Like A Home

1690 Words
Dana meneliti kamar tidur Dina. Ruangan berukuran 4 kali 4 meter ini bahkan tak lebih besar dari kamar mandinya. Berbeda dengan kamarnya yang luas dengan berbagai furniture kamar Dina hanya terdiri dari tempat tidur berukuran queen size di tengah ruangan, lemari kayu jati dan meja belajar yang mungkin juga berfungsi sebagai meja rias di kanan dan kiri ranjang. Dinding berwarna putih dengan berbagai poster artis, aktor bahkan beberapa personel boyband Korea yang dulu sempat digilainya. Dana terkekeh pelan, mengingat awal persahabatan mereka. Saat Dina dan Dini menarik tangan mereka hanya untuk berburu tiket konser salah satu boyband terkenal pada masanya. Rela mengantri lama, tanpa berdesakan layaknya di Indonesia dan berteriak sekencang mungkin saat mendapatkan tiket dengan tempat paling strategis yang membuat mereka bisa berhadapan atau yang lebih beruntung akan dapat menyentuh idolanya walaupun, hanya seujung jari. Dana duduk di tepi ranjang dengan bedcover berwarna hijau yang ia yakin baru saja diganti oleh Marisa, menatap tumpukan koper dan tas yang ia bawa. Menghela napas, ia tak mungkin bisa beristirahat. Jika barang – barangnya belum dirapikan. Dana kembali bangkit mendekatkan koper – kopernya, mengusap lantai keramik di bawahnya lalu duduk di sana. Setidaknya, ia bisa membongkar, bahkan merapikan semua barang – barang yang ia bawa. Ia menghela napas dalam saat membuka koper paling besar yang ia bawa. Tumpukan buku tebal kedokteran menyapanya. Huruf Hangeul yang baru saja tak ia lihat di seluruh sudut kota, kini terlihat kembali di halaman depan buku – buku tebalnya. Dana merapikan buku sesuai dengan ketebalan dan panjang bukunya, berdiri, membawa buku-buku itu ke rak buku sederhana yang dipaku di dinding depan meja. Beralih, merapikan pakaian – pakaian tipis miliknya ke dalam lemari. Tersenyum simpul lalu menghela napas dalam. Berada di rumah sederhana Dina membuatnya sadar bahwa ia tak pernah merasa bersyukur dengan kemewahan yang selama ini ia terima. “Masuk!” teriak Dana saat mendengar ketukan pintu. Senyumnya kembali mengembang saat melihat kepala Lani bergerak masuk ke depan pintu. “Mau aku bantu, Eonni?” Dana mengangguk membuat Lani bergerak masuk dan mengambil pakaian yang sudah disusun, membawanya ke dekat Dana. “Eonni bakalan lama di sini?” tanya Lani disela apa yang ia lakukan. “Hanya tiga bulan. Tapi... jika Sampit membuatku lebih bahagia, mungkin aku akan tinggal lebih lama di sini.” Lani terdiam mendengarkan ucapan Dana. Percakapan yang ia lakukan dengan kakaknya minggu lalu membuat ia dan mamanya mengetahui apa yang terjadi dengan Dana selama beberapa bulan terakhir. Lani juga tau bahwa senyum tipis yang diperlihatkan kepadanya dan Mamanya tadi adalah senyuman untuk menutupi kesedihannya. Dulu, jika ia bertemu dengan keempat sahabat kakaknya yang datang untuk berlibur ke kota kecil mereka, senyum sumringah Dana lah yang paling ia rindukan. Senyum tulus penuh dengan kelembutan yang membuat siapa saja ikut tersenyum melihatnya. Matanya menatap tangan kiri Dana yang tertutup dengan gelang giok yang diberikan sahabatnya untuk menutup bekas luka akibat percobaan bunuh diri yang Dana lakukan dulu. Lani menggelengkan kepalanya, lalu menatap Dana yang terlihat sibuk memasukan pakaiannya sesuai dengan warna. Ia harus berusaha menjadi adik yang baik untuk sahabat kakaknya itu dan membantunya untuk beradaptasi dengan Sampit. “Done!” pekik Lani gembira saat berhasil membongkar dan merapikan 2 koper besar yang dibawa Dana tadi. Lemari Dina yang awalnya kosong sekarang penuh dengan pakaian-pakaian Dana. “Dina sering menelponmu?” tanya Dana yang sedang duduk di lantai, mengambil tas tangan yang ia bawa. Lani duduk di atas ranjang, lalu mengangguk. Melihat Dana yang sedang asyik mengeluarkan barang – barang kecil dari tasnya. Decak kagum keluar dari mulut Lani saat melihat berbagai krim perawatan wajah yang baru saja di keluarkan Dana. “Orang Korea selalu makai banyak krim?” tanya Lani membuat Dana terkekeh. “Kami selalu menjaga kulit kami.” “Kalau krim yang digunakan Eonni habis? Aku yakin krim yang Dana Eonni gunakan tidak ada yang menjual di Indonesia, terutama di kota kecil ini.” “Aku tinggal minta Dani untuk mengirimkannya. ” kekeh Dana membuat Lani mengangguk. “Eh, iya. Ini.” Mata besar Lani membulat tak percaya saat Dana memberikan kotak kecil yang terlihat begitu exlusive dengan nama perusahaan pembuat elektronik terkenal di seluruh dunia. Binar di matanya menandakan benda ini, benda yang benar – benar ia inginkan. “Dina bilang kamu ingin benda ini saat melihat Da ni menggunakan handphone ini di drama terbarunya. Ayo ambil!” Dana menggoyangkan kotak itu menggoda Lani agar mengambilnya. “Ini beneran buat aku, Eonni? Ini smartphone biarpun jatuh ke air cucian piring, nggak akan rusakkan” tanya Lani memeluk erat kotak itu membuat Dana mengangguk. “Nee... pergunakan dengan baik.” “Gomawo, Eonni,” ucapnya meninggalkan Dana untuk memberitahu ibunya, oleh-oleh yang kakak tersayangnya berikan. Dana memperhatikan tingkah ceria Lani saat keluar dari kamarnya. Rasa sayang dan keceriaan yang Marisa dan Lani berikan seolah membuat hatinya menghangat. Rasa sesak yang selama ini ia rasakan perlahan memudar, bergantikan dengan perasaan lega. Sepertinya, keputusan untuk pindah ke Sampit sementara waktu merupakan keputusan yang tepat. ***** Dana mengucek matanya, berusaha untuk sadar. Suara keras yang menggema membangunkannya. Ia masih belum terbiasa dengan suara panggilan untuk sholat subuh yang sering dilakukan sebagian orang Indonesia itu. Dana merenggangkan tubuhnya yang kaku, kemudian berjalan ke kamar mandi yang ada di luar kamar. “Kamu kok sudah bangun?” tanya Marisa mengejutkan Dana. “kebangun dengar suara...” Jari Dana ke atas seolah menunjuk suara adzan yang masih terdengar. “Mulai sekarang, biasakan untuk mendengarnya tiap hari,” ucap Marisa membuat Dana mengangguk. “Mama mau kemana?” tanya Dana mengenakan pakaian sejenis kerudung berwarna putih panjang hingga menutupi paha, di tangan kanannya terlampir rok dengan warna yang sama dan sebuah kain berwarna merah dengan gambar masjid. “Masjid. Sholat subuh. Kamu sama Lani di rumah, bentar lagi dia juga bangun buat sholat.” Dana melihat Marisa tersenyum lalu pamitan kepadanya, mengintip di jendela memperhatikan Marisa yang berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang mengenakan pakaian yang hampir mirip dengan mama sahabatnya itu. Dana menghela napas dalam, masih tak mengerti kenapa sebagian besar masyarakat Indonesia rela bangun sepagi ini, bahkan ayam saja belum berkokok untuk menyambut pagi. “Mau sholat juga?” tanya Dana saat mendengar suara pintu terbuka. Lani terkejut melihatnya, lalu saat sudah menyadari siapa orang yang ada di depan pintu keluar, ia mengangguk. “Eonni, tidak tidur lagi?” Dana menggeleng, “Aku tidak terbiasa tidur lagi setelah bangun seperti ini. Kamu tidak sekolah?” tanya Dana yang dijawab gelengan Lani. “Minggu libur.” Lani mengucek matanya, “mau ikut aku, setelah mama pulang nanti?” Dana mengernyitkan keningnya, “Kemana? “Adalah satu tempat yang bakalan membuat Dana eonni akan jatuh cinta dengan Sampit.” ***** Dana melepaskan helm yang ia kenakan sembari melihat sekitarnya. Warna biru malam, perlahan memudar bergantikan dengan warna biru lebih terang pertanda pagi akan datang. Bangunan-bangunan ruko tingkat dua, tempat orang berjualan pakaian yang ada persis di depan mereka masih tutup. Tapi, lahan parkir tempat mereka sekarang sudah ada beberapa motor di sana. “Ini dimana?” tanya Dana  merapikan rambutnya yang berantakan lalu melihat tembok besar berwarna hitam yang berada di belakang parkiran. “Monumen Jelawat. Eonni ingat saat aku mengatakan tempat bagus untuk ber-selfie?” tanya Lani yang dijawab anggukan Dana. “Ini tempatnya. Selain untuk tempat untuk eksis, tempat ini juga tempat yang tepat untuk melihat matahari terbit dan tenggelam.” “Eksis?”  tanya Dana tidak mengerti dengan kosakata baru yang Lani ucapkan. Meskipun sudah lumayan lancar berbahasa Indonesia, tetap saja bahasa slang atau bahasa-bahasa gaul Indonesia, masih tak begitu dimengertinya. “Iya Eksis. Emm...” Lani berpikir keras untuk mengartikan kosakata baru yang ia berikan kepada sahabat kakaknya itu. “Ehm..., Kekinian, Eonni. Iya, kekinian. Tempat yang bisa buat kita selfie terus kita update ke media sosial kita,” jelasnya membuat Dana mengangguk mengerti. “Ayo, eonni. Nanti kita terlambat melihatnya.” Dana tersentak saat Lani menarik tangannya menuju tangga. Ia menengadahkan kepalanya melihat puluhan anak tangga yang ada di hadapannya. Dengan sedikit tergesa, ia mengikuti langkah semangat Lani. Napas Dana ngos-ngosan saat mereka berhasil meniti tangga terakhir. Ia menundukan badannya sembari memegang jantungnya yang berdetak kencang, mencoba menarik udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi ruang kosong di paru-parunya. Dana yakin, Dani dan Do hae akan memarahi dan memberi nasehat panjang-lebar jika tau ia sudah kecapekan hanya dengan naik tangga seperti ini. Pandangan Dana terpaku saat ia menegapkan tubuhnya. Ruang publik yang tertata rapi dengan beberapa bangku taman berada di setiap bagian tempat ini, seolah sengaja diletakkan untuk para pengunjung yang ingin bersantai. Di sebelah kanan ada patung besar yang berisi ikan khas Sampit yang mengeluarkan air di bagian mulutnya. Tatapan terpesona tak dapat ia tutupi saat melihat ke arah depan. Langit biru gelap yang awalnya menemani mereka berubah warna menjadi sedikit oranye saat matahari mulai menampakkan diri. Sungai Mentaya yang menjadi latar memperindah fenomena harian ini. Hembusan angin pagi membuat Dana merapatkan cardigan panjang yang ia pakai. Tanpa sadar melangkah mendekat menuju pagar pembatas. Tangannya menggenggam pagar itu dengan senyuman cerah secerah mentari pagi. Tak ia pedulikan, hembusan angin yang membuat rambutnya berkibar. Matanya menutup merasakan hangatnya sinar mentari yang sangat jarang ia rasakan di negara asalnya. Di sisi lain, terlihat seorang pria dengan kamera DSLR miliknya yang awalnya diperuntukan untuk memotret matahari pagi di tengah sungai Mentaya, berubah ke arah Dana. Pria tampan dengan umur akhir 20 tahunan, tampak terpesona melihat gadis cantik berwajah oriental yang terlihat begitu menikmati sinar matahari pagi. Tangannya tanpa sadar menekan tombol dan mulai memotret Dana. Seakan menangkap momen yang begitu jarang ia lihat. Tangan pria itu memfokuskan lensa agar dapat memotret ekspresi wajah gadis itu saat Dana mengalihkan pandangan. Pria itu berhenti memotret dan menurunkan kameranya hingga membuat mata mereka bertemu. “Eonni!” panggil Lani membuat Dana mencari keberadaan gadis itu. Ia tersenyum lemah saat menemukan Lani berjalan kearahnya. “Wae[1]?” tanya Lani saat melihat Dana mengarahkan pandangan ke seluruh penjuru monument seolah mencari seseorang. “Aniya[2],” elak Dana saat tak menemukan pria yang memotretnya tadi. “Mau duduk di bawah? Kita bisa melihat sungai lebih dekat. Ayo!” Lani kembali menarik tangan Dana, membuat wanita itu mau tak mau mengikutinya sembari bertanya-tanya siapa pria yang memotretnya tadi.   [1] Kenapa? [2]Tidak apa-apa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD