Ijab Qabul

1055 Words
Naima memarkirkan mobilnya di bawah pohon, di pinggir jalan yang cukup sepi, setelah mendengar ultimatum ayahnya, mereka bergegas pergi dengan alasan Rangga ada telpon mendadak dari kantor. "Ibu harus tanggung jawab!" "Saya gak nyangka bakal seserius ini." "Saya belum mau menikah, Bu." "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu?" bentak Naima pusing. "Jadi, gimana? " Naima diam, dia tau ayahnya tak pernah menuntut apapun darinya, kecuali menikah, apa yang akan terjadi jika harapan itu tidak terwujud, bisa-bisa ayahnya masuk rumah sakit lagi. "Begini saja, saya punya penawaran." "Apa lagi, Bu? Saya jadi takut." "Kita nikah saja!" "Nggak mau, Bu." Rangga langsung memotong. "Kamu ingin lulus, kan?" "Iyalah, Bu, Ibu juga tau." "Sebenarnya ini dosa, tapi saya tak punya pilihan demi menyelamatkan nyawa ayah saya, saya tak bisa menolak, ayah saya penderita sakit jantung, saya terpaksa mengabulkannya." "Maksud, Ibu?" Rangga belum juga mengerti. "Kita menikah, tapi yang tau hanya orang terdekat saja seperti keluarga inti kita." "Terus? " "Kita menikah dengan beberapa kesepakatan, salah satunya tidak ada hubungan suami istri, kita tetap serumah, dengan status suami istri, saya bisa bantu kamu 24 jam membina semua mata kuliahmu dan menyelesaikan skripsi-mu, bagaimana?" Rangga cukup tertarik tapi bagaimana dengan pacarnya? "Saya punya pacar, Bu." "Pacarmu tak perlu tau kalau kau sudah menikah, gampang, kan? Kita simbiosis mutualisme saja, kau lulus dan saya dapat suami, gimana?" Rangga memandang wajah mungil milik Naima. Hatinya ragu, tapi sekali lagi, sepakat atau mati. "Untuk urusan biaya rumah tangga kita saling mengerti saja, saling bantu, gaji saya cukup besar dan saya punya usaha lain yang cukup sukses, tidak ada yang akan dirugikan di sini." "Deal, Bu." Rangga menjabat tangan Naima, gadis itu tersenyum lega. *** Semua terjadi begitu cepat, mereka sudah sah menjadi suami istri dua jam yang lalu. Tak ada resepsi sama sekali, cuma syukuran kecil-kecil-an yang dihadiri oleh keluarga inti dari ke dua belah pihak, ditambah dengan tetangga-tetangga terdekat. Awalnya orang tua Rangga terkejut mendengar anaknya memintanya datang ke Jakarta untuk melamar. Bapak marah dan tidak terima, tapi ketika Rangga menceritakan kalau istrinya itu adalah seorang dosen di kampusnya sendiri, Bapak langsung bersemangat dan tanpa pikir langsung terbang ke Jakarta. Rangga sempat malu, ayahnya datang membawa hasil ladang yang sebenarnya tidak diperlukan. Dimulai dari pisang, nangka, kentang dan ubi jalar. Untungnya ayah Naima malah senang menerima dan merasa tersanjung karena repot-repot membawa semua itu. Ke dua orang tua mereka langsung akrab, bahkan ibu Naima yang galak malah melayani keluarganya dengan ramah dan sepenuh hati. Ibu Naima menangis haru, dia merasa bahagia dengan pernikahan ini, dia tak lagi menjadi cibiran ibu-ibu satu RT. Awalnya ayah Naima berniat mengadakan resepsi besar-besaran, kalau saja tidak dicegah Naima. Dia tak mau orang di kampus mengetahui pernikahannya, dia ingin bermain aman. Para tamu yang tidak seberapa sudah pulang. Orang tua keduanya sedang duduk-duduk di taman sambil meminum kopi dan makan cemilan. Akad dilaksanakan habis Isya dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Bapak Rangga sangat senang, dia akan menceritakan kepada semua orang jika pulang kampung nanti, bahwa anaknya menikahi dosennya sendiri, dia sangat bangga, walau anaknya agak bodoh dalam belajar, tapi pintar memilih istri. Rangga dan Naima sudah masuk ke dalam kamar, kamar Naima cukup luas dengan ranjang Queen-nya. Sangat bersih, rapi dan wangi. Mencerminkan pribadi Naima yang teratur dan disiplin. Tak ada dekorasi kamar penganten, seprai ranjang Naima hanya diganti dengan yang lebih baru. Baru saja Naima masuk ke kamar, dia langsung menghempaskan tubuhnya di ranjang, dia sangat lelah selama dua hari ini menyiapkan pernikahan mereka. Rangga lebih banyak bertanya daripada membantu. Rangga berdecak kagum dengan kerapian kamar itu, kopernya di sandarkan di sebelah rak buku Naima. Rangga membuka pecinya, duduk tanpa dipersilakan di sofa singgel dekat ranjang. "Bu, seterusnya gimana?" tanya Rangga saat Naima diam saja. "Apanya?" "Masa saya tidur sekamar sama Ibu," jawabnya polos. "Kamu pikir aku mau sekamar denganmu, hanya malam ini, besok kita pindah, aku punya apartemen yang tidak diketahui keluargaku, bilang saja itu punyamu, supaya kita bisa pindah." "Mantap, Bu, saya setuju." Wajah Rangga langsung ceria, dia masih seperti anak SMA, tak ada dewasanya sama sekali, padahal umurnya sudah dua puluh tujuh tahun. "Sekarang saya tidur di mana, Bu?" Rangga mengamati ranjang yang masih lapang. "Sofa itu cukup untukmu, kita hanya pura-pura, tapi kita tidak mungkin tidur berpisah malam ini, orang-tua kita bisa curiga," kata Naima sambil membuka jilbabnya, rambut lurus tebal dan panjang, dia memiliki poni yang membuat dia malah lebih mirip anak SMA daripada wanita berumur tiga puluh tahun. "Nih!" Naima memberi satu bantal dan sehelai selimut tipis. Rangga meraihnya sambil mengoceh. "Kalau sampai pacar saya tau, bahwa saya sekamar dengan wanita lain, saya akan digorok, Bu. Pacar saya galak." "Memangnya kau pernah sekamar dengan dia?" Naima tertarik mencari tau kisah asmara Rangga. "Enggaklah, Bu. Saya ini dididik sama orang tua gak boleh kelewat batas, jangankan sekamar, ciuman aja gak pernah, palingan cuma pegangan tangan." "Memang ada gaya berpacaran yang masih seperti itu?" Naima semakin tertarik, karena saat ini pergaulan anak muda terlalu bebas. "Ini, saya contohnya. Saya takut, Bu, takut dosa." Rangga mulai merebahkan badannya, Naima masih sibuk menghapus sisa make-up di wajahnya. "Bagus itu. Berapa lama kalian pacaran?" "Dua tahun, tapi pacar saya itu egois banget, suka-suka hatinya aja, kadang saya jenuh juga." "Kalau jenuh, ya putus aja, susah amat." Naima memandang Rangga lewat cermin di depannya. "Kalau cinta sudah melekat, tahi ayam rasa coklat, Bu," jawab Rangga. Naima tertawa geli, Rangga benar- benar polos, umur sudah setua itu, tapi masih bersifat kekanak-kanakan. "Ibu kenapa gak punya pacar?" Giliran Rangga yang ingin tau. Naima menjawab pelan, "belum jumpa yang cocok." Padahal dia trauma menjalin hubungan, hatinya pernah patah dan terluka sangat parah karena dikhianati oleh orang yang paling dicintainya. Luka itu belum sembuh bahkan sudah delapan tahun berlalu. "Mungkin ibu terlalu pemilih, jadi gak dapat pacar, padahal di kampus aja banyak lo Bu yang belum nikah, Pak Danu contohnya." Naima terdiam, Danu pernah mengutarakan perasaannya tapi ditolak mentah-mentah. Dia takut untuk jatuh cinta lagi. "Aku tak menyukainya, dia terlalu agresif," jawab Naima seadanya, dia ingat Danu bahkan berani mengekornya ke mana pergi sehingga Naima sangat terganggu." " Oh," ujar Rangga. Naima tak lagi berniat membahas soal pacar, dia naik ke atas ranjang, merebahkan dirinya, mencoba memejamkan matanya. Yuda... di mana dia sekarang? mungkin dia sudah memiliki anak dengan Lusi, sahabatnya sendiri, sahabat yang sangat akrab, tempat Naima bercerita dan berkeluh kesah, tapi Lusi malah menikamnya dari belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD