Begin a New Life

1887 Words
Dana menatap ke arah bawah dari pesawat kecil yang ia tumpangi. Akhirnya, ia dapat kembali melihat daratan Kalimantan setelah melakukan perjalanan yang begitu panjang. Penerbangan yang memakan waktu hampir 7 jam dari Jakarta dan Seoul malam tadi, ditambah lagi perjalanan dengan pesawat kecil selama 2 jam dari Jakarta menuju Sampit, kota kecil di tengah Kalimantan membuat tubuhnya begitu letih. Matanya menatap daratan yang dipenuhi dengan bangunan – bangunan beratap segitiga yang terbuat dari seng. Dana tersenyum miris melihat daratan hijau yang dulu mendominasi bergantikan dengan warna abu ataupun coklat kehitaman, pertanda apa yang terjadi di Kalimantan beberapa tahun belakangan ini. Ia memang mengetahui semuanya dari Dina saat musibah kabut asap melanda kota kecil kelahirannya beberapa bulan yang lalu. Ia ingat bagaimana paniknya sahabatnya itu saat menghubungi keluarganya yang terjebak di tengah kabut yang menghitam dan berbahaya. Miris. Satu hal yang dapat Dana pikirkan tentang masyarakat Kalimantan mengingat bagaimana mereka terjebak di suatu tempat layaknya ruangan tertutup yang di penuhi dengan asap tebal, minim oksigen yang harus selalu mereka hirup. Padahal kata orang, hutan Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia, tapi melihat bagaimana mereka harus hidup dengan menghirup asap yang berpuluh kali lipat lebih berbahaya dari asap rokok membuat anggapan itu terbantahkan. Sebagai seorang dokter, Dana tau bagaimana bahayanya asap itu. Asap sisa pembakaran lahan gambut yang hitam, pekat bahkan penuh dengan karbonmonoksida. Senyawa yang berbahaya untuk tubuh. Tak pernah ia bayangkan bagaimana jika ia hidup di Kalimantan saat kabut asap melanda pulau itu. Permintaan dari salah seorang pramugari untuk memasang kembali sabuk pengamannya membuat Dana tersenyum. Ia tak sabar untuk merasakan panasnya cahaya matahari yang jarang ia dapatkan di Korea selatan, terutama di musim dingin seperti sekarang. Dana menutup matanya meresapi rasa panas yang akhirnya ia dapatkan saat turun dari pesawat. Tangan kanannya yang menghalau cahaya matahari mengenai wajahnya dengan senyuman.  Welcome to your new World, Da na. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu keluar bandara Haji Asan, Sampit Kalimantan tengah. Terlihat hampir semua orang yang ada di sana memandangnya lekat. Beberapa orang bahkan mengabadikan kedatangannya dengan kamera handphone yang mereka miliki membuatnya seperti seorang artis terkenal. Matanya menatap pakaian yang ia gunakan, menelaah apakah pakaian yang dipakainya terlalu menonjol sehingga membuat semua orang memandangnya seperti itu. Pakaiannya terlihat biasa saja. Kemeja kotak-kotak yang menutupi kaos putih yang ia kenakan terlihat masih normal dikenakan masyarakat Indonesia, lalu Jeans yang ujungnya ia lipat dan sepatu kets juga terkesan biasa saja. Bukan seperti Kim Dani yang harus melakukan airport fashion setiap berpergian ke luar negeri. Begegas, Dana berjalan masuk ke bandara dan menuju tempat untuk mengambil koper dan tasnya. Dia merasa tak nyaman mendapat pandangan lekat dari orang-orang di sekitarnya itu. “Eonni[1]!” pekik seorang perempuan saat ia keluar dari terminal kedatangan. Matanya mencari dan menemukan gadis cantik berkulit kecoklatan melambaikan tangan kesenangan ke arahnnya. Rambut panjangnya yang ia ikat terayun, memperlihatkan keceriaan yang ia pancarkan. Wajahnya yang begitu mirip dengan Dina membuatnya tersenyum. “Lani – yah!” balas Dana membuat gadis yang disapa itu bergegas menghampirinya, mengalihkan troli barang dengan cepat lalu memeluk Dana erat. “Bogoshipoyo[2]” Dana membalas pelukan Lani, “Nado[3]” “Bagaimana perjalananmu, menyenangkan?” tanyanya ceria mengapit tangan Dana, lalu mengambil troli yang sempat ia singkirkan tadi. “Menyenangkan. Walaupun, hijaunya Kalimantan jarang kulihat tadi,” ucap Dana dalam Bahasa  Indonesia yang fasih. Kedua sahabat Indonesianya itu merasa tak adil karena terus mengunakan bahasa Korea saat mereka berlima kumpul, sehingga dengan sedikit paksaan Dina dan Dini mengajak ketiga sahabat Koreanya untuk belajar bahasa Indonesia. Walaupun awalnya sulit bagi Dana, Dani dan Dain untuk mempelajarinya. Tapi sekarang, mereka bersyukur bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih, sehingga saat mereka ingin bergosip ataupun menyampaikan rahasia, mereka bisa menggunakan bahasa Indonesia yang tidak dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. “Kamu ke sini naik motor?” “Ya enggak lah. Masa bawaan Dana eonni sebanyak ini. Aku harus naik motor. Mama sudah nyewa bang Rahman buat jemput.” “Bang Rahman?” tanya Dana menghentikan langkahnya. “Iya. Tetangga sebelah,” ucap Lani mencari keberadaan orang yang ia sebutkan tadi. “itu dia datang,” ujarnya bertepatan dengan mobil tipe keluarga yang sering dijadikan taksi antar kota dan kabupaten berhenti tepat di depan mereka. Dari arah kemudi, keluarlah lelaki khas Kalimantan yang tersenyum ramah kepadanya. “Bang, masukin semuanya, ya,” Pinta Lani, lalu menarik tangan Dana agar masuk ke mobil. Hawa dingin Ac mobil membuat Dana menghembuskan napas lega. Udara terik Kalimantan yang baru saja ia rasakan membuatnya kelimpungan. Dia jarang merasakan udara super lembab seperti ini. “Panas?” tanya Lani saat melihat Dana mengipasi wajahnya. “Tenang saja Dana eonni. Dalam waktu beberapa bulan, eonni bakalan terbiasa,” kekeh Lani membuat Dana tersipu. Dana mengalihkan pandangan menuju jalan saat mobil yang mereka tumpangi membelah kota kecil ini. Suasana pepohonan dengan rumah-rumah kayu yang berjajar tak rapi, nampak begitu berbeda dengan negara asalnya. Pohon-pohon peneduh jalan berbagi lahan dengan tanaman sawit yang entah dikelola siapa. Membuatnya berpikir apa yang sebenarnya diinginkan pemerintah kota kecil ini dengan menjadikan lahan sawit gratis di sepanjang jalan yang merusak pemandangan. Seharusnya yang ditanam adalah pohon – pohon dengan daun banyak yang akan meneduhkan jalan atau sekalian pohon palem cantik seperti pohon – pohon yang berjajar rapi di Bevery Hills. Dana kembali mengeryitkan kening saat banyak bundaran-bundaran kecil dengan lampu merah yang mempersempit badan jalan dan akhirnya membuat kemacetan. “Tata kota kalian sekarang aneh,” gumam Dana membuat Lani mengangkat bahu. “Jangan dilihat bundarannya aja dong, Eonni. Pemerintah juga membangun lahan hijau terbuka dan beberapa ruang publik untuk masyarakat, contohnya Taman kota yang terlihat lebih rapi dan terawat, Monumen jelawat di pinggir sungai Mentaya, sampai Bundaran besar belanga dekat Mesjid agung yang bisa dijadikan tempat  eksis buat Selfie.” “Benarkah?!” “Beneran. Nanti aku bawa eonni ke sana,” jawab Lani membuat Dana mengangguk tak sabar melihat perubahan kota kecil ini. Berbeda dengan Korea yang memiliki jalan-jalan besar dan gedung-gedung pencakar langit. Sampit hanya memiliki bangunan-bangunan kecil yang memiliki lantai tak lebih dari dua sampai tiga lantai. Sambaran petir  yang sering terjadi membuat penduduk kota ini tidak terlalu berani membangun bangunan yang lumayan tinggi. Dana memajukan tubuhnya menatap ke arah kaca depan saat melihat rumah sederhana khas perumahan Sampit dengan halaman yang di semen dan penuh beberapa tanaman bunga eksotis yang berharga mahal jika di Korea. Senyum Dana tak dapat dia tutupi saat melihat wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya.  “Mama Mar!” pekik Dana saat keluar dari mobil. Segera ia menghampiri Marisa yang tersenyum melihatnya. Raut wajah sedih yang ia perlihatkan sebelum Dana mendekatinya berubah sumringah saat tubuhnya memeluk Dana. Dana melepaskan pelukan Marisa lalu menatap mama dari sahabatnya itu yang terlihat santun dengan gamis dan kerudung yang membalut kepalanya. “Perjalananmu menyenangkan?” Suara lembut Marisa yang menanyakan perjalanannya membuat Dana menanggukkan kepala. Ada perasaan lega yang dia rasakan saat melihat Mama sahabatnya itu terlihat sehat dan bugar, menjawab kekhawatiran Dina akan mamanya yang hanya tinggal berdua bersama adiknya yang masih SMA sejak Papanya meninggal sejak dia kuliah dulu. “Lebih menyenangkan jika aku dapat memakan masakan mama. Perutku lapar,” ucap Dana manja mengapit tangan Marisa, seolah Mamanya sendiri,  Marisa terkekeh mendengar ucapan manja dari sahabat salah satu sahabat anaknya it. Melihat Dana yang berusaha bersikap manja dan ceria kepadanya membuatnya sadar bahwa Dana tak ingin ia ataupun Lani membicarakan tentang keadaannya sebelum berangkat ke Sampit. “Man, Ikam[4] sudah makan kah?!” teriak Marisa dengan logat banjar yang khas membuat Dana tersenyum geli. “Sudah am!” jawab Rahman yang sibuk mengeluarkan barang bawaan Dana. Marisa menangguk mendengar jawaban Rahman, lalu meminta Lani menyiapkan minuman dingin untuk Rahman. “Ayo masuk!” ujar Marisa membawa Dana masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. “Mama masak apa?” tanya Dana berjalan di samping Marisa mengapit tangannya seperti yang sering ia lakukan pada Ibunya. “Sayur asam Sampit, patin goreng, tempe goreng sama sambal.” “Sayur asam itu yang ada ikannya?” tanya Dana dijawab anggukan Marisa. Dana meneguk air liurnya menatap masakan  yang tersedia di atas meja. Tak menyangka bahwa mama dari sahabatnya itu masih ingat makanan kesukaannya saat berkunjung ke Sampit, dua tahun silam. Jika Dani dan Dain tergila – gila dengan makanan yang dijual, seperti Sate, nasi goreng, bakso bahkan mie ayam. Dia menyukai masakan rumahan, seperti sayur asam, pais[5]ikan, sayur bening bahkan sambal. Menurutnya, cita rasa sayur asam sangat pas di mulutnya yang terbiasa makan – makanan yang asam. Ia yakin walaupun tanpa kimchi ataupun segala lauk pelengkap yang sering disediakan di masakan Korea, ia tetap bisa makan dengan lahap semua makanan yang dimasak dengan cinta oleh Marisa. “Kamu makan.” “Mama temenin aku makan. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Terutama, salam dari Dina.” Wajah Marisa langsung sumringah saat mendengar nama Dina disebutkan Dana. Dengan segera, ia menarik tangan Dana dan menarik kursi lalu mendudukan Dana di sana. Dengan telaten ia mengambilkan nasi ke atas piring sahabat anaknya itu. Dana menyambut piring itu. Di sisi lain, ia melihat bagaimana kerinduan yang mendalam diperlihatkan Marisa dalam sorot matanya. Mengingat putri sulungnya bekerja di luar negeri hanya untuk menghidupi dia dan adik semata wayangnya. “Dina sehat dan tidak kurang satu apapun,” ucap Dana cepat, saat Marisa ingin membuka mulutnya. Jawaban yang diucapkan Dana membuatnya tertawa lepas. Seolah beban yang selama ini memenuhi kedua pundaknya terangkat seketika hanya dengan mendengar kabar dari anaknya. “Dia minta maaf karena masih belum bisa pulang. Appa juga merasa bersalah karena terlalu memforsir tenaganya. Tapi, Dina satu – satunya selain aku dan Donghae oppa yang dia percaya. Dina hanya perlu menyelesaikan mega proyek pembangunan LDN departement store di daerah Mokpo, sebelum Appa memberinya libur selama 2 bulan. Mudah – mudahan, departemen store itu selesai sebelum puasa sehingga Dina bisa kembali dan berhari raya bersama kalian.” “Mbak Dina beneran pulang? Jinjja[6]?!” pekik Lani yang baru saja keluar dari kamarnya. Pakaian berpergian yang ia kenakan tadi berganti dengan kaus dan celana jeans pendek. Dana tersenyum lalu mengangguk membuat binar di mata Marisa dan Lani semakin terlihat. Kebahagiaan dan kerinduan melebur menjadi satu saat Dana menceritakan keadaan Dina dan ketiga sahabatnya yang lain. “Kamu mau ngapain?” tanya Marisa saat Dana mengangkat piring kotor ingin membawanya ke dapur. “Biarin mama aja, kamu baru datang sebaiknya istirahat. Tadi Lani sama Rahman sudah naruh koper sama tas yang kamu bawa ke kamar. Kamu pake kamar Dina, ya... Ada di sebelah situ,” tunjuk Marisa pada pintu kamar berwarna kayu yang berada di samping depan. Marisa mengambil piring yang ada di tangan Dana, lalu memberi kode agar Dana bergegas menuju kamar itu. Dana menghela napas, tersenyum simpul sebelum kemudian memasuki kamar Dina. Raut wajah ceritanya berubah bersamaan dengan pintu yang tertutup. Kepura – puraan yang ia perlihatkan akhirnya luntur bergantikan raut wajahnya yang sesungguhnya. Kesedihan itu masih terasa walaupun ia berada jauh dari negara asalnya. Dana hanya bisa berharap bahwa seiring berjalannya waktu, ia akan bisa melupakan Won dan menjalani hidupnya kembali, walaupun dia tahu, sebenarnya tak mudah untuk menjalani hal itu. Tapi dia harus berusaha, setidaknya dia masih mempunyai banyak orang yang menginginkan agar dia bisa hidup berbahagia kembali walau tanpa Won di sisinya.   [1] Panggilan adik perempuan untuk kakak perempuan [2] Aku merindukanmu [3] Aku juga. [4] Kamu (bahasa banjar) [5] Pepes  [6] Sungguh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD