Sunrise at Sampit

1710 Words
Dana duduk bagian keramik layaknya tangga yang memang diperuntukan untuk duduk. Bagian bawah monument jelawat ini memang indah. Pemandangan desa seberang dengan tulisan ‘Selamat datang di Sampit’ terpampang lebih jelas dengan sungai Mentaya yang luas mengelilinginya. Di area sungai yang luas itu berlalu lalang, perahu panjang yang sering disebut kelotok oleh masyarakat. Perahu tersebut dihias di bagian atasnya dengan bangku kayu untuk mempercantiknya. Lani mengatakan mereka bisa berkeliling sungai mentaya dengan menyewa kelotok itu. Dan kadang kala mereka malah duduk di atas atap kelotok tanpa pengaman apapun.  Dana menggelengkan kepala melihat Lani yang  sudah narsis dengan berfoto selfie di pinggir pagar pembatas menggunakan smartphone pemberian kakaknya. Dana mendongakan kepala saat merasakan sinar mentari pagi menerpa wajah dan telapak tangannya yang tak tertutup. Merasakan vitamin D yang baik untuk tubuhnya yang jarang dia dapatkan di Korea. Apa kau bisa merasakannya, Oppa? Bukankah ini yang kita inginkan dulu. Memandang matahari pagi bersama, berpegangan tangan sembari merasakan hangatnya sinar matahari pagi menerpa wajah dan telapak tangan kita yang bertaut. Air mata Dana kembali terjatuh saat kembali mengingat keinginannya bersama Won dulu. Mimpi pertama setelah mereka menikah adalah bangun pagi-pagi buta hanya untuk menyambut dan merasakan hangatnya matahari pagi. Dan sekarang, hanya Dana seorang yang bisa merealisasikan mimpi itu. “Eonni!” pekik Lani membuat Dan dengan cepat menghapus air matanya. Dari kejauhan ia melihat adik sahabatnya itu melambaikan tangan dengan penuh semangat. Dana tersenyum simpul melihat tingkah Lani yang memanggilnya untuk berfoto di bawah patung ikan besar yang mengeluarkan air mancur. “Eonni, Ppaliwa[1]...” Lani mendekati Dana lalu menarik tangannya agar bergegas ke spot foto yang ia inginkan tadi. “Eonni, Ayo. Setidaknya kita bisa membuat kenangan kita di sini.” Dana hanya mengikuti Lani saat gadis itu mulai kembali mengeluarkan smartphone-nya dan mulai mengajak Dana untuk berselfie ria. Dana menghela napas dalam. Apa salahnya ia membuat kenangan di tempat ini, setidaknya dengan begitu ia membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia sedang mencoba untuk melupakan kesedihan di masa lalunya. “Nanti kita foto di atas kelotok ya, Eonni?” “Heh!” pekik Dana tak percaya dengan apa yang baru saja diutarakan Lani. “Ayolah eonni. Seru lagi. Kita bisa ikut susur sungai[2] dengan kelotok itu. Aku juga pengen kita berfoto di tugu selamat datang di kampung seberang itu. Ayolah, eonni. Teman-temanku nggak ada yang beraninya.” Dana menghela napas menatap kelotok-kelotok yang hilir mudik. Matanya menatap takut-takut air keruh yang disuguhkan sungai Mentaya. Menimbang apakah aman, jika ia mengikuti keinginan Lani untuk berfoto di atas perahu itu. ***** Dana baru saja turun dari motor matik Lani saat melihat Marisa berada tepat di sampingnya. Melihat ke arah tangan Marisa yang penuh dengan kantong plastik berisi sayuran dan bahan makanan lainnya, membuat Dana tau kalau Marisa baru saja datang dari pasar. “Indah?” tanya Marisa membuat Dana mengeryit tak mengerti. “Matahari terbitnya.” Dana terkekeh kemudian mengangguk, “Aku pasti akan merindukan matahari yang terbit dari sungai Mentaya jika sudah meninggalkan Sampit nanti,” ucap Dana melepaskan helm yang ia kenakan lalu menggantungnnya di kaca spion motor. “Sudah sarapan?” Kali ini Dana dan Lani mengangguk bersamaan. “Tadi aku ngajakin Dana eonni makan di taman. Aku nggak nyangka, orang Korea kok, suka makan pecel lele,” cibir Lani menggelengkan kepalanya. “Ye... pecel lele itu enak tau. Di Korea nggak ada.” “Tau,” angguk Lani cepat. “Mama seharusnya liat tadi, gimana orang-orang ngeliat wanita Korea satu ini makan pake tangan sambil ngejilat sisa bumbu kacang yang ada di jarinya. Aku yakin mereka bakalan upload tingkah langka dia ke youtube.” “Kamu!” Dana bersiap untuk mengejar Lani yang mengejeknya. Tapi, gadis itu sudah kabur duluan. Setelah melihat matahari pagi di monument ikan Jelawat. Lani memang mengajak Dana ke taman kota yang berada tak jauh dari sana. Melihat perbedaan taman kota dua tahun yang lalu dengan yang sekarang. Tak ada lagi lapangan dengan rumput-rumput becek, jika hujan. Bergantikan dengan paving dan beberapa tiang bertuliskan kaligrafi arab. Taman-tamannya diperbaiki sehingga membuatnya lebih cantik dan enak dipandang mata. Ada dua hal yang masih Dana ingat di taman itu. Pertama, pohon beringin yang masih kokoh di beberapa sisi taman dan beberapa penjual makanan yang berjualan di sepanjang pinggir taman kota itu. Jangan silahkan ia, jika berbuat seperti itu. Makanan Indonesia yang berbeda namun cocok di lidahnya membuatnya menghabiskan makanan itu hingga jilatan terakhir. Marisa tertawa melihat kelakuan Dana dan Lani. Sedikit lega saat melihat Dana mulai bisa mengeluarkan tawa dan emosinya, walaupun ia sadar tidak seperti dulu. Ia berharap setelah ini, tawa lepas yang dulu sering Dana perlihatkan kepadanya akan bisa ia lihat terus. Bahkan, setelah gadis itu kembali ke negara Asalnya. ***** “Kamu tidak apa-apa ikut Lani?” tanya Marisa lagi untuk ke sekian kalinya saat melihat Dana merapikan pakaiannya. Jam masih menunjuk ke angka 6 saat Dana sudah bersiap untuk pergi bekerja di tempat barunya. “Nggak kepagian?” tanya Marisa sekali lagi membuat Dana menghela napasnya kemudian menggeleng. “Nggak apa - apa.” “Kamu seharusnya masuk jam berapa?” “Jam 9.” “Tuh kan kepagian. Kamu nanti aja berangkatnya. Biar mama panggilkan tukang ojek langganan mama.” Dana menggelengkan kepalanya sekali lagi. “Nggak papa, kok. Beneran. Lagipula, aku ingin melihat-lihat tempat kerjaku yang baru sekalian, beradaptasi di sana, sebelum benar-benar kerja.” Marisa menghela napas. Tak ada gunanya beradu mulut dengan Dana. Ia bukan Dina yang akan mengikuti semua ucapannya. Matanya beralih menatap Lani yang sudah siap dengan pakaian putih abu-abu dan tas selempang yang ia letakkan di kursi. “Makan dulu. Mama udah masakin nasi goreng.” Dana dan Lani sontak mengangguk dan berjalan menuju meja makan. Dana melihat sajian nasi goreng khas Indonesia yang tersaji di sana. Jika seperti ini terus, ia yakin berat badannya akan naik drastis. “Eonni, sudah?” tanya Lani yang sudah berdiri dan menghabiskan s**u cokelatnya. Dana memakan suapan terakhirnya sebelum akhirnya ikut berdiri dan mengambil tasnya. Lani sedikit berlari mendekati Marisa “Assalamu’alaikum,” ucapnya mencium tangan, lalu mengecup pipi kanan mamanya itu. Dana yang melihat apa yang dilakukan Lani, kebiasaan di Indonesia terlihat begitu berbeda dengan negara asalnya. Jika di Korea, ia hanya perlu mengucapkan salam, menunduk lalu mengecup pipi Mama-nya, tanpa harus mencium tangan beliau. “Eonni. Kajja!” teriak Lani dari luar membuat Dana mengangguk lalu mengikuti apa yang Lani lakukan. ***** “Aku anter sampai sini, ya Eonni.” Dana turun dari motor Lani, memberikan helm kepada adik sahabatnya itu lalu mengangguk. “Di sebelah situ lobby sama buat pendaftaran pasien buat ke poliklinik, sedangkan sebelah kanan itu unit gawat daruratnya. Aku berangkat ya, Eonni. Annyeong gaseyo[3].” Dana menatap sepeda motor matik Lani yang melaju meninggalkannya. Matanya menatap RSUD dr. Murjani, tempat ia akan mengabdikan diri selama tiga bulan ke depan. Jarak antara bangunan utama dengan jalan utama tidak terlalu jauh, sekitar 300 meter yang mungkin saat rumah sakit ramai akan dijadikan parkiran mobil. Di area sebelah kanan ada  tanah lapang yang mungkin akan dijadikan parkir motor untuk para keluarga pasien. Di sebelah depannya terdapat beberapa gerobak dan sepeda motor yang digunakan untuk berjualan. Rumah sakit yang nampak begitu berbeda dengan rumah sakit tempat ia bekerja dulu. Jika rumah sakit tempat ia bekerja dulu, tinggi layaknya gedung perkantoran di Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia, rata-rata bangunan di rumah sakit ini berlantai 1. Hanya bagian poliklinik dan unit gawat darurat yang berlantai dua. Dana berjalan memasuki Lobby. Tersentak saat melihat banyaknya manusia yang sudah antri padahal pendaftaran belum dibuka. Melirik jam tangannya melihat jam masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. Jam operasional rumah sakit bahkan belum dimulai dan calon pasien sudah membludak seperti ini. Dana melangkah masuk lebih dalam melihat bangunan-bangunan sebelah dalam. lorong-lorong terbuka khas rumah sakit Indonesia langsung menyapanya. Melihat ke arah sebagain ruangan yang sengaja diberi nama bunga. Suasana yang terasa begitu berbeda membuatnya merindukan tempat kerjanya yang dulu. Beberapa perawat yang tanpa sengaja berpapasan dengannya terlihat berhenti dan memandangnya penuh rasa ingin tau. Sedikit berbisik seolah menanyakan apa yang menyebabkan gadis dengan wajah cantik khas para artis Korea sedang berada di rumah sakit terpencil seperti ini. Dana menundukkan wajahnya tak nyaman dengan tatapan penuh keingintahuan yang mereka perlihatkan. Langkahnya dipercepat mencari keberadaan kantor manajemen. Dana berhenti saat menyadari bahwa ia memasuki emergency room atau unit gawat darurat rumah sakit ini. Tak ada yang berbeda, deretan ranjang single dengan tirai putih yang bisa dibuka-tutup. Beberapa pasien yang mungkin malam tadi baru saja masuk masih tampak tertidur, menunggu untuk pulang atau dipindahkan ke ruang rawat lain. Pandangan Dana beralih melihat seorang perawat jaga yang nampak setengah tidur di meja yang diperuntukan untuk bagian administrasi. Perawat muda yang ia yakini baru saja selesai menyelesaikan studinya. Tangan Dana mengetuk pelan meja kaca itu agar perawat itu bangun. Beberapa kali ia mengetuk meja hingga akhirnya perawat itu menerjabkan mata dan langsung berdiri saat melihat wajah cantik Dana. “Hanguk saramieyo?[4]” tanya perawat muda itu yang bernama Mustika dilihat dari name tag-nya menggunakan bahasa Korea yang sedikit rancu. Terlihat dia begitu menyukai K-pop ataupun K-drama yang begitu berkembang di Indonesia sekarang ini. Dana mengangguk dan menundukkan badannya, “Ne.. Annyeong haseyo.” “Annyeong haseyo... Ommo, Ottoke?![5]” pekik perawat muda itu seraya menutup mulutnya tak percaya. “Pe...” ucapan Dana dalam bahasa Indonesia terpotong saat mendengar suara teriakan panik dari arah pintu masuk. Bergegas, Dana dan perawat muda itu mendekat dan melihat seseorang keluar dari mobil sedan dan teriak memanggil petugas jaga. Perawat yang masih muda itu terlihat panik dan melirik ke arah belakang, seolah berharap ada satu dari dokter jaga yang berada di tempatnya. Dana terkejut saat melihat mereka menggotong seorang pria muda yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang Lani kenakan pagi. “Kau mau terus panik seperti ini dan tidak menolong mereka?!” pekik Dana dalam bahasa Indonesia membuat perawat itu tersadar dan bergegas mendekati mobil itu dengan membawa bangkar. Seolah, tak dapat berdiam diri. Dana mengikuti langkah perawat itu dan mencoba membantunya.     [1] Cepatlah! [2] Menyusuri sungai. Jika di kalimantan, Biasanya dilakukan menggunakan kelotok, sejenis perahu panjang yang bisa menampung belasan orang. Kelotok dilajukan pelan sehingga para penumpang bisa merasakan angin sepoi-sepoi sembari menikmati pemandangan yang disuguhkan Sungai Mentaya. [3] Ucapan salam perpisahan [4] Orang Korea? [5] Ya ampun, bagaimana ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD