Siapa Dia?

1296 Words
“Siapa dia?” tanya Sakti begitu mereka dalam perjalanan pulang masih dengan motor milik Iwan. “Oh … teman satu sekolah,” jawab Lintang dengan santainya. “Jangan deket-deket dia! Jangan kasih dia kesempatan buat ngedeketin kamu!” ingat Sakti tegas. Mendapat peringatan yang tidak biasa dari Sakti, sontak Lintang jadi banyak bertanya kepada sabahatnya itu. “Nggak ada alasan,” jawab singkat Sakti sebelum sampai kediaman Iwan. Pertanyaan Lintang akhirnya tidak ada satupun yang terjawab, karena mereka sudah di sampai di rumah pemilik motor. Setelah berbasa-basi sebentar seputar permainan tim kesayangan Lintang dengan keluarga Iwan, mereka pamit. “Sak, jadwal berikutnya kapan?” tanya Lintang setelah innova Sakti membelah jalanan Banyu Urip. “Belum tahu, sih. Kenapa?” Sakti balik tanya ke Lintang dengan sedikit melirik sahabatnya itu. “Gak pa-pa. Next kita nobar aja, deh. Di mana gitu? Libur nribun dulu deh!” ungkap Lintang dengan menatap ke arah Sakti yang masih fokus mengemudi. “Yakin?” seru Sakti, cowok itu sadar sahabatnya itu memiliki kenangan buruk dengan nobar atau nonton bareng. Kejadiannya sekitar setahun lalu, saat Persebaya main lawan Arema. Lintang yang khawatir pertandingan tersebut berakhir kacau, mengingat kedua tim tersebut memiliki fans fanatik berlebihan. Memilih nonton dengan cara aman. Sahabatnya itu memilih nobar di sebuah warkop atau warung kopi yang terkenal sebagai tongkrongan para bonek. Ketika hari pertandingan, semakin sore suasana semakin ramai dan seru. Duduk pun berdesakan, sakti bahkan merasakan ketidaknyamanan dari wajah Lintang yang tegang. Gadis ayu itu mengeratkan pegangannya di jersey Sakti dengan erat. Sakti yang curiga perlahan menggerakkan pandangannya mencari penyebab ketegangan Lintang. Alangkah terkejutnya, Sakti mendapati seorang lelaki bertato menggerakkan tangan kanannya dengan leluasa di paha kiri sahabatnya itu. Dengan cepat, Sakti menyingkirkan tangan lelaki bertato dan menatapnya tajam tanpa kenal takut, walaupun usianya waktu itu baru lima belas tahun sedangkan yang ia hadapi seorang dewasa berusia lebih dari tiga puluhan. Tanpa banyak kata, Sakti membawa Lintang keluar dari area tersebut dengan wajah memerah menahan amarahnya yang sudah di ubun-ubun. “Kenapa sih elo gak teriak, Lin. Dia itu udah kurang ajar tau gak sama elo!” geram Sakti sambil mengeluarkan motornya dari parkiran warkop. “Gue takut, Sak!” Tiba-tiba Lintang terisak. Sakti yang paling tidak tahan melihat perempuan menangis, dengan reflek meraih pinggang Lintang dan memeluk sahabatnya itu. “Maafin aku, ya. Kalo udah bikin kamu takut.” Sakti mengusap air mata Lintang yang masih mengalir. Dalam hati ia merasa bersalah dan menyesal karena tidak bisa melindungi sahabatnya itu dengan benar. Malah membentaknya. “Kita pulang sekarang!” Sakti memaksa Lintang duduk di jok belakangnya. Setelah merasa Lintang duduk nyaman, Sakti segera menyalakan mesin motornya. Sejak kejadian tersebut, Sakti selalu menghindari acara nobar di mana pun. Ia lebih rela kehilangan banyak uang dan waktu demi melindungi Lintang. Sebenarnya Sakti bukanlah pecinta bola, ia hanya berusaha menyenangkan sahabatnya. Bukan hanya bola, tetapi semua yang berhubungan dengan olahraga ia tidak menyukai. Sakti lebih menyukai otomotif. Mengutak atik mesin motor dan mobil adalah keahliannya. Namun, karena tidak tega dengan rengekan Lintang yang selalu meminta untuk ditemani ke GBT atau nobar Sakti merelakan diri dan sudi berdesak-desakan dengan para penggila bola lainnya. “Lin, apa kamu yakin mau nobar?” ulang Sakti karena Lintang belum menjawab pertanyaannya. “Entahlah,” sahut Lintang ragu. “Nonton di televisi kenapa sih? Kan sama saja, Lin.” Sakti menggenggam jemari Lintang dengan lembut. “Enggak akan sama sensasinya, Sak.” Lintang memejamkan kedua matanya yang terasa lelah. Tidak butuh waktu lama, semenit kemudian Sakti sudah tidak mendengar apapun. Suara Lintang pun lenyap. Gadis benar-benar tertidur pulas. Inilah salah satu alasan Sakti tidak pernah membawa motor ke GBT karena sepulang dari nonton sahabatnya itu pasti akan tertidur dengan pulasnya. Begitulah Sakti dan Lintang menjalani masa persahabatannya. Saling dukung dan memotivasi. Tak jarang Lintang menyumbang ide saat sahabatnya itu memodif motor. Hasilnya lumayan, banyak disukai. Bahkan ada karya modif mereka berdua yang pernah masuk nominasi kontes modifikasi motor. Tiba di rumah, Lintang masih pulas dengan tidurnya. Karena tidak tega membangunkan gadis cantik itu, pilihan Sakti hanya menggendong sahabatnya itu sampai kamar. Kebiasaan yang selalu anak muda itu lakukan setiap kali Lintang tertidur di mobilnya. Kedua orang tua Lintang bahkan tidak keberatan dengan hubungan keduanya. Keluar masuk kamar Lintang adalah hal biasa bagi sakti. Namun, bukan berarti ia bisa memperlakukan Lintang sembarangan. Ia tetap menjaga Lintang dengan baik. Setelah menidurkan Lintang di kamarnya, sakti beralih ke dapur. Cowok berkulit kuning langsat itu mencari makanan apapun yang bisa ia makan. “Nyari apa, Mas?” tanya Bi Darsih, asisten rumah tangga di rumah Lintang. “Eh, Bi Darsih! Nyari makanan. Laper,” sahut sakti sambil mengubek isi lemari pendingin di dapur Lintang. “Neng Lintang kemana, Mas?” tanya Bi Darsih sambil melirik kanan kiri mencari keberadaan anak kesayangan majikannya itu. “Biasalah, Bi. Kalo abis nonton bola pasti tidur,” jawab sakti sambil mengunyah brownies yang sudah ia potong kecil. “Kalo gitu saya masakkan sebentar, Mas. Nanti kalo Neng Lintang bangun tidur pasti kelaparan. Mas Sakti jangan pulang dulu. Temani Neng Lintang makan, bapak sama ibu lagi ke luar negeri. Kasiyan kalo makan sendirian pasti gak jadi makan. Milih tidur atau nonton film di kamar,” celoteh Bi Darsih panjang lebar mengalahkan ibu-ibu yang nyeramahin anaknya. Sakti hanya terkekeh mendengar semua celotehan Bi Darsih. Lagi pula belum ada niatan darinya untuk pulang. Jam dinding baru menunjuk di angka 8 di jarum pendek dan angka 5 di jarum panjang. Pukul delapan lebih lima menit. Pantang baginya pulang sore saat weekend begini. Yang ada dirinya malah diledekin saudara dan orang tuanya karena menjomblo. Karena itu ia bertahan di rumah Lintang selama mungkin. Demi apapun keberadaan Lintang banyak membantunya. Tidak sedikit yang mengira keduanya sepasang kekasih saking dekatnya. Namun, yang paham kedekatan keduanya hanya bisa tertawa lebar. Sejak awal bertemu Sakti kerap kali memperlakukan Lintang seperti layaknya cowok. Sehingga tidak akan ada yang percaya jika Sakti dan Lintang didaulat sebagai sepasang kekasih. Namun, seiring waktu Sakti mulai merubah mindsetnya. Berangsur pemuda berdarah Jawa- Sunda itu mulai memperlakukan Lintang sesuai gendernya. Beberapa kali ia membawa Lintang mempercantik penampilannya, termasuk memanjangkan rambut. Itupun atas permintaan Sakti. Setelah merasa kenyang, Sakti mengembalikan browniesnya ke dalam lemari pendingin, diliriknya Bi Darsih yang masih fokus di kompor. “Masak apaan, Bi?” tanya Sakti. “Teledo, Mas ….” “Teledo apaan, Bi?” potong Sakti dengan kekepoannya. “Telor lele balado,” jawab Bi darsih dengan senyum kemenangan. “Hahaa … si Bibi bisa aja kasih nama masakan,” sahut Sakti dengan tawa kerasnya merasa konyol dengan nama masakan Bi Darsih. ART keluarga Lintang yang berusia empat puluhan itu memang terkenal kreatif dan suka memberi nama aneh pada setiap masakannya. “Sak …!” suara Lintang memanggil nama Sakti yang sedang ngakak dengan Bi Darsih. “Eh, Neng Lintang,” Bi Darsih mendahului Sakti menoleh ke arah Lintang. “Lin, udah bangun?” sahut Sakti mengalihkan pandangannya ke gadis ayu itu. “Masih betah aja di sini?” lanjut Lintang sembari duduk di kursi yang ada di ruang makan. Sakti menyusul sahabatnya itu dan duduk di sampingnya. “Jangan bilang elo ngehindari Tante ama Bang Mahen lagi?” tebak Lintang sambil menuang air putih dari teko bening yang ada di meja. “Nah, itu elo udah tahu jawabannya.” Tatap Sakti ke arah Lintang. “Cari pacar sono, daripada elo ngeribetin gue.” Lintang meletakkan gelasnya pelan-pelan setelah airnya habis. “Eh, nih anak kagak ada makasih-makasihnya ama gue. Elo yakin gak bakal sakit hati kalo gue punya pacar?” tukas Sakti menatap pemilik mata hazel itu. “Kalo lo punya pacar. Gue nanti pasti banyak yang ngedeketin. Elo enggak perlu khawatirin gadis secantik gue. Banyak yang ngantri. Saking karena ada elo di sebelah gue, mereka pada mundur!” ledek Lintang. “Nggak boleh!” sangkal sakti dalam hati. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD