PART 3 – MENGHAPUS KISAH KELAM.

1888 Words
Setelah bisa berdamai dengan sakit hati karena kehilangan suami dan putrinya, Nazla mencoba bangkit. Ia merapikan rumah yang telah sekian lama dihuni keluarganya. Yang selama ini ia tinggalkan karena ikut ke rumah milik suaminya. Jadi sejak kembali dari rumah sakit, rumah ini yang Nazla tempati. Ia ingin ada suasana baru nantinya. Beruntung ia memiliki sedikit tabungan, jadi selama hampir empat bulan ia masih bisa berdiam diri di rumah tanpa bekerja. Dan beruntung ia memiliki tetangga yang baik hati. Mungkin karena mereka kasihan melihat nasibnya. Sudah sebatang kara, hidupnya tak lepas dari masalah yang menyedihkan. Terkadang beberapa tetangga datang untuk menghiburnya. Ada juga yang memberikan makanan pada Nazla. Karena selama hidup dulu, kedua orang tua Nazla adalah orang yang ramah dan baik hati, begitupun neneknya Nazla. Tengah ia merapikan barang-barang yang ada dalam kamar, ia menemukan album foto. Ia teringat ini album foto milik kedua orang tuanya. Dulu ayah dan ibunya sering berfoto dan menyatukan di dalam album untuk kenang-kenangan. Nazla meniup agar abu yang menempel di depan album sedikit berkurang. Lalu ia perlahan membuka album itu. Ia tersenyum saat melihat foto kedua orang tuanya, juga neneknya. "Kalian apa khabar di sana? Kalian pasti bertemu putriku. Kenapa hanya putriku yang kalian ajak? Padahal aku sudah merindukan kalian, ingin segera bertemu dengan kalian." Air mata itu kembali tergenang di pelupuk matanya, tapi dengan cepat ia menghapusnya. Awalnya, Nazla hidup bahagia. Memiliki kedua orang tua dan nenek yang sayang padanya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya menjadi korban tenggelamnya kapal di laut saat akan berkunjung ke kerabat Ayahnya. Hidup Nazla bagai kehilangan pegangan. Kehilangan dua orang yang sangat ia sayangi membuatnya terpuruk. Ia hanya tinggal dengan neneknya yang sudah tua. "Nazla, kita hanya manusia biasa sayang. Semua sudah menjadi suratan sang pencipta. Nenek juga sedih harus kehilangan kedua orang tuamu. Tapi kita harus bisa ikhlas. Mereka pasti sedih kalau tahu kamu seperti ini." Saat itu neneknya tak henti memberinya semangat hidup. Sementara Nazla bingung harus apa. Ia bahkan baru diterima bekerja di sebuah mini market. Ia hanya lulusan SMA, dan pekerjaan yang bisa ia dapatkan hanya sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Berhubung ada pengurangan pegawai, Nazla sempat berhenti. Dan kini ia bekerja di sebuah minimarket ternama, saat kedua orang tuanya meninggal. "Tapi aku kini hidup sendiri nek. Aku gak punya Ayah dan Ibu." Wajah Nazla masih sembab karena menangis terus-menerus membayangkan kedua orang tuanya yang masih tidak bisa ditemukan diantara korban lainnya. Ia melupakan pekerjaannya. Yang ia lakukan hanya menangis di dalam kamar. "Kamu masih punya nenek sayang, nenek akan menjaga kamu, nenek akan selalu ada di samping kamu." Nazla menatap wajah tua yang mirip sekali dengan mendiang ibunya. "Nenek cuma mau kasih tahu, persediaan beras habis. Kalau nenek masih mampu, nenek mau kerja apa saja. Tapi tidak ada yang mau menerima nenek-nenek tua ini yang mau bekerja." Penuturan nenek, membuat Nazla tersadar, ia harus bekerja. Dulu ia bisa saja santai jika malas bekerja, karena ayahnya masih bisa membiayai hidup mereka. Tapi kini, ia hanya berdua dengan neneknya. Kalau dia tidak bekerja, siapa yang akan mencari uang? "Maafkan aku Nek. Besok aku akan kembali bekerja. Maafkan aku," ucap Nazla dengan penuh haru sambil memeluk sang nenek. "Nenek harus janji sama aku, Nenek gak akan tinggalkan aku sendiri di dunia ini. Aku takut nek, aku takut sekali." "Iya sayang, nenek janji tidak akan pergi kemana-mana. Nenek akan ada terus bersama kamu." Janji sang nenek, hanyalah tinggal janji. Setahun kemudian, sang nenekpun berpulang dengan cara mengenaskan. Tertabrak mobil yang remnya blong, dan meninggal di tempat kejadian. Saat itu Nenek mau menjemput Nazla yang pulang dan lupa membawa payung. Padahal hujan sedang deras-derasnya. "Nenek!!!!" teriak Nazla yang saat itu berdiri di depan minimarket. Nazla bahkan melihat bagaimana tubuh neneknya terpental dan jatuh dengan mengenaskan. Tubuh tua itu tak mampu menahan rasa sakit yang teramat sangat. Hingga saat Nazla berlari ke arah sang nenek, merangkul tubuh renta itu. Tubuh itu sudah tidak bergerak. Nazla melupakan derasnya air hujan. Ia berteriak histeris memanggil sang nenek. Tak mempedulikan baju nya yang bercampur darah dan air hujan. "Nenek bangun Nek, jangan tinggalkan aku nek. Nenek bangun, aku sama siapa sekarang nek. Nenek bangun!" Sekuat apapun Nazla teriak, tubuh tua itu tetap lemas. Hingga beberapa saat Nazla sudah dikerumuni oleh orang-orang sekitar. Nazla semakin hancur karena kini ia hanya sebatang kara. Ia bagai orang linglung. Tatapannya kosong saat memakamkan neneknya. Beruntung ia memiliki sahabat Emma, yang menjadi jembatan antara dirinya dan keluarga Permana, pihak pemilik mobil yang menyebabkan kematian sang nenek. Beruntung keluarga Permana mau bertanggung jawab. Supir keluarga mereka yang telah menabrak Nenek Nazla hingga tewas. Mereka mengetahui jika Nazla tidak lagi memiliki saudara, hingga merencanakan menikahkan Nazla dengan satu-satunya putra mereka, Fendi Permana. Nazla masih mengingat pertengkaran yang terjadi diantara keluarga Permana. "Ibu gak adil. Bagaimana mungkin ibu menginginkan aku menikah dengan gadis itu. Aku bahkan gak mengenalnya bu. Kenapa gak Pak Omen saja yang menikah dengannya, karena lelaki itu yang menabrak nenek-nenek itu!" Nazla hanya mengusap d**a, di dalam kamar. Membiarkan keluarga Permana bermusyawarah di ruang depan rumahnya, bersama Emma. Emma menatap bagaimana lelaki tampan putra satu-satunya keluarga Permana bersikeras menolak rencana kedua orang tuanya. "Fendi, Pak Omen sudah memiliki keluarga sayang. Lagipula ini salah ibu yang memaksa Pak Omen untuk menjemput Ibu sebelum ke bengkel. Tolong nak, penuhi keinginan ibu sekali ini," pinta Lia dengan penuh harap. "Tapi aku gak cinta sama dia bu. Dan aku gak pernah bermimpi menikahi wanita dengan cara seperti ini." Fendi mengusap wajahnya prustasi. Bagaimana mungkin masa depannya yang gemilang harus punah karena dipaksa menikah dengan gadis kampung begitu. Fendi sedang merintis karir di kantornya sebagai manajer, dan tentunya wanita yang berkelas yang sesuai kedudukannya yang pantas menjadi istrinya, bukan gadis yang cuma bekerja sebagai pelayan mini market begini. Apa kata teman-teman kantornya nanti. Bikin malu. "Cinta bisa hadir dengan sendirinya Fendi. Apalagi saat ini pun kamu sibuk terus bekerja, dan melupakan kodratmu untuk menikah. Anggaplah kita mengangkat gadis itu dari kesusahan yang telah kita ciptakan nak." Perasaan sebelum neneknya meninggal saja mereka sudah susah. Fendi kesal. Ia bukan tidak mau menikah, tapi sedang mencari wanita yang pantas menjadi pendamping hidupnya. Wanita yang bisa ia bawa saat ada acara kantor, yang berpenampilan menarik, bukan yang kampungan seperti wanita bernama Nazla itu. "Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi Nak. Kita bertanggung jawab atas hidup gadis itu." Kembali Lia memohon pada putranya. Nazla tidak mendengar apapun lagi. Ia masih menangis di dalam kamar, mengingat nasibnya kini. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya wanita yang bernama Lia menemui dirinya. "Nazla, kamu mau menikah dengan putra ibu Nazla? Karena ibu ingin menebus kesalahan ibu padamu." Telapak tangan itu menggenggam erat tangannya. Menghapus air mata di kedua pipi Nazla. "Ibu gak usah merasa bersalah. Aku gak meminta apapun dari ibu," ucap Nazla dengan mata berkaca. Menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai dan tidak mencintainya? Sungguh menyedihkan sekali. Nazla bahkan memimpikan pernikahan yang sesungguhnya, dimana ia dan suaminya memiliki rasa cinta yang begitu besar. Sama saling tersenyum dan menjalin jemari menyambut masa depan mereka berdua. Haruskah semuanya terhempas begitu saja oleh suratan takdir yang sekali lagi membuat hidupnya bak layang-layang terbang tak tentu arah? "Kami akan semakin berdosa membiarkan kamu sendiri sayang. Tolong turutilah permintaan kami." Lia masih terus mencoba memaksa gadis yang menurutnya cukup cantik ini, hanya saja mungkin terlihat lusuh, karena kurang perawatan di tubuhnya. Lia maklum mengingat kondisi gadis ini perekonomiannya cukup memprihatinkan. "Tapi bu, putra ibu tidak setuju menikah denganku." Nazla menunduk tak enak hati. "Kamu harus sabar menghadapi putra ibu, Nazla. Orangnya memang keras, tapi aslinya putra ibu itu orangnya baik." Begitulah, pernikahan itu terjadi. Tanpa ada pesta, sesuai keinginan suaminya yang bernama Fendi Permana. Mungkin berkat Lia, lelaki itu lunak padanya. Baik dan sedikit tersenyum. Hanya sedikit, tapi itu cukup untuk Nazla. Walau semua sah di mata saksi, tapi tatapan Fendi padanya jauh dari kata cinta. Lelaki itu terkadang seperti orang yang terpaksa menikah dengannya. Memang apa yang bisa Nazla lakukan? Jika pun bisa ia menolak, apakah ia bisa hidup sendiri? Di rumah ini? Sepertinya kematian lebih baik dari hidup sendiri di dunia ini. Tapi baiknya Fendi ternyata hanya sebentar. Sifat aslinya muncul saat membawa Nazla ke rumah mereka. Rumah hadiah kedua orang tua Fendi. "Berapa ibuku membayarmu, hah!" tanya Fendi saat mereka sudah ada di dalam kamar. Cekalan di lengannya menguat, yang jika jujur sungguh menyakiti lengannya. Andai ia bisa berkata jika ini sakit sekali. Tapi percuma, lelaki ini tak akan pernah mengerti kesakitan yang ia terima. Bagaimana mau mengerti jika ia selalu disalahkan atas hal yang tidak pernah ia lakukan dan tak pernah ia inginkan. "Apa maksudmu? A-aku gak pernah dibayar dengan apapun," tanya Nazla dengan raut wajah ketakutan. Ia tidak pernah diperlakukan kasar seumur hidupnya. Ayahnya selalu memperlakukan Nazla bagai porcelain, menjaganya dengan baik seolah ia barang berharga. Tapi lelaki ini justru berbuat kasar terhadapnya. "Kenapa kamu gak meminta uang yang banyak, dari pada mengikuti keinginan Ibuku." Fendi tak segan memperlihatkan kemarahannya yang ia pendam sejak lama. Sejak kedua orang tuanya memutuskan jika ia harus menikahi Nazla. Nazla hanya bisa terdiam. Seharusnya lelaki ini tahu, jika nyawa neneknya yang keluar sebagai imbalan pernikahan ini. Dan apakah itu sepadan? Tentu tidak bukan? "Aku sudah menolak pernikahan ini," lirih Nazla. Ia tidak pernah bermimpi memiliki suami sekasar ini. "Pembohong! Seharusnya kau menolak pernikahan ini! Atau kau memang ingin hidup mewah, berharap menikmati semua milikku?" Fendi kesal, karena akhirnya ia tidak bisa menolak pernikahan ini. Selama ini ia selalu menjadi anak yang penurut. Ia menggeram dengan keras. Tak bisakah ia menikah dengan wanita yang sepadan dengannya, bukan dengan wanita yang sama sekali tidak bisa merawat tubuhnya dengan layak begini. Tak lama Nazla merasakan tarikan kuat pada tubuhnya. Lelaki itu terus menariknya hingga mendekati ranjang. Kemudian menghempaskan tubuh mungilnya, hingga ia terjerembab ke atas ranjang. "Ibuku pasti sudah memberikan banyak harta padamu, tapi kenapa masih saja memaksakan aku untuk menikah denganmu. Kau tahu, kau sama sekali bukan wanita idamanku." Malam itu ia merasakan bagaimana tubuhnya terasa sakit di seluruh persendian. Suaminya yang mengatakan tidak menyukai dirinya, justru menyentuh tubuhnya secara kasar. Memperlakukan dirinya dengan sangat tidak layak. Malam pengantin yang banyak dibicarakan orang sebagai malam kebahagiaan menjadi malam kehancuran buat Nazla. Tidak ada kasih sayang sama sekali dan perlakuan manis dari suaminya. Ibarat barang dagangan, seperti itulah Fendi memperlakukan dirinya sebagai istri. Kilatan masa lalunya terasa begitu membekas di hati Nazla. Kata-kata kasar suaminya kerap menjadi menu sehari-hari di telinga Nazla. Berdoa agar sang Maha Kuasa melunakkan hati suaminya sudah ia lakukan. Tapi Fendi seperti tuli dan buta. Selalu saja ucapan kasar serasa mudah keluar dari dalam mulutnya. Beruntung ia tidak ringan tangan. Nazla pun tidak berani mengadukan perkataan kasar suaminya selama mereka menikah pada kedua mertuanya. Semua ia telan sendiri. Nazla menatap cermin. "Apa yang membuat suamiku selalu saja memandang rendah diriku? Apakah memang aku tidak layak untuk dicintai? Apakah aku kurang cantik?" Tak lama Nazla menggeleng. "Tidak, Fendi bukan lelaki yang pantas untuk aku percaya bisa membuatku bahagia, aku yakin suatu hari nanti, Tuhan akan mempertemukan aku dengan laki-laki yang bisa menerima semua kekurangan aku. Yah, aku yakin suatu hari nanti." Nazla menutup album di tangannya, kini ia berganti menatap foto pernikahannya dulu dengan Fendi. Kini ia tahu mana yang harus ia buang. Nazla mengumpulkan semua foto akad nikahnya dengan Fendi, merobeknya menjadi bagian kecil-kecil dan membuangnya ke tong sampah. Kini berakhir sudah kisahnya dengan Fendi. Semoga ia tidak lagi bertemu lelaki itu di kemudian hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD