Ganteng saja Tidak Cukup

1053 Words
Hari ini Naima mengajak Rangga berkunjung ke sebuah perpustakaan besar milik pemerintah daerah, tempat itu adalah tempat favorit Naima, dia akan lupa waktu jika sudah menjejakkan kakinya di sana. Rangga tidak begitu tertarik, tapi demi proposal yang tak berkesudahan, apapun yang diperintahkan Naima, harus dilakukannya. Naima tipe yang tidak bisa dibantah, dia keras, disiplin dan sedikit kaku. Pagi pertama menjadi suami istri tak ada kesan sama sekali, mereka bersikap layaknya dosen dan mahasiswa, obrolan pun tak jauh- jauh dari urusan akademik. Rangga memilih duduk di pojok, ia membuka laptop-nya sambil menarik napas optimis. Semua demi Bapak, selama ini Bapak tidak pernah meminta apa-apa padanya, Bapak begitu gigih menyekolahkan Rangga sampai sarjana. "Nih! semua bahan yang kau butuhkan ada di sini." Naima meletakkan setumpuk buku di depan Rangga. "Sebanyak ini? Oh, tidak." Rangga langsung merebahkan kepalanya di atas meja. Naima memutar matanya. "Sini aku bantu." Naima meraih laptop Rangga, dia membuka buku satu persatu, begitu tenang dan begitu sabar, tak ada kesan terpaksa di wajahnya, dengan lincah jari halus lentiknya menari di atas keyboard laptop, sesekali dia menerangkan apa yang sedang ditulisnya di sana. Rangga lebih tertarik mengamati mulut kecil itu berbicara dari pada melihat apa yang sedang tertulis. Kalau dilihat lebih dekat, Naima cukup cantik, terlihat lebih muda dari usianya, tinggi badannya hanya berkisar seratus enam puluh, tidak begitu tinggi, tubuhnya cendrung langsing dan mungil. Rangga sebagai ahli penilai penampilan, merasa bahwa kacamata minus Naima sangat mengganggu untuk kecantikannya. Mata Naima bulat dengan bola mata bewarna coklat, pandangannya tegas dan memandang lawan bicara tepat di mata mereka. Pandangan tegas itu yang membuat Rangga serasa seperti kerbau yang di cucuk hidungnya, menurut tanpa bisa membantah. "Apa kau menyimak apa yang aku terangkan?" Naima merasa terganggu dengan pandangan menilai Rangga. Rangga menggaruk kepalanya, dia malu tertangkap basah memperhatikan wanita itu. "Oh? tentu saja." "Sekarang bab satu tinggal print out, aku mau besok sudah di tangan pembimbing dua-mu." "Siap, Bos," jawab Rangga takjub, bahkan Naima menyelesaikannya hanya dalam waktu lima belas menit, apakah komponen otak Naima berbeda dengan otaknya? itu tak penting lagi, yang jelas Rangga sangat senang. "Habis ini kita, pulang, kan?" Naima melihat tajam. "Tidak, ayo kita urus nilai-mu yang banyak perbaikan, ada semester pendek tahun ini, ini kesempatan untuk memperbaiki nilai-mu, aku heran, kenapa nilai bisa serendah itu." Naima beranjak, meletakkan kembali buku referensi pada tempat semula. "Gagal sudah niat bertemu pacar," ucap Rangga putus asa. "Lupakan dulu pacarmu itu, ingat nyawamu... Ingat Bapak!" Naima kesal, laki-laki itu sangat pemalas. "Iya, Bu." Rangga akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Bu, kita makan dulu, saya tadi belum sarapan." "Salahmu, sarapan sudah tersedia, tapi kau memilih sarapan dengan melihat Hp-mu, tampaknya pola hidupmu pun harus diubah." "Ibu jangan marah, Bu" Rangga mengusap lengan Naima, berniat membujuk. Dari tadi wajah itu kesal terus. "Kau itu harus dikerasi supaya bisa disiplin." Naima membuka kunci mobilnya dan diikuti Rangga dari belakang. Mobil melaju mulus. Rangga memberi semangat pada dirinya di dalam hati "Bertahanlah, Rangga! cuma enam bulan, setelah itu kau bisa bebas dari istri galak-mu." Naima melirik ekspresi Rangga. "Kau sedang mengumpat-ku?" Rangga kelabakan, apa Naima punya indra ke-enam? "Ti... tidak, Bu. Ya ampun." Rangga meraba dadanya sendiri karena syok. *** Seharian ini, Naima mendampingi Rangga mengurus semester pendek, semester pendek biasanya diadakan khusus bagi mahasiswa yang memiliki banyak perbaikan nilai, fasilitas khusus ini ada setiap tahun dan ditujukan untuk mahasiswa yang sudah lewat dari semester delapan. Naima heran, apa saja yang di lakukan duplikat Aamir khan waktu muda itu di kampus, dia sama sekali tidak tau kalau semester pendek itu ada. Atau malah dia memang tak berniat untuk belajar. Rangga dari tadi cemberut, rambut gondrong ala model kenamaan itu sudah kusut. Naima tak menghiraukan kalimat mengeluh yang selalu keluar dari mulut Rangga. "Bu, ini sudah jam enam sore, saya capek." "Capek atau mati," jawab Naima ketus, seharusnya dialah yang mengatakan capek. Kampus sudah sepi, hanya ada beberapa mahasiswa dan petugas kebersihan yang berada di sana. Mereka sekarang masih berada di ruangan Naima, melanjutkan proposal yang bab satunya sudah di ACC oleh pembimbing dua. Pembimbing dua Rangga bertanya heran, "Apa Albert Einstein mendatangimu tadi malam?" Rangga kesal dengan sindiran itu, tapi tak masalah, tinggal sedikit lagi, dia maju ke-bab berikutnya. Naima masih asik menandai bahan referensi untuk landasan teoritis bab dua, Rangga lebih banyak menjadi penonton dan tukang kawal Naima kemana-mana, bahkan beberapa hari ini dia menjadi bahan ejekan karena di mana ada Naima, maka di situ ada Rangga. Tiba-tiba hujan lebat turun di luar sana, memang dari tadi siang langit gelap dan angin bertiup kencang. Naima bangkit, menutup gorden dan menyalakan lampu. "Bu, kita tidak tidur di sini, kan?" Naima memandang lelah, "Kalau pekerjaanmu tidak selesai, kita tidur di sini malam ini," tegas Naima. "Kita? Maksud ibu, saya dengan ibu tidur berdua di sini?" Rangga menyilang kan tangannya menutup d**a. Naima tambah kesal. "Kau ini, kenapa seolah-olah mengira aku tertarik padamu." "Saya ini ganteng, Bu, semua orang juga mengakui." "Kecuali aku, ganteng saja tidak cukup." Naima melanjutkan menandai buku. Rangga mengerucutkan bibirnya, benar-benar tidak bisa diajak bercanda wanita yang satu ini. "Bu, coba ibu tersenyum! pasti kelihatan cantik." "Aku tak butuh menjadi cantik di depanmu." "Bu, sekali-sekali cobalah lebih santai, jangan terlalu serius." "Rangga." Naima menutup buku, dia membuka kaca matanya sambil menatap Rangga kesal. "Satu hal yang harus kau ketahui dariku, aku tidak tertarik untuk merubah diriku, aku nyaman dengan semua ini, lalu kau mau apa?" Wajah mungil itu berubah marah. "Saya tidak bermaksud mengajari ibu, kalau ibu tersinggung saya mohon maaf, deh." "Lain kali jangan campuri urusanku, hubungan kita tak lebih dari dosen dan mahasiswa, apa kau mengerti?" Rangga hanya mengangguk pasrah. Wanita itu tidak terpesona sedikit pun kepadanya. Itu bagus. Hujan di luar sana semakin lebat, petir bersahut-sahutan serentak dengan suara azan. Rangga tidak suka dengan suasana kaku begini, tapi dia takut jika salah salah bicara lagi. "Kita sholat dulu, kalau hujan nanti reda, kita akan pulang dan melanjutkan di rumah, kau bisa menjadi imam, kan?" "Jangan remehkan saya, Bu, saya pernah menang MTQ waktu remaja dan...." "Kamar mandi ada di sebelah sana." Naima langsung memotong karena tidak tertarik dengan curhatan Rangga. Rangga akhirnya menutup mulutnya , di depan istri pura-pura-nya dia selalu saja salah. Andaikan saja dia tidak butuh dosen galak itu, dari awal dia akan menjauhinya. Dia seperti patung es, cantik tapi sangat dingin, pantas saja setua itu dia tidak juga menikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD