Chapter 08

1765 Words
"Papa," sapa Fany ketika melihat Ardhan masuk ke dapur. Ardhan tersenyum mengelus puncak kepala Fany lalu menatap Rara yang sedang menjalankan rutinitas paginya, yaitu masak. "Kayaknya kalo aku cari makanan di luar aja gak papa deh, Fany beli bekal di luar. Kamu istirahat aja. Atau aku cariin pembantu aja?" Tawar Ardhan kepada Rara. "Gak bisa sembarang cari pembantu." Ardhan sedikit merasa lega saat Rara mau membalas ucapan nya. "Gimana kalo Bi Ijah aja yang di sini? Kamu juga kenal sama Bi Ijah, kan?" "Gak usah ada pembantu, gue masih bisa masak beres-beres apartemen." "Aku panggil aja ya Bi Ijah, seenggaknya dia bisa bantu-bantu kamu. Daripada kamu sendirian yang ngurus apartemen ini." Rara menghela napas, "terserah lo aja. "Kamu bosen gak di sini terus? Maksud aku kamu gak pengen jalan-jalan?" Tanya Ardhan. Rara menggeleng. Ardhan menatap Fany yang sedang meniup nugget yang baru saja di goreng oleh Rara. "Atau, kamu mau jalan-jalan berdua sama Fany?" "Gue lagi gak mood mau kemana-mana. Jangan tanya-tanya lagi." Ardhan pun bungkam. Bungkamnya Ardhan adalah pertanda berakhirnya percakapan antara dirinya dengan Rara. Setelah Ardhan selesai makan lah baru Ardhan kembali mengajak Rara berbicara. "Kamu jangan capek-capek, ya." Kata Ardhan melirik perut Rara. Rara mengangguk sambil memasukkan kotak bekal Fany ke dalam tas. "Jangan, yang enggak-enggak." Rara menatap Ardhan. Wanita itu tersenyum kecil, "let me do what i like." "Ra," suara Ardhan terdengar lembut namun sorot matanya menatap dalam Rara, memberi peringatan kepada wanita itu. Rara tidak menghiraukan ucapan Ardhan. Ia pun membantu Fany memakai tas, menyodorkan tangannya agar Fany mencium punggung tangannya. "Fany pelgi." Pamit Fany dengan suara childish nya. Rara mengangguk dan tersenyum. Fany menyentuh perut Rara, "Fany pelgi baby." Rara sedikit terkejut dengan tindakan dan ucapan Fany. Ia sempat bingung bagaimana bisa gadis kecil itu mengetahuinya. Rara menatap Ardhan, Ardhan tersenyum memperhatikan Fany. "Udah yuk pergi. Ntar Fany telat." Ujar Ardhan sambil melihat jam tangannya. "Dadah, Ma." Fany melambaikan tangannya, Rara ikut melambaikan tangan. Sebelum menyusul Fany yang sudah berjalan terlebih dahulu, Ardhan masih berdiri di dekat Rara. Ardhan menyentuh kepala Rara dan mengusapnya lembut, Rara bergeming ketika Ardhan mengecup lembut kening sembari mengelus perutnya baru pergi menyusul Fany. "Jangan nakal, ya. Ntar Papa jemput." Ucap Ardhan ketika ia berada di depan kelas Fany. "Iya, Pah." Balas Fany sambil mencium punggung tangan Ardhan, ini sudah yang ketiga kalinya Fany mencium tangannya. Ardhan masih berdiri di depan kelas Fany, ia tersenyum ketika melihat Fany menaruh tas imutnya di atas meja dan langsung mengobrol dengan teman-teman sekelas Fany. Ardhan menghela napas melihat lawan bicaranya. "Rara udah hamil." Terdengar suara tawa, tawanya terdengar seperti memaksa. "Congrats, bro. Akhirnya lo resmi jadi bapak." Ardhan tersenyum kecil. "Lo gak seneng?" "Seneng. Gue cuma mikirin aja soal reaksi Rara, lo masih inget kan omongan dia." "Ah, gak mungkin Rara tega gugurin kandungan nya. Jangan negatif deh pikiran lo." "Gue gak negatif, Nat. Jelas-jelas Rara sendiri yang bilang, udah berkali-kali Rara bilang kayak gitu terus. "Rara lagi emosi aja pasti, ntar lama kelamaan dia bakal bisa terima keadaan yang sekarang. Tugas lo sekarang lindungi aja anak lo, harus lebih sabar lagi sama Rara karna katanya bumil itu sensitif banget. Hati-hati aja deh lo kalo mau selamat." Ardhan menghela napas panjang. "Siapa-siapa aja yang udah tau?" "Baru lo. Gue belum siap ngasih tau Mami sama Papi, kalo waktunya udah pas ntar bakal gue kasih tau." "Jadi lo gak pulang nih? Di sana udah jam 8 kan?" Ardhan mengangguk membereskan kertas-kertas yang ada di meja kerjanya sambil menyudahi pembicaraan nya dengan Nathan. Rara menatap piring yang berisikan beberapa potongan buah dengan lesu. Tatapan Rara beralih ke perutnya lalu kembali menatap piring itu. Rara pun mulai mengambil potongan buah tersebut, ketika hendak memakannya tiba-tiba saja Ardhan masuk ke dapur dengan masih memakai pakaian kantor. Ardhan melangkahkan kakinya mendekati Rara, mengambil paksa buah yang ada di tangan Rara membuang buah itu beserta yang ada di piring ke tong sampah. "Masih banyak buah lain." Ucap Ardhan dengan nada berat. Rara menatap kesal Ardhan. "Kamu lagi hamil jangan makan nanas." Rara membuang muka nya malas menatap Ardhan. "Apalagi tadi itu nanas nya masih muda banget. Kenapa kamu makan nanas?" Tanya Ardhan. "Gue pengen makan nanas, apa salahnya?" "Kamu lagi hamil gak boleh makan nanas, apalagi nanas muda. Kamu juga lagi hamil muda, jangan makan nanas!" Rara diam. Ardhan menghela napas duduk di samping Rara. Rara menyembunyikan tangannya di bawah meja saat Ardhan hendak memegang tangannya. "Kamu gak boleh kayak gini, melampiaskan rasa kesel kamu ke dia, gak boleh. Aku yang salah bukan dia, kamu boleh nyakitin aku tapi jangan dia. Kasihan, Ra." Kata Ardhan dengan pelan. Mata Rara sudah berkaca-kaca dengan arah pandangan entah kemana. "Apa yang harus aku lakuin biar kamu mau nerima dia?" Tanya Ardhan sedikit memiringkan kepalanya agar dapat melihat wajah Rara yang enggan menatapnya. "Ra?" Rara menggeleng, ia menundukkan kepala dan mulai terisak. Ardhan langsung memeluk Rara dengan erat. "Gue gak mau kayak gini!" Isak tangis Rara semakin terdengar jelas sambil meremas kemeja Ardhan. "Maaf," bisik Ardhan. Rara semakin erat meremas kemeja Ardhan sembari terisak di dalam pelukan laki-laki itu. "Maafin aku." Ulang Ardhan. Ardhan menelan ludahnya sebelum kembali berbicara. "Aku minta sama kamu, tolong biarin dia ada di diri kamu, biarin sampe dia bisa ngeliat aku dan kamu. Setelah itu, kalo kamu emang pengen cerai, aku siap." Ucap Ardhan. Ardhan menundukkan kepala saat mendengar suara tangis Rara semakin kencang. Ardhan tidak tahu apa yang membuat Rara semakin nangis, apa karena ucapannya barusan? "Itu yang kamu mau?" Tanya Ardhan dengan suara yang lembut sambil menyingkirkan rambut Rara yang menutupi wajah cantiknya. Ardhan tertegun ketika melihat Rara menggeleng. "Gak mau?" Tanya Ardhan untuk memastikannya sekali lagi. Rara kembali menggeleng. Ardhan tersenyum semakin mengeratkan pelukannya. "Biarin dia di perut kamu, ya. Biar kita bisa lihat bareng-bareng gimana muka nya, mirip aku atau kamu." Kata Ardhan sambil tertawa kecil. Rara merespon perkataan Ardhan dengan membalas pelukan Ardhan. Ardhan menjatuhkan pipi nya di atas puncak kepala Rara dengan kedua tangan yang masih setia memeluk istrinya. Dengan hati-hati Ardhan membaringkan tubuh Rara di tempat tidur, wanita itu kembali tertidur di dalam pelukannya saat mereka berada di dapur tadi. Ardhan menarik selimut sampai ke d**a Rara lalu mencium kening Rara, tak lupa juga Ardhan beralih mencium Fany yang sudah tertidur pulas dengan posisi terlungkup. 3.37 AM Rara terbangun dari tidurnya duduk memperhatikan sekelilingnya. Rara menatap Fany yang masih tertidur lalu menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja mata Rara berkaca-kaca, rasanya ia ingin menangis melihat kamarnya sendiri yang hanya di tempati oleh dirinya dan juga Fany. Rara benar-benar merasa kesepian, sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal ini. Rara menghapus air matanya yang sudah jatuh membasahi pipi. Ia pun menangis bingung sendiri apa penyebabnya, yang jelas Rara hanya ingin menangis dan terus menangis. Ceklek... Rara langsung menatap pintu kamarnya yang terbuka, melihat siapa yang datang ke kamarnya tangis Rara langsung berhenti. Rara meremas sprei di balik selimutnya menatap sendu Ardhan yang hanya berdiri di ambang pintu. Berdirinya Ardhan membuat Rara geram sendiri, jujur saja ia ingin sekali Ardhan masuk dan menemaninya tidur, tapi Ardhan malah berdiri sehingga membuat Rara geram. "Kok kamu bangun?" Tanya Ardhan masih berdiri di ambang pintu. Rara menggeleng menatap Ardhan. "Ya udah tidur lagi." Ujar Ardhan. Rara menatap tajam Ardhan yang terus berdiri di pintu kamarnya. "Ya udah sana lo!" Kata Rara dengan nada kesal. Ardhan masuk ke dalam kamar berdiri di dekat Rara. "Kamu kenapa? Abis mimpi buruk?" Tanya Ardhan. Rara mengangguk kecil. "Minum dulu, kebetulan aku bawa minum." Ardhan duduk di tepi tempat tidur membantu Rara minum dan habis setengah gelas. "Mau lagi?" "Gak." Ardhan mengangguk menenggak habis air putih yang memang sengaja ia ambil untuk dirinya, namun akhirnya dia harus berbagi minum bersama Rara dengan rasa haus yang masih membekas. "Tidur lagi," ujar Ardhan mendorong lembut bahu Rara agar kembali berbaring, dan Rara tidak menolak. Ardhan menyelimuti Rara, tak lupa ia mencium kening Rara. Setelah itu Ardhan mengambil gelasnya yang ada di nakas mengelus kepala Rara lalu beranjak pergi. "Ardhan," tubuh Ardhan menegang ketika mendengar namanya di panggil oleh Rara setelah sekian lama Rara tidak pernah memanggil lagi namanya sejak kejadian itu, untuk menyebut namanya saja Rara tidak mau, tapi sekarang Rara memanggilnya dengan terdengar sangat jelas di telinga. Ardhan berbalik tersenyum ke arah Rara. "Kamu manggil aku?" Rara mengangguk. Ardhan kembali mendekati Rara. "Kamu lagi pengen sesuatu?" Rara menggeleng. "Terus? Kenapa dong." Ardhan menaikkan sebelah alisnya menunggu apa yang akan Rara ucapkan. "Jangan, pergi." Kata Rara sangat pelan. "Haah? Kamu, tadi bilang apa?" Ardhan mendengar apa yang Rara katakan, Ardhan hanya ingin kembali mendengarnya saja. "Jangan pergi." Ulang Rara. Ardhan tersenyum, Rara memalingkan wajahnya. "Aku gak pergi kemana-mana kok. Aku masih di apartemen aja." Rara malah terlanjur kesal dengan Ardhan karena laki-laki itu tidak mengerti apa maksudnya. Rara pun mengubah posisi tidurnya menjadi membelakangi Ardhan. "Udah sana lo! Jangan di sini!" Ketus Rara. Ardhan menarik kursi yang ada di depan meja rias Rara dan menaruhnya di dekat Rara yang masih membelakanginya. Ardhan pun duduk. "Aku gak kemana-mana, di sini aja. Ya udah kamu tidur, ya. Aku temenin." Ucap Ardhan sambil mengelus dan mengusap-usap lengan Rara. Ardhan menatap jam yang sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Sebenar lagi Subuh dan Ardhan harus ke kantor pagi-pagi sekali namun ia tidak mempunyai waktu untuk tidur. Sejak kembali ke apartemen Ardhan hanya beristirahat sebentar di ruang kerjanya lalu kembali lanjut bekerja tanpa kembali beristirahat hingga sekarang. Ardhan menghentikan usapan tangannya di lengan Rara saat Rara berbalik menatapnya. "Kok gak tidur? Gak bisa tidur ya?" Tanya Ardhan menatap selimut yang turun ke pinggang Rara dan menariknya sampai ke lengan Rara. "Lo juga tidur." Ardhan mengangguk, "iya nanti." "Di sebelah Fany kosong." Kata Rara kembali berbalik menghadap Fany. Ardhan terdiam mencerna apa yang barusan Rara katakan. "Tadi kamu bilang apa?" "Gak ada pengulangan!" Ardhan tersenyum. "Bener aku di sebelah Fany? Gak di sebelah kamu?" "Terserah." "Yang bener dong, aku di sebelah siapa nih? Aku jadi bingung mau di sebelah siapa. Di sebelah kamu aja, ya?" "Kan udah di bilang terserah." Ucap Rara tanpa menatap Ardhan. "Tapi aku ngikut aja sama kata kamu di awal tadi, tidur di sebelah Fany." Rara diam dengan mata yang masih terbuka lebar hingga kedua matanya bertemu dengan kedua mata Ardhan. Ardhan berbaring di sebelah Fany. Merasakan pergerakan di dekatnya Fany menggeliat membuka mata dengan keadaan setengah sadar. "Papa." Gumam Fany dengan mata yang sudah sayup-sayup. "Iya ini Papa, bobok lagi." Ardhan membawa Fany ke dalam pelukannya menepuk pelan punggung Fany. Rara memperhatikan keduanya, Rara memejamkan mata saat Ardhan menatapnya. Tak lama ia merasakan usapan lembut di kepalanya membuat Rara merasa aman dan nyaman hingga ketiganya sudah tertidur di tempat yang sama untuk yang pertama kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD