Calon Mertua

1156 Words
Naima mengaduk sarapannya bosan. Sepiring nasi goreng dan ocehan ibunya adalah paket lengkap sarapannya setiap pagi. Kalau ada remot untuk menghentikan orang berbicara, maka dia akan membelinya. Ibunya cerewet luar biasa, terkadang dia berniat punya rumah sendiri, supaya dia bisa hidup dengan nyaman, tapi mengingat ayahnya yang sudah sakit-sakitan, dia menjadi tidak tega. "Pak Broto akan datang melamar-mu nanti malam, siapkan penampilan terbaikmu! kalau kau tak pulang cepat, aku akan menyeret-mu dengan paksa dari kampusmu." "Ibu, kenapa ibu memperlakukan aku begini?" Naima tidak terima, ibunya yang tadi membersihkan sayur, berbalik menatapnya, melempar kain lap yang ada di tangannya ke sembarang tempat. "Kau itu gadis bodoh, hanya karena kau dikhianati, kau tak berniat untuk menikah." "Aku bukannya tak berniat, Ibu. Hanya saja...." "Hanya saja kau mau menunggu pria pembohong itu untuk bercerai dengan istrinya lalu menikahimu, begitu?" Naima tak tahan lagi, "Bu, jangan ungkit masalalu-ku, aku mohon, Bu." Dia berusaha meredam amarahnya. "Kenapa? Itu kenyataan, aku ini ibumu, kau tak bisa menyembunyikan apa pun dariku, sekarang kalau kau ingin selamat, bawa sendiri laki-laki yang kau inginkan menghadap bapakmu nanti sore, sebelum Pak Broto datang." Tegas dan tidak bisa dibantah, Naima tahu persis siapa ibunya. Dia meninggalkan sarapannya, meraih kunci mobilnya dan pergi secepatnya meninggalkan rumah. Mau dicari ke mana calon suami dalam waktu sepuluh jam, rasanya dia ingin mati saja. **** Naima memijit kepalanya pelan, dia benar-benar pusing. Pintu diketuk perlahan, Naima mempersilahkan orang itu masuk tanpa melihatnya. "Selamat pagi, Bu." Suara besarnya yang cukup familiar, Naima mengangkat wajahnya, menilai laki-laki yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima senti meter itu. Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, tersenyum kikuk, apakah penampilan masuk kedalam penilaian? kali ini dia hanya menggunakan kemeja pendek dengan celana jins robek di bagian lutut. "Duduklah!" perintah Naima, dia menghela nafasnya agar fikiran-nya bisa fokus. "Mana proposal-mu?" Rangga mengeluarkan lembaran kertas itu ragu-ragu, Naima melihat satu persatu, kertas itu tak ada perbaikan sama sekali. "Apa ini?" Dia memandang Rangga yang menggaruk kepalanya. "Eh, itu, Bu... saya ... saya gak ngerti." "Jadi apa saja kerja saudara tadi malam? bahkan tak ada coretan sedikit pun di sini." Otak Naima tambah pusing, "Bu, please Bu! mohon bantu saya lulus semester ini, kalau tidak, saya bisa mati." Rangga menautkan jari-jarinya penuh permohonan. "Rangga, lulus atau tidak, semua tergantung usahamu sendiri, saya cuma bisa membantu." "Bu, saya mohon! saya akan lakukan apa saja yang ibu pinta asalkan saya bisa lulus." Rangga berlutut, bahkan tangannya seenaknya mampir ke paha Naima untuk berpegangan, Naima menyingkirkan tangan itu dengan marah. "Maaf, Bu! saya gak sengaja." "Duduk di kursi!" perintah Naima, Rangga menurut. "Benar kamu akan melakukan apa saja?" Naima mencoba peruntungannya, ini gila, tapi terpaksa dilakukannya. "Saya bersumpah, asalkan saya nggak disuruh terjun dari gedung, akan saya lakukan, saya nggak mau mati sekarang, saya masih perjaka, Bu." Naima menggeleng-geleng. Mahasiswa aneh. "Kau pikir aku sejahat itu." "Jadi apa yang harus saya lakukan?" "Gampang saja, nanti ikut ke rumah saya, menyamar jadi calon suami di depan keluarga saya, bisa?" "Itu saja, Bu? Itu mah kecil.. " Rangga tersenyum remeh. "Jam lima sore, kita akan temui orang tua saya, berakting-lah sebaik mungkin, saya akan menjamin kelulusan saudara di semester ini." "Wah, terimakasih, Bu." Rangga tersenyum bahagia, berniat memeluk Naima, Naima melotot sehingga tangan itu berhenti mendadak. "Jangan menyentuh saya sembarangan! faham?" Rangga kembali nyengir, tapi dasar mulut tak bisa direm dia malah melontarkan pertanyaan yang membuat Naima marah. "Ngomong-ngomong kok saya yang harus pura-pura? Ibu nggak laku, ya?" Naima mendelik ke arahnya. "Mau lulus atau tidak? Saya tidak punya waktu mencari calon suami, jangan banyak bicara, tapi banyak bekerja, di situ kelemahan saudara selama ini." "Iya, Bu." Rangga menundukkan wajahnya. "Sini! saya bantu!" Naima meraih proposal itu, menerangkan satu persatu secara detail, Rangga mengangguk-angguk, awalnya dia masih tidak paham, tapi Naima tidak menyerah menjelaskannya sampai Rangga mengerti. Suara tegas Naima dan wangi mawar yang tercium di hidung Rangga menjadi penyemangat tersendiri. Rangga akhirnya keluar dari ruangan dengan wajah berbinar setelah dua jam konsultasi, dia sudah tau apa lagi yang akan dikerjakannya. Dosen cantik itu membuat daftar khusus untuknya setiap hari, daftar itu harus ditaati. Menaati atau mati, Rangga terbayang kumis tebal bapaknya. *** Rangga mematut dirinya di depan cermin, baru saja Naima membelikannya satu stelan pakaian bermerek yang harganya cukup mahal. Rangga benar-benar merasa seperti bintang film, kenapa tidak ada satu produser pun yang meliriknya untuk menjadi artis, dunia memang aneh. Naima masuk tidak sabaran ke ruang ganti itu, menunggu Rangga layaknya menunggu penganten yang sedang bersolek. "Kenapa lama sekali? Bapak saya sudah nunggu, ini sudah jam lima lewat sepuluh." "Eh, iya, Bu." Rangga meraih ranselnya. Baju baru memberi aura positif padanya, dia menjadi bersemangat. Mereka berangkat dengan mobil Naima, Rangga tak berhenti mengagumi mobil mungil itu. "Gaji sebagai dosen besar, ya, Buk? mobilnya kelihatan mahal." "Nggak juga," jawab Naima, dia konsentrasi menyetir. "Nanti kalau Ayah nanya, kamu jawabnya iya iya aja, jangan asal bicara, ngerti?" "Beres, Buk." Rangga mengangkat tangannya seperti memberi tanda hormat. Tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di rumah Naima. Rumah sederhana tapi sangat bersih dan asri. Bermacam-macam bunga warna- warni dan tanaman hias lainnya tertata rapi di pekarangan rumah, ada kolam kecil dengan air mancur yang didisain apik dan begitu menawan. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi kesannya begitu luas dengan penataan perabotnya, rumah ini bersih, menggambarkan pemiliknya yang suka kerapian dan keteraturan. Benar saja, baru saja Rangga mengucapkan salam, dua orang tua yang diyakini sebagai orang tua Naima sudah duduk tegap di sandaran kursi tamu. Rangga menyalami dan mencium tangan ke dua orang tua Naima dengan hormat, tak lupa senyum yang teramat manis dan santun di tunjukkan Rangga. Ayah Naima tampak senang dan tersanjung dengan perlakuan itu, berbeda dengan ibu Naima yang lebih banyak membuang muka. "Jadi kamu calon suami Naima?" Suara berat itu menggelegar. "Iya, Om," jawab Rangga mengangguk mantap. "Panggil Ayah! bukan Om," jawab Ayah Naima tersenyum hangat. Naima ketar-ketir sendiri dengan momen ini. "Jadi , siapa namamu, Nak?" "Saya Rangga, Om, eh Ayah." Naima berdoa, jangan sampai ke-tololan Rangga keluar saat ini. Sikap pria itu bisa menghancurkan rencananya. "Berapa usiamu?" "Saya dua puluh tujuh, Om, eh! Ayah, hehe." Rangga salah tingkah. "Masih muda tiga tahun dari Naima, tapi tidak masalah ...." Ayah Naima mengangguk-angguk lagi, ibu Naima melotot tajam pada anaknya, mata itu menyiratkan, "Kau temukan di mana anak ini?" "Kerja di mana?" Inilah pertanyaan yang ditakuti Rangga, dia tak mungkin mengatakan kalau dia hanya tukang ojek online. Naima menguasai keadaan lalu menjawab tenang. "Rangga bekerja di perusahaan transportasi, Yah." "Ooo, bagus itu, Nak. Rangga serius dengan Naima, kan?" "Iya, Yah." Rangga mengangguk mantap. Seperti perintah Naima, dia cuma perlu mengatakan iya-iya saja. "Berapa lama kalian saling mengenal?" "Enam tahun, Yah." Naima menyela cepat. "Sudah cukup lama. Baiklah, dua hari lagi kalian menikah, suruh orang tuamu datang melamar besok, ya!" Rangga dan Naima seolah-olah seperti disambar petir, dia tak menyangka sandiwara ini berakhir serius. Menikah? Dengan Rangga? Apa jadinya pernikahan mereka nanti. Rangga menoleh kepada Naima dengan pandangan meminta tolong, "Bu, bagaimana ini?" bisik-nya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD