Kaysha melirik ke samping kanan dan kirinya. Ia tak sadar kalau air mata yang berjatuhan ini menjadi pusat banyak pasang mata yang menatap dirinya.
Langkah kakinya yang tak henti berjalan, Kaysha sesekali menghapus air matanya dan menundukan pandangannya agar ia mengabaikan orang orang yang menatap dirinya aneh.
Sesekali wanita itu menghembuskan napas pelan, ia mencoba untuk tidak mengingat hal yang baru saja terjadi.
Namun, nyatanya masih saja bayangan pria itu yang sudah melakukan pelecehan padanya membuat air mata Kaysha kembali berderai lagi, hingga tak terasa ia sudah berjalan cukup jauh dan sudah berada di depan stasiun kereta.
“Aku beli tik—“
Kaysha mendelik, saat ia tersadar kalau ponsel dan juga dompetnya masih berada di hotel.
“Bodoh… bodoh… bodoh!”
Kaysha memukul kepalanya pelan.
“Kenapa aku bisa sebodoh ini sih nggak inget sama itu ponsel dan dompet. Terus ini aku mau pulang pake apa? Ngesot sampai ke rumah oma?” geram Kaysha merutuki dirinya yang nampak bodoh.
“Ya Tuhan… kenapa nasibku seperti ini sekali. Kenapa hari ini aku sial sekali. Sudah di lecehkan kini aku nggak bisa pulang.”
Kaysha tak henti-henti bergerutu. Ia duduk di lantai dingin bingung akan pulang naik apa.
Di periksanya pakaianya, namun ia mengenakan training di mana tidak ada uang sesent pun. Tangan kecil itu memeriksa mantel yang ia kenalan.
Mantel itu milik Jamie. Saat ia memeriksa mantel tebal tersebut. Kaysha tersenyum lebar bersamaan tangannya memegang sebuah benda.
“Dompet? Apa ini dompet milik pria cabull itu?”
Kaysha menatap sejenak pada dompet berwarna biru tua tersebut.
“Aaahh sudahlah, yang penting aku bisa pulang,” gumam Kaysha lekas mengambil selembar uang untuk membeli tiket pulang ke rumah oma.
Di seberang sana, Jamie merapihkan barang-barangnya untuk kembali ke Seatlle. Namun saat anak matanya melirik ke samping dan menemukan jam tangan, ponsel dan dompet Kaysha.
Jamie pun nampak berpikir sejenak dengan ketiga barang tersebut.
“Bagaimana dia bisa pulang ke rumah oma? Sedangkan dompet dan ponselnya berada di sini?” ucap Jamie.
Tok… tok…
“Ya masuk…”
“Tuan saya sudah siapkan private jat anda untuk kembali pulang ke Seatlle,” ucap Peter memberitahukan.
Jamie menarik napas sejenak, ia berbalik badan menatap pengawal pribadinya.
“Apa Kaysha sudah berada di stasiun dan pulang ke rumah keluarga Jay? Dia tidak membawa ponsel dan juga dompetnya?” Jamie menujukan dua benda tersebut.
Ia semakin bersalah dan menyesal telah melakukan hal bodoh seperti tadi. Di tampar oleh wanita tengah memberikan kenikmatan, di mana di luaran sana banyak wanita yang berlomba-lomba menginginkan tubuhnya tapi wanita ini?
“Maaf tuan, menurut ornag kita. Nona Kaysha sudah ada di dalam kereta untuk kembali ke rumah keluarga Jay.”
Jamie bernapas lega. “Baiklah, suruh orangmu terus mengawasi Kaysha.”
Ia memberikan tasnya pada Peter bersamaan dengan meraih ponsel dan dompet milik Kaysha.
“Oh ya, bagaimana dia bisa membeli tiket sedangkan dompetnya?”
Peter memberikan dua buah foto, di mana foto tersebut memperlihatkan Kaysha yang tengah memegang dompet berwarna biru tua miliknya.
Jamie pun terkekeh melihat mantel yang ia berikan pada Kaysha ada dompet miliknya yang lupa ia keluarkan.
“Ya sudah kita kembali pulang saja,” pinta Jamie berlalu pergi meninggalkan kamar tersebut.
***
“Kamu mau pulang sekarang nak?”
Ibunya Jay menghampiri Kaysha yang tengah merapihkan barang-barangnya. Wanita itu mengangguk lalu memeluk ibunya Jay.
“Ya oma. Besok kan Kay harus kembali bekerja. Tidak apa kan?”
Ibunya Jay mengangguk pelan, meski hatinya tidak ingin Kaysha pergi dari rumahnya. Dia masih rindu pada Kaysha.
Semenjak putranya memutuskan pertunangannya dengan Kaysha. Putranya itu sudah tidak pernah kembali pulang ke rumah dan sulit di hubungi.
Sibuk. Itu alasan yang selalu putra sulungnya itu katakan padanya. Tapi—
Ia ingin sekali bertanya pada Kaysha, mengenai semalam ia pergi kemana bersama dengan pacara barunya itu yang di katakan oleh Samantha padanya.
Hatinya rasanya tidak rela bila wanita sebaik Kaysha kini telah mempunyai pengganti selain putranya.
“Kay juga masih rindu sama oma. Tapi lain kali, kalau ada waktu senggang Kay mampir ke rumah oma lagi.”
Kaysha memeluk Ibu Jay. Pelukan hangat yang selalu di rindukan oleh wanita paruh baya itu.
Rasanya tidak ingin wanita itu pergi dari rumah ini. Semenjak Jay memutuskan pertunangannya dengan Kaysha.
Pria itu tidak pernah kembali pulang ke rumah dan juga tidak menghubunginya. Jay sibuk dan itu alasan yang selalu putra sulungnya itu katakan.
Ingin hati wanita tua itu bertanya, semalam pulang kemana? Karena saat wanita tua itu bertanya pada Samantha. Dia mengatakan kalau Kaysha pulang bersama dengan kekasih barunya.
“Ya sudah kamu hati-hati ya nak. Jangan kebut-kebutan dan kamu harus jaga kesehatan. Obat yang oma kasih di bawakan kan nak?”
Kaysha mengangguk, sekali lagi Kaysha memeluk erat wanita yang sudah seperti ibunya sendiri itu. Tidak lama, Kaysha mengurai pelukannya dan masuk ke dalam mobil.
Ia melambaikan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan perkarangan rumah tersebut untuk kembali ke Seatlle.
“Ohh ya, aku kembalikan uang yang aku pinjem kemarin.”
Kaysha meraih dompet yang ada di dalam tasnya. Ia meletakan selembar uang yang kemarin ia pakai dan—
Citt..
Dug!
“Awww…” rintih Kaysha seraya mengusap keningnya yang terbentur setir kemudi.
Ia mengerem mendedak dan beruntungnya Kaysha tidak menabrak siapapun.
Diambilnya kembali dompet tersebut dengan mata yang jeli melihat sebuah foto yang berada di dompet Jamie.
“Sejak kapan Jamie punya foto aku?”
Kaysha mengelurkan foto kecil tersebut. “Kalau nggak salah ini foto aku waktu liburan di Italia. Kenapa Jamie punya foto aku?”
Kaysha mendengus pelan. Ia penasaran kenapa pria cabull itu menyimpan fotonya dan sejak kapan pria itu menyimpan foto yang saat ia ingat ia tengah berlibur di Italia.
Kaysha melanjutkan perjalananya kembali sepanjang perjalan yang cukup jauh, tak henti isi kepalanya memikirkan foto tersebut hingga tak lama ia tiba di apartemen Woo tepat pada malam hari.
“Kamu baru sampai?”
Kaysha menghempaskan tubuhnya di samping sofa panjang di mana di sampingnya itu terdapat Woo yang tengah bersikutat dengan layar laptopnya.
Padahal pria itu sudah kaya, tapi dia tidak pernah puas dengan hasil yang sudah ia dapatkan.
Merasa panggilannya tak di jawab, ia menoleh ke samping pandangi adik angkatnya itu.
“Kenapa?”
“Aku lelah rasanya,” lirih Kaysha seraya memejamkan matanya sejenak.
Woo bangun dari duduknya menuju ke dapur. Ia membawakan sebotol air mineral untuk Kaysha.
“Nih minum…”
“Terima kasih ka,” ucap Kaysha seraya membuka kedua netranya.
Ia mengambil botol tersebut dan langsung meminumnya.
“Suruh siapa kamu mengemudi sendiri.”
Woo menghempaskan kembali tubuhnya, melirik ke samping pada adiknya.
“Edmond itu jauh dan seharusnya kamu pergi ke sana pake pesawat. Buat apa aku membelikan private jat
khusus untukmu tapi tidak di pakai?”
“Males,” jawab Kaysha singkat.
“Kalau begitu kamu bawa Pak Choi untuk ikut bersamamu untuk mengantarkanmu sampai ke rumah oma. Jadi nggak nyetir sendiri cape sendiri kan?” sambung Woo gemas pada adiknya itu yang selalu tidak mau menyusahkan orang.
“Ini hari libur Woo. Pak Choi juga butuh istirahat tidak selalu mengekor terus di belakangku.
"Aku masih punya hati nurani tidak sepertimu selalu memerintahkan Pak Song di setiap jamnya. Memangnya kamu, kerja rodi terus tanpa ada istirahat,” gerutu Kaysha kesal.
“Ya ya ya. Aku ngalah deh!”
Kalau di lanjut pasti bakal panjang dan ujungnya keduanya berdebat.
“Oh ya gimana liburan dengan oma?”
Kaysha menarik napas panjang.
“Seperti biasanya. Kita senang. Aku bisa pergi dengan oma seperti dulu, pergi nonton ke bioskop, ke salon, makan di restoran dan juga shoping bareng.
"Itu hal yang selalu buat aku senang dengan ibunya Jay,” ucap Kaysha menceritakan sedikit kebersamaan dengan ibu nya Jay.
“Bagus lah kalau kamu senang.”
Kaysha mengangguk pelan kembali menegak minumannya sampai tandas.
“Ketemu sama mantan terindah dong?” sindirnya.
Kaysha mendengus, melirik tajam.
“Enggak. Pria itu sudah di pastikan pasti sibuk. Aku hanya bertemu dengan keluarganya saja. Tidak dengan anaknya,” jawab Kaysha.
“Ya barangkali saja di sana kalian ketmu lalu jadian lagi,” sambung Woo dengan kekehan.
Kaysha hanya membalas dengan tatapan tajam. Ia pun menyadarkan kembali punggungnya yang pegal sembari isi kepalanya masih teringat dengan foto tersebut.
Woo kembali menatap layar laptopnya dan kembali menyelesaikan pekerjaanya.
“Woo…”
“Hmm…” jawab Woo dengan deheman.
“Bolehkah tanya?”
“Tanya saja.”
Kaysha menghembuskan napas sejenak sebelum bertanya pada Woo.
“Aku mau tanya tentang temanmu si Billionaire gila itu orangnya gimana?” tanya Kaysha dengan perlahan.
Ia tidak mau pertanyaan ini malah membuat kaka nya itu curiga karena ia menanyakan sahabatnya itu.
Woo kembali melirik. “Billionaire gila? Maksudmu siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan sahabatmu itu tuh. Si Jamie Grey!” timpal Kaysha.
“Ohhh si Jamie…” jawab Woo.
Ia sudah tidak fokus bekerja karena adiknya itu menganggunya dengan menanyakan tentang sahabatnya.
“Ya… Gimana?”
“Gimana apanya?”
“Ya orangnya lah,” sesal Kaysha.
Seharusnya ia tidak sepenasaran itu menanyakan prihal Jamie pada kaka nya yang amat menyebalkan itu.
“Dia orangnya baik. Emangnya kenapa gitu?” tanya Woo balik.
“Cuman baik doang? Nggak bisa kamu jabarin gitu?”
Woo mengeryit kening menatap adiknya dengan tatapan menyeledik.
“Jabarin gimana?”
“Apa dia sama sepertimu tidur dengan wanita jallang?”
Woo tergelak, ia tertawa mendengarkan ucapan dari adiknya itu. Jujur, meski agak tersinggung karen adiknya itu menganggapnya pria berengsek.
Tapi, memang begitulah dirinya, dan ia pun tidak bisa marah pada ini bocah.
“Yang aku tau dan yang selama ini aku kenal. Dia tidak tersentuh wanita. Jangan kan tidur dengan wanita jalaang.
"Berciuman pun sepertinya dia belum pernah. Itu yang aku tau sih, karena dia orangnya workaholic,” jawab Woo.
Rasanya hati Kaysha tidak puas mendengarkan pria itu bercerita tentang Jamie Grey.
Bagaimana bisa pria itu tidak tersentuh wanita. Dari cara pria berengsek itu menciumnya menyentuhnya sepertinya sudah terlatih sejak lama.
“Apa kamu seyakin itu pada sahabatmu?”
“Setahuku ya begitu. Yang aku kenal dia pria baik-baik. Dulu sekali sih aku dengar dia punya kekasih. Tapi kekasihnya itu sudah meninggal. Cukup lama.
"Dia hampir terpuruk saat meninggalnya wanita itu. Dan tahun ke belakang, yang aku pernah dengar cerita darinya. Saat dia membuka hati untuk wanita yang dia sukai.
"Namun wanita itu ternyata sudah punya kekasih. Dia mengakui rasa cintanya yang begitu dalam padaku hingga sampai detik ini dia masih menunggu wanita itu.”
Kaysha terdima, ia menyimak cerita dari Woo mengenai pria tersebut.
“Aku juga nggak tau jelas wanita seperti apa yang dia cintai sampai mati itu, karena sampai sekarang dia tidak membuka hatinya untuk wanita lain.
"Dan itu sudah cukup lama, kalau tidak salah sudah lima tahun yang lalu,” sambung Woo sedikit menceritakan yang ia tau dari sahabat dekatnya itu.
“Malah yang aku dengar dan aku lihat dari berita di luaran sana kalau Jamie sering di katai gay.”
Kaysha menautkan kedua alisnya.
“Gay?” ulang Kaysha.
Woo mengangguk.
“Ya…”
‘Cih! Bagaimana pria itu gay. Saat tadi berbuat seperti hal itu sepertinya pria itu sangat menikmatinya, tidak mungkin pria itu menyukai sesama jenis. Bohong sekali!’ batin Kaysha.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tengan Jamie.”
“Tidak apa, hanya ingin tau saja!”
“Aaaaahhh… apa jangan-jangan kamu naksir ya sama Jamie?” ledek Woo.
“Naksir? Sama sahabatmu itu?” seru Kaysha tidak terima.
“Ya, lalu ngapain kamu tanya tentang Jamie kalau nggak naksir?!”
“Huuuhh… yang bener saja aku suka sama itu pria gila. Asal kamu tau ya Woo, sahabatmu itu sangat menyebalkan bahkan ia sudah seenak jidadnya selalu memaksaku ke sana kemari?
"Belum lagi aku sudah seperti tahanan pria gila itu dan seenaknya saja mengeukang aku!”
Ia meneggakan tubuhnya dengan amarah yang menggebu-gebu.
“Dengar ya Woo, kalau dia bukan sahabatmu dan juga investor besarmu. Aku sudah menghajar sahabatmu itu habis-habisan!”
Woo tertawa geli, dengan rasa penasaran yang kini besar pada adiknya. Sebenarnya selama ini sahabatnya itu sudah berbuat apa pada adiknya itu sehingga adiknya itu nampak kesal sekali.
“Masa sih Kay? Kok bisa dia seperti itu padamu? Ini tidak biasa. Emangnya kamu diapain sama si Jamie?”
“Ahh pokoknya banyak deh. Dia benar-benar membuat mood ku berantakan! Asal kamu tau saja ya Woo, sahabat yang kamu katakan baik itu,
"ternyata seorang billionaire gila, otaknya messum dan juga cabull! Selesai ini aku nggak mau menangani sahabatmu lagi!” seru Kaysha seraya menekan pada Woo.
Woo semakin penasaran kenapa adiknya sampai sekesal ini pada sahabatnya.
Sebenarnya apa yang sudah Jamie lakukan pada adiknya itu?
“Haaahh… masa sih dia messum apa lagi cabull?”
Woo berpikir sejenak, netranya pandangi adiknya yang nampak kesal di sampingnya.
“Mungkin itu karena efek kelamaan jomblo kali ya. Jadi melihatmu seperti wanita penggodaa.”
Kaysha membulatkan kedua matanya sempurna.
“Bagus kalau begitu Kays, berarti Jamie kini jadi pria normal,” ledek Woo kembali, bibirnya tak henti tertawa mendengarkan cerita Kaysha mengenai sahabatnya itu.
“Ya Tuhan, Woo. Emangnya aku seperti wanita penggodaa ya? Di lihat dari mananya?
“Sebelah mananya aku menggoda pria? Selama ini penampilanku selalu tertutup. Apa kamu sudah tidak mengenaliku?
"Seandainya penampilanku seperti Jc baru kamu bisa mengatakanku seperti wanita penggodaa,” gerutu Kaysha kesal.
Woo masih tertawa. “Sebenarnya kamu sudah diapain sih sama dia? Sampai sebenci itu kamu pada sahabatku itu?”
Kaysha bangun dari duduknya.
“Sebaiknya kamu tanya saja pada sahabatmu. Sudah ahh, aku lelah.
"Aku malas membahasnya, lama-lama membicarakan pria itu. Bisa-bisa aku ikutan gila!” gerutu Kaysha langsung naik ke lantai atas kamarnya berada.
“Hai Kay… ceritalah padaku, kenapa Jamie seperti itu padamu?” teriak Woo.
Rasa penasarannya belum usai karena adiknya itu tidak menceritakan secara detail.
Kaysha hanya melambaikan tangannya. Ia sudah tidak mau membahas Jamie Grey.
“Kay…” teriak Woo kembali, meski kini Kaysha telihat kesal dengan Jamie. Tapi saat melihat wanita itu marah dan kembali tersenyum meski kesal.
Setidaknya itu membuat Woo lega, karena kini perlahan adiknya tidak memikirkan Jay, mantan tunangannya.