7. Devan Cemburu

1293 Words
Mobil Devan melaju di jalanan ibukota di dalam suasana terasa canggung. Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Senna maupun Devan. Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Devan mengemudikan mobil, sesekali melirik ke arah Senna yang duduk di kursi penumpang, tatapannya lurus ke depan. Tatapan mata Devan turun ke arah tangan gadis itu. Jari Senna yang tadi teriris pisau kini sudah terlapisi plester kecil. Luka itu memang kecil, tapi entah kenapa, menjadi rasa bersalah yang begitu besar di hati Devan. ‘Saya harusnya gak ngebiarin dia di dapur sendirian.’ batin Devan. Tiba-tiba Devan menoleh, lalu berkata. “Nanti malam kita jadi ke rumah nenek, ya,” ucapnya sambil tetap fokus ke jalan. Senna menoleh pelan, bibirnya tersenyum lalu mengangguk. “Iya, aku inget, Om. Aku enggak lupa kok.” Devan hanya mengangguk pelan, tapi matanya kembali mencuri pandang ke arah tangan Senna, memastikan bahwa luka kecil itu benar-benar baik-baik saja. Ia terlalu cemas untuk seseorang yang selalu menolak perasaan Senna. Sementara di dalam hati, Senna sebenarnya berdebar. Sejak pagi, bayangan tubuh Devan yang hanya berbalut handuk masih menghantui pikirannya. Ia bahkan harus beberapa kali menarik napas panjang agar bisa bersikap normal. ‘Fokus, Sen. Jangan mikir aneh-aneh,’ ucap Senna dalam hati. Setelahnya hampir setengah jam akhirnya tiba di depan kampus. Devan memarkirkan mobil di tepi jalan, sementara di depan gerbang, Galen sudah berdiri menunggu, melambaikan tangan begitu melihat kedatangan Senna. Senna membuka pintu, melangkah keluar. Dia tersenyum ke arah Devan, berusaha bersikap senormal mungkin. “Makasih ya udah nganterin, Om. Hati-hati di jalan.” pamit Senna sambil melambaikan tangan. Devan hanya mengangguk, memasang wajah datar seperti biasanya. Tapi tanpa sadar mengikuti gerak-gerik Senna. Dan di depan matanya, tanpa aba-aba, Senna menggandeng tangan Galen dengan santai. Gadis itu bahkan sempat tertawa kecil, terlihat menikmati kebersamaan mereka. Devan menahan napas, dadanya seperti dipukul sesuatu dengan keras. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi. Tapi hatinya berantakan, cemburu. “Apa-apaan sih mereka. Kenapa gandengan segala? Kenapa sih saya malah begini?” Devan buru-buru mengalihkan pandangan, menarik napas dalam dan berusaha meredakan emosi yang tiba-tiba datang di dalam d**a. Mobil itu perlahan melaju, meninggalkan Senna dan Galen di belakang. Begitu mobil hilang dari pandangan, Senna langsung melepaskan genggaman tangannya pada Galen. Wajahnya berubah datar, senyumnya menghilang. Galen menatapnya dengan bingung. “Eh, kenape lo? Tadi happy banget, sekarang lo malah bete gini?” Senna tersenyum singkat. “Nggak apa-apa, Len. Makasih udah nunggu. Gue cuma .., ya, gitu lah biar—” Senna bingung bagaimana memberitahu Galen. “Biar om Lo tau punya temen?” “Ya, gitu lah,” jawab Senna tidak jelas. Galen masih tampak heran, tapi memilih untuk tidak banyak tanya. Ia hanya berjalan di samping Senna yang terus menunduk sepanjang jalan masuk ke kampus. Sementara itu, di kantor, suasana pagi yang biasanya sibuk, tapi semangat Devan hilang. Pria itu masuk dengan wajah masam, langkahnya cepat dan tatapannya tajam ke depan penuh emosi. Beberapa karyawan yang menyapa hanya mendapatkan anggukan singkat atau bahkan diabaikan oleh pria itu. Adam yang baru saja keluar dari pantry memperhatikan perubahan sikap sahabatnya itu dengan heran. Alisnya terangkat tinggi saat melihat wajah Devan yang lebih kelam dari biasanya. “Ada apa, Pak?” tanya Adam formal sambil mendekat. Devan hanya melirik sekilas, tak mengatakan apapun. Dia terus melangkah ke ruangannya, kemudian menoleh sedikit. Adam mengerti dia harus mengikuti. Adam mengikuti langkah Devan masuk ke dalam ruang kerja Devan. Ia lalu menutup pintu rapat, di dalam, Devan mendudukkan bokongnya ke sofa, melempar jas ke sandaran kursi. Napasnya terengah, tangannya mengepal memukul di udara. “Gue kayak orang bego, Dam.” makinya. Adam mengernyit. “Lah? Kenapa emang? Tadi lo nganterin Senna ke kampus, ‘kan?” Devan mendengus. “Iya, karena gue nganterin , gue jadi liat dia gandengan sama cowok kampusnya.” Adam tertawa pelan, bersandar santai di sofa. “Lagi?” Devan tak menjawab hanya melirik dengan kesal. Adam diam daripada dia membuat Devan makin emosi. “Ya gimana, gue udah bilang ‘kan? Perasaan lo itu udah enggak bisa lagi lo sembunyiin Van.” Devan mendesah panjang, menatap langit-langit ruangan. Pikirannya kacau karena Senna belakangan, cemburu menggebu, sialan pikirnya. “Hubungan ini terlalu aneh kalau dijalanin. Dia terlalu muda, bisa abis diledek dia ketauan pacaran sama om-om.” Adam memutar mata, ekspresi gemas. “Yaelah... dasar lo aja keras kepala. Kalau lo terus tahan perasaan kayak gitu, yaudah... nikmatin aja tuh rasa cemburu tiap hari. Gak ada yang maksa lo bilang. Tapi lo bakal capek sendiri. Lagian apa sih masalahnya? Dia suka Lo, Lo juga kan? Ngapain sih mikirin orang?” Devan memejamkan mata, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Emosi di dalam hatinya benar-benar membuatnya kacau sendiri. “Aneh.” Adam tersenyum miring. “Aneh apanya? Enggak aneh lah, Lo cuma takut, Van. Lo takut kalau orang lain bilang lo gak pantes sama dia. Tapi lo gak mikir, lo malah bikin Lo sama dia sama-sama sakit.” Kata-kata Adam seperti jawaban dari kebingungan ada di pikiran dan hati Devan. Ia terdiam diam yang cukup lama. Pikirannya kembali melayang ke arah wajah Senna senyumnya, suaranya, dan bagaimana dia menggenggam tangan dengan teman laki-laki di kampus tadi. “Apa gue beneran takut sama penilaian orang? Atau gue emang pengecut?” Dia bertanya, pelan berdebat dengan pemahamannya sendiri. Adam menepuk pundak Devan pelan. “Gue cuma bilang, pikirin lagi. Kalau lo tetep mutusin buat jalanin perjodohan, ya udah, konsekuensinya lo harus tahan sama semua cemburu dan marah kayak tadi. Tapi kalau lo mau jujur, sekarang waktunya. Karena kalau lo kelamaan, bisa jadi dia beneran bakal pergi sama cowok lain.” Devan hanya diam, tatapannya menatap ke luar jendela. “Yaudah gue keluar dulu.” Adam kemudian berjalan keluar ruangan meninggalkan Devan sendiri. * Senna berdiri di depan cermin, gadis itu menatap bayangan dirinya sendiri yang sedikit berbeda. Tangannya sibuk merapikan rambut yang dikuncir sedikit dan menyiksa setengahnya untuk digerai. Ia memilih mengenakan gaun hitam sederhana tapi cukup berani, gaun selutut dengan bagian pundak yang terbuka, membuat ia terlihat lebih dewasa dari usianya. “Gue harus terlihat cantik. Harus keliatan dewasa, gue nggak mau kelihatan kayak bocil di depan Om Devan dan calon istrinya.” Senna katakan sambil melihat dirinya di cermin. Jantungnya berdebar, meski berulang kali menguatkan hati, ada rasa takut yang tak bisa ia usir. Senna tahu, tujuan makan malam ini bukan sekadar pertemuan biasa. Stella pasti ada di sana. Perempuan yang disebut-sebut akan menjadi istri Devan. Senna menghela napas panjang, lalu mengambil parfum, menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangan, lalu menepukkannya ke leher. Sekali lagi ia menatap merapikan rambut dan pakaian. “Lo bisa, Sen. Meskipun lo bukan siapa-siapa, tapi lo harus keliatan paripurna,” kata Senna menyemangati diri sendiri. Begitu keluar kamar, langkah Senna terhenti sejenak menatap Devan yang sudah menunggu di ruang tamu. Pria itu berdiri sambil menatap layar ponselnya. Devan tampak santai dengan kemeja abu-abu yang digulung di bagian lengan, celana hitam yang rapi. Tapi begitu matanya beralih ke arah Senna, tubuhnya terpaku tanpa sadar. Di matanya Senna cantik, sangat cantik, terlalu cantik. Wajahnya manis , rambutnya ditata sederhana tapi elegan, balutan gaun hitam itu, membuatnya tampak jauh lebih dewasa dari biasanya. Tubuh mungil yang selama ini terbungkus piyama pink atau kaos santai, kini terlihat anggun, mempesona. Jantung Devan berdetak lebih cepat, bahkan tenggorokannya terasa kering hingga ia terpaksa menelan ludah. “Om?” Senna memanggil pelan, suaranya lembut memanggil Devan. “Kita jadi berangkat kan?” Devan tersadar, lalu ia mengedip cepat, berdehem pelan sambil mengangguk. “Iya, iya jadi.” Devan memaksakan untuk tersenyum, namun tatapan matanya jelas masih melekat pada Senna. Kecantikan Senna malam ini yang membuatnya sulit berpaling. Untuk sesaat, Devan bahkan hampir lupa siapa yang akan mereka temui malam itu. Mereka berjalan berdampingan keluar rumah. Devan diam, tetapi dalam diamnya, pikirannya berisik tak karuan. Kecantikan Senna membuat pikiran Devan porak poranda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD