pintu dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang tersenyum ramah kepadanya. "Bi Ijah." Kata Ardhan. Wanita itu mengangguk dan tersenyum. "Bibi tumben ke sini, ada perlu apa emang?" Tanya Ardhan membawa Bi Ijah ke ruang tengah. "Enggak ada apa-apa, den. Kata ibu Aden gak bisa jemput non Fany jadi Bibi yang nganter, ibu masih di kantor terus non Cheara belum pulang dari les nya. Non Fany nya minta pulang jadi Bibi bawa ke sini, ibu udah tau kok." Balas Bi Ijah. "Terus Fany nya di mana sekarang?" "Udah sama non Rara di kamar." Ardhan mengangguk. "Non Rara sakit ya, den? Mau saya bantuin rawat non Rara?" Tanya Bi Ijah. Ardhan langsung menggeleng. "Gak Bi, gak usah. Ardhan bisa kok ngerawat Rara." Bohong jika Ardhan tidak memerlukan bantuan. Justru ia sangat memerlukan bantuan orang lain untuk membantunya merawat Rara karena waktunya lebih banyak terbuang untuk bekerja. Ardhan berbohong karena ia belum siap untuk memberitahu tentang kondisi Rara kepada kerabatnya. Belum waktunya. "Ya udah kalo gitu, Bibi mau pamit pulang ya, den. Jaga diri Aden baik-baik, Bibi pulang." Pamit Bi Ijah. Ardhan pun mengantar Bi Ijah ke depan. Ardhan melangkahkan kaki menuju kamar Rara, dari luar terdengar suara tawa Fany yang sedang mengoceh dengan Rara. Ardhan mengetuk pintu kamar Rara lalu membukanya secara perlahan. Seperti biasa, Rara tidak ingin menatap Ardhan jadi ia lebih memilih memejamkan mata karena kepalanya juga masih terasa pusing. "Papaah!" Pekik Fany turun dari tempat tidur berlari memeluk Ardhan. Ardhan membawa Fany ke dalam pelukannya menggendong anak itu. "Udah puas ketemu sama Che nya?" Tanya Ardhan. "Udah!" Seru Fany melingkarkan tangannya di leher dan menyembunyikan wajah imutnya di leher Ardhan. Ardhan mengelus punggung Fany memperhatikan Rara yang masih memejamkan mata. Ketika ia menatap perut Rara, Ardhan langsung mengingat pesan dari dokter Tya. Nanti belikan s**u ibu hamil dan juga vitamin, ya. "Ra," panggil Ardhan. Tentu saja tidak ada sahutan, seperti biasa. "Aku mau keluar bentar, ya. Sama Fany, gak papa kan kalo aku tinggal? Bentar aja kok." Ucap Ardhan. "Hmm," balas Rara dengan deheman. Ardhan pergi ke minimarket yang jaraknya tidak jauh dari apartemen nya. Ia pergi hanya dengan berjalan kaki sambil menggandeng tangan mungil Fany. Di sepanjang jalan mereka bercerita, Ardhan mendengarkan Fany menceritakan kegiatannya bersama Cheara saat gadis kecil itu menginap di rumah orangtuanya. Sesampainya di minimarket Ardhan mengambil keranjang belanjaan, Ardhan langsung menyusuri setiap rak yang ada di minimarket. Ia pergi ke bagian belakang dimana di sana sudah terjejer berbagai merek s**u, dari mulai s**u anak kecil, ibu-ibu hingga lansia. Ardhan memandang satu persatu kotak s**u khusus untuk ibu hamil. Ia bingung harus mengambil yang mana saat melihat begitu banyaknya merek s**u ibu hamil yang ada. Ardhan pun mengeluarkan ponselnya untuk menelpon dokter Tya, namun tidak di angkat. Karena tidak kunjung di angkat Ardhan kembali memasukkan ponselnya ke kantong celana. "Maaf, mbak." Ucap Ardhan ramah kepada seorang wanita yang sedang menuntun anaknya yang masih kecil. "Iya ada apa?" Tanya wanita itu. "s**u untuk ibu hamil yang paling bagus yang mana ya, mbak?" Tanya Ardhan. "Oh s**u hamil. Saya minum yang itu. Bagus kok tapi lumayan mahal sih harganya." Ardhan mengikuti arah telunjuk wanita itu. "Yang ini ya mbak yang bagus?" Ardhan mengambil kotak s**u berwarna keunguan di bagian atasnya dan agak berwarna merah muda di bagian bawah kotak itu. "Sangat bagus malah. Kebanyakan ibu-ibu hamil minumnya s**u itu." Ardhan tersenyum, "ya udah, makasih ya mbak. Maaf udah ganggu." "Ah gak papa. Untuk istri kamu ya?" Tanya wanita itu. Ardhan mengangguk, "iya mbak." "Istri kamu ikut ke sini?" Ardhan menggeleng, "istri saya di rumah, mbak." "How lucky she is." Ucap wanita itu tersenyum hangat. Ardhan tertawa, tertawa getir. Lucky? Really? "Suami saya gak pernah mau kayak kamu gini, pergi ke minimarket atau ke supermarket cuma untuk beliin saya s**u hamil, gak mau pergi kalo saya gak ikut pergi. Tapi kamu mau pergi beli s**u sendirian, good husband." Katanya. Ardhan hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Good husband? I hope! Ketika wanita tadi sudah pergi, Ardhan baru mengingat jika ia sedang bersama Fany. Ardhan pun langsung mencari keberadaan gadis itu dan bernapas lega saat melihat Fany di kerubungi oleh para pekerja yang ada di minimarket itu. "Anak mas, ya?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan hijab. Ardhan mengangguk, "makasih udah mau ngeliatin anak saya." "Iya mas sama-sama, lucu banget soalnya." Jawab perempuan yang lain. Anaknya lucu, jadi pengen cium Papa nya. Setelah membeli apa yang Ardhan butuhkan, laki-laki itu pun kembali ke apartemen. Ardhan menaruh barang belanjaan nya di mini bar. Ardhan pun mengeluarkan satu kotak s**u coklat, laki-laki itu membeli 3 kotak s**u dengan rasa yang berbeda-beda. "Pah," Ardhan menoleh ke arah Fany yang sedang mengucek matanya. "Fany udah ngantuk ya? Bentar ya Papa buatin s**u dulu untuk Mama." Ucap Ardhan mendudukkan Fany di sisi mini bar yang kosong. Fany memperhatikan Ardhan yang sedang sibuk membuat s**u untuk Rara. Sesekali pria itu menatap kemasan bagian belakang dan menatap gelas. "Mulai besok Fany kalo disuapin makan sama Mama jangan lari-lari ya, duduk aja di deket Mama." Ucap Ardhan. "Kenapa, Pah?" Ardhan menyentuh pinggang Fany dengan tangan kirinya, "karna di dalem perut Mama ada baby nya. Fany seneng gak?" Tanya Ardhan menatap sekilas Fany lalu menatap s**u yang ia buat untuk Rara. "Benel ada baby? Mama gak bilang ada baby." Ardhan tersenyum. "Walaupun Mama gak ada bilang kan Papa udah bilang sama Fany. Jadi kalo Fany mamam terus disuapin sama Mama Fany jangan suka lari-lari lagi ya, kasihan Mama." Fany mengangguk tanpa bertanya apa-apa lagi, mungkin karena gadis kecil itu sudah sangat mengantuk jadi ia tidak ingin berbicara, hanya ingin tidur. Ardhan masuk ke kamar Rara sambil membawa s**u dan menuntun Fany untuk naik ke tempat tidur. Ardhan duduk di tepi tempat tidur menatap Rara yang sedang memejamkan mata. Apakah wanita itu benar-benar tidur atau hanya berpura-pura saja agar bisa menghindar darinya? Ardhan melirik Fany yang sudah terlelap di samping Rara. Ardhan tertegun melihat Rara tiba-tiba saja membuka mata. "Aku pikir kamu udah tidur." Ucap Ardhan sekedar berbasa-basi. Rara diam menatap datar Ardhan lalu menatap gelas yang ada di tangan Ardhan. "Aku bawain s**u buat kamu, di minum ya." Ujar Ardhan menyodorkan gelas tersebut. "Gue gak ada minta dibuatin s**u sama lo. Gue juga gak pengen minum susu." "Iya aku tau, tapi ini anjuran dari dokter Tya. Kamu minum susunya, kamu kan lagi, hamil." Ucap Ardhan memelankan kata hamil. Rara diam. "Gue gak mau, bawa aja lagi sana s**u nya!" "Dikit aja juga gak papa, Ra. Di minum, ya." Kata Ardhan. Rara berdecak kesal. "Gue udah bilang gak mau minum! Lo aja sana yang minum, gue gak mau!" "Yang hamil kan kamu, masa aku yang minum?" "Makanya biarin gue gugurin kandungan gue jadi lo gak bakal repot gini ngurusin gue!" "Ra!" Tegur Ardhan saat Rara kembali mengungkit soal menggugurkan kandungan. Rara diam dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ardhan menghela napas panjang minat Rara seperti ingin menangis. Ia menaruh gelas yang berisikan s**u di nakas. "Jangan ngomong gitu lagi, ya." Ujar Ardhan sangat lembut. Ardhan menyelipkan anak rambut Rara kebelakang telinga. Tidak ada perlawanan dari Rara membuat Ardhan bernapas lega. "Tadi aku pergi sama Fany untuk beli s**u buat kamu, aku tadi udah bikinin s**u nya buat kamu. Kamu gak mau minum susunya?" Tanya Ardhan masih dengan suara yang lembut. Ardhan mengelus kepala Rara saat mendengar suara tangis. "Lo gak perlu sok-sok baik gini ke gue!" Ucap Rara dibalik tangisnya. "Aku ikhlas ngelakuin ini, gak secara terpaksa kok. Apalagi sampe sok-sokan baik ke kamu, aku ikhlas." Balas Ardhan terus mengelus kepala Rara. Ketika Rara tidak mengeluarkan suara lagi, Ardhan mengambil gelas yang ada di nakas, mendekatkan nya kepada Rara. "Di minum, ya. Mau?" Tanya Ardhan menundukkan kepalanya agar dapat melihat wajah Rara yang sedang tertunduk. Ardhan tersenyum senang saat Rara mengangguk kepala dan mengambil alih gelas yang ia pegang lalu mulai menenggak s**u yang sudah ia buat. Abis juga ternyata. Rara menyerahkan gelas yang sudah kosong kepada Ardhan dan Ardhan menerimanya dengan senang hati. "Aku pikir gak bakal habis, ternyata habis. Berarti aku jago ya bikin s**u nya, sekali bikin langsung kamu abisin." Oceh Ardhan. Rara mengangguk kecil sambil berbaring menghadap Fany, membelakangi Ardhan. "Good night." Ucap Ardhan sambil mengecup kepala Rara dan mengelus perut wanita itu. Ardhan menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya dengan mata yang terpejam. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Ardhan harus melanjutkan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda. Ardhan melipat kedua tangannya di atas meja. Menatap bingkai foto berukuran kecil yang ada di meja kerjanya. Foto dirinya bersama Rara, di mana didalam foto itu Rara masih mencintainya, mereka tertawa bahkan bahagia bersama. Itu semua dulu, sebelum semuanya hancur akibat perbuatannya. Ardhan mengambil foto itu memperhatikan nya dengan seulas senyum. "Aku kangen kita yang dulu." Kata Ardhan dengan mata yang sudah memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD