BAB 2

1591 Words
Hari ini hujan, tidak lebat tapi cukup membuat basah beberapa bagian tubuhku. Aku mengusap sisa bulir-bulir air sebesar biji jagung di rambutku dengan telapak tangan yang terasa semakin lepek dan mengusap wajahku setelahnya, membuat permukaan pipiku semakin terasa dingin. Mungkin sebentar lagi aku akan flu. Untuk ke sekian kalinya aku merutuki diri sendiri karena mencibir saat Nopal menyuruhku menggunakan jaket. Mengapa hujan? Sederhana saja, aku tidak menulisnya karena sengaja untuk memenuhi lembar ceritaku, tapi bukannya ini memang periode hujan di negara tropis? Tapi entahlah, yang aku tau sekarang aku kedinginan. Naswa sudah aku tinggalkan tadi, sekarang entah dimana dia. Ah, namanya Naswa. Dengan bodohnya aku bertanya pada Marisa saat bersalaman pamit tadi yang dibalas dengan kernyitan tak faham. Temanmu loh itu, masa lupa? Bukannya kalian satu kelas juga ya? kita juga tetanggaan dan dia teman SMP-mu juga loh. Gerutunya yang masih bisa aku ingat. Aku masih menarik narik ujung jaketnya saat tiba tiba dia mengeratkan genggamannya di tanganku. Aku menoleh bingung, menatapnya aneh. "Dingin gak, Mey?" Aku tertunduk agak malu dan melonggarkan tarikan di jaketnya cepat saat pandangan kita bertemu. "D-dingin, Pal." "Gue baru tau kalo kuda nil bisa kedinginan. Kan kulitnya tebel." Eh? Aku memalingkan wajah menatap keseluruhan wajah Nopal lalu menjawab sekenanya. "Kan emang kuda nil kulitnya tebel Pal, bahkan bisa sampe 6 sentimeter loh. Makannya mereka gak berkeringat dan suka berada di air biar dinginin badannya. Gatau kalo ada petir mung-" "Ih, to-lol." Lah, LAH? Aku terdiam beberapa langkah di belakangnya untuk sekedar mencerna ucapanku, ada yang salah? Setelah memutar otak selama 30 detik, aku masih mengejarnya sebelum mencium lantai karena tali sepatuku yang terinjak, membuat sikutku sedikit memar disana. Mendadak, moodku sangat buruk pagi ini. Oh, hey. Jangan bilang tulisan di cermin pagi ini yang aku baca hanya sebuah prank? Pandanganku menyapu sekeliling mencari Peri yang selalu aku lihat di dongeng yang aku tonton saat berusia 8 tahunnan menghampiriku hanya sekedar menghilangkan rasa sakit, atau seorang pangeran dengan sebuket bunga di salah satu genggamannya mengulurkan tangan membantuku berdiri. Tapi yang aku dapat hanya hujan yang makin deras. Fyi, ini dunia nyata Mey. Bener kata Nopal, Aku ternyata memang to-lol. Walau sesekali Nopal pernah memuji daya ingatku yang kuat katanya. Oh, hey, ternyata aku tidak se-t***l itu. Senyumku kembali mengembang saat melihat gadis yang sedang mengepalkan tangannya di ujung kelas dekat pertigaan menuju kantin bawah menatapku sengit, dengan rambut basah dan sepatu yang ia jinjing masih mengucurkan air. "Nas, mau bareng ke kelas gak? Astaga, lo kehujanan. Sini gue bantu." Aku segera bangkit dan memasang wajah se-khawatir mungkin menatapnya kasihan. Lupa rasa sakit dan malunya di tertawakan 4 orang anak laki-laki tadi. Sial memang, bukannya menemukan peri yang aku dapat hanya tawa iblis. Saat langkahku sudah sejajar, dia hanya mendorong kepalaku penuh emosi. Dan berakhir dengan jarak 3 meter saat dia mulai berlalu di depanku layaknya menjauhi virus. Oke Nas, social distancing, ok. Aku menurut, salahku juga meninggalkannya, tapi dia yang mulai. Jadi ini salah kami, ok. Ingat ya, jika aku adalah seorang perempuan. Halusinasiku kembali bermain, ia Naswa atau Peri yang aku panggil? Entahlah, singkatnya yang aku tahu Peri itu cantik dengan senyum berseri, tidak dekil dengan tampilan gembel sepertinya pagi ini. Kami berjalan menaiki anak tangga, total semua ada 28 pijakan. Pandanganku menyapu sejauh yang bisa dia lihat, 5 kelas dari tempatku berdiri itu tujuan akhirnya. Ruang kelas belum terlalu ramai, jumlahnya mungkin masih bisa di hitung, sebagian ber alibi sakit dan tidak ada kendaraan. Dan sebagian lagi sepertinya akan masuk sekitar 1-2 jam lagi, dengan alasan di sambut hujan tengah jalan. Klasik. Kejutan. Karena ternyata kita satu meja, dan jarak 3 meter itu berakhir dengan garis tipe-x saja. Aku menoleh ke arah bangku Naswa yang sedang berbincang dengan Elsa seakan tidak ada niat mengajakku berbincang samasekali, lengkap dengan tubuhku yang masih bergetar ringan kedinginan ini membuatku sedikit terharu. Dia dendam atau memang berencana membuatku mati dengan laju motornya dan tak sedikitpun ibanya meminjamkan aku jaket. Laki laki macam apa dia, dengan tampang menyebalkan dia hanya mengatakan, 'apaan sih, gua juga dingin. Selamatkan diri sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Itu pepatah dan aturan alam kalo lo belom tau.' Naswa yang terganggu menoleh saat mendengar suara gaduh aku meniup-niup buku pajak di hadapanku. Dia menyerbuku dengan banyak pertanyaan, seperti. Kenapa? Mukanya ko pucet sih? Lo tadi mandi kan? Ko mukanya keliatan gak ber jiwa? Cerewet. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum tipis. Tak sengaja, umpatanku mengalir bersama air ludah yang aku telan. Tangan kiriku beralih memegangi bolpoin, membuka lembar terakhir buku pajak dan menggerakannya kemanapun dia ingin. Setelah bosan, yang aku lakukan hanya menelungkupkan kembali kepalaku di antara lipatan siku tangan, merapatkannya satu sama lain. Sungguh, aku bingung harus melakukan apa. Bersamaan dengan hujan yang semakin lebat, pandanganku kembali ke arah jendela di sebelah kiri lenganku dan berusaha tidur. Pria berambut keriting berdiri di samping mejaku dengan gitar kecilnya yang dia bawa, dia berdehem dan melihat ke arah langit. "Mendung belum tentu hujan, dekat belum tentu jadian. Peduli bukan cuma perihal perhatian, dia mungkin cuma kasihan." Aku mengerjap kaget saat dia tiba-tiba memetik gitar asal, membuat lamunanku buyar. Tapi diluar itu hujan sungguhan, loh. "Amad, sini." Dia menoleh kearah belakangku dan berlalu setelah melambaikan tangan kanannya yang bebas. Aku menoleh dan ekor mataku mengikutinya sampai benar-benar hilang dikelokkan meja. Udara semakin dingin, dan aku membenamkan kepalaku semakin dalam. Meja bergetar, perutku pun semakin mual. "Lo makin menggigil aja, Hil. Muka lo juga pucet, pake ini dulu aja Hil, buat sementara." Interupsi seseorang dibelakang kepalaku, aku mengangkat pandanganku, laki-laki jangkung itu mengulurkan jas hujan doraemon yang masih terlipat, namun masih terlihat basah. Kedua kali aku menelan kasar ludahku, mengulurkan tangan untuk meraih jas hujan tersebut, sebelum pria rambut jocong melemparkan pulpen dengan keras ke kepalanya membuat dia meringis. Seseorang lain menyampirkan jaket biru lautnya membuat bahuku terasa hangat. Aku hanya bingung menatapnya lekat dan menjadi gelagapan saat dia membalas tatapanku. Ketika dia mulai tersenyum, di situlah pipiku pun ikut terasa hangat. Telapak tangannya mengulur, dan menempelkannya di dahiku, "Ke UKS aja Hil, lo panas banget, demam pasti." Aku hanya menggeleng dan kembali menumpu kepalaku di atas meja, dia duduk kembali di bangku Raihana, tepat di depanku. Memijat pelipisku dengan kayu putih dan sesekali membenarkan anak rambut yang menurutnya mengganggu. Kepalaku bertumpu di kedua kepalan tangan, dia memang tidak menatapku dan fokus memijat namun cukup membuatku merasa nyaman, sampai suara gaduh si jangkung lain datang dan menghempas tangan yang aku ketahui bernama Alfa itu begitu saja, mengambil alih rambutku dan menariknya menjauh dengan kasar. Aku tidak tau mengapa, aku pun tidak mengenalinya. Alfa mengerang bangkit dan berusaha melepas kaitan rambutku dari tangan si jangkung 2 ini. Namun dia malah semakin melilitnya kuat hingga aku berjinjit untuk mengurangi rasa ngilu dan terus memohon ampun menggenggam erat jemarinya di kepalaku. kepalaku sakit, dan mataku mulai memanas dengan rasa mual tadi yang berevolusi menjadi migrain. Dia peduli? Ah, dia tertawa puas. Septian mengalihkan perhatiannya dari embun jendela yang sedang ia lukis bersama Sinta dan Amad, mendekat dan menggenggam kerah lelaki itu yang memang sudah berantakkan, lebih mirip peserta tawuran kurang mampu. "Eh, pak! Lo ngapain sih?" Saat dia mendorongku hingga terduduk menyandar di dinding, aku sudah beralih di pundak Naswa, menahan tangis. Maasyaallah, ini ada apaan sih bapak ibu! Si jangkung 2 ah, lebih cocok aku panggil Si Miskin itu kemudian menyerobot kembali mendekatiku dengan kecepatan dan jarak kami yang memang dekat mempercepatnya. Menautkan kembali kepangku dengan emosi di genggaman tangannya yang mengepal kuat seakan ingin melepaskan kaitan itu dari kepalaku. Aku terpaksa ikut berdiri kembali karena perih rasanya rambutku tertarik, dengan rasa lemas dan punggung yang sakit masih membekas karena sebelumnya dia membanting tubuhku. Tubuh kurusnya berdiri angkuh mengancam kepada semua siswa agar menjauh dengan lengan satunya mulai melingkar di leherku yang perlahan membuatku sesak dan melemas, keinginan membela diri pun rasanya mustahil saat ini. "Sebelumnya, kenalin. Gua Aji, murid pindahan baru di sekolah ini. Dan cewe ini, punya urusan serius sama gua!" Bentaknya tanpa melirikku, ia melingkarkan tangannya semakin kuat, mempersempit pasokan udara yang bisa aku ambil, membuatku mau tak mau mendongak ke arahnya menatap urat-urat yang menonjol disekitar leher mulai basah oleh keringat. Air mataku tumpah, "S-sak. Sakiit ..." "Lo di giniin doang bilang sakit?" Lengan lainnya memperdalam jemari menyusuri puncak kepalaku, lalu mengeratkannya lagi jauh lebih kuat, rasa pedih dan pusing menyatu dengan sempurna layaknya rokok. Wajah kami sangat dekat, nafasnya yang juga tidak beraturan menyapu sisa rambutku yang sudah berantakan menutupi mata. "Gimana kabar gua yang lebih lebih lo lakuin sama kita dulu bang-sat!" Tak lama, dia melemparkan lagi tubuh lemasku ke lantai dan menabrak ujung meja guru, aku sudah seperti bantal, mudah sekali dia ambil dan banting. Si Miskin ini menyuruhku menunduk tepat di sampingnya untuk berlutut. Menginjak dan menekan punggung tanganku seakan tak merasakan apapun disana dengan menggeram emosi entah menertawakan apa. Yang aku lakukan hanya mengatupkan mataku sekuat mungkin menahan tangis lebih banyak dengan fokus mendengar riuh sepatu berdecit mengelilingi kami. Kemudian membukanya sepersekian detik sebelum mengatupkannya kembali. Samar, aku melihat seseorang berlari memecah kerumunan siswa yang berdesisan merasa terganggu di pintu masuk, ia semakin mendekati kami yang berada di depan kelas. "Songong ya, murid baru gak tau diri amat. Minggat sono, emang sih ini sekolah swasta, tapi ya kelakuannya gak se-b******k kayak lo juga!" Oh, hai Amad. Perlahan, suara gaduh semakin riuh mulai terdengar mengalahkan deras hujan, bukan hanya seisi kelas. Namun kaca kaca jendela pun sudah mulai penuh oleh cctv warga +62. Ya, telinga orang kepo maksudnya. "Kenalin, nama gua Aji. Rifal Rifka Fauji. Lo baru keluar goa kayaknya, banyakin main makanya biar tau kalo gua adalah penentu nasib buat kebanyakan orang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD