Nyatanya

1552 Words
“Lin!” panggil Sakti begitu Lintang sampai rumah. Lintang dan Sakti kini sudah di kelas sebelas. Melewatkan setahun penuh kenangan. Selama itu pula seorang Abimanyu melakukan pendekatan kepada Lintang, sampai gadis blasteran itu benar-benar kepincut dan jatuh hati padanya. Saat ini Sakti sudah duduk di teras rumah Lintang, menunggu kedatangannya. Setelah peristiwa Lintang meletakkan ponselnya di dalam tas karena menemui Abimanyu menyerahkan sushi buatannya. Sakti merasa cemas karena pesannya tidak dibalas. Pemuda ganteng itu sudah menunggu kepulangan Lintang dari sekolah sejak sejam yang lalu. Selama itu ia terus memantau ponsel Lintang yang hanya centang dua saat ia kirimi pesan. Bahkan panggilannya tidak dijawab. Ternyata gadis itu pulang satu jam lebih lambat dari biasanya, alasannya karena ada rapat OSIS. Sakti memaklumi agenda sahabatnya itu. Sakti paham karena jabatan Lintang sebagai sekretaris umum mengharuskan dirinya aktif. Namun, yang membuat Sakti kesal sahabatnya itu diantar Abimanyu. Cowok yang mereka temui di Gelora Bung Tomo saat menonton bola lebih dari setahun yang lalu. Entah mengapa sejak melihat kehadiran Abimanyu, Sakti merasa akan ada yang berubah pada Lintang. Bahkan ia sampai meminta sahabatnya itu menghindari Abimanyu. Namun, teman satu sekolah Lintang itu memiliki akses lebih banyak untuk bersama Lintang ketimbang dirinya. Tanpa setahu dirinya, Abimanyu mendekati Lintang dengan berbagai cara. Yang lebih membuatnya kesal, Lintang tidak pernah bercerita apapun tentang kedekatan mereka berdua. Sampai ia harus tahu sendiri, saat Abimanyu mengantar Lintang pulang seperti saat ini. Sedangkan dirinya menunggu kepulangan anak tunggal tuan Laurenzo dengan cemas. Menyaksikan Lintang dibonceng Abimanyu sontak Sakti gondok. Tanpa pamit ia meninggalkan Lintang yang masih belum sadar kesalahannya. Beberapa hari sengaja tidak mengabarkan apapun kepada Lintang. Sampai Lintang bisa meyakinkannya, bahwa hubungannya dengan Abimanyu tidak akan berimbas dengan persahabatan mereka. Finally, tiga bulan lalu Lintang bercerita kalau Abimanyu menyatakan cintanya. Sakti yang tidak terima meminta Lintang untuk menolak, tetapi sahabatnya kekeuh menerima. Berbagai fakta ia beberkan tetap saja Lintang menyanggahnya. Akhirnya Sakti mengalah demi Lintang. Namun, ia masih belum bisa menerima kehadiran Abimanyu. Ia masih mengibarkan bendera permusuhan saat bertemu kekasih sahabatnya itu. "Sak," panggil Lintang setelah keduanya berbaikan seminggu kemudian. “kenapa?” tanya Lintang begitu ia duduk di samping Sakti dengan santainya. Pulang sekolah, Sakti mendatangi rumah Lintang. Lintang membawa sakti ke ruang tengah agar lebih nyaman berbincang. Namun, Lintang masih belum menyadari perubahan yang ada pada Sakti. Bahkan ia tampak menghiraukan perasaan Sakti yang tengah menahan emosi dan siap meledak kapanpun jika saatnya tiba, walaupun wajahnya tampak menyedihkan. “Panggilanku kenapa gak dijawab?” tanya balik Sakti berusaha setenang mungkin. “Kan aku udah minta maaf. Hapenya di tas. Akunya lagi sama Abimanyu,” jawab Lintang sembari memiringkan tubuhnya sehingga mereka kini saling berhadapan. “Pacaran ya pacaran, tapi hape dibawa dong! Emang elo dikasi apa sih sama si wayang itu?” seru Sakti. “Ya maap,” sahut Lintang menyesal. “Tapi apa itu tadi? Siapa itu Wayang?” Dahi Lintang berkerut mendengar istilah baru dari sahabatnya itu. “Iya Wayang. Nama pacar elo itukan nama toko pewayangan. Anaknya Arjuna si Pandawa. Terus apa salah kalo gue panggil dia wayang?” sebal Sakti. Lintang mencebik ucapan Sakti, Karena ia sendiri tidak paham dengan nama yang disebut sahabatnya itu. Sedangkan Sakti tahu nama tersebut dari dongeng sang kakek tentang kelima tokoh Pandhawa tersebut. Tokoh yang gambar wayangnya menjadi pajangan di rumah sang kakek tempo dulu. “Gue ganti baju dulu, ya! Ntar malem mau diajak Abimanyu jalan,” Lintang beranjak dari ruang tengah menuju kamar meninggalkan Sakti dengan kekesalan dan kekecewaannya. “Anjir, lama-lama gue bisa stress ngadepin dia!” batin Sakti kesal. Cowok bermata sipit itu merogoh kantong celananya, dikeluarkannya benda pipih warna hitam yang siap menghubungkan dirinya dengan siapapun. “Gaesss… gue tunggu di markas sekarang!” perintah Sakti tanpa basa basi begitu panggilan tersambung. Tanpa pamit, Sakti bergegas meninggalkan rumah Lintang menuju lokasi yang ia sebut markas. *** Sakti masuk ke sebuah lokasi yang lebih mirip gudang dibandingkan rumah atau apapun. Itulah yang disebut Sakti markas, tempat yang ia gunakan untuk bekerja memodifikasi mesin ataupun tampilan luar sebuah kendaraan costumernya. Salah satu tempat yang sering ia gunakan untuk melampiasakan kekesalan, kemarahan dan kesedihan dengan siapapun. Sakti mendudukkan dirinya di sebuah sofa yang terlihat using dengan keras. Dipejamkannya kedua mata yang sejak tadi memantau gawai menunggu balasan chat dari Lintang. Namun, yang ia terima hanya sederet kata maaf. “Sak!” tiga orang pemuda seumuran Sakti masuk tanpa permisi. Mereka adalah Candra, Erik dan Ivan. “Kenapa Lo?” seru Ivan dengan senyum tampannya dan duduk begitu saja di samping Sakti. “Pasti sama Lintang!” tebak Erik yang duduk dihadapan Ivan dan Sakti. “Sok tau, lo!” Candra memukul pelan pundak sahabatnya itu. “Ye, kalo gak sama Lintang. Cewek bule itu pasti udah ada di sini!” tebak Erik tepat ke sasaran. Sakti hanya menatap ketiga temannya datar. Tak ada respon apapun. Hanya helaan napas panjang dan dalam milik Sakti yang terdengar. “Udah … cari yang lain napa?” ucap Ivan dengan tampang sok cool. “Wkwkwkkk … mana ada cewek ajaib kayak dia di bumi ini?” sahut Erik yang hanya dicengiri Sakti. “Kalian mau ikutan gak?” tanya Sakti tiba-tiba mengalihkan pembicaraan ketiga temannya tentang Lintang. “kemana?’ sahut kompak ketiganya. “Udah kalian tinggal iya atau tidak?” tantang Sakti tidak mau ribet menjawab pertanyaan teman-temannya. Ketiganya saling berpandangan meminta persetujuan masing-masing. Setelah sepakat mengangguk kepala, ketiganya masuk ke mobil Sakti. “Sak, elo masih waras kan?” tanya Erik yang duduk di jok penumpang sebelah Sakti. “Gue masih waras seratus persen. Gak mabok apalagi ngefly. Udah kalian tenang aja, gue jamin aman. Gak akan terjadi apa-apa,” tukas Sakti seakan tahu kecemasan ketiganya. Perasaan Sakti saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Tetapi bukan karena Lintang dan Abimanyu. Harusnya tadi saat bersama Lintang, ia ingin bercerita kekesalannya. Namun, melihat Lintang hendak kecan dengan Abimanyu hatinya menjadi serasa diaduk-aduk dan memutuskan ke markas. Sesaat sebelum Sakti menemui Lintang, pemuda itu sempat bertemu papanya bersama seorang wanita di sebuah parkiran mini market. Kebetulan Sakti yang merasakan haus berniat membeli air mineral. Namun, ia disuguhkan pemandangan merusak pandangan matanya. Papa menemani wanita yang bukan Mamanya. Mereka berjalan bergandengan tangan dengan mesranya. Sang papa yang sempat bersitatap dengan putra bungsunya itu hanya menatap sekilas tanpa ada niatan menyapa atau sekedar berbasa basi. Sakti yang selama ini begitu membanggakan sosok papa, seketika hancur tak berbekas semua rasa bangganya berganti rasa benci. Saat rasa itu hanya muncul satu nama yang ia ingat, Lintang. Sakti berharap dengan bertemu Lintang, ia bisa menceritakan kehancurannya siang tadi. Namun, sia-sia Lintangnya seolah lebih memilih Si Wayang daripada dirinya. Klop sudah semua kejatuhannya hari ini, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Dadanya bergetar hebat menahan semua rasa yang bergejolak. Amarahnya tertahan tanpa alasan. Bahkan untuk mengatakan kepada sang mama ia tidak sanggup. Sakti begitu yakin, mamanya pasti akan mengalami kesakitan dan kesedihan seperti dirinya saat tahu bagaimana perilaku papa di luar sana. Sakti melupakan kenyataan bahwa seorang wanita itu lebih kuat daripada baja. Mereka bahkan siap menghadapai badai sekeras apapun. Seorang wanita bukanlah pria yang bisa tumbang hanya dengan sekali sentil. Seorang wanita sanggup berdiri tegak kembali meski terjatuh jutaan kali. Innova putih Sakti masuk ke gedung asing bagi Candra dan Ivan, tetapi tidak bagi Erik. Beberapa kali Sakti pernah mengajaknya ke gedung tersebut. Dari luar terlihat banyak mobil dan motor terparkir rapi. Setelah turun, sakti mendahului masuk ke pintu utama. Erik yang memastikan Sakti lengah berbisik kepada Ivan dan Candra, “Tolong kalian hubungi Lintang sekarang! Katakana di mana lokasi Sakti saat ini! Bila perlu sherlok!” perintah Erik dengan berbisik karena ia mencium gelagat tidak baik pada Sakti. Benar saja, temannya itu duduk begitu saja di sofa ruangan remang-remang dengan hentakan musik keras dari seorang DJ. Tebakan kalian benar, sakti membawa ketiga temannya ke sebuah diskotik. Ketiganya mengekor duduk di sofa yang sakti tempati. Tak lama kemudian seorang pelayan mengantar pesanan Sakti. “Kalian berdua gak usah ikuti si dodol ini! Aku gak mau kalian tertular virus tidak warasnya dia!” ancam Erik kepada Ivan dan Candra yang memang belum terbiasa dengan ruangan dan minuman yang disuguhkan pelayan tersebut. “Terus kalo kita haus gimana?” cemas Candra. “Tahan!” pinta Erik sambil melirik Sakti yang mulai menuang cairan dari botol lalu menyesapnya perlahan, menikmati minuman haram tersebut. Ketiganya hanya menyaksikan semua yang dilakukan Sakti tanpa berani mencegah. Saat-saat seperti ini ketiganya berharap Lintang segera datang. Derrt … derrt …. Sebuah panggilan dari gawai Ivan sedikit mengenyahkan rasa sepi dan gundahnya. “Lintang!” seru Ivan lirih. “Angkat!” titah Erik sambil berbisik. Ketiganya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia merasa bantuan segera tiba. Diantara mereka bertiga hanya Lintang satu-satunya yang berani membantah permintaan dan perintah Sakti. Karena ituah saat ini harapan mereka hanya Lintang. Ivan menggeser icon hijau di monitor lalu mulai berbicara dengan Lintang. “Sebentar!” pamit Ivan keluar ruangan berisik tersebut. Selang lima menit kemudian, Ivan masuk bersama Lintang. Beberapa pasang mata menatap tak berkedip wajah cantik Lintang. Bahkan ada beberapa yang berani menggoda. Lintang tanpa berbelas kasih membentak dan menolak dengan nada jutek tujuh turunan, sehingga menyiutkan nyali para hidung belang di ruangan tersebut. Gadis itu menatap sendu ke arah Sakti, “Bantu gue bawa dia pulang!” titah gadis itu. “Tapi Lin?” ucap candra ragu. “Gue yang tanggung!” ucap Lintang dengan tegas. **** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD